Posts

Showing posts from 2007

Ibu di depan Pintu

Tubuhmu, Ibu. Terbungkus selimut salju. Di antara gundah angin musim dan rumah yang tak lagi ramah, kau meringkuk di situ. Mengetuk pintu tubuhku, berharap untuk masuk, lalu meneguk coklat hangatku. 2007 Selamat Natal & Selamat Tahun Baru 2008

Pesan Senja

Sebelum tersungkur dihajar waktu, senja tua berujar pada setangkai rindu; Suburlah, meninggi dan membesar. Agar nanti ketika aku kembali, bisa kugantungkan segala kesedihan pagi. 2007

Kuhabiskan Pulsa Telepon Genggam Demi Pulasnya Mimpi Kenangan

O, Kekasihku, pergilah ke Jakarta atau ke tempat paling jauh dari jangkauan mataku. Lalu berdiamlah di ujung kabel telepon. (“ Meneleponlah Kekasih! ”, M. Aan Mansyur) Kenangan, entah bagaimana caranya, terbangun dari tidurnya. Mengetuk kepala saya yang setengah mengantuk dan meracau di telinga seperti siaran radio yang dikacaukan hujan. Dari balik larik-larik puisi, mata saya melirik padanya. Aku ingin pergi, atau setidaknya, keluar dari sini! Saya tahu, bahkan sangat tahu, kenangan itu yatim piatu. Bahkan tak seperti sepatu, yang tiba-tiba tanpa diminta, lahir kembar. Melihat saya cuma manggut-manggut, wajahnya makin cemberut. Sepertinya, keinginannya sudah tak tertahan lagi. Tapi bagaimana caranya dia bisa pergi? Saya sodorkan telepon genggam, barangkali ada sanak saudaranya yang ingin dihubungi. Sambil tetap cemberut, telepon genggam itu dia rebut dari tanganku. Berapa sisa pulsamu? Aku ingin mendengar suara kekasihku yan

Aku Makin Mencintaimu

Aku makin mencintaimu dan akan terus semakin mencintaimu. Aku nelayan, selalu mengarungi lautan, menjala ikan, menombak todak. Pada pertemuan arus dingin dan panas, tangan-tanganku makin ganas, kulawan segala deras ombak, dengan ingin yang selalu hendak meledak. Atau, akan kutuliskan sebuah sajak seperti ini: Seusai jangkar dilempar dan tergulung kain layar, selesaikah perahu bersandar? Ada yang datang dari pengap kamar, seperti riuh camar. Hingar di antara debur ombak, gemetarkan insang ikan, sebagaimana gentarkan langkahku pulang. Mungkin kau anggap betapa klise ungkapan yang kugunakan dalam sajak itu. Tapi sajak itu, hanya sedikit lebih panjang dari pertanyaan yang sudah demikian lama kupendam; “Bagaimanakah kau mencintaiku?” Dan aku selalu berharap dari lembab bibirmu akan terucap jawab seperti ini; a. Aku mencintaimu seperti hujan, tercurah bagi harapan petani pada tunas-tunas hehijauan. Agar dapat kau segarkan segala kepahitan dan ke

Mengapa Kau Mengada di Mana-mana

Pada es krim Baskin-Robbins kutemukan likat manis ciuman. Sejak itu aku begitu yakin, kau tak pernah bisa kulupakan. Apakah sisa dingin di bibir ini membuat aku mengingatmu? Irama Dance Dance Revolution hentakkan segala kenangan tentangmu. Hei, ada gambar bergerak slow motion dalam kepalaku : bagaimana kauucap kata cinta dan rindu. Aku, entah kenapa, selalu menganggapmu gerakan bibirmu itu lucu. Bahkan kuanggap ucapan seperti itu sangat tak perlu. Kini, rasanya sudah cukup jauh aku kembara, jejalkan diri dalam mesin pembunuh waktu : Time Crisis & Daytona. Tapi di sana, kau menjelma sesosok monster bengis bermobil merah nyala. Begitulah, cintamu selalu saja menemukan bermacam cara untuk mengalahkanku. Di mana saja. 2007

Sajak Dino F. Umahuk

Bila Memang Ada Cinta : Dedy Aku memintal gelombang jadi ganggang biru muda. Perempuan bernama sepi memintal kata Dari jemarinya berhamburan lusinan puisi Selendang warna ungu itu harus kau curi Bila memang ada cinta ”Ini rahasia katanya ” Ketika angin datang dari buritan Tancapkan segera sebagai layar Biar aku menyusulmu ke atas kapal Kita melaju ”Bisiknya pada mimpi tekahir sebelum purnama mendekat” Banda Aceh, 6 Desember 2007

[IsengAsyik] Mencoba Menggambar Ruang Puisi

Stimulan, bagi penulis puisi pemula seperti saya, ibarat permen rasa sarsaparilla yang melonjak-lonjak di rongga mulut. Biasanya pada lonjakan pertama, penulis puisi pemula langsung merasa bisa untuk menjadikannya sebagai puisi. Demikian lonjakan-lonjakan berikutnya, dan hasilnya akan ada banyak puisi tercipta. Untuk penulis yang sudah mempunyai wawasan yang sangat luas, hal ini tidak mengapa karena dia sudah pasti punya banyak pengalaman dan kenangan pada sebuah kata yang memicu puisi itu tercipta. Namun untuk penulis yang baru mengenal puisi, hal ini mengkuatirkan karena puisi-puisi yang tercipta dari tangannya masih akan terasa sebagai permen rasa sarsaparilla tadi. Stimulan puisi pada dasarnya mempunyai dua sisi, di mana sisi pertama menunjuk kepada produktivitas kekaryaan, dan sisi kedua berkaitan dengan daya kreasi si penulisnya. Sekarang dengan kemudahan teknologi ada banyak puisi tercipta setiap harinya, tapi sedikit sekali yang benar-benar “puisi”. Puisi yang disebut

Kredo

Aku menjalani hari ini dengan ragu seumpama mawar semburat ungu dan di durinya ada sunyi tergenggam serupa rindu, dalam terpendam. Aku menungguimu tumbuh, puisiku seperti lelah pada sepasang sepatu seusai perjalanan panjang, di antara kemarau, hujan, dan musim tanpa bunga. 2007

Mayat Kata

Rapat malam hari bikin aku lelah, hingga merasa harus tetirah, Pergi ke tempat sepi, tak dijangkau kacau persiapan presentasi. Tapi aku nyasar ke kuburan, tempat sunyi dan menakutkan. Ada hantu kenangan tertawa di pucuk-pucuk kemboja. Hei, ‘ngapain menyepi di sini. Atau kau sudah ingin mati? Aku ingin menggali makam kata, mengambil mayat kata, membangkitkannya, dan memberinya bermacam makna. Sebelum subuh, benih-benih sajak di tanganku mulai tumbuh. 2007

Cuma Sebuah Ciuman

Katakanlah padaku, di mana kau ingin kucium, Duhai, pemilik pipi ranum. Dan ke sana aku menuju. Di kota Sundshult, Swedia, ada tukang sepatu diganggu hantu bocah yang dibunuh ibunya. Dan anehnya, kurasa rindu ini hantu yang baru akan tenang jika kusarangkan ciuman ini padamu. Seperti embun yang jatuh di tenang air, lalu ada gelombang longitudinal yang menjalar ke akar-akar teratai, begitulah seharusnya ciuman ini kaurasai, tapi katamu : “Terlalu nakal.” Ah, kenapa nama Yudas tiba-tiba terlintas. Di pipi Isa, pengkhianatan itu dikecupkannya serta-merta. Kau pasti telah tahu, bukan ciuman seperti itu yang ingin kuberikan untukmu. Sekecup tapi berarti, seperti pintamu, seperti ciuman di bawah daun missletoe, atau di dahi Sang Putri Salju. Sungguh, aku tak ingin jadi Midas, tak juga Si Pahit Lidah. Ciuman ini ingin segera kulepas, untuk tuntaskan segala gundah. Rinduku padamu. 2007

Tentang Hantu di Kuburan Telinga

Semenjak perang masih berkecamuk, telingaku sangat sibuk kuburkan tiga kata: senjata, luka, dan airmata. Dan maut, tentu saja, masih terlampau kabut. Sampai namamu kudengar tiba-tiba, seperti sebutir mortar pecah di udara, lalu menghujan di atas makam-makam senjata, luka, dan airmata di telinga. Seketika dunia gelap gulita, seperti waktu mula-mula cinta diucap, sunyi kian menancap, rintih rindu berulang-ulang terucap. Telingaku dihantui namamu , bangkit dari kubur-kubur itu. 2007
Menunggu Kereta Berangkat, Berharap Kau Selalu Dekat Menunggu kereta berangkat ciptakan ruang tak bersekat, Cinta tak diganggu ruang dan waktu, di dalamnya kau dan aku; satu. Kotaku dan kotamu tertata sementara di bilangan jam tua, bahkan aku selalu merasa mereka ada ketika kuterjaga saja. Pekik peluit petugas, tuas-tuas rem dilepas, bendera dikibas, melepas katup-katup rindu. Meletup! Meletuplah aku! Ini rindu yang bertebaran di udara, bukan lagi asap batubara. Cinta telah ciptakan wangi semesta; Kuhirup, hiduplah aku! Perjalanan ini tak lama, persis tulisan di brosur pariwisata. Sabarlah, Kekasih. Sebab seperti itu juga, penantianmu tak lama. Kau tahu, Kekasihku, aku selalu berharap kereta cepat berderap, hingga jarak kita semakin rapat, semakin dekat. Dan ini sungguh lucu. Entah bagaimana aku merasa hatiku telah jauh tinggalkan kereta yang melaju. Menujumu. 2007

Malam Telah Menutup Segala Pintu

Malam telah menutup segala pintu dan buka satu jendela rahasia, yang kau tahu, dari sana kupandang wajahmu. Tak ada lagi rasa terkungkung, layaknya anak domba, lari aku di luasan pandang, menghidu segar rerumputan. Bahtera ini terdampar oleh nyanyi Calypso bibirmu di pantai-pantai abadi, cinta telah dilenakan waktu. Dan jika ku tak kuasa berpaling dari pandangmu, semata-mata oleh cinta belaka. O, cinta begitu berbahaya. Hanya badai buat malam ini semakin galau, tapi sepenuh cinta aku akan terus meracau. Bondowoso mengutuk Jonggrang tersebab cinta, kekasih jadi arca agar tak lagi tersimpan rahasia. Dalam gelap suasana, kuteriakkan; “Kau kekasih. Hanya kepadamu mataku tertuju.” Kau saja, kekasih. Malam ini, kekasih. Tidurku akan sangat lelap, tersebab namamu terdengar sepenuh senyap. 2007

Dongeng Taman Kota

Cahaya lampu berkelindan di antara pendar airmata, bertanya ia : siapa tak setia? Gadis dengan punggung bercahaya itu tengah menunggu di taman. Kenapa hanya gelap dan sepi mencekik setiap nadi? Pepucuk cemburu jadi gulma pada satu keyakinan : tak ada penantian sia-sia. Hingga pada pokok janji, kugantungkan begitu rupa : seutas putus asa. Dan angin pun mengayun-ayun. Dan pundak gadis itu naik-turun. 2007

Sajak Hasan Aspahani

Hasan Aspahani Bermalam di Rumah Tukang Sepatu AKU lihat engkau tidur bersama sepatu kata sepatu jalan ke mimpimu memang masih berbatu-batu, dan berliku-liku. Aku ingat sepatu ajaib kita dulu itu sepatu yang mengajari kita berjalan mendekat mimpi-mimpi dan kenyataan.

Tangan yang Menyebalkan

Tangan ini begitu menyebalkan. Seperti bus kota, dia tak pernah berhenti lama. Setelah meraba uban di puncak kepala, segera menyusut air mata. Dan dia masih belum berhenti, jemarinya kini memungut berbagai imaji : lengan, mata, telinga, hingga sikat gigi. Dan entah apa lagi. Sebelum ditemukan yang dicari, sesuatu yang telah lama pergi; sebaris puisi untuk kekasihnya. 2007

Dusta Telinga

Telingaku kini pandai berdusta, menganggapmu tak ada, dan lebih suka mempersilakan segala berita untuk masuk dan berjaga-jaga di setiap percakapan kita. Ketika kau berucap: aku, telingaku mulai merangkum berbagai penjelasan tentang : buku. Terutama yang pernah kita baca bersama; dongeng cinderella. "Ini pasti tentang mimpi," telingaku seperti meminta penegasan. Sebab mimpi adalah mereka yang diam-diam menyelinap dan memaksa kita pergi dari kenyataan. Padahal saat itu, kau tengah bicara soal : cinta. Sesuatu yang terdengar begitu mesra, tetapi telingaku masih mengembara di dunia tanpa suara. Hingga tiba-tiba kau berlalu. Tepat di saat telingaku tengah tersesat. Aku pun jadi begitu malu, sebab itu saat kau bilang : kepadamu, tapi kukira kau bertanya : apa jawabmu? 2007

Mataku, Sahabat yang Jahat

Mata kita masih bersahabat, bukan? Dulu menjelang ujian, di sebuah taman mereka saling melengkapi catatan. Lalu tiba-tiba bunga randu berguguran. Mataku menangkap isyarat perpisahan, pelupuk matamu mengangguk, mengiyakan. Dan seperti sebuah kolam, matamu begitu pandai merangkai kisah hujan, yang terbaca di mataku sebagai pucuk teratai yang tengah bermekaran. Sebetulnya mataku ini punya niat begitu jahat, betapa ingin dia mencuri larik kesepian yang belum sempat kautuliskan. 2007

Di Bawah Hujan Jeruk yang Ranum, Terpaksa Kita Tersenyum

: Fernando Botero Menggambar Potret Keluarga Di kebun itu, kita tamasya. Katamu, "Inilah surga." Maka kuajak serta anak-anak, kucing abuabu kesayanganmu, juga juru potret keluarga. "Ini momen bahagia." Aku ingin tertawa, di bawah jeruk ranum yang menghujan, senyum kita tahan. "Ya. Ya. Satu, Dua," Juru potret memberi aba-aba. "Sebentar lagi. Ya, tahan dulu." Dan senyum kita tersemai sempurna di kebun waktu. 2007

Kamar yang Sesak

: memandang The Baroque World of Ferdinand Botero Ini kamar penuh sesak, dan sepertinya tidur kita memang tak pernah bisa jenak; Bayi terjaga di atas kain tiga warna. Di balik pintu, kepala siapa tersembul malu. : Diakah yang selalu mengintip di redup mimpiku? Puntung rokok, perempuan tanpa rok, bercengkrama dengan pita di balik punggung serupa suapan madu yang begitu murung sebab aku dikalahkan kantuk. Lalu ada yang bercakap begitu mesra, gadis merah muda dan perjaka tua; "Ini malam begitu sempurna." Sementara langit biru gelap, bulan tergantikan bola lampu 5 watt. Ini kamar penuh sesak, piring kosong yang tergeletak. 2007

Yang Mengada di Hari Pentakosta

1/ Tak ada kobar api di kubah sepi, hanya dia mengetuk pintu menara. Sedang aku ragu untuk membuka "Ini Pentakosta," Dia menyapa, namun aku lupa : Ini hari apa? Kadang kubayangkan seekor burung hinggap di tingkap rumah; kabarkan bandang telah lenyap, daratan baru telah siap. Tapi pada pucuk zaitun, aku tertegun. Nuh tak lagi hadir di sini, pun Khidir, aku tak tahu ke mana mereka menyingkir. Semua nabi telah melihat api, kenapa kulihat kini hanya sepi? Lantas siapa mengetuk pintu menara? 2/ O Musa, O Yahya, betapa aku buta, tak pernah kulihat api yang menyala. Pun batu yang mengalasi mimpi; hingga kukira ini senyata-nyatanya sepi. 3/ Hanya saja, ada yang tak boleh terhenti. Api mulai meretas sepi, menyalakan lidah diri. Membakar mimpi ; kubah-kubah gaib, yang tak terjangkau suaraku yang parau, tak juga oleh risau pada cahaya di lilin lain. Bertanya aku pada sepi yang tak lazim, “Apakah Kau yang terpancar di situ?” 20

Di Blenduk, Kesepian Kita Dibentuk

Dari larik-larik panjang, ada yang melenggang serupa kekosongan di tengah kesepian. Seingatku, bangunan itu bergaya gothic bertiang-tiang besar, lalu di atasnya patung-patung gargoyle saling memandang : kau yang melintasi bayang-bayang. Bangku-bangku besi itu kumpulan saksi betapa bunyi orgel terdengar gagah; “Kita dilumpuhkan sejarah.” Hanya saja, cahaya-cahaya yang terbangun oleh mozaik kaca terpatri di dinginnya sunyi. Seolah-olah kita baru bermimpi. Ada yang mengayun-ayunkan genta. Membangunkan kau yang tak nyata. 2007

Selamat Pulang

Sepertinya, hanya kita yang datang. Di sudut sana, tegak vas kembang, nyala lilin yang bergoyang, dan irama piano tua melantunkan "Ave Maria" Wajah dalam peti tampak begitu bahagia, hingga kita mengira dia yang menyambut walau tanpa kata-kata : "Mari masuk, sebelum semuanya membusuk!" Di kiri-kanan, orang-orang bertudung hitam sibuk bergumam, memainkan rosario, seperti jemari yang memutar knop radio : mencari lagu yang tepat bagi saat menanti. "Kapan kita pulang?" Ajakmu ragu. 2007

Percakapan Argometer 5

1/ Sekarang kita sama-sama asing, Tak dulu, pun nanti, kita tetap orang lain. Biar betapa inginku kaukenang, pada halte di taman itu, aku segera disergap kesepian. Padahal mungkin kita bisa bertukar alamat, sesuatu yang kita datangi, di mana akan ada kata-kata kita kurung dengan penanggalan, penggalan kenangan, dan sepi-sepi yang tertinggal. Meski nantinya, kau mengenalku sebagai angka, sejumlah recehan, dan sebaris ucapan : "Terimakasih. Senang bertemu lagi." Juga jabatan pada tanganmu yang nyaris basah. 2/ Kita tak pernah selesai mencari. Pun di jalan ini. Lagu-lagu yang terdengar di radio, meski bukan sejenis lagu mellow, tetap saja menggelitik di tengah kesepian yang panjang. Apalagi suara panggilan dan alamat-alamat yang serak pada radio panggil mungil itu, terasa benar seperti mendengar seruan ibu, tkurasa kau tak pernah tahu, bukan? Hanya angka-angka lucu merah jambu menjadi balon-balon ulangtahun yang ingin segera meletus, membuat aku seakan-akan rela; Suatu saat penc

Percakapan Argometer 4

Kau tak perlu datang lagi, Supir Taksi apalagi hanya untuk mengantarkan lengan yang kaucuri, sebab aku justru merasa lebih bebas : tak lagi menulis puisi, atau sekedar gosok gigi. Ya. Sudah jelas kita bagian dari jalan, bukan? Di mana kesibukan adalah ayah yang sangat ingin menelantarkan inspirasi. Padahal di rahim ibukata, taksi-taksi berseliweran tanpa kendali. Jadi buat apa lengan itu kaubawa kembali? Pergi saja lah, duhai Supir Taksi. Catatan angka pada argometer itu telah kuingat betul. Sebuah kombinasi nomor yang ingin kuhubungi sewaktu-waktu. Pergi lah lenganku. Pergi lah. Bawa juga sajak-sajak lamaku. Sajak-sajak tentang pepohonan, hujan, dan anak yang hilang kenangan. Aku tak perlu semua itu, sebab kini di jantungku tumbuh jemari: pemutar nomor itu, nanti. 2007

Pesta Dansa

Tak ada kepura-puraan di kafe itu, dalam dekapan pemuda, dia berdansa : entah di degupan ke berapa, dia terlena. Tuts-tuts piano selincah betina yang manja, mengeluskan bisikan lembut di telinga "Kita tak butuh siapa-siapa," jeritnya. Sebotol rum dan wangi parfum, juga seulas senyum mata kita pun meruang pada temaram lampu "Apakah benar kita ini hanya memperpanjang ragu?" Hanya saja, kepastian tak datang di kafe itu, seperti angin seusai badai, dansa itu usai. "Aku hanya merangkai apa yang ingin kaucapai." 2007

Percakapan Argometer 3

( sejumlah kuplet yang tert ulis dengan akhiran ~an ) Rupanya taksi memilih riuh kesepian, diturunkannya aku di sebuah simpang jalan. Simpang jalan tanpa ramburambu peringatan, hanya papan-papan iklan penuh kesombongan. "Jalan ini khusus untuk orang yang ditinggalkan." Dari muramnya mural di kolong jembatan, kudapat keterangan. Dan dari sana, muncul orang-orang dengan sebelah lengan. : Orang-orang yang kehilangan dekapan. Mereka menyambutku; "Selamat datang kawan." dari wajah mereka mengalir kehangatan. Dan tiba-tiba, mereka melebarkan pelukan. Seakan aku, teman lama yang kembali ke tanah kelahiran. Aku berteriak, "Hei, mungkin ini sebuah kesalahan!" sebab aku merasa di tubuhku tak ada kecacatan. Di kolong jembatan itu, mereka tertawa bersamaan. "Lihatlah", kata mereka, "Kau hanya punya sebelah lengan." Aku lalu mengumpat,"Dasar Supir Taksi sialan!" Kenapa dia tak memberitahu lenganku ketinggalan?

Di Dadamu Ada Nuh

Di dadamu, dermaga Ararat. Seorang Nuh telah melempar sauh, sambil memandang gunung-gunung yang jauh. Gunung-gunung yang kemarin timbul tenggelam dihantam gelombang. Gunung-gunung yang tak lagi ada sisa-sisa sangkar burung. Di dadamu, bahtera mendarat. Dan berkeriapan segala hewan menjangkau lubuk-lubukmu dengan riuh. Lubuk-lubuk yang kemarin hilang di dasar bandang. Lubuk-lubuk yang kehilangan palung. Di dadamu, aku berumah. Menikmati sejarah yang tumbuh jadi ilalang. Di sepanjang lipatan dan kerutan. 2007

Selembar Buku Harian Seorang Penyair

Ada penyair menulis demikian pada selembar buku harian : “Aku ingin perih yang kosong, perih yang tak pura-pura sedih, pun perih yang tak terbalut letih.” Setelah kalimat itu, ada gambar orang lapar, orang yang saling cakar. Lalu potongan kliping surat kabar : Sebuah toko habis dijarah dan dibakar. Kupikir, penyair itu orang yang begitu sabar. Dia menulis, menggambar, juga mengumpulkan berita, & nanti dia akan membacakan renungannya pada sebuah perhelatan sunyi. 2007

Percakapan Argometer 2

Sampai di jalan sunyi, tiba-tiba taksi menepi. Pada aku yang dilanda kecemasan, supir taksi malah cengengesan; "Hai Anak hilang, yakinkah Kau bisa pulang?" Aku curiga supir taksi itu sesuatu / sesiapa yang keluar dari dalam sepatuku; sebab dia begitu tahu tujuan perjalananku. 2007

Percakapan Argometer

Tak ada yang pernah bertanya : kenapa supir taksi senantiasa terlihat gembira? Hingga suatu ketika aku terpana, sebab katanya: "Tubuh ini hanya sebuah alamat yang harus segera dituju." Juga sepertinya tak ada yang peduli : bagaimana bisa kota melahirkan ribuan taksi? Lalu menelantarkan begitu rupa, hingga mereka sibuk mencari penumpang seperti aku. 'Selamat malam, Penumpang. Kemana akan kaubawa kita menggelandang?' Taksi itu menepi dan menyapa. "Aku ingin bertemu Ibu. Dan kurasa kau sudah tahu." 2007

Isyarat Cinta dan Kematian ala Janadarya Naya

Pada hari ketiga, Ratridewi menemukan sebuah rahasia yang terbuka! Janadarya Naya jauh sebelum hari kematiannya, setidaknya telah menuliskan tiga buah sajak yang mengisyaratkan kematiannya : Sajak Pertama : Upacara Tanpa Kata Ratridewi, yang berarti kepasrahan bulan pada rengkuh malam , hanyalah kabut tipis yang kutemukan pada pelipis bunga melati, yang kausemat begitu rapi pada rambut itu; Rambut yang semeriah rancak gamelan, rambut yang menggoyah puncak kesepian, hingga aku mengira pada tiap helainya ada yang khusyuk berdoa dalam satu upacara; Meminta malam mengekalkan warna hitamnya, Meminta embun menyejukkan lembut helainya, Meminta bintang gemerlapkan setiap kilaunya, Meminta aku mengenangkan segala kibasnya; Hingga ketika aku menari, tak pernah merasa sendiri. Sajak Kedua : Burung Malam

Membaca Sajak di Mata Ibu

TELAH kuterima sajakmu, Ibu : dua lembar air mata .:. Lembar pertama; pintu yang pasrah Bocah hujan itu ( yang matanya selalu basah, dan di pipinya ada sisa tangis yang lelah ) ingin menyelusup dalam peluk dan pagut. Dia itu dingin yang takut, dingin yang takluk. Dan tanganmu; pintu yang setengah tertutup. Bisakah dia masuk? Tak akankah kau mengatup? Samar , dari balik kamar, kudengar ada nama kausebut sepenuh gundah. Benarkah itu nama Ayah? Sebenarnya, hujan tahu bahwa Ayah hadir sebagai petir, bergetar sebentar di kaca jendela, lalu memucat di pucuk-pucuk jemari yang tengadah; daun pintu yang pasrah. .:. Lembar kedua; halaman tanpa bunga Layang-layang ungu jatuh; angin yang muda tak bisa membawanya kemana-mana, selain pada halaman tanpa bunga-bunga. Bocah, dengan tangan yang lelah, menatap reranting perdu; tempat diharapnya kuncup-kuncup angin segera mekar, dan membiarkan benda kesayangannya itu melayang. Dan dia me

[IsengAsyik] Gelisah

“ Sesungguhnya orang yang tidak mau gelisah, dia sudah mati ,” Kawabata Yasunari, Novelis Jepang Peraih Nobel Sastra. Ada banyak hal yang membuat saya gelisah dalam menyair akhir-akhir ini. Mungkin bagi orang lain kegelisahan saya ini terasa berlebihan. Tapi tidak mengapa, sebab kegelisahan bagi saya adalah sumber inspirasi. Selama ini saya punya sajak dengan tema ibu-bapak yang konon kata Bang Hasan (Hasan Aspahani : www.sejuta-puisi.blogspot.com) termasuk baru di ranah persajakan. Tapi hal ini tidak membuat saya kemudian memilih duduk tenang dan bermain-main dengan imaji-imaji itu saja. Saya masih gelisah karena sajak-sajak saya belum seindah sajak Bang Hasan yang dengan lincah bercerita tentang seorang ayah dan seorang bocah di tengah sawah ketika beliau berkunjung ke Yogyakarta dan melihat betapa Bandar udara berdiri dengan megah mengangkangi luasan sawah. Saya masih gelisah karena sosok Ibu dalam sajak-sajak saya tidak sehalus dan serahasia Ibu dalam sajak-sajak Bang M. Aan

Misalkan Dirimu Daun

Aku, pengganggu tidurmu. Tapi aku takut onak; Usah kau teriak, &nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp Usah kau bergerak Sebelum tubuhmu terserak, kau akan utuh jadi kenangan dalam tidurku yang panjang. Tidur yang menjelmakan : Aku, yang akan singgah di mimpi bungamu yang mulai rekah 2007

Aku Ingin Menghapus Satu Baris Sajakmu

Aku ingin menghapus satu baris saja pada sajak yang kautulis sambil menangis. "Satu baris merubah segalanya," cegahmu. Dan aku, jelas tak setuju. Kautuliskan begini; 'cinta bisa dinyatakan berulang tanpa bosan'. Padahal kau tahu, aku adalah laut. Dan pada sebuah pantai; berjuta riak dan ombak tersampai. Dan kau tetap tak setuju. Tanyamu,"Kau ingin seperti kupu-kupu?" Padahal kau tahu; pada sebuah muara, air laut menjadi payau. Saat yang galau. 2007

Sepenggal Lagu Pilu

Aku ingat satu alamat : rumah berpagar putih merpati. Dia, yang biasa kupanggil Kekasih, membuka pelukan sebagai pintu. Dan katanya, ”Masuklah. Aku sudah siapkan minuman.” Lalu turunlah hujan: saat burung-burung pulang ke sarang. Aku tak pernah lupa, setelah hujan reda, di halamannya kita menggelar tikar. Lalu dia, yang membiarkan rambutnya terurai, menyanyikan lagu. Dan kataku, ”kata-kata dalam lagu itu membawaku pada sebuah jalan.” Dia, yang matanya gelisah, menduga aku ingin segera pulang. Padahal, demikian petikan lagu itu: ” long and winding road... ” Dan yang terakhir kuingat; pelukmu begitu erat seakan aku merpati yang tak kauinginkan terbang. 2007

Hijau

Dominique, begitulah dia sebutkan nama. Aku mendengarnya seperti rintik. Atau ringkik? Yang kubayangkan adalah padang rumput. Hijau dan hangat. Seperti warna matanya, seperti peluknya. Dan aku menjelma sebagai kuda. Liar kausangka? Hujan pagi telah mengurungku di sini. Sebuah jendela rumah tua. Aku memesan secangkir teh. Hijau pula warnanya. Teringat Tardji, teringat Neruda. Kenapa hijau begitu mengada? Hijau itu lambang keremajaan, katamu. Lantas, haruskah kupanggil kau, ”Adik?” Atau "Cantik?" 2007

Rencana Liburan

DIA bilang, "Sekali-kali jalanlah ke Budokee. Di sana ada banyak anjing mini." Apakah kau tak lagi merasa diriku seksi hingga kauminta aku menjauh dari hidupmu yang sunyi? DIA bertanya lagi,"Kapan terakhir kau liburan naik pesawat?" Penampilanku memang mirip pudel yang tak terawat. Rambutku gondrong tak berminyak. Dan baju ini berbau asap. Apakah karena itu kaubilang bersamaku hidupmu bertambah pengap? SUNGGUH Aku tak punya rencana liburan. Seperti seekor ketam di pantai Thailand, ribuan pasir membuatku tertahan. "Sebentar lagi malam," kataku. Mengajakmu pulang. Menyusuri kusut lipatan di ranjang : sebuah peta tempat aku bertahan. DIA bilang, "Kau tersesat di puisi ini?" Aku hanya tersenyum. Geli. 2007

Empat Bahan Pembicaraan Sebelum Tidur

1/ Jangan dulu kaubayangkan ranjangmu, Dik. Malam masih selincah remaja. Dimain-mainkannya senja yang menua di balik pohon cemara. Cahaya bersulam cahaya pada pucuk-pucuk usia. Kita belum tua, Dik. Dan aku belum mengantuk. Sebenarnya kita tak bicara soal usia, bukan? Kau kupanggil adik karena aku tak ingin menduga-duga. Yang aku tahu, tadi pagi kita baru saja dipertemukan dalam sebuah puisi tentang cinta. Ya, kau pasti setuju; bicara cinta berarti bicara tentang seluruh hidup ini. 2/ Tapi kita tak selalu bicara tentang hidup, Dik. Kau tahu, sedari pagi tak ada burung yang bernyanyi. Polusi memaksa mereka mengungsi. Dan kita cuma bisa melongo di depan televisi. Sebab katamu, bukan hanya burung yang bisa bernyanyi. Dan berloncatanlah lagu-lagu cinta di kamar mandi, warung pinggir kali, angkot-angkot yang berhenti, juga alat mungil yang kausebut MP3. ”Hidup ini imitasi.” Kau meraung sendiri. Toh aku juga sedang pura-pura menulis puisi. 3/ Apakah kantukmu tak tertahan lagi, D

Pagi Pada Sebuah Jalan Puisi

: M Aan Mansyur KUSANGKA kita berjanji pagi ini pada sebuah puisi di mana kau biarkan peristiwa-peristiwa meleleh ke jalan dan melengket pada sol sepatu orang-orang [1] . Tahukah kau? Tanpa sepatu, aku melangkah ragu-ragu. Kukira pagi adalah rumah tanpa pintu. Hanya ada jendela, tempat kita bertukar berita. Sebab pagi sering kuhabiskan di sebuah jendela yang setengah terbuka, membaca surat-surat tanpa alamat yang tersesat. Ya, kau juga tahu bukan? Kota ini semakin tua untuk sekedar menghafal nama. Katamu, “Tidak aku temukan seorang pun yang namanya pernah aku catat di buku teleponku [2] .” Hingga kupikir ada benarnya juga Ibu selalu mendongengkan cerita sebelum kita tidur. Agar ketika pagi, aku segera sadar bahwa kau sedang menungguku di kehidupan nyata : sebuah halte bus yang penghuninya setengah tertidur atau setengah terjaga. Tapi apakah kita perlu mencatatkan nama-nama kita di situ? Yang terakhir kulihat, kau tengah mencatat sesuatu. KUHARAP pagi tak segera pergi. Turut

Tarian Bunga Sepatu

Aku mandi di sedihmu, bunga sepatu merasakan putikmu yang tertunduk malu Seperti bulir embun, bunga sepatu cintaku menetes dari pucuk daun itu Bersujud aku di potmu, bunga sepatu berharap cintaku meresap di akar-akarmu 2007

Tarian Sepasang Sepatu

: kau nikmati irama lagu &nbsp&nbsp yang liriknya kau tahu &nbsp&nbsp dari nyanyian ibu Padahal aku sedang tak ingin pulang; Kami telah berjanji mengadu layang-layang, ditantangnya aku,"Aku atau kamu paling jago?" dan dari kemarin telah kupilih benang nomor satu; aku yakin: sekali tergesek, layang-layangnya akan jatuh! Hanya saja kakiku tak menyukai ilalang, ujung tajam dedaunannya sering melukai kulit kaki. Maka kupasangkan pada kakiku sepasang sepatu ; oleh-oleh Bapak dari pekan di desa seberang. Ibu mengira aku hendak menyombongkan diri; memakai sepatu baru di hadapan teman-teman. Tapi aku sedang tak peduli. Aku terus berlari ke padang ilalang, tempat kami berjanji. Tak kuhiraukan lagi teriakan atau umpatan. Hanya kemudian angin tak ada di padang, kulihat kau tertunduk setelah layang-layangmu tersangkut di pucuk-pucuk jati. Haruskah kukatakan padamu betapa kecewanya aku? Tak ada tantangan yang kemenangannya bisa kubawa pulang! Padahal aku sedang tak ingin p

Tarian Sebuah Kamar

: belum juga kau jenak di dalam dirimu sudah ingin kau jejak tubuh yang baru Katamu; "Ingin kudengar lagi suara yang tak beraturan, serupa dengkur setelah lelah bekerja." Maka kaubayangkan sebuah mimpi yang timbul tenggelam di antara kedua mata yang terpejam. Tapi aku tak suka bermimpi. Aku lebih suka pada sisi selimut yang begitu lembut menyentuhmu di pipi. Juga hangat yang kausembunyikan di balik bantal di sisi tubuhmu yang sintal. Ah, seperti puisi liris yang kubaca pada sebuah gerimis ; embun pada sebuah jendela. Hanya jam tua yang berdetak mengganggu tatapanku juga tidurmu seperti bapak yang membentak mengagetkan tidur kanak-kanakmu Katamu; "Ingin kukenang lagi suara lembut ibu, pada sebuah dendang ninabobo yang tak sudah ." Dan kini kaubalik bantal, dan kauanggap mimpi itu telah gagal menjenakkan tubuhmu. 2007

Tarian Pagi

Ketabahan bocah yang menunggu ayah adalah kesetiaan pagi di petak-petak sawah; Lihatlah! Selalu ada pita-pita rambut matahari menyembul dari batang-batang padi. Pagi yang lincah sengaja melemparkan pita-pita yang berkeriapan, seperti dia yang membiarkan anak-anak rambutnya ditiup-tiup angin yang merenggut kabut dari celah sarungnya yang menganga. Suara ibu tak dihiraunya, dia lebih asyik menatap ke arah mana burung-burung pipit kembali setelah memetik sebulir padi. Dia ingin menemukan dunianya yang hilang ; Sebuah sarang! Di mana ada suara lapar kanak-kanak burung disambut celoteh dan suapan induknya yang sepasang. Dari binar matanya, ibu telah tahu dia tak ingin mimpinya diganggu. 2007

Tarian Malam

: kepada ibu pada sebuah jendela yang tak kunjung tertutup Sepotong bulan pucat di kening tua, dan bayang-bayang awan adalah luka; menebal pada keriput kantung mata. "Aku ingin memadamkan lilin yang digenggam oleh sekumpulan bintang," katamu ketika aku beranjak untuk menutup pintu, memadamkan lampu, dan bersiap menggumamkan sepenggal doa malam; "Tuhan, ijinkanlah aku merawat sajak tua itu: sajak yang tak ingin mati sebelum dunia melebar melebihi ukuran sepatu. Sebagaimana ibu telah merawat aku seperti puisi yang paling tersembunyi." Dan sebelum tidur, kukecup pejam di matanya yang mulai menguncup ; "Tenanglah Ibu. Tenanglah. Anak-anak malam segera bersarang di lembah-lembah hatimu." 2007

Tarian Batu

Langit mengirim gerimis; jemarinya &nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp membelai &nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp &nbsp menitipkan &nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp &nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&

Tarian Kubur

Kudekap nyerimu dalam lukaku, kusingkap hidupmu dalam matiku, dan ditelingaku kaubisikkan sebuah nama; yang kuyakin dia yang alamatnya baru saja ada 2007

Tarian Sungai

Janganlah gelisah hatimu, hanyutkanlah daun maribang* di tubuhku; tubuh yang sungai, tubuh yang bergelombang. Dan kita pelesir; menerabas bebatuan, memapas lumut dan suplir, hingga kita terhempas di curug tujuh pancuran. Dan daun itu jatuh, di rambut seorang gadis cilik, yang lalu meremasnya, membentuk buih licin; sari daun yang kekuningan; "Hai teman, ayo jualan minyak-minyakan!" Dan kau menghilang dalam senyum kanak yang terkembang. 2007 maribang = kembang sepatu

Tarian Hujan

Kaukah itu pohon yang angkuh? Dedaunanmu luruh di punggung ibu yang terbungkuk saat menyapu Tak kau lihat sebutir airmatanya jatuh? Dan kau tahu? Aku tak tahan melihat tangisan. Maka kubiarkan dedaunan di pohon itu bergoyang, lalu luruh perlahan, sedangkan yang sudah terserak kubasuh hingga di got-got yang jauh. Yang tak kumengerti, ibu tetap menangis, bahkan kini ibu meratap! Teringat anak semata wayang yang hilang dilalu bandang Duhai, aku baru sadar; kaulah pohon keselamatan bagi ibu saat banjir besar, hanya saja di tanganmu genggam anak itu terluput! 2007

Tarian Angin

Aku suka meniup-niup bunga mangga; kelopaknya begitu mungil dan tersusun seperti tiara. Aku suka melihat mereka tersebar di udara hingga kau mengira ada butir hujan jatuh di rambutmu lalu tengadah. Aku suka dengan pipimu yang merah; setelah tak tahu ada sesiapa juga sesuatu yang membuat bunga itu luruh. Aku juga suka ketika kepalamu bergoyang berharap bunga yang singgah itu segera turun ; ke lantai basah. Aku tak pernah suka pada lantai basah; tubuhmu pernah terpeleset di situ, sebelum kau berteriak di tubuhku. 2007

Tarian Gurun

Biarkanlah denting musim sampai juga di lidah kotamu agar bayangku bergerak di sekujur tubuhmu, serupa angin menerbangkan debu reruntuhan usia tapi aku tak singgah di situ Sebab, kita pernah mengalahkan waktu ; ketika 13 pemuda menidurkan mimpi, meruntuhkan kotamu di gua-gua sunyi 2007

Jalan Ke Rumah Itu

"Inilah jalan ke rumah itu,"katamu. Dia hafal ada 7 ruas kelok pada jalan itu, dan pada kelok ke-3 ada pohon mangga, karena luka di kakinya didapat ketika dia turun secara cepat, tersebab ketahuan memetik buahnya tanpa izin si pemilik. Dan tanyaku, "Kapan terakhir kau mudik?" Kau mengingat tanggal di kepala surat, sebuah alamat yang tersesat, dan derit panjang dari ranjang berkarat. "Yang kutahu; tak ada lagi hujan di jendela, ibu tersenyum gembira, dan harum buah mangga terhidu juga di beranda." Kini, tertatih aku pada sebuah jalan yang ditunjuk olehnya. 2007

Dari Dalam Taksi

bukan airmata, hanya dahan yang bergoyang lalu sehelai daun luruh menerpa kaca menerka luka kaukah kutinggal atau aku perlahan jadi nafas tersengal sebelum mata terpejam? 2007

Menulismu, Puisi

Mimpi jeritkan luka ketika peluk selimut kusingkap, "Apakah yang telah kaujaga saat embun dan dingin kabut saling erat mendekap? Ada yang sedang merangkai rupa taman dari keping-keping kenangan, dan ada yang menamai setiap kembang dari kuncup luka yang terbilang. Lalu siapakah yang serakkan suratkabar juga membunuh siaran televisi hanya untuk melukar sebenar diri yang selama ini dikelabui? Wahai, kau mata yang terpejam dihalang segala kenyataan, dirajam pahit kehidupan, mengalirlah di basah darahku yang senantiasa resah untuk menuliskanmu 2007

Tulisan dari Seseorang yang Membaca Puisiku

Puisi Dedy Tri Riyadi dan Riwayat Ibu Saya membaca puisi yang ditulis Dedy Tri Riyadi ini di Pikiran Rakyat. Dua puisi ini ditekankan pada sosok ibu (si penyair?). Puisi pertama berjudul Dongeng di Kebun Mawar (2006), berikut isinya: Dongeng di Kebun Mawar dahulu ada tukang kebun yang pandai mendongeng tak dibiarkannya sekuntum mawar luruh begitu saja tanpa makna dongeng yang paling sering diceritakan adalah rupa si pemilik kebun seorang Ibu dengan bekas luka goresan duri lalu mawar itu layu dengan malu yang tak terkabarkan Sebagai pembaca yang buruk, saya belum tahu apa hubungannya antara tukang kebun dengan seorang ibu. Memang, keduanya dihubungkan oleh kebun mawar (tepatnya bunga mawar). Namun, hubungan apa yang menjalin keduanya? Seolah puisi ini berbicara tentang dua momen terpisah yang disatukan oleh kebun mawar. Tukang kebun yang suka mendongeng, dan cinta pada bunga mawar. Sedangkan si ibu adalah pemilik k
Ketika Puisi menjadi Cermin catatan setelah membaca beberapa puisi hitamkah pagi tuan? saat bayanganmu memanjang, mengikuti dengusmu di tulang mana kau lencangkan bakti? tak nampakpun derapnya,apalagi derunya … : mungkin cermin yang kau butuhkan ,Tuan (Setakar Hujat Untuk Lelaki Kecut Berpupur – Doel MH) Membaca sajak dari Doel MH ini. saya membayangkan diri sebagai cermin yang secara eksplisit dikatakan oleh penyairnya pada baris terakhir puisi itu. Saya juga berusaha mewujudkan pemandangan yang ada. Pagi hitam, tatapan mata yang kosong, dan seterusnya. Dan jika mengacu kepada beberapa pertanyaan/pernyataan yang ada di bait-bait selanjutnya seakan-akan meng-gambarkan bahwa yang orang yang dimaksud dalam puisi ini telah hidup tak sesuai dengan harap-an si aku liris. Puisi adalah betul merupakan renungan pribadi si penyair terhadap apa saja. Maka dari itu isinya pun bisa bermacam-macam dari hal-hal yang pribadi sampai persoalan negeri. Lantas kemudian ada yang mengkotak-kotakkannya menj

...

Jika belum sampai darah, luka tak bernama Jika belum sampai dada, cinta hanya rasa Jika belum sampai dia, aku lah tiada 2007

Sebenarnya Sepi

Kesepian adalah ular yang merayu di pohon apel itu, lalu kita seperti adam dan hawa terperangkap segala tipu daya yang dimilikinya. Dan ketika tersadar, sebuah pintu telah terbuka; saatnya kita rindu pada diri sendiri. Diri yang sepi; sebenarnya sepi. 2007

Tamasya Dalam Mata

Adalah petani tua menunggang rakit bambu terapung di sungai keruh di tangannya seekor merpati sayapnya bergerak-gerak mirip sekali riak sungai menggoyangkan dedaunan talas; selembar daunnya menyentuh kelopak mataku, memintanya untuk terbuka; &nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp hidup jelas bukan mimpi &nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp seperti merpati yang rindu &nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp di langit terbang tinggi, &nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp hidup ini adalah mata &nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp yang selalu terbuka &nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp mengerjapi sinar matahari &nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&

Risalah Awal Tahun

Kau mengantuk. Aku mabuk. Sibuk mencatat hari-hari tanpa hujan yang kuinginkan. Sedang jendela membiarkan sebuah tatapan liar. Ada rahasia dingin yang tak terkatakan. Januari meringkukkan mimpi yang hangat ; matahari senja di tubuh pantai yang putih. Lalu kau pun tertidur beralaskan hujan di balik jeruji kamar seperti payung terkembang dan tak lagi muram. Hijau, merah, ungu pelangi kulihat langit berbinar. Atau hujankah yang berwarna gelap? Januari tak alpa mencatat nama warna, atau hanya aku yang terlalu gembira? Aku hanya pengantuk yang ingin tidur!

Ramadan Pada Sebuah Puisi

Sungguh, pada setangkai lidi yang naik turun di permukaan mushaf terdengar suara dia yang memanggil namamu. Dia yang sudah lama terdiam seperti beduk tua yang murung, kehilangan lincah penalunya yang juga semakin renta. Sungguh, pada lentik jari-jari yang membalik halaman terbaca keremajaan yang pernah singgah, menggelar sajadah, dan mendengar khotbah sebelum bersiap menalu beduk di pojok surau untuk menghimbau-himbau. 2007

Gugur Bunga

Betapa hatiku takkan pilu, telah gugur pahlawanku Kerinduan ini, kekasih, hanyalah angin di pucuk kamboja sebelum matahari senja menyapa basah tanah dan bunga-bunga yang memekarkan kuntum. Betapa hatiku tak akan sedih, hamba ditinggal sendiri Payung hujan deras saja terkembang di langit, seperti mata yang mulai tergenang. Kami mengingat sebentuk rasa sakit; air yang menjarum di daun itu. Siapakah kini pelipur lara nan setia dan perwira Bunga yang gigilkan kuntum, seperti kami menahan senyum. Siapakah kini pahlawan hati Pembela bangsa sejati Embun segera terbaca dari kaca jendela; pesanmu yang tiba-tiba mengada! Telah gugur pahlawanku Tunai sudah janji bakti Adakah kehidupan yang menghidupkan kematian? Ataukah kematian akan mengekalkan kenangan? Gugur satu tumbuh sribu Tanah air jaya sakti Titik-titik warna pelangi terjadi saat hujan telah mati! 2007

Apakah Kau?

1/ Kenapakah kau jika aku Kenapakah mau tapi ragu Bukankah kau mau tapi aku ragu Atau kau ragu jika aku mau 2/ Ada yang lantas ada ketika apa Apa yang lantas apa walau ada 3/ Kita semua harus tuntas sebelum hapus segala kita 4/ Hanya, kau yang kuketuk walau aku yang kaubentuk 5/ Apakah kau pintu sehingga aku keluar, ataukah aku ragu sehingga kau menghindar? 6/ Apalah aku padahal kau 2007

Pada Sebuah Kenangan

Bagaimanakah sebuah kenangan membuat kita bertahan? Kenangan hanyalah bayang-bayang hitam pada sebuah badan jalan yang kita tapaki pada malam tanpa bulan. Aku mencari wajahmu. Wajah yang penuh luka. Namun kau tak pernah bisa memandangku dengan pandangan yang penuh iba. Maka biarkan saja aku berjalan, sebab kuyakin di depan sana ada sebuah nisan: tanda seberapa tahan kita berjalan!"

Puisi yang Dibasuh Pada Sebuah Koran Minggu

: Dino F. Umahuk Siapalah aku harus membasuhmu? Meski penyair mempersiapkan jalan bagi datangnya puisi, mengingatkan cinta dan kematian. Tapi puisi ini lebih dari sekedar katakata pedih. Seharusnya kau yang sepantas membasuh aku dengan setiap peluh. Kemudian turun seekor merpati; kau sebut itu mimpi, masuk pada pucat uban di kepala. Tapi apakah itu yang kauigaukan pada sebuah pagi yang begitu minggu? 2007

My Shoes by Charles Simic

My Shoes by Charles Simic Shoes, secret face of my inner life: Two gaping toothless mouths, Two partly decomposed animal skins Smelling of mice nests. My brother and sister who died at birth Continuing their existence in you, Guiding my life Toward their incomprehensible innocence. What use are books to me When in you it is possible to read The Gospel of my life on earth And still beyond, of things to come? I want to proclaim the religion I have devised for your perfect humility And the strange church I am building With you as the altar. Ascetic and maternal, you endure: Kin to oxen, to Saints, to condemned men, With your mute patience, forming The only true likeness of myself. Charles Simic, “My Shoes” from Charles Simic: Selected Early Poems. Copyright © 1999 by Charles Simic. Reprinted with the permission of George Braziller, Inc. Saya menerjemahkannya sebagai berikut : Sepatuku Sepatu-sepatu, wajah tersembunyi dari inti hidupku: D