Posts

Showing posts from March, 2007

Sepatu dan Tukang Sepatu

Seorang tukang sepatu tertawa melihat sepatuku yang mengangga. "Hai kawan lama, lama tak jumpa!" Segera saja, mereka pun berbincang dengan jarum dan benang panjang. Saling mengkaitkan peristiwa. Menyambung lembaran yang terkoyak, bahkan menempelkan isak dengan tawa yang terbahak. Tak lama permainan pun usai. Tukang sepatu memberiku sepatu lama yang kelihatan baru. "Jangan pernah keliru, dia tak akan menipu," katanya sebelum berlalu. Karena dia tak minta upah, hatiku pun gundah. "Apa yang kamu mau?" "Pelihara saja sepatu itu, dia tahu yang kumau."

Sesobek Peta

Kita adalah lembaran peta dengan garis-garis waktu menanti pelayaran panjang kora-kora tanpa bendera pada pasang laut nelayan pun menunggu dengan jala terbuka, dia bernyanyi lagu duka Di dermaga itu, aku menghitung butiran tangis jejak sepatu berdebu sebelum gelombang menghempas "Masih adakah dari hidupku yang belum terkais?" mungkin itu wajahmu, sepotong senja di langit luas Lantas apa yang bisa kutambatkan di hatimu? tangan ini tak mampu kibarkan layar itu badai begitu bergelora, begitu menderu. Sesobek peta masih terhampar, "Sebentar lagi. Sebentar lagi," pintaku kepada matahari dan mungkin langit akan terang kembali.

Magellan dan Cinta yang Tak Pernah Mati

Di dermaga ini, kau akan kusambut seperti bulan di tengah kabut meski lunas Victoria * membawa pulang tangis, suara dari selatan padahal aku inginkan kau mengurai sejumput ikatan rambut tapi jawabmu,"Sesuatu telah terjadi dengan Kapitan Magellan" Maka akulah suku Lapu-lapu ** itu: pembunuh Sang Petualang tersebab cinta adalah tanah air yang mati-matian aku bela dan penantian telah menjadi kuburan kesepian hari-hari malang sedangkan kau : puisi yang kutulis dengan tinta airmata "Cinta itu tak akan pernah mati," katamu pada ombak yang menepi sebagaimana sepi akan tetap tinggal di hati, tak hendak pergi dan kita adalah tubuh subuh yang merindukan cahaya matahari Tapi aku begitu yakin bahwa cinta itu hanya memberi, tak hendak meminta maka pertempuran di Mactan *** aku dengar sebagai suatu cerita sedih belaka dan sauh pun segera terangkat, sebuah petualangan lain akan bermula. * Kapal Layar Magellan ** Suku yang memenangkan peperangan melawan koalisi pasukan Dat

James Cook tak ingin singgah di Australia

Duhai awan yang mengepung terang, pada tubuh siapakah bayangmu menorehkan kisah? Angin telah mengirim basah. Di jajaran karang besar yang memerah darah, tersebutlah namamu. Nama yang selalu ingin tersebut di ujung lidah. Ombak adalah tubuhmu yang selalu memanggil pulang, mengekang kenangan lama yang ingin terulang; "Datang. Datanglah kekasih. Kau bukanlah sekedar bayang!" Samudera luas di tahun 1770 bukanlah jarak yang terbentang. Dan sambutan Aborigin tak lebih menggemaskan dari lompatan kanguru juga burung-burung penguin raja yang bermain ombak di batu-batu hingga geladak dan layar Endeavour masih terus membisu Dan jika ini kau anggap gelisah, aku menerka sebentuk tawa. Seperti James Cook yang tak ingin singgah di Australia, maka tetap diarahkannya haluan ke lautan sebelah utara.

Senja yang Salah di Pantai Kuta yang Kalah

Image
gambar diunduh dari sini Senja kali ini, hadir di saat yang salah pantai Kuta tengah berteriak pasrah, "Aku mengaku kalah!" Sebagaimana luka terdedah; cinta yang tercampak di pasir, memerah Tapi senja ingin sekali menari di laut luas walau awan mengepung matahari agar tak bebas dia ingin pantai ini terhidu dalam tarikan nafas hingga laut, langit, pantai, dan kau menjelma batas "Lantas apa arti tubuh yang basah?" rinduku tersimpan dalam ruang dada di mana bersembunyi pula dendam dan senja pun tenggelam perlahan, semakin kelam Laut mengirim ombak untuk membasuh segala keluh kapal-kapal membongkar sauh, tak ingin berlabuh mungkin memang ini saatnya matahari tidur di langit jauh

Columbus dan Cinta yang Tak Pernah Pertama

Kupeluk pinggangmu, lalu terbayang Columbus di geladak Santa Maria* memandangi Nina* dan Pinta* pada petualangan pertama. Nafasku menderu, sedahsyat gelombang di laut biru, "Menepilah pelaut, kita nyaris tenggelam!" Tapi langit terang, dan kau berbisik seperti camar sedang mencari sarang di pantai, di batuan karang. Dengan diam, kuhitung satu demi satu tiang layar, rambutmu yang urung terumbar karena belum reda segala badai, dan pantai tujuanku tak jua sampai. Inilah cinta pertama, petualang seperti aku adalah pelaut tanpa nama. Di mana jangkar belum tertambat benar, layar masih berkibar, namamu kusapa samar. * = nama kapal-kapal layar Columbus Terimakasih untuk Bang Hasan yang telah menjadikan puisi ini jadi lebih baik dibanding kan dengan versi sebelumnya.

Saling Menyilang

Sepulang dari pekan, Bapak ajari aku memasang tali sepatu baru "mereka sebaiknya saling menyilang," kira-kira begitulah dia menganjur. Di dapur, Ibu sedang memasak bubur : nasib yang terlanjur.

Sajak : Sepasang Sepatu Tua - Sapardi Djoko Damono

sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang, berdebu yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan --- keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang kanan mengira mungkin besok mereka diangkut truk sampah itu dibuang dan dibiarkan membusuk bersama makanan sisa sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua (dalam buku "Mata Pisau", hal 58)

Apa yang Kau Harap dari Sepi?

Apa yang kau harap dari sepi? Dengung kumbang adalah langit yang tak mendung, kertap sayap kupukupu telah menjadi ratapan bunga yang layu. Apa yang kau dapat dari sepi? Tikus semak telah mencuri perhatian iguana tua, dan kolibri adalah hijau yang mengancam kuningnya bunga.

Peri Semak

Setelah membaca buku tentang Peri yang hidup dalam lebatnya hutan pinus, Mahmud merasa sedih, karena dia tumbuh di gurun yang tandus. Bulan sabit yang sudah redup tersenyum melihat Mahmud yang gugup. Di luasan pasir, bayang Mahmud dimainkan menuju semak duri yang rimbun. Mahmud lantas membayangkan dirinya seperti Musa. Di depan semak duri dia pun bicara,"Sebagaimana di pucuk pinus, pasti kau pun ada di semak ini. Keluarlah, Duhai Peri Semak!" Bulan sabit mengingsutkan diri di langit subuh. Mahmud pun bersimbah peluh. Tiada kata "aduh" meski berulang kali duri tak sengaja dia sentuh. Sebelum azan berkumandang, pada semak duri Mahmud pamit pulang. Baru saja dia hendak berdiri, Peri Semak unjukkan diri. "Rupanya kau yang mengganggu tidurku. Pergilah, aku mau menampung embun untuk mandi." Mahmud tak mampu berdiri. Belum hilang rasa terkejutnya, Peri Semak berujar lagi, "Jangan kembali besok malam. Aku hendak bercumbu dengan bulan." 2007

Lima Pasang Sepatu Tak Beribu

Di musim yang gigil, rona bulan bukan merahjambu lima pasang sepatu tampak malu-malu melangkah kecil di depan pintu "Apakah tuan pembuat sepatu?" Mereka bertanya ragu. "Betul," sahutku masygul. Lima pasang sepatu merajuk padaku minta dibuatkan Ibu sepatu Bukan sepatu ibu yang punya hak tinggi dan runcing seperti taji

Shoes Party

Sometimes, Poet goes to the party. Neglecting solitary for awhile. Searching words in the open air. "I hope I can find the most beautiful poem here." This night, I'm very proud with my most colorful body. On an arrival, I try to change my suffering card with a glass of laugh. "Please, don't forget that tear of the card. It will toss in the end of the party," said a man with the shoe, who standing aside the door. He's a waiter or the man who guests waiting for, just because on their arrival, he becomes the first goal. But my welcome drink isn't finished yet when I very shock surprised. "Why the loneliness of mine is here too?" Maybe silently it goes, just before the door unlocked. To it I doubtfully walk. "Ah, are you invited too?" It faster asks. Between felt peevish and ashamed, bashful I am. When I bow my head, again I surprised: I wear the wrong shoes! “Don’t worry, it’s a shoes party. You can t

Pesta Sepatu

Adakalanya penyair pergi ke pesta. Melupakan sepi sementara. Mencari kata-kata di udara terbuka. "Siapa tahu bisa berkenalan dengan puisi yang cantik." Malam ini, aku percaya diri dengan tubuh yang paling batik. Sesampai di pesta, kucoba tukarkan kartu derita dengan segelas tawa. "Jangan hilang sobekannya, nanti akan diundi di akhir acara," ujar pria bersepatu yang berdiri di samping pintu. Entah dia penunggu atau yang ditunggu-tunggu tetamu, karena begitu sampai, dia yang dituju lebih dahulu. Belum sempat kuteguk minuman pembuka, aku kaget setengah mati. "Kenapa sepiku ada juga di sini?" Mungkin diam-diam dia menyelinap pergi, sebelum pintu sempat kukunci. Dengan ragu, aku pun menghampiri. "Ah, kau diundang juga?" Dia lebih cepat bertanya. Antara kesal dan malu, aku tersipu. Ketika tertunduk, baru kusadari : aku salah memakai sepatu! "Tenang saja, ini pesta sepatu. Kau boleh berkencan semalam dengan sepatu paling idaman." Entah

Penolakan Sepatu

Bangun pagi adalah rekreasi. Setelah merapikan mimpi, menyelimuti sepi, aku bersiap pergi. Membawa tubuh berkeliling di sekitar subuh. "Wah, rupanya kau belum mandi." Sepatu menolak memakai kaki, aku urung pergi.

Kepada Penyair

Sepi teramat ramah, menyapaku selalu dengan tawa renyah. "Hai, apa kabar? Apakah hari-harimu masih bergulat dengan derita?" Sejenak dia memainkan lubang di saku celana, temali hitam sepatuku, bahkan pada kusut anak rambut. Sampai akhirnya yang disentuhnya luruh. Sepi meniadakan aku, hingga tak bisa kususun hari pada deret usia. Kini aku pun mulai bermain puzzle dengan serpihan yang ada : saku celana, tali sepatu, anak rambut menjadikannya sebentuk aku. Sebelum jadi, sepi pun beranjak pergi. "Selamat berhari jadi, padahal kukira kau sudah mati." Kali ini aku tertawa terbahak. Aku kalah telak! 2007

Menyapih Sepi

Ibu, ajari aku menyapih sepi sebagaimana sungai sentuhi batu agar lumut sediakan tanah, tempat bertumbuh beringin itu Sebab aku hanya bisa lesapkan senyap, seperti asap menuju awan. Untuk kembali bersama hujan

Tragedi Kopi

Aku bukanlah Yahya yang membasuh kepala Isa, maka tak kubantah perintah Ibu menjerang air untuk segelas kopi teman sarapan Bapak. Ratap Ibu yang lirih serupa kertap sayap merpati di atas sungai Yordan, hingga aku menyangka desis di ujung ceret tanda air telah bergolak. Secepatnya adonan kopi dan gula kuseduh pada cangkir keramik bergambar burung phoenix setengah terbakar. Mungkin jika sudah disuguhkan, Bapak dan Ibu tak lagi bertengkar. Sialnya, tangan Bapak tak mau diam. Nampan yang kubawa terlempar, tanganku tersiram kopi panas. Maka nama Tuhan kusebut dengan sepenuh iman.

Macabre*

1/ Kematian menjelma di gang sempit, asap rokok, limbah pabrik, dan desing peluru. Sebelum ia menyatakan diri pada headline sebuah koranpagi. Dan hanya secangkir kopi, memperlancar aku ketika mengeja namanya. 2/ "Pada kehidupan yang kedua, kau ingin jadi apa?" Entah kenapa kematian selalu penuh kata tanya. Dan aku tak mau menjawab, sebatang rokok belum habis kusesap. Macabre = dari dalam kubur, istilah dalam karya seni. Biasanya berupa tengkorak.

Kopi Pagi

Ibu bilang kopi itu sudah manis, kata Bapak masih sedikit pahit. Dua sendok gula pun segera ditambahkan, tapi Bapak malah pergi memancing bersama teman. Bapak bilang ikannya nanti buat lauk makan malam, Ibu mengeluh tangannya sakit. Gara-gara kopi pagi, aku tak bisa makan malam.

Sebelum Lilin Kautiup Padam

: Hasan Aspahani Sebuah kamus sudah lama terbuka dan kata yang berloncatan kausisipkan dalam saku celana, sebelum menghijau di ujung pena. Puisi baru sedang menunggu tercipta dan makna yang mengendap perlahan kaucoretkan dari sebuah rencana sebelum lilin kautiup padam.

Kepada Api

Angin tak ingin membuatnya berkobar sebuah kabar mungkin hendak kaudengar dan ini bukan soal dari mana asal pijar Mungkin ada yang rindu pada basah air sebelum gelisah menjelma suara takbir dan kau pun risau bagaimana rupa takdir Dan pada sebentuk selimut asap ada yang kausembunyikan dari tatap supaya kita berbincang tentang harap

[Iseng Asyik] Sajak Bencana

KETIKA bencana terjadi para penyair berusaha untuk menciptakan sebuah sajak tentang bencana itu, tapi rasa itu tidak akan pernah bisa menipu. Tanpa mera- sakan kepedihan sebagai korban ataupun kerabat yang kehilangan sanak pada saat bencana itu terjadi isi dari sajak bencana yang dibuat pastilah "kurang greget". MAKA dengan sadar, saya pun tidak mau menuduh dengan serta merta, meyakini kejujuran dalam sebuah penulisan pada sajak bencana adalah sangat penting. Seringkali kita dapati sajak tentang bencana yang rasa- nya hambar derita. Mungkin memang si penyairnya belum siap untuk merasakan kepedihan.

Amsal Dedaunan

Daun yang luruh jangan disangka rapuh tuntas pemahamannya akan makna bertunas dan hendak dirambahnya kesabaran yang lebih di tubuh bumi Sedang yang tumbuh tak perlu lekas dikira teguh belumlah sampai pada uji di tempat tertinggi maka ingin dicapainya kesetiaan yang sejati di terik matahari Di tabir angin akan terkuak takdir sesuatu yang mampu membalik nadir daun tumbuh bisa segera luruh sedang yang telah jatuh akan mengembara ke tempat jauh

maka biarkan saja

aku tak akan kuasa mendekap malam, sayang sebab dingin dan gelap hendak melingkupiku dan aku terlalu bernafsu hingga kucari kau dengan kata-kata palsu untuk hangatkanku maka biarkan saja siang melebur tubuh ini hingga nanti, tak ada lagi aku di ambang senja

airmata hari

untuk apa sepi ditangisi sebab pagi belumlah hari dan yang datang siang nanti tak perlu disambut senang karena petang adalah bimbang sebelum malam panjang namun jika kita tetap di sini kala hari berbilang, siapkan segera setetes airmata