Posts

Showing posts from February, 2014

Sebuah Kantor di Kota Kecil

Seolah menunggu percakapan yang tak kunjung tiba, dari meja itu, dia memandang lurus ke luar jendela. Di mana atap gedung di seberang jalan seperti dunia yang berbeda, di bawah langit yang enggan menyala. "Di sini, semua benda dianggap budaya post colonial dan cahaya selalu memanjangkan bayangannya." Dia tak mengeluh pada teman kerja yang hampir tak menyentuh dirinya. Di lantai tiga, dia merasa dekat dengan kepak burung dara. "Bagaimana caranya agar merasa bahagia, Tuan Karyawan?" Perang selalu terjadi, meski dalam diri. Aku tak pernah mampu menghindari hanya dengan merasa sepi. Di sebuah kantor di kota kecil ini, sepi mudah sekali dijumpai. Dan dia tidak sendiri. 2014

Liburan Penyair

Sekali waktu, aku libur jadi penyair. Menyaru sebutir apel, tapi pisau sepi membelahku. Aku jadi kupu-kupu, Sepi jadi ulat masa lalu. Ada baiknya aku jadi biji saja. Eh, sialan! Ada lalat menghisap-hisap sisa manisku. Kukemas diriku jadi kanvas. Pucat putih itu. 2014

Jangan Dengarkan

Jika kesiut angin saja terdengar merdu, terlebih gesa langkahmu menyambutku. Jika goyang daun saja begitu syahdu, jelas tak ada nada yang pantas bagi rentang lenganmu. Jika sekalian alam seperti memuji, tak pantas lagi berseru - Aku! 2014

Bagaimana Kau Membuat Tokoh Utamamu Menderita dalam Ceritamu itu?

Aku bayangkan dia sebatang pohon. Mungkin pohon yang meranggas, atau pohon di tepian danau yang akarnya hendak lepas. Aku hidupkan dia seperti daun ditiup angin. Seolah dia ingin ke barat, tapi angin menerbangkannya ke selatan. Aku matikan dia tidak di medan peperangan, tapi di sisi ranjang. Di mana setiap malam berbulan-bulan sebelumnya dia hanya ingin meneriakkan namamu. Tapi tak bisa. 2014

Dari Atas Bukit

Aku ingin ajak kau naik ke bukit. Ke tempat angin menaikkan lengan awan, yang akan menuntunmu pada pemandangan langit saat bulan mulai terbit. Aku ingin kau saksikan dari atas bukit, padang dan telaga yang mengirimkan kabar tentang seorang gembala dan ternaknya. Dari atas bukit, kau bisa mengingat ketabahan yang digantung semalaman, sebelum akhirnya diusung ke dalam lubang. Sementara aku mengingat betapa percakapan sebenarnya upaya sepi memperpanjang derita. Dan ketika kita melihat ke bawah sana, kita sama-sama merasa sangat terbebani oleh kesedihan. 2014

Episode Kelahiran

Telah diruncingkan cemara dan angin, dinyalakan pula bintang dan padang. Telah ditekurkan segala yang teruk, dan ditelurkan yang lurus itu. Aku nyala api, dekat kaki ternak, mencari apa yang tak mampu kubakar sebagai doa. 2014

Andai Kata

Andai kata-kata tak cukup menampung Engkau kukembangkan beragam puisi untuk menangisi 2014

Lelaki yang Tergesa Berjalan ke Stasiun

Seperti bahasa, dia berjalan sedikit tergesa tapi bukan karena hujan mulai reda. Dia mengarahkan dirinya ke stasiun kereta. Dia seperti kenangan yang berkejaran pada usiaku. Seperti petualangan masa muda. Juga ingatan akan hari tua. Dia juga seperti aku: ada dan tiada, atau jeda dan tergesa. Tapi juga seperti kau: sedang atau reda. Suasana adalah apa yang kita bisa berikan sementara. Seperti jalan ke arah stasiun kereta. 2014

Yang Diinginkan Marcia

Di Ruby Lane, dia ingin berdamai dengan sejarah yang direka-ulang. Seperti sebuah jubah Ch'ang P'ao dengan dua pin kuningan di dada sebelah kanan. Tapi dia juga ingin bernostalgia, layaknya bebunga popi yang merona. Sebuah sisir dari cangkang penyu menggoda untuk dibelinya. Ah. Marcia. Kenapa kau tak ingin meja antik papan catur? Agar kita bisa senantiasa mengolah taktik saling mengalahkan dan menyalahkan? Kenapa juga kau tak tertarik gaun boneka buatan Koppelsdorf yang cantik itu? Agar kita bisa bayangkan seorang anak gadis lucu yang melangkah malu atau ragu dengan kembang di tangannya yang terulur pada nisan bertuliskan nama kita? Memang di Ruby Lane aku tak bisa mengakui umur adalah batas hidup, dan mata yang mulai lamur ini masih ingin juga melihat hal-hal indah dan tak hendak redup. Dan aku seperti mendengar kau berkata gugup: ada banyak hal yang mudah dilihat meskipun itu sebenarnya jauh. Seperti keinginan yang tak bisa diukur oleh waktu, ata

Dari Jendela Hotel

: Edward Hopper Kadang duniaku menyempit hanya seluas jendela, diapit tirai kuning gading. Lalu pikiranku jadi sederhana saja, sebuah topi merah tua, miring di kening. Aku jadi acuh pada hitam warna langit, atau jalan di depan hotel yang sempit. Sementara aku abaikan nyala kuning lampu di atas meja, di bawah lukisan laut, seperti aku abaikan juga mantel musim dingin dan sofa yang seolah ikut kalut menunggu: apa akan terjadi di jendela hotel ini? Aku menduga ada kuntum basah atau cabang hitam seperti dalam puisi Pond, tapi mungkin juga akan ada malam dicerahi cahaya bulan pada haiku Basho. Karena dalam jendela hotel ini, saat ini, adalah dunia tersendiri, dan beragam puisi bisa mengisi dan menyesakkan dadaku ini. Meluaskan seluas-luasnya pikiranku. Maka jendela menjadi ruang, menjadi hotel, menjadi provinsi, menjadi negeri, menjadi dunia, menjadi alam semesta. Lalu aku menjadi sekedar topi, atau nyala lampu, atau lukisan, atau mantel, atau sofa, at

Kesaksian

Lihatlah! lekang cangkang telur, regang carang anggur, atau petang di musim gugur, lalu percayalah selalu ada yang tugur. Dengarlah! dengkur tidur musang, meluncur tetes hujan, atau debur ombak pada karang, dan berusahalah tetap tenang. Dan bersaksilah untuk mereka yang tak terhibur, penunggu liang kubur, pencari Sang Maha Luhur, agar dirimu tak pernah sia-sia untuk gugur. 2014