Posts

Showing posts from November, 2011

Nyanyian Di Tepi Sungai

sebelum turun embun dan dingin kabut dari bukit memeluk tangkai bunga lantana sungai seolah baru saja dimandikan dalam hijau gerumbul paku dan bayang-bayang di batu, sebentar lagi, disempurnakan dalam gempuran cahaya matahari dari samping jembatan kayu segerombolan semut mengusung tungkai bangkai belalang dari daun ke daun seperti langkahmu yang lembut ke batas wajah padas setelah hangat yang membuat wajah bunga lebih berwarna daun-daun keladi seakan tak ingin kehilangan titik-titik air dan seekor ikan seolah sontak bergerak oleh riak yang timbul itu di dekat bonjol rumpun pisang tak ada nyanyian lain selain suara kodok dipuaskan musim. 2011

Kata-Kata Kota yang Gusar

Dengan kereta malam, aku memutuskan meninggalkan jejak yang samar pada jam 3 dini hari yang secantik gadis yang belum tergoda memasang behel dan membeli blackberry. Jejak yang hanya bisa dilihat jelas dari jendela kereta - antara rel dan gubuk-gubuk tanpa bentuk. Menanggalkan juga kenangan yang memar dari sebuah kamar kontrakan berukuran 3 x 10 meter persegi di dalam gang yang tidak pernah sepi. Suara pedagang tapai dan sol sepatu, penjaja baterai jam dan remote, juga bunyi duk..duk..duk.. dari pinggang gerobak sate padang yang digebuk kipas bambu adalah degup yang begitu hidup di sepanjang jalan, di sekitarku. Berjaket jins, aku duduk di gerbong, yang besi-besinya mengingatkan seseorang yang muntah karena mabuk di ujung gang persis saat peronda hendak memukulkan tongkat pada tiang listrik. Dan kurasa, seperti mereka, aku bergulat dengan gigih: mempertahankan kesadaran, mengingat waktu tak boleh berlalu tanpa hal-hal yang dingin dan hampa. Tapi lewat dari angka satu, jarum jam di arloj

Kampung yang Sabar

Becek jalanannya jauh dari rengek ranggas pepohonan, sekumpulan burung jalak turun dan minum dari air tergenang. Bohlam lampu jalan bercaping seperti para petani, mereka yang sama-sama disadarkan dan ditidurkan oleh nyala matahari di balik gunung itu. Dan kerbau-kerbau, setiap pagi dan petang, seakan mengingatkan demonstrasi besar-besaran di Jakarta beberapa tahun silam. Menambah beberapa lubang besar di jalanan, dan juga kotoran. Sekumpulan bunga seruni tampak lebih putih dikepung timbun ceceran gabah. Seekor kumbang mendengung keras di kuping dari arah pohon rambutan. Seolah-olah baru saja turun seregu pasukan. Siap berperang. Seorang gembala tergopoh-gopoh berlari. Kaki dan celananya ternoda lumpur setengah kering. Diseretnya seekor anak kerbau yang menolak terlepas dari puting induknya. Ada kabar apa dari ladang? Seseorang bertanya. Sambil menahan tali kekang, Si Gembala menjawab,"Kabut mulai turun." Aku meneguk sisa teh rosela di cangkir, menekuk tubuh di dalam sarung, s

Menunggumu di Bawah Papan Iklan Panti Pijat

Menunggumu, menghadirkan kata: setia dengan warna-warna cerlang seperti cahaya neon yang mengerti benar - kesederhanaan sebuah jarak. Bahwa malam dan waktu menjauh dari tepian sepi. Dan seorang diri adalah pemahaman akan kemerdekaan - atas rasa saling memiliki. Jika nanti kau tiba, belum tentu aku akan menyapa lebih dulu. Sebab ada yang telah jadi sejarah - debu pecah dalam erang: Jakarta!

Komentar Tentang Calon Buku Puisi

Saya sedang beritikad untuk menelurkan sebuah buku puisi akhir tahun ini. Konsepnya sederhana: mengumpulkan sajak-sajak yang sudah pernah dimuat di media massa, dan beberapa sajak yang menurut saya, sayang sekali jika tidak mendapat perhatian luas. Secara umum, konsep dari buku puisi ini adalah bagaimana saya membuat variasi dari pengucapan saya terhadap persoalan hidup. Ada yang komikal (seperti Sajak-sajak tentang Pacar), ada yang saya angkat dengan bahasa-bahasa Alkitabiah (Tiga Versi Berbeda dari Nyanyi Ratapan) , dan ada juga puisi-puisi yang metaforik, seperti kebanyakan puisi. Buku puisi ini saya beri tema besar (yang kemudian menjadi judul) yaitu Gelembung. Kenapa "gelembung"? Karena menurut beberapa orang yang saya jumpai, yang tak jarang adalah bukan penggiat sastra, tetapi menyukai sastra, puisi-puisi saat ini sudah sangat banyak dibuat orang, tetapi sedikit sekali yang benar-benar membekas. Lewat buku ini, setidaknya saya ingin membuat semacam bekas, minimal "

Kucing Hitam

Image
Kucing itu lewat di depan rumah saat bulan tidak lebih megah daripada wajah tokoh pada sebuah baliho Dia berbulu hitam seperti malam yang sibuk menyibak gemawan dari riuh gemintang Di dekat pagar, dia mencakar-cakar sesuatu yang mirip tubuhku. Ada yang berdarah. Semacam luka menyemburkan kata-kata. Persis sumpah. Kali ini, aku seperti mewakilinya berdoa, "Berikanlah dia pada hari ini makanannya yang secukupnya, Tuan." 2011

Dongeng yang Bermukim di Matanya

1. Malam mengantuk sejak kita duduk di beranda. Udara semakin mirip poster pilkada. Kau mengangsurkan teh jahe, tapi ada semacam sisa kristal gula pada bibirmu. 2. Aku tak lagi merokok. Namun, percakapan seakan asap yang terhambur dari luka jendela yang tiba-tiba menawarkan rencana liburan - berdua saja Lantas kurasakan ada yang lepas seumpama deras desir angin pantai dengan warna daun kelapa - padahal tinta malam masih pekat, masih melekat di matanya. 3. Kita merapatkan badan dalam sebuah genggaman tangan. Berharap pada suatu pantai, di suatu pagi, kita lah mereka yang tersisa dari kapal yang karam. Tapi kita tak lagi bebas, seperti sisa panas yang tumpas dari secangkir teh jahe itu. Amboi! Kusaksikan ada sebuah dongeng tentang pulau yang menghimbau sepasang petualang untuk terdampar dan bermukim di matanya. 2011

Di Pantai Parangkusumo

Ini kali, biarlah Batu Cinta jadi saksi doa-doa kita tadi, sementara angin berlari di antara topi pandan lebar dan rambutmu yang berkibar Apa lagi yang dapat ditawarkan oleh para penjual kembang? saat wangi dupa dan kemenyan bercampur harum pantai yang tergerai di sepanjang cakrawala Dulu di Puri Cepuri, telah berjanji sepasang kekasih hingga kita menabur bunga dan air sekendi Dan di pantai, di atas kereta kuda, kita seolah pelukis - menarik garis dari timur ke barat, ketika usai upacara labuhan. 2011

Orang Gila di Seberang Jalan

Dia menatapku. Tidak. Dia menjangkauku. Kata-kata berterbangan dari matanya. Juga dari kumisnya, rambutnya, dan daki di sekujur badannya. Dia mencariku. Pasti. Meneroka setiap liang luka yang aku punya. Dan kata-kata seakan kupu-kupu mencumbu bunga. Berkeriapan di rambutku, kumisku, dan pada daki di seluruh badanku. Dia di seberang jalan. Aku di simpang bimbang. Sementara lalu lalang sepeda motor, taksi, metromini, dan mobil pribadi, di pagi ini menemu arti. 2011