Posts

Showing posts from October, 2006

Di Pelataran Gedung Pengadilan

"Hari ini kunjungan ditiadakan!" Petugas keamanan menutup pagar sisakan ruang antara jalan dan Gedung Pengadilan : sebuah pelataran kosong Seperti mata Bapak hadapi tuduhan saat pulang malam Ibu pernah bercerita tentang hakim berjubah longgar lengkap dengan toga yang diatur supaya tetap miring Seperti tungkai Ibu tertekuk lelah saat malam datang Bapak sering mengeluhkan derita pelaku kriminal diarak hanya dengan sebuah celana dalam Ah, baju seragam saja tak timbulkan iba petugas bahkan untuk sekedar bertanya Hari ini, tak bisa selesai tugas mengarang dari sekolah tentang isi Gedung Pengadilan

Lowongan

Pulang dari interview Bapak terlihat lesu Ibu pun bertanya ragu "Bagaimana hasilnya?" Bapak dengan tenang tersenyum "Selama masih ada lowongan di hati Ibu, kerja apapun akan dijalani"

Di Televisi

Di televisi Ibu melihat wajah Bapak sebentar lagi dia pulang demikian kabar yang tersiar Mungkin karena bosan hidupnya jadi tontonan Bapak ingin tenang satu-satunya jalan adalah pulang Di depan televisi Ibu menulis surat berisi alamat ditujukan untuk sebuah rumah produksi dengan harapan Bapak bisa dengar sebab hanya dari televisi mereka saling bertukar kabar

Mengantar Ibu

Berakrab dengan Bapak menjadi peristiwa langka yang hanya bisa terjadi jika Ibu hendak pergi Aku dan Bapak Rapatkan jarak setiap Ibu meniti tapak Berakrab dengan Bapak hal yang sangat dinanti tapi Ibu harus pergi meski cuma satu hari

Tidak Merokok Lagi

"Kita tidak lagi perlu asap" kata Ibu kepada Bapak memintanya untuk tidak merokok lagi

Jendela

Bapak menjadi bingkai kristalkan imaji Ibu di setiap butir kwarsa untuk mencipta cahaya di ruang hati Di jendela ada bayang termangu "Apakah itu milikku?"

Serambi

Serambi kami penuh lumpur kata Bapak asalnya dari arah timur tempat Ibu tengah menjemur kesedihan yang semakin menjamur

Pintu

Bapak selalu menunjuk keluar sebagai alasan untuk pulang malam "Di balik pintu ada banyak hiburan" Ibu hanya punya kunci yang terbuat dari kata setia tetapi Bapak sangat sering menjatuhkannya Setiap malam Bapak meminta Ibu membuka pintu Lebaran kemarin Kulihat mereka berpelukan tak ada lagi pintu itu

Kartu Pos

Sebuah kartu pos bergambar wajah Bapak merutuk di depan pintu "Biarkanlah aku masuk sudah lelah pintumu kuketuk" Ada bagian yang terlupa si pengirim tak tuliskan nama pada kotak di bagian alamat Rupanya Ibu sangat jeli hingga hatinya tetap terkunci

Batu di Sungai

: teguh setiawan pinang Batu itu menggurat kata supaya ada alir di sungai puisi Sedang di muara Ada yang lebih diam meredam bebunyian mengolah sajak di samudera raya

Igau di Rantau

: maulana ahmad Di rantau keasingan mengigau Lelaki itu melinting tembakau Asap melukis matahari tumbuh di tengah pematang asyik jelujurkan jemari di petak-petak dahi Di dangau kesepian pun kacau Dia bergegas menanam pukau

Bukan jalan untuk pulang

: Yohannes Sugianto Dia yang menyeruak tiba-tiba dalam rimbun rimba kata bermandi peluh mendekap keluh Yang bisa kubilang jejak di padang bukan jalan untuk pulang Di balik belukar terdengar dia berkelakar "Tak perlu tunggu fajar" Rimba ini kan tersibak kata-kata pun berbiak

Sajak di Liuk Nyiur

: hasan aspahani "Sedemikian dekatkah kata-kata dari laut?" di liuk nyiur aku tafakur tentang kedalaman yang tak terukur

Penyulam

: inez dikara Ada yang menyapa dari balik bilik "Aku temukan sesuatu yang asyik" Bak seorang penyulam dirangkai sulur-sulur benang diulurnya sampai awan "Lihat, itu sebuah pelangi!" Aku berteriak sendiri di bawah langit yang ikut menari

Doa Sajadah Usang

Ibu menggelar sajadah kalau Bapak marah Sajadah itu sudah usang Namun doanya tak lekang "Kapan nafsu dikekang?"

Besok Lebaran

"Hari ini masih terasa sempit ya?" Ibu bertanya pada Bapak yang begitu bimbang sehari sebelum lebaran

Makan Malam di atas Makam

Dengan sebatang lilin malam ini tertelan begitu sempurna Ibu menyusut anggur di bening kristal air mata Bapak sibuk mengiris hati selapis demi selapis Duka menjadi bunga penghias taplak meja Terbentang sajian lengkap di atas semua kenangan yang dipendam dalam-dalam

Sarapan Pagi

Bapak baru menyeduh emosi gelegaknya terasa di hati Lalu Ibu mendadar sabar bulat besar benar Sarapan pagi ini kurasa nikmat sekali

Kalung Ibu

"ini warisan paling berharga, untuk menjalani hidup" Tangan Ibu kalungkan seuntai kesabaran di hati kami

Sajak Dalam Kopi

Mungkin ini pahit yang terakhir kupungut sajak dalam kopi sebab Ibu tak pernah menyimpan gula dan gaji Bapak tak manis lagi

Letih

Batang padi tak lagi runduk, Ibu keringnya angin telah membawa mereka pergi ke pusat-pusat perbelanjaan lalu pulang dengan tentengan berisi hafalan nama-nama asing untuk petak sawah kita Ternak penghela bajak pun naik pesawat kacaukan asap kopi dan tembakau hingga Bapak tak puas lagi memandang ranumnya puting gunung yang kau simpulkan di sudut matamu, Ibu Dan kemarin hujan belum sempat kucatatkan di saku kodok yang kerap mengamen di jendela gubuk ini Sebab aku terlalu letih dan Kau terlalu tatih

Air Mata

debu yang mengganjal saat aku terpingkal

Selamat Jalan

Dan ombak bertubi-tubi merayu nyiur sang penari pantai. Camar tenggelamkan diri pada pencariaannya sendiri. Pasir pantai doakan keselamatan matahari. Langit senja sama merahnya ketika fajar. Anak gadis itu pergi ke pangkuan ibu. Bapak kembali dari medan perang berbentuk kotak berisi angka-angka berdebu. Kerikil-kerikil di halaman rumah basah. Kota masih mengaduk-aduk kesibukan. Lalu, ombak menyapa kota. Anak gadis itu pulang. Bapak tak pernah datang. Ibu menari di pantai. Sendirian. Tidak! Ada matahari dan langit fajar. Tapi mereka berperang di atas kerikil, kerikil jadi pasir. Pasir tuliskan angka. Angka sebutkan jumlah ikan dalam paruh camar. Daun teh dalam cangkir mengapung dalam diam

Ucapan Selamat Tinggal

Bagaimana ucapkan perpisahan? Paruh burung basah dengan nyanyian dahan berselimut embun dan berkas kata di kisi-kisi jendela tak kunjung berdebu. Di depan pintu, sepatu termangu

Ibu dan Bir

Ibu duduk dekat pintu di sebelah gelas tanpa isi Bapak tidak pulang lagi Ibu menuang bir dengan ragu Bagi bapak ibu dan bir sama memabukkan Tak heran bapak selalu lupa jalan rumah kami

Sapu Tangan Bapak

Sapu tangan bapak dalam saku ibu ada yang teriak bekas-bekas gincu

Sajak Yang Paling Tidak Laku

ini ada kata bisu bisa laku?

Nyanyian Cinta

gemetar di leher gitar tak kuasa memetik kata yang akan guncang ragu di dawai-dawai hatimu

Pagi ini mendung

di atas meja setumpuk surat terluka di beranda lantai meredam duka angin berhembus perlahan saja aku mengeja kalam di langit kelam

Rajah Malam

Bulan tuliskan kalam di titik - titik semu Jendela bingkai malam di kisi - kisi bisu Dinding kamar kusam coba tenggelamkan rindu Di padang rumput liar jiwa meronta kuat Biarkan tubuh dilukar inginkan lambang tersemat Malam merajah meruapkan gelisah

Dia yang menanam bayang-bayang

Dia yang menanam bayang-bayang telah pergi di rembang malam Ada janji tertulis pada hati teriris Terbaring di ladang kering kenangan hitam bersemi Panen terlambat datang ruang kamar terpejam

Langgam Langgar

" Sebulan ini, kerja keras kami kejar" demikian langgam yang terdengar dari suatu langgar Catatan kecil ditukar tajil beredar ba'da ashar penutup perut-perut lapar menjadi upacara besar Dan saat malam tiba pun masih ditabuh puluhan nada tuk dihimpun seribu bulan lamanya Di dini hari pun ada yang berlari beradu cepat dengan matahari tak ubahnya niat Dewi Sumbi hindari niat anaknya sendiri "Sebulan ini, kerja keras kami kejar karena dalam 999 bulan ke depan kami akan asing terdengar"

Hati dalam Peti

Ada hati dalam peti kupegang masih basah warnanya tak hitam juga tak merah "Siapa tinggalkan dia di sini ibu yang ingin aborsi atau bapak yang mau korupsi?" Biarlah kan kubawa pulang sebagai cadangan jika hatiku pun hilang

Di Warung Made Jiwaku Tergadai

Di warung Made jiwa telah tergadai sebab cinta tak lagi memadai Lukisan Sang Rama yang sesali Shinta merayu Rahwana beraroma vodka "Kita menyanyi bersama, lagu permainan sepakbola" Para denawa berseru dalam irama tanpa malu Ada yang diam dalam lukisan di sudut yang temaram nikmati kosong sisa nirwana

Ke Besakih, Kekasih

Ke Besakih, Kekasih katamu pintaku menepi 'tuk susutkan sungai di pipi Di Besakih, Kekasih karang yang tinggi tak lekang digempur perbani Sebab di Besakih, Kekasih berdiri amsal hati yang bersih dimana air mata pun tersapih

Dongeng Bukit Kintamani

Sebuah bukit berselimut kabut memungut rasa sakit Bidadari yang diam di sini diculik Sang Kala malam tadi Bukit Kintamani ajak aku habiskan hari tuk mencari Sang Bidadari

Sepanjang Pantai Kuta - Legian

Deret-deret cafe lukiskan malam memacu keringat di tiap dentam Irama reggae luruh dalam gelas sisakan bulan di sudut bias Botol-botol kosong dilanda haus "Pantai ini telah tercerabut dari firdaus!" Sepanjang pantai Kuta-Legian tetapak kaki terhapus perlahan

Dan Jodoh...

pintu ingin terbuka kala birahi anak kunci lepas dari saku celana jodoh serupa genggaman tangan menyatu dengan tuas pintu bergerak dengan nyaman dengan kaki kanan kita 'kan melangkah bukan ke pelaminan apa lagi cuma peraduan sudah jauh hati kita tanam dekat pokok buah terlarang di taman itu sebelum ada pintu

Sajak Stasiun

/1/ Di stasiun kereta rindu terjalin rangkaian mimpi penarik nafas jiwa resah jauh sebelum sebuah perjalanan yang tak pernah diam selalu saja begitu /2/ Rindu dan mimpi terangkai jadi cerita di tiap gerbong kehidupan Pada akhir perjalanan semua disapukan di kening malam Di atas selembar koran Kita mulai mencari dimana kata yang tak pernah tetap selalu saja hinggap di tiap dekap /3/ Di sini, tumpukan resah selalu lambaikan tangan pada jiwa kembara Ada harap yang penuh pada satu arah tatap saat kereta memasuki stasiun "Diakah yang dinanti?"

Sajak Peluit

Dan terdengar lah lengkingan penyeru di tengah kebisingan "Kita harus bersiap senantiasa" Seperti Yesus di Getsemani memohon di tengah sepi "maut adalah pencuri" Dari peluit yang menjerit alunan nada menyapa kita "Tuhan tidak buta"

Tuhan hilang

Daun jatuh dari pohon tepat di hidung anjing hitam "Tuhan hilang!" demikian dia menggeram

Hujan Malam

Malam hitam Hujan datang Hati bimbang

Kontra Kontrasepsi

Keluhmu tertahan di bibir malam Ada hasrat yang tidak bisa bergerak Katamu dengan suara serak Sebentar lagi semua sedu akan tenggelam Siapa yang telah menghalangi dengan sayap penuh nafsu dan membiarkan cinta mati sebelum terbentuk rindu Di sini ada yang terkulai Ceceran hasrat pekat Yang tak pernah sampai Di kedalaman cinta yang kelat

Cinta Anggur

dua gelas beradu bibir melukar sendu dengan derai tanpa akhir manis sudah persetubuhan setiap lekuk rindu mengerjap di langit tanpa bulan tetesannya meresap di celah-celah batu di puncak bukit cinta telah dipingit menepi dari deru bermula dari anggur itu

Bulan di sudut sunyi

Malam menjadi tirai antara pagi pembasuh hati ciptakan sunyi dari tawa yang berderai Senyum siapa yang mampu menembus dinding beku hingga hati merindu ingin memeluk dirimu Di sudut sunyi ruang tanpa asa Bulan tersipu iri pada siapa kita tertawa

Tentang Gita dan cita-cita

Bidadari itu memintaku terbang melintasi bintang gemintang dan bercahaya selalu Ada keluh terpasang di buku tangan terkembang tak ada sayap yang tumbuh tak juga bulu yang utuh Pada belaiannya bersimpuh rapuh "aku ingin jadi anak rambutmu"