Posts

Showing posts from September, 2016

Ia Menggambar Bunga

Ia menggambar bunga dari cerita dan cahaya -- yang berpendar di rumah-rumah itu, semacam percik pertengkaran dan gerutu. Ia menggambar bunga dengan kelopak rekah, daun nyaris layu, juga warna sesayu perjalanan melupakan: nama mantan, lembut & liar kecupan, tempat biliar, kafe, jembatan, juga cuaca. Ia menggambar bunga, lalu meninggalkannya tepat di saat kau merasa begitu berat sekuntum kesedihan mekar dan memperkarakan sejumlah peristiwa yang baru terjadi. 2016

Interpretasi dari Klip-video House of Cards

Suatu saat, kau hanya bit-bit data dan suara. Sementara ia kerlip warna, pengindera belaka. Suatu masa, pohon di depan rumahmu tak beda dengan suara burung dan runtuhnya gedung. Sebuah tangis sekian desibel dan percakapan murung -- Inikah kutuk yang harus ditanggung? Kau bisa saja berjalan, menaiki mobil, atau mengintip hasil rekaman drone -- kota masih cetakan kata, retakan wacana, dan perekatan semacam cerita. Tak ada perubahan pada semesta. Tak ada perubahan sebagaimana mestinya. Kau berharap rindu tak bisa ditampung kabel data, lebar pita atau cakram optik. Ia lebih baik berupa -- warna penuh kedalaman gaya barok, lencir garis renaisans, atau rangka lebar ala gotik. Kau meratap; sebuah rumah harusnya tetap sebuah rumah. Di mana ada peran tak tergantikan dan percakapan yang memerikan: di masa lalu, ada semacam perkumpulan rahasia. Orang-orang bergantian membagikan sedih dan kelu. Membahagiakan liyan -- di luar kau dan aku. 2016

Variasi Lain dari Daydreaming

Ia berjalan cepat. Membuka pintu & sekat: Rumah sakit, dapur, penatu, toko busana, tempat parkir, kolom dan balkon semenjana. Dilarung ia oleh cahaya pekat. Yang memancar- memadat melalui beragam interval tanpa istirahat. Karenanya, ia terlihat lelah. Terlihat seperti orang habis madat. Ia berjalan cepat ke arah pantai dan puncak gunung. Menuruni dan mendaki beragam peristiwa yang disusun bagai anak tangga. Tak gontai, juga tak santai, ia berjalan. Menyuruk dalam sebentuk ceruk -- mimpi yang menyala dan menjilati kedua bola matanya. Tiba-tiba ia merasa begitu mengantuk. Seperti seluruh tenaganya habis dikeruk. 2016

Doaku

Doaku dulu bulu ringan burung angan, sayap asap nyeri sepi. Membubung, melangit. Mengujung kursi arsyi. Aku berjalan berat ke barat. Berjalan dari ibadat ke ibadat. Tualang aku antara daging dan tulang. Doaku rintih rantau. Rasa terbilang meraba yang terhilang. Aku memandang raut timur, dan wajah-wajah yang diijabah. Merasa sayang pada segala yang direnggut, merasakan malang jika ada yang tercabut. Tapi -- doaku kini kupukupu mati pagi, sisa kopi malam tadi, dan sebuah puisi yang ia tuliskan begini; Tak diikat temali, hati ini bertaut erat, seperti syahadat. Tak hanya di bumi, sampai nanti di Jannatul Adn, kau bagiku: Ya & Amin. 2016

Mencintai Audry

1/ Di Jatiluwih, mereka masih percaya -- suatu ketika ada naga yang menangis melihat Jawa yang kecil. "Sungguh, Dewata tak adil! Pulau sekecil ini disesaki selusin gunung. Bagaimana rakyatnya bisa bahagia?" Lalu airmata yang jatuh, tumbuh jadi Dewi Sri. Ibu bulir padi. Ia tak pernah percaya adanya naga, tapi ia terlalu percaya -- di luar hal-hal yang biasa didengar, bisa dijadikan dasar, cinta bisa dimulai dari cerita yang ganjil. 2/ Setiap malam, ada suara yang berjalan. Suara yang begitu mirip logam digesekkan -- pelan, kencang. Ia masih terjaga ketika suara itu mengada. Ia mengira -- di luar dirinya dunia dibentuk dari serentang pagar. Dan seseorang ingin masuk -- tapi tak menemu pintu. Padahal ia merasa sangat kesepian. Padahal ia memang butuh teman. Setiap malam, ia mengikuti suara itu. Berjalan mencari pintu pagar. Agar dirinya tak jemu. Agar dua dunia yang sepi itu bisa bertemu. 3/ Ia mengira dirinya seluasan sawah. Dengan bulir padi

Mendengarkan Nasida Ria

Tak seperti rindu pada suara laut dan siluet di depan matahari yang hendak terbenam; sore masih redam, dan benang-benang hujan berubah jadi pertanyaan -- maukah engkau berjalan bersamaku? Ia bagai bocah dengan keranjang berisi lima roti dan dua ikan melangkah tanpa ragu pada Si Pengkotbah. Jalanan adalah suara-suara yang disatukan, dan dipantulkan -- Amin. Aman. Makin. Makan. Santer. Santri. Ia berjalan sambil mencari: doa yang kerap alpa, diri yang makin abai pada apa yang seharusnya dan tak seharusnya dia makan, suara-suara yang kerap dan makin akrab mengajaknya kembali membuka kitab suci. Ini jelas tak seperti rindu pada suara laut dan siluet itu. Diri makin peram, dan benang-benang hujan berubah jadi pertanyaan yang kian panjang -- masih mampukah engkau berjalan bersamaku? 2016

Dico Autem Vobis

Tak ada semesta, hanya -- ranting matahari menyangga denyut sunya sedemikian rupa. Ia ringkih semata. Kalau kau mencari, ia bulir bening di dalam pasu. Sebentar bergulir dan bersuara nyaring. Seperti waktu. Di sana tak ada rindu. Ia pintu di mana kau masuk dan lalu. Mesin bagi para pemabuk dan perayu. Baiklah, kukatakan begini padamu: Ini antara kau dan aku -- tak ada guna batu. Yang berpusat di dadamu itu. Angin di sekeliling telah bergerak jadi limbubu. Kini aku terserak. Aku berserah -- antara hendak jatuh atau lebih dulu mengaduh. 2016

Anno Quaestiones

Kebencian ini pelan-pelan ditanam sejak tahun sembilan puluh sembilan (Ia tak pernah menyadari, tersesat bahkan) -- antara lirik Ágætis Byrjun dan larik-larik Selected Poem-nya Günter Grass. Ia bisa bermula dari tangis yang menyeberang Sungai Tigris, membahana hingga ke Perancis, dan belum akan kalis. Ia seperti pertanyaan, butuh jawaban setiap orang -- sampai kapan? Lalu hidup tumbuh jadi kesempatan antara mengungsi, mati, atau kesia-siaan. Dan pertanyaan ini tak kunjung berhenti dari tahun sembilan puluh sembilan (sampai sekarang, ia masih memikirkan) -- apa yang disebut Ágætis Byrjun dan kebahagiaan seperti dalam puisi Günter Grass. 2016

Wirangrong

Ia tulus buat janji, sebulat jeruk pomelo. Setiap ada duka menyentuh, ia buka hati – Bersantaplah di sana. Sesap-habiskan manisnya! 2016

Jurudemung

Tanpa jengah, ia menggaya. Membawa sejumlah lagu. Dibuatlah langkah lucu, seturut ketuk irama. Juga gerak tangan itu, seperti memutar cakra   – ‘ngiris waktu. Sang Benalu. 2016

Girisa

Ia tumbuh bagai pandita, tumbuh terangkum sempurna. Nyaris disangkakan gita, oleh delapan lariknya. Ia memberimu cinta di gunung juga samudra. Ia – raksasa, ksatria, juga bukan keduanya. 2016