Posts

Showing posts from June, 2009

Sekerat Roti di TanganMu

Sekerat Roti di TanganMu 1/ Jangan Kau jerat laparku dengan sekerat roti di tanganMu 2/ Aku pasti menunggu walau seribu kepak merpati dan suara kur-kur-kur di telinga taman ini selalu seperti berjanji; ” ada sepotong frankfurter dan segelas milkshake berukuran medium, spesial untukmu! ” lalu senyumMu mengambang di bangkai sungai di bawah jembatan kayu merah marun beraroma aneh itu dan kutemukan lagi remah roti yang tak termakan gerombolan merpati itu, di atas busa air sungai yang semakin keruh menghitamkan penantianku 3/ Ada harapan yang utuh - bahkan lebih jelas dari gelas milkshake dan lebih pedas dari saus frankfuter di tanganku ini – saat Kau hendak memecah-mecah roti itu 3/ Akhirnya, aku tak bisa memaksaMu kembali setelah habis semua remah roti di paruh seribu merpati, dan sebagian lagi dibasuh busa sungai yang perlahan membuat kotaku mati 2009

Seusai Badai

Seusai Badai Yang lantak hanya kelak sebab aku tak bisa mengelak Tak bisa aku menduga kau seperti tak bisa menakar curah hujan dengan genggam tangan dan yang kelak terserak hanya doa-doa tak terucap Seperti pernah kudengar kau, dari lambung perahu, menghalau kumpulan awan Ah, seusai badai ada banyak yang bisa kita kumpulkan diam-diam 2009

Dari Sebuah Kursi di Ruang Mahkamah

Dari Sebuah Kursi di Ruang Mahkamah 1/ Aku duduk di sini, tapi – ”Siapa sedang bertamu?” 2/ Kau kisahkan kembali Bao, Sang Hakim, Meski ada yang aku tak bisa mengerti; benarkah keadilan itu datang dari langit? 3/ Aku sakit, aku menjerit! Ruang mahkamah maha sempit ini tak sanggup lagi mengurung jiwaku, tak bisa lagi memberi jawaban segala yang rumit 4/ Ya. Tak ada yang peduli pada pleidoi setebal debu di kakimu. Aku hanya ingin duduk di sini. Seorang diri. Walau tak akan kujumpai para tetamu 5/ O Sulaiman, raja bijak mana yang datang mencuri pedangmu? Begitu banyak bayi mati di kali, di tempat sampah, di restoran, di perempatan, di gendongan pengemis, tanpa ada yang membelahnya jadi dua! Tanpa ada tangis Ibunda 6/ Akan kuceritakan lagi padamu Khrisna yang Agung - dia yang hanya dua kali bertiwikrama – hanya untuk bersilang sengketa karena kau bertahan, begitu pejam - dan juga kejam! - seperti tidur Sang Baladewa! Ah, Ruang mahkamah! Betapa cepat perubahan terjadi layaknya kincir angin

Sepasang Sepatu di Kompas.com

Ditulis oleh Cunong N. Suraja Dari ketiganya telah tercatat sepatu sebagai tema besar. Tengok saja sajak Maulana Achmad: Kwatrin Sepatu di Luar Mesjid (15) dan sajak Dedy T Riyadi: Pesta Sepatu (88), Sepatu Adam dan Hawa (93), Pertanyaan untuk Iklan Sepatu (98), danSepasang Sepatu yang Tertinggal di Via Dolorosa (99), sedangkan Inez Dikara tidak menyebutkan sepatu dengan lugas tetapi banyak sajaknya berisikan tentang jejak atau perjalanan yang tentunya tidak akan luput dari mengenakan sepasang sepatu selama perjalanannya (apalagi pengembaraannya di negeri Paman Sam yang bermusim empat!) Di Pasar Malam sebuah ajang pertemuan para penggemar sastra malam reboan saya menerima sebuah buku kumpulan puisi ( dari salah satu penyairnya: Maulana Achmad! ) dengan kulit buku yang menawan dengan jelas menyarankan isi buku dengan gambar sepasang sepatu sepasang kuas dengan latar belakang pemandangan yang mengesankan dalam warna dominan hitam putih. Tiga kumpulan sajak mengingatkan pada buku puisi z

Harmonia di Mata Jendela

Harmonia di Mata Jendela 1/ Di mata jendela, kaulah; - setianya tempias hujan - langkah kilat yang tergesa - gemetar guruh yang merambat - kerumunan massa setelah kecelakaan lalin - riang raung ambulans 2/ Seperti seorang pendongeng, beginilah kuceritakan suatu sore di mata jendela; Hujan, yang tempiasnya seperti tangisku, sedang berjalan-jalan ketika tiba-tiba kilat menabraknya. Mereka bergulingan di jalan, sehingga guruh yang melihatnya sangat ketakutan. Segera saja, orang berkerumun. Bahkan sebuah ambulans menawarkan bantuan mengantarkan hujan dan kilat ke rumah sakit terdekat. Ah, semoga kau suka mendengarnya 4/ Seperti aku yang terus menerus menahan keharuan – Ya. Ya, sebenarnya kesedihan – melihat kau terbaring di ruang isolasi dari punggung jendela, tanpa tahu berapa lama lagi kau akan sehat lagi atau mati. 2009

Loro Blonyo

Loro Blonyo 1/ Seperti inikah ramai pesta? Orang-orang melempar tawa dari sela-sela mulut yang sibuk merasakan rendang dan telur pindang Saat pahatan huruf di batu es itu diam-diam mencairkan tubuhnya ke hangat udara 2/ Seperti sepasang pengantin itu, yang di antara bokor dan kembang mayang juga aroma ratus,terus-menerus menyapa tetamu, kami disanding Tapi tak ada sesiapa memberi salam pada kami Hanya tiga fotografer sewaan sesekali mengarahkan kilat lampu di atas hitam kuluk dan legam konde 3/ Maafkanlah kami, Sobat Tetangan kami telah dipahat begitu erat di atas paha hanya bisa menduga suasana, tak bisa menjabat dingin di tanganmu 2009

Foto yang Hilang

Foto yang Hilang Pernah di sebuah langkan, hanya kita berdua memandang ke tubuh sungai, ke rubuh sangsai. Di mana mulut-mulut lumut, seperti serombongan liliput tanpa sepatu; memainkan jejak-jejak sajak yang tak pernah bisa sampai dalam perjalanan melesapkan luka. Ah, iya. Kau potret juga pemandangan itu. Sepotong lahar yang tergesa turun gunung, mengurung pertemuan kita itu. Foto itu memang telah hilang, sisakan kosong di mata pigura bermotif bunga. Persis seperti ranjang tanpa kita. 2009 Note : Ini sebuah permainan arisan kata. Dilakukan dengan www.kampung-puisi.blogspot.com yang menyumbang kata-kata: Ranjang, Pigura, Bunga, Sungai dan Sepatu. Sedangkan saya menyumbangkan: Langkan, Lesap, Lumut, Liliput, danLahar.

Beberapa Eufimisma

Image
Beberapa Eufimisma Zen Di mata telaga, aku hanya bayang ranting kamboja Meditasi Di teduh akasia, pori pori tubuh tumbuhkan luka Tasbih Ada yang terhidu begitu berbeda dari wangi cendana Teratai Telapak tangan-Mu menyulur hingga ke dasar Kolam Yang tak terjawab angin dan daun hanya mulut ikan 2009

Cepol

Cepol Kau himpun sebentuk ketakutanku sedikit lebih tinggi dari tengkuk hingga segala yang kuhidu bagai bau angin laut Tapi - Ah! - sungguh lencir lembut lecut maut itu, tegak sempurna seperti lancip lecup mawar dan hatiku tak pernah lagi bisa tetap tawar! 2009

Gambus

Gambus 1/ Ya, Rebana! Kau gundah yang membahana Telikung tabah telinga hingga pecah batu bisu Ini dendang begitu berantam tak bisa lagi degam ini kuredam 2/ Ya, Rebana! Rentak aku bergerak mengikutiMu Lantak aku punya tubuh dan waktu Aku dipenjarakan ruang bunyi dibuang-jauhkan dari sunyi 3/ Ya, Rebana! Kau yang sontak bangunkan aku dari degup-detak yang kian kuncup, kian redup Hingga pada temali nada aku bayangkan sulur-sulur bunga 2009