Posts

Showing posts from May, 2009

Erratum

Erratum 1/ Sebutir telur seperti mimpi Kulitnya hijau percaya Tidur Dia di beranda. Hingga ada yang mendekati sepenuh hati dari bilik nir cahaya. 2/ Sejak dimulakan tidur-Mu dijagai ruang-ruang antara Dari mata ke kata dari kata ke makna 3/ Kulitmu sehijau telur Sebutir demi sebutir, mimpi lungkah ketika Kau melangkah Dari beranda, cuaca tak dapat lagi tercandra Di ruang tengah, kamar tidur, dan dapur, bayang-bayang semakin kabur Semakin lamur Akulah Si Buta yang belum bisa Kau celikkan! 4/ Aku meraba dan merasa Mengindera suasana belaka Hanya bergantung pada percaya; Ini kerinduan sangat menyengat jangat! Tanpa tongkat putih, anjing penuntun, dan kaca mata hitam, aku melangkah. Mengarahkan tubuh pada kuncup-kuncup kata Agar tak terlangkup hidup Tak diruntuhi serpih-serpih diri Tak dirutuki yang mengingin abadi 5/ Tanpa merah yang sangsi Kau tegaskan lagi tanda-tanda yang harus kuhindari 2009

Dia Kini Berjubah

: de 1/ Dia ingin berubah. Tak sekadar mengganti gambar avatar pada halaman profile , atau juga mengganti alamat email . Dia bahkan ingin segera menutup akun facebook ! 2/ " Aku ingin mencari sesosok paderi dalam diri ," katanya dengan mata seredup senja di sebuah kartu pos bertuliskan Pulau Dewata. Aku menduga; dia akan berkelana. Jauh ke tempat-tempat yang tak terjangkau sesiapa bahkan oleh jagad elektronika. 3/ Blognya sudah lama tidak diupdate. Tak berbalas beratus email , note's tag dan chat. 4/ Dia kini berjubah. Jenggotnya lebat seperti akar kecambah. Berdiri dekat rumah ibadah. " Aku sudah pasrah. Tak kutemukan juga yang kucari. Tapi aku merasa lebih baik begini ," katanya sambil senyum-senyum sendiri, waktu kutanya apakah sang paderi sudah dia temukan. " Kulihat kau juga sedang gelisah ," katanya tiba-tiba. Ya, begitu tiba-tiba. Hingga tak kudengar senja tengah mengetuk jendela. 2009

Kepada Patung Kuda di Jalan Fatmawati

Kepada Patung Kuda di Jalan Fatmawati Dekat kedai gipsum, kakimu terangkat ke udara. Siapa yang akan kau sapa? Duhai, Kaki membatu, hentakkan saja sepi mu ke dadaku! Ya, ke dadaku! Agar runtuh segala ragu, lepas setiap yang repas. Dan yang termangu - tetangan terbelenggu - silakan saja berlalu! Melintas dari hadapmu. 2009

Bugenvil

Bugenvil /1/ Dari bahu jalan tol, tangan-tangan itu memanjangkan mataku Tangan yang juga melintaskan kembali kota yang telah mati berulang kali hingga mata ini seakan tubuh sungai yang penuh bangkai /2/ Apa tersisa di situ? Selain berkas bunga kertas yang tinggal sesaknya dan seorang diri, ia mengenang panjang leher hujan dengan cupang merah malu /3/ Ah, kenangan! Betapa lekas bunga itu lepas dari tubuhku Tubuh sungai yang terus menghempas bangkaimu 2009

Nautilus

Nautilus 1/ Di telingaku, Kau simpan laut sedekat ujung maut 2/ O, Tubuh yang melengkung lekaslah Kau bangun! Ombak telah menggunung, dan bahtera ini limbung 3/ Dari luar cangkang, telah kubuang sejumlah bimbang kusisakan sedikit sirip dan himpun teritip di perut perahu, di carut wajahku Karena hanya bisa kurang, dan tak mungkin hilang. 4/ O, Mulut yang Siput. Ini badai begitu ribut, sedang pelayaran berpantang surut! O, Mata yang Melata. Kau sebut apa yang menyambar tiang bendera dan layar? 5/ Di tubuhmu, kuputar lagi sepenggal sepi 6/ Yang meringkuk seperti kelomang membentuk gelombang dari deru dermaga 2009

Tobong

Tobong 1/ Tak ada seekor kera dalam bubungan bara sebab ini bukan tangis seorang Shinta, Sayang. 2/ Tuhan lebih dulu menyapa wajah merah gerabah sebelum ditata tanganmu, sebelum dibaca bibirmu, Api. 3/ Telah dibariskan – dan digariskan - wajahku pada lebam sekam, ngeri jerami, dan tirus ranting turi, agar setiap api – setiap kali - menyirami mataku. 4/ Seperti Hanuman, yang di jarinya tersemat amanat seorang raja, hendak kuujarkan - kupijarkan lagi - redup rahasia cahaya. 5/ Hingga yang dulu mengais - menangis - tak lagi berduka sebab Tuhan turut mengaduk tanah, membuatku tak lagi buta. 2009

Hidangan

1/ Setiap malam, di meja makan, kulihat kau menggeliat setiap tajam pisau mengerat tubuhmu dan setiap keratan itu menjerat tubuhku. 2/ Dengan dada gemetar ( yang bukan tersebab lapar ) kuterima tubuhmu jadi tubuhku Inilah tubuh yang kusentuh dulu. Tujuh lubang peluru telah lama tumbuh di situ. Dan dari lubang-lubang itu, kutemukan kembali lukaku. 3/ Aku makin tersesat di tubuhmu, tersangkut dalam lubang luka bermata nyalang. Ada yang mendesak-desak, seperti kerongkongan tersedak, seperti suara isak hanya lebih lirih; Keluarlah! Keluarlah! Tapi tubuhmu makin erat, dan tubuhku makin berat meninggalkan lubang lukamu. Menanggalkanmu! 4/ O, kuingat lagi; Kau menggeliat di tajam pisau, keringat dan darah jadi atau, dan suka cita adalah duka cita yang terlampau risau. Kulihat lagi di meja makan, setiap malam, tubuhku mengerat tubuhmu, dan tubuhmu melumat tubuhku. Setiap malam. Setiap makan. 2009