Posts

Showing posts from 2015

Train

Long subliminal messages 8.34 pm and yet undone like a quote of Confucius, "it doesn't matter how slowly you go so long as you do not stop." Waiting is the work of life, a big plastic chair which chill you. But waiting is a very confuse, "Is it me or it is you going to be forsaken by time goes by?" My heart's a station lies underground, Your love's bullet train going through. Our space are platforms numbered. And conversations never found. 2015

Sebuah

Sebuah buku terbuka jauh. Sebuah lampu terkadang lintuh. Sebuah jarak dipadamkan piuh. Sebuah aku: helai-helai kegelapan panjang. 2015

Mantel

Hari ini kabut tebal dan kota gagal menerjemahkan bunga-bunga. Kukenakan mantel untuk meringkus diri sendiri dari percakapan tentang pengungsi yang membentang tenda di antara pepohonan dan bangku besi. Mantel berbau malam-malam pelarian. Dan aku yakin, di dalamnya tak ada yang bisa berkelana selain tubuh dan hangat perjanjian. 2015

Kudus

O, Darahku yang tunggal mengapa mengalir ke tempat terjal? O, Darahku yang membenahi keringat sendiri, takutkah Kau pada tepi sepi? Sampai Kau gulirkan sendiri bulir-bulirMu ke dalam tenda, ke benteng kota di dada penuh lemak dan noda? Padahal mereka membangun diri lebih lega, lebih mewah, dan lebih curiga daripada rasa percaya -- bahwa dosa seperti busa pada acara mencuci gelas dan piring di pagi hari. Dan pada akhirnya, kekudusan adalah hal yang berurusan dengan pisau yang tak sengaja menempatkan tepi terbengisnya pada telunjukku yang kurus. O, Darahku yang tunggal mengapa tak tercurah ke rindu majal? Darah yang merapikan sendiri sedih sampai tak kukenali lagi kental doa dadih. 2015

Aku Mengingat Barah di Jangat

Dengan mengiris kenangan berlapis, aku mengingat barah di jangat. Mencium kembali darah dan keringat, menghidu lagi nanah paling amis. Memutar peristiwa kecelakaan tragis, betapa kata begitu berkarat. Dan kota adalah kotak pepat bagi kutukan imperialis. Tak bisa kutampakkan lagi tangis selain merutuk, meratap, rapat-rapat. Membuat jarak antar kata tak sempat rumuskan sepi, menjerumuskan alasan logis mengapa suara terkabar lebih manis dibandingkan apa yang sebenarnya telah tersurat pada jaringan kulit, daging, atau serat. Seperti ketika luka berubah kronis. 2015

Biar Kembali Aku Selesaikan

-- untuk MS Biar kembali aku ganti patah jarum waktu di ujung jubahmu pada karnaval orang-orang suci. Di mana pepanji dan janji diangkat tinggi, mengurung langit yang banal dengan warna pasi. Duhai, Engkau tak bisa terganti dengan kesucian yang adalah gunung dengan salju tebal dan dinding terjal bagi seluruh tungkai ini. Biar kembali aku selesaikan - lagi dan lagi - akhir dongeng murung di tepi bantal di deras alir mimpi. Agar Engkau, O, Anak Lelaki terbebas dari langkah limbung negeri yang gagal memberi arti. 2015

Mabuk Kota

Kota melabuhkan ikan-ikan dari teluk dan membawa suasana mabuk di ujung tengkuk. Kota menjatuhkan jutaan kutuk di lipatan ketiak, di limbahan yang mengubah bentuk. Kota juga memaksa engkau masuk, memilih berdiri atau berdesakan untuk duduk. Meski kau bertahan, berjalan membungkuk, tapi kota tak juga mudah untuk kau buat tunduk. Dia tetaplah kota -- tempaan kata-kata busuk. Baja dan beton saling menusuk. Dan seekor pelanduk adalah dia yang rela mati di gubuk-gubuk sekeliling telaga yang hendak jadi waduk. 2015

Meng Khi

Di luar, udara mengiris telinganya kembali. Dia hapal benar jalan ke dermaga, tetapi jung itu sudah tak kelihatan lagi. Di dalam kamar, sepi bersetia berjaga agar kemungkinan terburuk tak lagi ada, seperti kamus dengan beragam kata. Kini, dia melangkah dengan gagah. Telah dipersiapkannya sebuah telinga dan sekantung pedih pohon mangga yang kecil-kecil bunganya diserakkan begitu saja oleh sepenggal kenangan malam tadi. Sampai bertemu biji, katanya, aku tak akan pernah berhenti. Dia - juru kabar penuh luka, berjanji akan selalu kembali kepadamu, Kertanegara. 2015

Pertanyaan-Pertanyaan Untuk Perenang

1. Tiga hasta ke depan, kau tetap meraba. Sebab kau nir warna. Laut pun tak bersuara. Dia dinding dingin dan tali direntangkan dari akan ke sampai. Selebihnya suwung. Karena itu kau limbung, menimbang arah samudera atau hanya sejangkau menara. Tiga hasta ke depan, kau kadang merasa: hidup seperti 'slulup' tanpa oksigen yang cukup. 2. Menjelang gerimis, kau merasa gerah. Merasa ingin mengoyak jubah. Tapi September masih empat bulan lagi, dan di sini tak ada winter. 3. Laut, cakrawala bagi burung di udara. Tapi -- tembok tebal bagi bawal dan gurita. Kau peraba sempurna -- hendak menggapai segalanya. 4. Rasanya percuma bercumbu di geladak, jika tak melihat bintang di ufuk jadi cemburu. Rasanya percuma terlalu memikirkan perasaan temali dan layar, bukankah tak lagi ada cinta di sana? 5. Hidup memang sejumlah perkiraan: sepuluh, atau seratus, bahkan seribu kemungkinan. Tapi -- perjalanan tidak bisa diakhiri sebelum menemu art

Taman

Berulangkali datang, kau tetaplah kembang. Angin sudah kesiut, cinta pun lisut. Udara bungkuk. Logam berdentang. Dan para pencuri masuk dengan tangan terentang. Doa telah jatuh jadi embun. Yang merah hanya cerita bagaimana langit sengit pagi itu. Kotamu runtuh -- bisikku, tapi sepuluh pemegang lentera teguh. Kudengar -- amin panjang. Seperti karavan dengan tujuh ekor unta menanggalkan kemah tinggal pancang. Dan kulihat -- kau meregang. Kelopakmu terlampau nyeri jadi duri. Lembar-lembar mahkotamu ungu. Memecah dari ragu. *** Pagi itu, di taman, seusai membangunkan mereka yang tertidur, abad berganti. *** Sejak itu, para pencuri tak pernah kembali ke rumah sendiri. *** Kami kian pandai menyangkali bimbang -- kata penjaga lenter yang kini tinggal berlima. Di taman ini, angin tak akan mungkin bertanya lagi -- Masih inginkah kau kenang cium sebuah? 2015

Bau Nyale*

Di antara ganggang dan karang, kau pasti memahami -- hidup tak ubahnya tali. Mengulur waktu untuk mati. Dia tak menarik, cuma lembik dan warna pasi menjelang pagi. Sementara pasir pantai memeram semacam peperangan -- cinta yang tak pernah usai. Dan kau mencari - terus mencari : yang kelak luput atau tak mampu kau cabut. 2015 * Bau Nyale adalah upacara adat Suku Sasak untuk memperingati    Putri Mandalika yang menghilang di Pantai Kuta, Lombok. Pada    upacara ini, orang beramai-ramai mencari cacing laut yang konon    dianggap sebagai penjelmaan Putri Mandalika yang menghilang    karena menolak memilih satu dari pangeran yang ingin menikahinya.    Penolakan yang dia buat adalah untuk menjaga agar Bumi Sasak    tidak diserang kerajaan-kerajaan para pangeran yang ditampik olehnya.

Rusa

Aku tak pernah tahu -- apakah dia bahagia ketika pintu di lambung perahu dibuka. Seperti dari Mesir, ada yang dipanggil untuk memanggul sebatang dosa. Aku bisa juga menduga -- dia berpura-pura. Seperti dulu di Mara, orang terpaksa minum air pahit dari telaga. Menuruni Ararat, dia menangis. Merasa banjir belum berakhir. Sewaktu merpati membawa setangkai daun zaitun, dia merasa begitu getun . Barangkali, dia ingin berlari mengitari padang. Atau berbaring di samping batang tarbantin. Barangkali dia memang ingin berpaling dari kemah Si Tua itu dan tak lagi menoleh jejak tangis yang mulai kering. Ini tak lain karena dia hanya seekor rusa. Ruang untuk berdoa dan melepas dosa-dosa. 2015

Salib

Halaman kapela terbuka dan hangat. Tapi gerbang itu pernah patah. Dan ada yang tak ingin mengingat pieta . Di kota ini, gerimis -- kata pelayan itali, jadi tanda di dada dan dahi. Selebihnya seperti minum anggur asam di siang muram. Selanjutnya; ini bisa tak perlu ada -- Sejumlah remaja bicara bahasa hispania malu-malu minta cerutu seperti buku dibuka dengan ragu. Tapi -- dunia selalu berubah. Pintu yang dulu kau ketuk mungkin tak lagi berbentuk. Dan kita -- katamu -- cuma selah semisal lagu antar bacaan dalam misa arwah. Lalu aku mengingat homili dari ayat sesingkat ini: "Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?” Tapi gerbang itu pernah patah. Dan gerimis turun malu-malu di halaman kapela itu. 2015 * pieta = patung mahakarya Michael Angelo yang menggambarkan Bunda Maria menangisi kematian Kristus ** selah = tanda dalam alkitab (dulu digunakan untuk meminta musik dimainkan setelah doa) *** homili = uraian tentang suatu ayat a

Dingin

Tapi -- batang pohon itu putih. Dan sepi jadi lebih jelas. Salju turun bersama gelisah. Kota di bawah bukit sana menggerutu -- rindu adalah sesal yang ingin memperbaiki suasana. Kata-kata pun banal. Dan aku hampir gagal. Deretan pina majal di tebing terjal. Lalu kabut jadi paham bahasa kaum awam. Berbisiklah, katamu, sebab telingaku kelak melahirkan matahari. 2015

Pesawat

Aku akan mendarat dengan rindu yang penat. Sepucuk surat dengan alamat: Kota 9 janji dan 10 ribu pencuri. Tak usah kau lihat di jendela. Cinta sudah mengembun lama. Dari speaker -- pramugara/i selalu meminta: duduk dengan tenang bersama pelukan sabuk keselamatan. Sesuatu yang pasti tak pernah kauindahkan. Lalu - tadi - pilot bercerita jika cuaca dan waktu berdebat dengan jarak dan ketinggian. Siapakah mampu bertahan? Hanya sepi, jawabannya. Pasti. Aku akan mendarat pada cinta yang nyaris tamat. 2015

Pohon

Kau tinggal bernyanyi dan menyesal -- mengapa setiap pagi kita tak lagi bertambah tinggi? Masa depan, pijak punai di dahan. Kau bahkan tak sempat mengingat. Terus terpukau pada yang trubus dan menghijau. Suatu saat nanti -- katamu -- seperti dalam puisi Sapardi, kau akan terus mencari. Sedang aku pembuluh akar. Menaik-turunkan dunia ke lubang sepi. 2015

Tentang Penebusan

 Aku sering bayangkan, nabi muda itu terkejut di gerbang pasar. Melihat hidup bergerak dari proses tawar menawar. Sedang sang perempuan, ibu tiga anak itu, sinar matanya mulai redup. Tubuhnya tinggal timbangan: dua dinar, dua setengah, tiga dinar, dan seterusnya. Hosea telah menukar kebahagiaan dengan rasa kecewa sesungguhnya. Tanah dan kaum gembalaannya adalah alat meraba cinta. Perempuan itu: perumpamaan sempurna akan kesetiaan, dalihnya. Tapi dia maklum jika dan hanya jika takdir lebih berkuasa. Lalu di mana cinta berada, Duhai Tuan? Perempuan itu telah melahirkan kesedihan. Dari rambut sampai mata kakinya kesia-siaan. Sementara itu, setelah saudagar budak mendapatkan kehendak, perempuan itu terisak, "Jika adegan ini tak pernah ada, kau tak bisa membayangkan sebentuk cinta." Hosea, yang telah menyerahkan dirinya kepada cinta, berkata,"Penebusan ini untuk mengikat diri. Kita tak pernah benar-benar bisa dibebaskan." 2015

Lagu

Usai sudah waktu berbual. Kau adalah nada tertinggal dari hantu penyanyi itu. Di kafe ini, tak pernah tersaji kenangan seberminyak goreng pisang. Dan tak perlu tisu untuk menangisi masa lalu yang beranjak di sisa malam. Percayalah, mikrofon tak ragu meneruskan doamu. Kau bisa kembali naik pohon atau diam. Dari jendela kafe, sudah dibentang langit kirmizi. Tiang-tiang dipancang pencuri sesuai solmisasi. Tiba-tiba kita terhenyak. Dengan tangan berminyak, dia yang masuk dari jendela berteriak: Aku ingin bernyanyi. Tentang surga dan neraka yang sunyi. Dan dunia yang diciptakan mimpi. Cuma piano (dari sudut panggung) mengalunkan sonata ke dua. 2015

Sajak

Hanya melintang. Dari kecemasan hingga gamang. Selebihnya angin. Menggelitik sulbi. Dia akan menyapa pagi, katamu, setelah lebih dulu menyalakan matahari. Aku belum mengerti -- di atas atap, asap mengalahkan nasib. Kasip, katamu. Sajak sudah terbentang. Ujung dan pangkal hanya titik. Remuk sebelum terpegang. Angin pagi, turun dari bukit. Kita cuma daun, jeritmu, tak kuasa menerjemahkan gaung. 2015

Kapal

Ada saatnya kau tak lagi mempertanyakan pantai. Sangsi cuma sisa cecap anggur dan amis remis tanpa kecap dan jeruk nipis. Tadi -- rombongan koper dalam bagasi sudah tuntas dinomori dan diberi resi. Kau tinggal berangkat, dengan cinta yang cacat. Tinggal abai pada peluit dan suar. Selepas itu, kita sama-sama berpikir keras: hidup tak lebih pelik daripada persoalan menarik napas. Dan kau masuk dalam rindu. Sumba biru dalam sukmamu itu. Tapi -- ada saatnya kau tak lagi mempercayakan diri sendiri. Nasib jadi gelombang menyuruki pinggang. Meraba-raba kehampaan. 2015

Analogi Sungai

“Lenyapkan aku, habiskan aku dalam hausmu.”                   Joko Pinurbo 1/ Aku tahu, kau tak akan berhenti di bawah bayang jembatan besi. Di antara batuan padas, rumpun bambu, dan kesepian yang tak habis diperbincangkan ini. Kau terus mengalirkan luka – dan sejenisnya untuk diteruskan sampai habis peradaban. Aku tahu, di situ hatiku bukanlah batu. Yang lama-lama tergerus dan kausangsikan mampu bertahan.Tak ada permisalan sempurna kecuali sebaris lirik lagu lama – dendang melayu; “Anak punai, anak merbah, terbang turun buat sarang. Anak sungai pun berubah, ini pula hati orang.” 2/ Aku sungai, kau pun itu. Kita saling menggelorakan harapan. Tak penting sesiapa lebih dulu berniat menghanyutkan. Di antara batuan padas, rumpun bambu, dan kesepian yang tak habis diperbincangkan, aku beroleh bayang-bayang jembatan besi. Dan kau mendapatkan kembali kenangan yang urung terlarung. 3/ Seperti Gangga, Tigris, dan Musi s

Upaya Menerjemahkan Ratapan

“Aku seperti waktu, karunia itu.”        Goenawan Mohamad 1/ Doa, mungkin, bersayap gelap seperti burung. Dan di kepaknya yang dingin, aku tak lagi diinginkan. Dan tembok itu sudah menghadiahkan ratap yang murung. Di setiap batunya, terselip tangismu yang tertata serupa gurindam; “Apa dayaku, duhai Tuan, selain menyesal, hanya waktu, kuminta demikian, selesai menyoal.” 2/ Aku datang dengan harapan, di setiap suara – yang tampias dari hujan – masih ada atap, kamar atau lantai untuk memanggungkan. “Datanglah segera, Tuan, membasuh duka ini, sebab hamba, O Tuan, tak sanggup berduli lagi.” 3/ Sementara di sini, di sebelah utara dini hari, dua tangan ditangkupkan. Lalu perlahan seluruh penduduk kota menjadi benci pada suara ayam jantan. 2015