Posts

Showing posts from August, 2015

Potret Diri

1. Berkali-kali aku memandang ke masa depan, seperti menantang perang pada seluruh pasukan dari kenangan masa lalu. Hadapi aku! Jangan menggerutu begitu. 2. Kau selalu mempersoalkan kertas usang dan berdebu. Membualkan kejayaan kadal raksasa dan benalu yang menginvasi planet berwarna jingga. Seolah bintang merah itu telah supernova. 3. Ada guratan seperti angka. Retak keramik tua dan pigura penuh tanda. Seperti kesepian jadi kesiapan yang dibubarkan paksa pagi tadi. Tak ada yang dipenjara, padahal, tapi tak ada juga yang dibebaskan dari pandanganmu. Di situ hanya ada aku -- pendakwa sekaligus terdakwa -- dalam kehidupan semu. Telah didakwahkan fatwa-fatwa bagus supaya aku berjalan lurus, atau setidaknya, memasang postur seperti Santo Petrus -- dalam lukisan Guercino -- yang menangis di depan Maria. 4. Garis-garis tajam kebiruan telah lebih dulu menjadi perangkap atas apa yang seharusnya kau tatap dan diresapkan dari larik

Kubiarkan Waktu

Dia memeluk kelelahannya sendiri, seperti menekuk kedua lengannya seusai menaklukkan dunia. Tak berpikir bahwa ada yang salah dari orang-orang saleh, yaitu mereka yang merasa selesai sebelum di sebelah mereka melesatkan sesal dan pada sebelas atau dua belas abad kemudian mulai saling menyalahkan dengan menyembelih mereka yang lelah oleh hukum kekekalan kekalahan. Kubiarkan waktu mendaur kembali kelahiran anak-anaknya, yang jika sampai cukup umur mereka akan bisa membedakan -- apakah pelukan ini bisa menyadarkan diri sendiri? 2015

Potret Penyair Sebagai Ikarus

Aku mesti bersiap pada sebuah kejatuhan, seperti halnya aku terkesiap bila mendengar hal-hal yang remeh selalu dikaitkan dengan Tuhan. Sajak-sajakku bukanlah sayap, juga bukan yang dingin dan senyap. Ada angin menyentuh cuping hidungmu, sebening sebuah kidung itu. Kidung yang kudengar sebelum meluncur dari atas bukit jauh. Semacam pelipur untuk hati yang hancur dan sakit tanpa sembuh. Dengan sajak-sajakku, kutiti anak tangga kehidupan. Bukan ke arah matahari tua, juga bukan pada bulan yang sinarnya rapuh pada sebuah telaga. Aku memang merindukan yang tenang dan hijau seperti padang -- di mana rusa dan ternak berhenti sejenak. Untuk bisa menekuri seluruh peristiwa di masa lalu, dan mensyukuri tubuh yang kian renta di sulur waktu. Sulur yang tak henti menopang harapan dan memanjangkan doa sampai pada tepian kubur. 2015

Janjikan Cahaya Untukku

Jika aku berjalan terus, bisa kutemukan cahaya makin tirus. Bulan pasi buatan, dan gunung pasti menghilang. Pada suatu puncak, aku jadi sajak. Gelap parau dan sepi merinding sendiri. Kini aku berdiri. Tak hendak pergi. Sebab di situ tak kutemukan puncak yang pasti. Tak juga sebatang yang bisa kusebut abadi. Janjikan cahaya untukku, lewat suara atau tanda-tanda. Yang selain hitam dan biru, yang selain bau abu-abu masa lalu. Dengan cahaya, aku semakin buta akan masa-masa di depanku. Sebab iman adalah pengetahuan tanpa harus tahu segalanya. Dan hidup, perjalanan sembab airmata dan sungai yang terus berarus ke dalam diriku sendiri. 2015

Yang Tenggelam ke Kelam Terjauh

Yang tenggelam ke kelam terjauh hanya rindu pada wajahmu. Maka kugapai-gapai lagi serangkai lenguh dan air mata dari seluruh lara. Kucari dari cahaya gemintang sejak langit subuh. Kucari dari suara yang berkelindan sampai yang serak itu. Kutelusuri dari yang gambaran nyata, abstrak, dan absurd. Dan jika tak sampai juga padamu, kulangkahkan raga ini sampai titik yang sejati. Meski di badan badai, aku hanya suara yang menderu jeri. Menyeru-nyeru namamu. 2015

Jika yang Kelak Mekar Kematian

Jika yang kelak mekar kematian, aku tak kuasa menolak sedemikian keras. Seolah menggugurkan gunungan masa lalu dan masa depan bersamaan. Jika yang kelak mekar kematian, lebih baik aku menunggu penuh kepastian. Seperti Harun menyilakan mereka yang kerasukan dan beribadah pada patung sapi keemasan. Sementara Musa belum lagi turun dari Tursina, dan perintah Tuhan hanya dua buah lempeng batu bertulisan. Jika yang kelak mekar kematian, aku jadi Ayub yang duduk di atas abu perapian. Aku juga Yunus di mulut ikan. Di mulutku sendiri, doa-doa mengalir tanpa pengharapan. Di rambut dan janggutku berkat-berkat dari Tuhan seolah terabaikan. 2015

Berikan Padaku Hak Mencintaimu

Berikan padaku hak mencintaimu seperti ombak menjatuhkan diri berulangkali di pantai itu. Dia tak pernah peduli ada karang, tonggak dermaga, atau tiang-tiang penyangga pulau buatan. Dia juga tak perlu bertanya, mengapa ini malam, tak ada sesiapa selain seekor ular koral meluncur di kegelapan. Dia tak pernah menggerutu, betapa berat hidup yang seperti Sisiphus itu. Dia akan terus bernyanyi. Melebihi tinggi pohon waru dan cemara udang menjulangi cakrawala. Sampai kau yang jauh merasa: ada yang ingin kau berikan kepada kenangan selain kehampaan sebuah perjalanan. 2015

Simpan Baik Baik

Simpan baik-baik kenangan, jangan sampai hilang. Yang baik ditaruh di depan, yang buruk di belakang. Jangan lupa beri tanda kurung atau centrang. Supaya kita bisa memahaminya tanpa murung atau terlalu senang. Simpan baik-baik kenangan, jangan mentang-mentang punya banyak harapan untuk masa mendatang. Kenangan itu mirip seorang gelandang. Mahir menyerang dan mampu bertahan. Hidup tak sekadar menendang bola ke arah gawang. Hidup juga mengumpan dan mengecoh lawan. Harapan kadang hanya suara-suara dari tribun penonton. Setelah peluit wasit berbunyi, harapan pun berubah diri menjadi kenangan bagimu. Dan bagiku. 2015