Aku telah menyebutnya: Kesedihan. Segumpal beban di dalam dada, berulangkali kurenggut, ia makin menyusup. Meski sudah di tangan, tak bisa kulemparkan. Sekalinya terlempar, ia mendarat lagi di tengkuk dan di punggung, lalu masuk sekali lagi ke dalam dada. Aku ingin menyebutnya: Cinta. Selekat apapun ia, bisa lepas begitu saja dari saku celana. Meski kukepal tangan, kusuruk-surukkan, ia malah terlempar ke luar, lalu jatuh begitu saja di jalanan. Namun, saat kulupakan, ia datang kembali. Begitu berulangkali. Kau mudah menyebutnya sebagai: Kutukan. Benda tanpa wujud dan padaku ia dijatuhkan, dilekatkan. Yang membuatku seakan diletakkan sebagai obyek penderita dalam kalimat majemuk bertingkat yang menjemukan untuk dibicarakan. Dan karenanya, kau berusaha menghindari diri dari percakapan semacam ini. Seolah ingin aku temukan dirimu hanya pada satu kesempatan dalam waktu yang begitu sempit ini. Hidupku. 2018