Posts

Showing posts from June, 2007

Sebagaimana Aku Memanggilmu, Sayang

Jika kau bosan dengan bulan, kucabut sehelai uban Jika kau resah dengan hujan, kuulur sebelah tangan Jika kau mabuk dengan gelombang, kupanggil kau, Sayang Sebagaimana aku memanggilmu, seru sekalian alam 2007

Ada Bibir Norah Jones di Cangkir Kopiku

Saat kulihat hari berganti, kuberharap dapat terbang tinggi¹ * Kepada yang remang-remang : sebuah bangku panjang Bangku bambu akrab berderit. Penyair kerap menjerit Seperti yang kudengar : desis air mendidih dari dalam teko Apakah kesepian telah menjadi kebanggaan, Tuan Penyair? Ada yang begitu menggelegak. Pindah dari teko ke dalam cangkir Mengalir. Mengalirlah begitu saja. Tapi karena tak ingin menulis sungai, kubiarkan tangis itu luruh. Apakah itu gerimis yang membuatmu singgah? * Biarkan aku bersimpuh di pasir, menangkup tangisan dengan tangan² * Ada yang berputar dengan pelan, pada kotaklagu : sebuah lagu kenangan Angin yang bertiup di pepohonan rindang sebelum langit mengirim hujan Aku siapkan gigil yang panjang, sedangkan kau melangkah pulang Apakah kenangan itu rahasia yang harus disembunyikan, Tuan Penyair? Lalu ada yang begitu tersentak. Tutup cangkir yang kubiarkan tergeletak Agar kudapatkan sebuah hangat dari secangkir kopi, kudekatkan

Selepas Menduga Gua Plato

Ada sebentuk lubang di dada : ceruk purba penuh rahasia * Apa yang kau tahu tentang matahari, Tuan? Aku menduga seberkas cahaya. Di punggung, dia luruh. Pada dinding di hadapanku, menjelma bayangan tubuh. Apakah yang kau tahu tentang bayangan, Tuan? Seperti sebuah kenangan, tak mungkin diabaikan. Saat gelap datang pun aku merasa kehilangan. Tersebab itu kau nyalakan api, Tuan? * Ada sebentuk nyeri kurasa : suara tanpa kata * Bisakah kau menuliskan suara yang kudengar, Tuan? Ada banyak suara di dalam gua. Orang lalu lalang. Suara dan gema saling bertabrakan. Yang kudengar, selalu penuh rasa bimbang. Bagaimana kau tuliskan rasa bimbang, Tuan? Seperti menduga cahaya matahari dan pijar api Aku mengukur bayang pada dinding yang terbentang * Seperti kata yang tak sempat terucap : ada yang tak dapat terungkap 2007

Sajak di Negeri Hujan

Sebermula dari hujan : tawa kanak yang melengking di udara /1/ Takbir - yang ujungjarinya kausanding tepat di samping cuping telinga – kini kaudekap erat di dada. Semacam awal sebuah rakaat : sebuah jalan lengang kautapaki penuh hikmat. Tapi ada genangan bekas hujan di jalan itu, sebuah kolam kecil bagi ingatan masa kanak. Diingatnya perahu-perahu kertas berlomba di selokan, padahal ia hanya senang melihatnya melaju kencang oleh curahan air hujan Sebentar lagi ada yang tenggelam, bisikmu Sebentar lagi aku yang tenggelam, kataku /2/ Sebuah tasyahhud adalah bayang Ibunda bercampur cahaya senja pada sebuah jendela : kau pun tertegun Hendak mengucap salam atau kembali bermain hujan Lalu ada angin berdesau dingin dan pepohonan bergoyang tak ingin /3/ Inilah akhir sebuah kenangan : pada sebuah jalan kecil, kau mengucap salam 2007

Risalah Resah

1/ Seperti pada geladak kapal Nuh tangis kanak di dadanya begitu riuh Dulu sempat ia pendam sebentuk kenangan yang amat membekas : Ibu yang melahirkan hujan Lalu kemarau mendera; Ayah tak pernah pulang Dan seperti Nuh di puncak Ararat ia membilang kata pada selembar surat 2/ Semacam mengira arah resah, ditumbuknya peluk Ibu Ada yang dinantikan setelah hujan reda sebentuk pelangi tunawarna : senyum sang Bunda Setelah usai kisah Nuh dan air bah, ia tahu benar, di dada Ibu tersimpan kata tabah 2007

Yang Tertunduk Malu di Depan Pintu

Di tangannya setangkai bunga Merah. Menyala. Noktah ibukota pada selembar peta. Di sebuah kota , di depan suatu pintu ia termanggu ; benarkah arah yang dituju? Lalu bunga itu layu Pucat. Kecoklatan. Wajah buruh sehabis demontrasi 1 Mei Sebelum panggilan terdengar ditutupnya rapat-rapat pintu pagar : Ke luar! Ke luar! 2007

Tubuh Hujan

Ayah mampir; membawa banjir Pada kedua pelupuk mata segera kusiapkan berkarung-karung pasir Juga di depan pintu kamar Ibu Ibu tengah tahajud -- tadi sempat kuintip -- belum tegak dia dari sujud Subuh yang luruh di tubuh hujan adalah Ayah kehilangan tatapan tangis Ibu kudengar amat pelan Di atas sajadah, Ibu rebah rumah telah terkepung bah Aku tak bisa berserapah mulutku tersumpal sampah 2007

Di Bawah Tanda “Dilarang Masuk”

Di bawah tanda “Dilarang Masuk” menanyakan arti kewenangan; siapakah yang dapat lalu dan siapa yang harus tertahan di balik pintu. Tubuh adalah rumah suci namun sering disusupi benci Gegiris menghunjam dalam; Ini bukan keterpaksaan untuk patuh padamu, Tuan Maka inilah pertanyaan tentang arti kebebasan; sebuah anak kunci dalam genggaman – atau tak perlu lagi dipikirkan? Sebab di setiap pintu selalu ada tanda yang akan kautemukan. 2007

Tidur yang panjang, Tidur yang kaukenang

Tidur yang panjang, Tidur yang kaukenang Tidur yang panjang, tidur yang kaukenang yang sembunyikan fajar pada rentangan tungkai atau pelupuk tak terlerai,-- sesuatu yang membebaskan. Apakah memang demikian suatu kesunyian? di dalam sebuah gubuk batu untuk memanggang berabad lalu atau terik tak sama sekali perlu? Terjemahan bebas dari : A Long, Long Sleep, A Famous Sleep – Emily Dickinson

Cahaya Ada di Musim Semi

Cahaya Ada di Musim Semi Cahaya ada di musim semi tak hadir pada tahun Pada waktu yang lain saat Maret baru saja hadir Warna tahan di luaran pada bukit-bukit kesunyian tak terjangkau oleh ilmu tapi terasa oleh nalurimu Ia menunggu di halaman perlihatkan pokok yang jauh pada lereng terjauh yang kita tahu; kepadaku, ada yang hampir saja ia katakan Lalu, saat cakrawala menjejak, atau siang dikabarkan beranjak, tanpa rerumus bebunyian, ia berlalu, dan kita bertahan: Kesejatian pada kehilangan berpengaruh pada pikiran kita seperti perjanjian dagang yang tiba-tiba melanggarbatas sucinya ikatan. Terjemahan bebas dari : A Light Exists in Spring – Emily Dickinson

Luka Musim

: Yo Musim selalu tinggalkan luka pohon meranggas atau pucuk yang tunas Bulan selalu catatkan duka lembaran kalender terlepas Pengembara tak pernah lupa pada rumah di tapal batas dan nama kekasih di tiap hela nafas 2007

Bulan Masih Telanjang

1/ Tanah kami tanah laut di mana wajah-wajah muram berteluk di antara lutut-lutut kusam dan darah menjadi selimut malam Tapi waktu hanyalah kebisuan batu di dalam kabut, diperamnya dendam untuk membuncahkan kalut yang semakin kelam Seperti tiang kapal di bawah langit malam bulan tikamkan cahaya keperakan tapi di sini, tak ada lagi kesedihan 2/ Pelabuhan begitu senyap pantai kehilangan ratap kabar apa lagi yang kauharap? Walau bulan masih telanjang, tapi malu harus kutahan sebab di sini, tak ada lagi kesedihan 2007