Posts

Showing posts from July, 2012

Ayah Senja

: Hasan Aspahani 1/ Aku dan Ibu sedang berleha di beranda, saat Ayah Senja datang tiba-tiba. Kukira, dia datang di hari petang, Ibu bilang, "Ini sudah ambang malam." Dan - tadi - dari jauh kudengar dia mengaduh, tapi kata Ibu,  "Itu suara langkahnya yang gaduh." Aku dan Ibu bersilang pendapat dan berharap Ayah Senja segera sampai untuk melerai. 2/ Di kejauhan, rambut Ayah Senja mirip langit hampir hujan, dan wajahnya serupa daun yang gugur. K ali ini Ibu  dan aku sepemikiran:  Ayah Senja sudah sangat kelelahan . Aku bergegas hendak ke dapur, menyiapkan secangkir kopi untuk Ayah Senja, tapi sebelum melangkah, Ibu memberi titah, "Tolong ambilkan sapu, Nak!" Ketika aku kembali ke beranda, Ayah Senja sudah tidak ada. Hanya ada dua butir airmata - yang tampak sangat bahagia - duduk dan tunduk di pipi Ibu. "Kemana gerangan dia, Ibu?" Ibu tak segera berkata, hanya tangannya memungut dua butir airmata yang hampir jatuh dari

Lekaslah, Bergegaslah

1. Hidup bukanlah menanti, seperti sepi yang jatuh di kening malam, lalu tersapu angin di emper pertokoan. Hidup bukanlah pilihan, uang receh sisa pembeli rokok atau sisa siaran iklan di televisi yang menampakkan beragam tokoh atau pemandangan kota-kota belaka. Hidup juga bukan lampu di perempatan, kau berhitung sejumlah angka berwarna merah atau hijau, juga suara kendaraan yang melintasiku. Di mataku, kau adalah nyanyian, di mulutku, kau adalah sesuatu yang diam, tetapi tidak begitu diam. Melainkan bergerak nyaris seperti isak. Nyaris seperti bunyi orang terdahak. Nyaris seperti pagi yang tiba-tiba menyadarkan tugu dan sejumlah bel di pintu. Lalu alamat-alamat begitu lamat terekam di dalam benak. 2. Kematian itu seperti seorang Tuan, yang menunggumu, menungguku di sebuah sepi yang angkuh. Bisa di suatu malam, bisa di suatu emper yang dingin. Kematian itu kepastian, bukan? Seperti sisa uang di dalam kantong, atau listrik yang terbuang ketika televi

Sajak Mekar Bunga

Serupa cahaya jingga temaram bidadari bersayap pelangi dan embun melayang turun pada batas pucuk dan kuncup yang terkelupas Begitulah dia mekarkan mahkota di antara rumpun hijau semata Adakah yang bisa lupa padanya? tersebab dia seperti tengah menyala Jika dia semenjana begitu, bagaimana aku bisa terpesona? hanya warna berbeda dari sekitarnya. Jika sosoknya sederhana begitu, sudah tentu aku harus menghamba sebab tak meninggi dia, jika aku pun tiada 2012

Undangan Perkawinan

: Untuk Rozi dan Ratih Aku mengagumi kebahagiaan rangkaian melati. Mereka begitu pucat pada kain batik cokelat. Mereka mau mengeluh apa? Yang ada hanya tawa dan aneka minuman aneka rasa. Orang-orang sibuk memasukkan tubuh ke dalam kamera. Dan sepasang manusia yang berdiri berdampingan itu bukanlah kita. Aku mengagumi tangis yang hilang tanpa pesan "Selamat Datang" dan memutuskan berdiam lama pada hidupnya yang baru. Hidup tanpa warna karat di pucuk kuntum melati. Aku menangisi merah mawar yang terlalu tabah jadi hiasan. Karena dia dipisahkan oleh waktu yang memanjang dari lengkung daun yang pias. Berkali-kali kudengar ucapan bersabar pada setiap lembar kelopak mawar yang limbung oleh sepasang kipas. Mungkin dari dua pasang orang tua yang berdiri berseberangan itu, yang mengajakku bersalaman. Mereka mengajar beberapa nama. Seperti dulu Adam mengucapkan ulang nama-nama binatang dan tanaman kepada Hawa. Agar Hawa mengajarkan juga kepada anak-anaknya kelak, betapa s

Rumah Kopi

Rahasia dari bibir kita sederhana:  Aku menyeret waktu yang beku, mirip kabar sendu  dari jendela lebar, dari beranda penuh kursi dan dari tiap daun meja. Sedang  Kau menyaru dalam bau  yang kuhidu dari asap tipis rindu  di bibir cangkir. Dan mata kita diam-diam mulai menyimpan rahasia yang lain: Hangat tubuh Mu menghitam dan sedikit berbuih, seperti pada sebuah pantai aku menemu bangkai ketam. Sementara sebentar-sebentar ada kalut yang mengarah ke laut, jauh dari aku dan sebuah sesal yang dipintal oleh kata-kata. Aku bukan musafir, hanya perut petualang yang tak lapar benar. Helai roti berjelai nanas, bukan sesuatu yang pantas untuk dihidangkan.Sebab - sudah dikabarkan sebelumnya - manusia bisa dipuaskan hanya dengan firman. Maka rahasia-rahasia hanyalah percakapan biasa di tubuh waktu. Diam-diam, di meja seberang ada yang mencuri tawa kita. Menyembunyikannya pada pekat malam, pada dada laut dalam,  dan juga pada bangkai ketam.  Lalu, apakah sesal? Dingin merapat

Potret

: Zabidi Kau berjalan, melintasi waktu, tak dibatasi dinding ruang itu (ada yang seolah-olah lekang, tapi kusentuh - ada yang membekas di situ!) Jejakmu bayang-bayang panjang, tak terekam mata kenangan yang terus memburu arah cahaya (sebab berkali-kali ada yang meraung, tapi kau tetap tegar bermenung) Dalam bingkai warna kayu yang pudar, sesuatu tampak lebih samar dari apa yang disebut dengan benar (mungkin itulah sebabnya, kita terpaksa mengingatnya dengan kerut di jidat menua). Hanya mataku ini, bisa terpaku pada sebuah tanda: suatu ketika kita pernah bersama dan berbagi kata-kata. Ah! Aku mengenang jalan itu. Jalan di mana  kau berlalu saat matahari  lingsir,  dan kita mencoba mangkir dari  apa yang sama-sama kita sebut  sebagai hidup. Sejak itu, selalu ada yang berjalan menjejakkan langkah dalam sebuah potret masa lalu. 2012

Mimpi Semalam

Mimpi Semalam : Kedung Darma Romansha Ada yang berkemas pada cemas masa lalu. Ringkas memang; persis berkas cahaya lampu di sisi ranjang; tipis dan panjang. Lalu seolah ada yang mengingatkan, semacam dering panjang weker yang kerap kaukutuki "Sialan!" Itu membuatmu jadi sering bertanya tentang hal-hal yang semestinya tak perlu kau ucapkan pada cermin panjang di dinding. Lehermu berkeringat, seperti halaman sehabis hujan, di mana kita pernah duduk di suatu beranda dan bercakap tentang mimpi semalam yang samar seperti anyir darah, tetapi tak bisa sabar, layaknya tunggakan yang belum bisa dibayar. Aku menduga kau dilanda gelisah, seperti juga aku yang mencoba tabah mendengar segala macam serupa ramalan yang diam-diam jadi saksi percakapan kita sebelum tertidur. 2012