Posts

Showing posts from May, 2010

Sajak Sabun Mandi

Kaujatuhkan bacin yang paling tubuh ke licin kulit paling lilin itu. Kupunguti wangi yang begitu merayu di setiap lekuk dan lecur agar ruap setiap bentuk, agar harap segenap kujur. Dan di segar tetesan terakhir, kau menyala dengan api yang paling dingin. 2010

Sajak Sikat Gigi

Bernyanyilah. Biar aku mengatur barisan ini serapatnya. Sedapatnya. Hidup ini seperti bertanya: Apakah benar gusi mengikat kuat geligi, ataukah geraham yang erat mencengkeram? Bernyanyilah, agar hati tetap jenak walau bertemu yang retak dan berkerak. Di depan cermin, ada yang sedang menjadi! Setelah merasa bersih dan wangi. 2010

Lumpur 2

Cangkul! Cangkul! Mengapa Kau luputkan lumpur ini? Sekiranya kau ada di sini, tentu aku tak bergumul sepi. Sekawanan kerbau hanyalah pemikiran-pemikiran masa lampau yang kerap mendongengkan Raksasa dan Timun Mas. Sedang burung-burung kuntul tak membawa kabar bahagia! Lantas dada siapa yang hendak kupukul-pukul selain dadaku sendiri? Sekiranya kau bersamaku, tentu saja setiap sumpah kita bagi. Seperti ketam di rawa-rawa, beriringan kita menuju rimbun kelapa. Tapi bukankah pokok-pokok bakau terlalu jauh dijangkau? Dan di sini, tidak ada tanda-tanda ombak bakal berdebur. Cangkul! Cangkul! Dada siapa lagi yang hendak kaupukul? 2010

Puisiku di Kompas 23 Mei 2010

Ada dua buah puisiku di Kompas Minggu 23 Mei 2010 Litani Sebuah Pagi dan Taman Zen Taman Zen adalah sebuah puisi yang lahir dari obrolan aku dan Sihar Ramses Simatupang tentang hobi terbarunya untuk mengumpulkan tanaman-tanaman khususnya ficus sp. seperti beringin, ara, dan bodhi. Dia bercerita bagaimana suka dukanya mengumpulkan tanaman-tanaman itu, bahkan ada yang dia dapatkan dari reruntuhan gedung tua. Dari ceritanya, aku berjanji untuk membuatkan baginya sebuah puisi. Hasilnya adalah Taman Zen itu. Berikut link dari lembaran puisi di Kompas Minggu tanggal 23 Mei 2010 ini. http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/23/04024382/puisi

Lumpur 1

Katakanlah padaku: "Aku masih menunggu." Yang kutahu, penantian itu tak pernah panjang sabar. Disembur-semburkan sampah sumpah, didebur-deburkan sejumlah gundah. Tapi kaki-kaki kesetiaan tahan benar. Meski lumpur membenamkan mata kaki, meski umur pelan-pelan meminta diri. Jangan katakan: "Aku pun tak mau terlambat!" Waktu seperti pengungsi yang kian emosi; menutup separuh badan jalan, melingkup seluruh pemberitaan dengan penderitaan. Di sini aku kian bertamadun; menguras tubuh sekujur, berkeras pada hal-hal yang terkubur. 2010

Kelambu

Kalau sudah waktumu, tutuplah dengan kelambu. Dan setiap rindu, menunggu di pintu kamarmu. Tidurlah dengan tubuh terbuka, hingga tak ada relung padam sia-sia. Sebelum mimpi menjemputmu, kecup Ibu sungguh jelai madu. Dan mimpi-buruk hanya penunggu pohon bunga. Kau, kupukupu, terhindar jaring labalaba! 2010

Baju

1/ Bayangkan sehunus pedang sedang menembus tubuhmu. 2/ Sekarang, seluruhnya adalah rongga yang terbuka: penuh suara. Berserapah akan segala apa yang bisa disebut, merambah segala sisa yang bisa direnggut. Seperti berlari hampir garis akhir, ada yang meledak-ledak di dada ini. Inilah waktu untuk mengancing, membentuk-padatkan hal-hal tak penting. Dan saat kau sentuh setiap ujung dan rumbai, sebentuk badan terpadu-padan sempurna. 3/ Duduklah tegak dan sedikit sombong, karena selain engkau hanyalah kosong. Tapi dengarkan setiap decak dan bisik, supaya kau tahu : mana yang lecek, mana yang perlu ditisik. Lalu kita kembali menjadi orang-orang baik : orang-orang yang tak pernah saling usil mengusik. 4/ Katamu: "Aku tak pernah belajar memegang pedang." Aku ingin percaya, tapi, potongan ini begitu langsing. Dan tanpamu, aku begitu asing. 2010

Taman Zen

: Sihar 1/ Yang Kau sebut Bodhi itu telah berakar di hati dan rimbun daunnya seperti hari-hari yang tenang, saat kau memandang: ada yang serupa lanskap lembah dan ladang. Seperti tegak karang pada pot datar, di mana akar-akar kecil itu melingkar, memegang, dan mencengkeram ruang kosong yang tak bimbang menjagamu dalam rupa Sang Pertapa. 2/ Tapi, Kau memilih terlahir sebagai pecinta yang tabah. Kau hitung ulang sudut-sudut tak kasat mata: dari antara pucuk, ranting, batang, dan batu karang, juga bidang pot itu. Sebelum kau masuki dunia yang benar-benar sunyi; dunia daun-daun yang ingin meluruhkan diri. 3/ Apa yang Kau pegang sekarang? Selain sebentuk ranting, dan rasa yang begitu ingin tak berhenti untuk memandang: betapa teduh mata bumi, betapa sungguh tangan matahari. Lalu angin; dia yang selalu berbisik; Inilah saat yang jangan pernah sekali-kali kau usik! 4/ Jadilah kesunyian ini abadi, seperti mata yang selalu mengenali. Agar bernama setiap pokok, berwarna setiap batu, dan sejumlah

Bekisar

Sepantasnya, kita lupakan saja waktu, dan mulai percaya: batu mata ini bukan batu biasa - karena ketika waktu menua dan buta - batu ini semakin berat menjerat di dasar rasa curiga pada tunas cahaya. Seperti cahaya perak yang perlahan tumbuh dari timur jauh saat sudah tegak bulu-bulu jingga dan biru di lurus lehermu; Kau tahu? Sulurnya lebih tajam dari suaramu. Tepat mulutmu menyebut nama Sang Pagi, sulur-sulur itu sudah menanti. Menyelipkan barang sebentar sehelai rambut akar di lidahmu. Supaya semakin parau suaramu ( semakin risau aku! ) Aku harus bergegas. Melempar-pantulkan batu mata ini ke dinding masa yang begitu pejal, supaya terdengar suara yang kikuk itu. Suara yang sama sekali bukan suaramu, bukan? Dan kita bersama-sama menghitung : berapa tik, berapa tok, berapa tik-tok lagi yang makin samar, menjadi kokok yang berkobar. Lalu waktu hanyalah jeda: saat mata kita bertemu. 2010

Silet

1. Sekali-kali kuminta: lupakanlah luka! 2. Mulutnya lebih tahu Tuhan daripada mulut para pendosa. Bahkan sebelum kau mengaduh, di mulutnya ada tawa yang membuka pintu-pintu rindu. Ketahuilah, dia lebih tebal dari bantal. Agar di tubuhnya, segala yang banal - sebelum jadi sesal - ditimbunkan dan ditidurkan di tiap jengkal pangkal lehermu. Tapi jangan sekali-kali tertidur! Selembut bisik jembalang, berkali-kali dia akan datang: mengusik ruang-ruang mimpi dengan getar sayap kunang-kunang. Mungkin, kau akan merasa sedikit pusing. Seperti setiap kali aku melihat darah, ada rasa mual dan ingin muntah. Tapi yakinlah: pertama kali kau dipeluknya, itu kali terakhir kau merasa mabuk. Lalu setiap detik adalah kenangan: kumpulan imaji tentang beragam perasaan di saat kau mengada - di saat kau merasa tak ada waktu yang lebih baik dari saat itu. Dan jemarinya akan mengekalkannya, mendekapkan mereka di nadi-nadi yang terbuka, bahkan di setiap sel plasma yang mengalir ke ruang menganga. Berdoalah dal

Reggae di Tepian Martapura

: Toni Q Rastafara 1/ Di sini tak ada pantai, hanya sungai menderas-derukan lagu, tapi langkah kami ringan dan hati kami riang; mendendangkan cintamu. Detak jantung kami seirama laju kelotok itu, menghentak-hentak tubuh sang waktu. Maka kami bersorak, berjingkrak seperti tak peduli, ini malam segera berlalu. 2/ Pun tak ada yang mengenang Venesia tersebab kami bergembira, berkumpul di tepian Martapura. Hanya aku menghitung debit air hujan; isyarat genit dari Tuhan saat mereka memainkan lagu terakhir: "Lagu untukmu," Kata Para penyanyi. Tapi yang hadir di sini, tak lagi peduli. "Ini juga lagu kami," Dan mereka terus menari. 2010

Narapidana

Aku mengenalmu dari segala yang dingin dan diam: lantai semen, terali besi, rantang kosong di sudut ruang. Usiamu; deret turus tak tuntas ditulis di dinding. "Hari esok : antara terlahir kembali atau mati," begitu katamu. Setiap malam, kita bergantian membaca bait-bait sajak Chairil; - Tambah ini menanti jadi mencekik. Memberat-mencekung punda. - Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku. agar pada pagi hari, kita menyair tubuh sendiri, mencari sajak sendiri. Dalam remang cahaya di jendela, aku melihat wajahmu seperti langkah-langkah waktu yang bergegas itu : yang meninggalkanku. 2010