Rekuiem #2

Punggungmu tak lagi bisa kukenali. Seperti tangan
menengadah, kau hanya menampakkan wajah
- tapi bukan memandangku, hanya pada awan
seakan ke sana lah engkau akan melangkah.

Kau tak tersenyum, kali ini. Bibirmu membeku,
seakan percakapan ini sudah seharusnya berhenti.
Namun tangisan jadi bahasa yang paling jitu,
di saat segala kata tak lagi berarti (Ah, seharusnya kau mengerti!)

Hanya sunyi berulangkali lahir dan mati,
sebagai penepuk-nepuk punggung yang lelah,
sebagai penyeka airmata di kedua pipi,
atau sekedar merapikan raut wajah.

2010

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung