Puisiku di Kompas, 24/10/10

Dedy Tri Riyadi
Tiga Versi Nyanyi Ratapan

Yesaya Meratapi Kebun Anggur

Kebun Anggurku, Kekasihku, Buah-buah Harapan
yang Manis dan Sempurna, akan kutinggalkan Kau
merana dan gersang, diliput semak duri, rumput,
dan puteri malu.

Kebun Anggurku, Kekasihku, Buah-buah Masam
yang Kucampakkan ke luar pagar, telah kunantikan
Kau dalam geram dan kecemasan, di menara jaga,
di atas tembok, di lereng bukit subur.

Lihatlah, pagar duri telah runtuh,
awan hujan pun jauh,
dan pokok-pokok itu tak lagi beranting,
tak juga bersiang setiap carang.

Berteman angin kering,
aku setia menggemariMu,
mengitariMu, Kebun Anggurku.


Yeremia Meratapi Dua Kota

Puteriku, Anak-anak Luka yang tak kunjung sembuh,
yang kepadaMu airmataku tercurah siang dan malam,
janganlah kecewa!

Bukankah mereka tak berbeda dengan patung-patung
sesembahan yang ada? Saling asing dan tak berbuat
apa-apa sepanjang musim, selain bergunjing:
“Ini luka siapa? Begitu ngangga dan berdarah sia-sia.
Tak ada balsam dan tabib di sini.”

Puteriku, Bau busuk jasad yang menguar,
yang ingin kutinggalkan namun tak bisa,
bertahanlah!

Lidah-lidah mereka lihai berdusta,
memanah dada sendiri dengan janji setia:
“Ini kota-kota kami yang suci.
Tak ada yang busuk di sini.
Dan Tuhan adalah Raja kami.”

Menangislah Puteriku,
menangislah sekeras suara ternak yang berlari,
sepilu sisa-sisa senyap dari puing-puing kotaku,
biarlah serigala-serigala itu datang,

dan segala gunung termenung,
dan segala padang terdiam,
dan kota-kota ini terhalang
dari segala rancangan di mata mereka.


Yehezkiel Meratapi Sang Faraoh

Gelisahlah Kau, Rajaku, Binatang ganas
yang telah memangsa tubuhku, yang kepadaMu
sebuah jaring telah kukembangkan.

Di dalam pukat, tubuhMu bukan lagi
milikMu sendiri. Lumpur laut dan sungai
begitu lekat, begitu pekat. Sebagai rakyat,
aku tak akan dapat mengenaliMu lagi.

Menggigillah Kau, Penguasaku,
Kepak burung yang bergemuruh
di langitku, yang di tubuhMu hinggap
segala keluhan.

Seperti gemintang, tubuhMu akan dibilang,
agar dicukupkan lapar kami; para binatang,
dan sampai waktunya, tak dapat lagi
Kau pandang langit dan bulan.

PedangMu, Tuan, kepunahan bangsaMu,
yang tertanam dalam kubur para Raja
dan Pahlawan. Dari Asyur, Elam, Mesekh,
dan Tubal. Yang Kautusukkan bersama
tubuhMu sendiri. Sedalam-dalamnya.

Dan aku pun terbaring di sini, Rajaku,
dalam ketakutan yang begitu hidup,
dalam kekalutan yang tak ingin redup.

Bersama mereka yang mati muda,
dalam patahan pucuk piramida.

2010


Versi kompas cetaknya dapat dilihat di : http://cetak.kompas.com/read/2010/10/24/04285995/puisi

(perlu login)

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung