Posts

Showing posts from June, 2013

Bayang Rumah pada Badan Jalan

Rasanya, tak ada yang setabah bayang rumah pada badan jalan. Setiap yang lewat, dibiarkan merasa teduh sejenak, tanpa merasa diperangkap                                                         dalam gelap. Rasanya, tak ada yang sesunyi bayang rumah pada badan jalan. Derap langkah kaki dan jerit klakson juga derit rem, diredamnya dengan permainan cahaya dari matahari dan laju awan, tanpa pernah ada yang bertanya - mengapa? Rasanya, tak ada yang merasa begitu terancam oleh waktu, selain bayang rumah pada badan jalan, ketika matahari bergeser sedikit ke barat, atau tiba-tiba hujan datang, ia akan menemukan dirinya dalam ketakutanku, pada apa yang tersembunyi di antara terang dan gelap, dalam kehidupan ini. 2013

Para Pemburu Pertanyaan

Ketika mereka datang, daun di atas bangku taman itu dihempaskan angin ke dinding di seberang jalan. Matahari merunduk, jari-jari cahayanya menyelinap ke sela-sela batu. Dan ketika mereka berbincang - menyoal beragam hal, nama juga peristiwa, seorang pengemudi becak mengayun-ayunkan sandal menggusah kucing yang hendak menyeberang. Perbincangan yang seru. Hingga mereka lupa waktu, dan waktu pun seperti melupakan mereka dengan memainkan gerak daun di tubuh angin, juga sehelai bulu kucing yang jatuh di badan jalan. Sementara aku memandang semuanya dengan tatap hampa, tiba-tiba merasa semua pertanyaan limbur dan merusak kenyataan: langit adalah atap, dan di jalanan, semuanya seperti berlari menghambur menghindar dari bayang waktu. 2013

Menyoal Suara dan Cahaya

Derap langkah mereka, bukan gegap yang kuinginkan Aku menyukai kegelapan, sebab degupnya mengingatkan aku pada hal-hal yang pelahan redup, beberapa saat                                                                    kemudian. Kegelapan mengajariku meraba Menyentuh hal-hal yang tidak rata Membuatku yakin, tubuh harus terbiasa merasakan kekasaran. Supaya tubuh  kian tabah                           Makin tahu semua yang lemah Sehingga kurasakan darah berdesir sendiri Seperti langkah-langkah mungil sepi Mereka yang melangkah, sebenarnya tahu : sepi itu milik sendiri saja. 2013

Upaya Menerjemahkan Burung Terbang

Kalaulah kolibri, sayapmu bergetar beribu kali di antara rumpunku yang pemalu. Rumpun penuh bunga dan madu. Bahkan lebih dari yang kukira, kau lebih lesat dari apa yang bisa kusiasatkan dari dedaunan yang mulai layu. Kalaulah raja udang, kau pandai benar berburu ikan, kodok, dan serangga dari sungaiku. Sungai yang tulus, meski tak benar-benar bisa menghantar kesedihan yang beku. Dan kalaulah cenderawasih, begitu kau rapi memanjangkan warna bulu di belantara akar hutanku. Hingga yang tersamar di antara kabut dan lumut, kau umbar, sampai tiada lagi yang dapat kusembunyikan sebagai rindu. Aku hanya daratan yang menanggung sekarat rumpun bunga, melaratkan sungai-sungai ke tempat jauh, dan merimbunkan hutan-hutan ke dalam pandangan penuh rindu, dari seseorang yang berupaya menerjemahkan burung terbang, menjadi kata-kata bersayap, yang lesap tanpa membuatmu bimbang. 2013

Pada Makna, Pada Kata

Jika telah diserap makna dari yang lindap pada suatu pagi, maka melawanlah dengan kata yang terbit dari matahari. Jika telah diambil makna dari yang muskil dipisahkan dari matahari, maka melawanlah dengan kata yang redup seperti kabut. Jika telah direbut makna dari kabut, maka melawanlah dengan kata yang sebasah lumut, dan hujan. Jika telah digenggam makna dari hujan, maka melawanlah dengan kata yang jatuh seperti daun, sebelum terbuang ia ke dalam selokan. Sebab perlawanan kita adalah kata-kata yang belum sempat ditahbiskan, belum habis diterjemahkan, sampai kita menemu makna yang tidak menjemukan. 2013

Telaga

Yang meliuk di sisi sisik ikan, terasa sebuah peluk dan kecupan. Yang berkecipak di muka telaga, terasa sesak di dalam dada. Yang dirangkum dari kuncup teratai, terasa seperti degup yang lepai. Siapa terpancing di dermaga? Selain awan dan gunung menjaga para pelancong dan tali-tali pancing tak henti melemparkan diri pada angin yang menepis hal-hal seperti kabut, dingin dan air mata, pada sebuah sudut tanpa pertemuan garis-garis gerimis. 2013

Apel - 2

(1) Kalau aku terjatuh, bukan karena kau rapuh, atau tak tabah pada hal-hal yang membuatmu melepaskan aku. Kau tetaplah pokok yang teguh dan kurasa begitu teduh, daun-daunmu lebih dulu mengantarku pada kejatuhan ini. Aku setia pada yang ranum, juga yang alum, seperti sepasang kekasih yang sama-sama maklum pada sebuah perpisahan. (2) Aku tak pernah berjanji, selain memberi bebiji. Kubiarkan dagingku hancur dan berjamur, hingga selalu ada perdu yang bersemi. Perdu yang berulangkali diceritakan di ambang tidur kanak, yang digemari oleh ternak, dan pada sebuah taman, dijagai beludak. (3) Kalau aku terjatuh, anggaplah sebagai bagian dari mimpimu saja. Dan kau hanya akan mengingat sebuah kisah yang mengekalkan tidurmu tadi malam. 2013

Tak Ada Kapal Berlayar di Langit

- Ahmad Yulden Erwin Di tangan Kush, kapal berlayar di tengah meja. Taplak putih, tak berbuih. Kayu keras datar. Di mata Paz, dermaga adalah tubuh, melengkung dalam diri. Kau, penyeberang yang bimbang. Sungguh. Tapi, tak ada kapal berlayar di langit. Hanya burung-burung hitam dalam sangkar mirip kepala seseorang tengah membaca puisi. Dunia sepi. Penyair dan pelukis sama-sama diam. Di kepala mereka, malam berenang. Ombak adalah tangan terentang, dan ikan-ikan seperti burung balam, duduk meratapi seseorang yang mati. Yang wajahnya tercetak pada uang kertas, di atas meja loket, di mana seseorang seperti engkau mengantri saat keberangkatan. 2013

Malam Picisan

(1) Bintang seperti mata Pacar, berbinar-binar ketika mendengar kabar - kekasih pulang Bulan, sebulat rindu. Tak mampu ditahan bayang dahan. Ditelanjanginya bulat-bulat tubuhnya di danau itu Di antara desau angin dan kepak kelelawar, ada yang melayang ragu : nada sambung telepon genggam. (2) Ada pesan pendek masuk di telepon genggamku : seseorang menunggu  dan berdoa dengan khusyuk di Getsemani. Aku harap pesan itu dari pacar. Malam ini, kami janjian menebak rumpun mawar - Itu Ispahan! Ah, bukan. Dia jenis Floribunda! Aku membayangkan sebuah perdebatan. (3) Di tepi danau, kulihat dia. Yang matanya seperti bintang, dan berkata-kata penuh rayu rindu : selamat datang, Malam. Selamat berjuang! Ada beberapa pertanyaan harus dijawab agar menang. Perlu bantuan menelepon atau mengirim pesan kepada seseorang? Nanti kami sambungkan. Bulan benar-benar bulat saat aku mulai berkeringat. Tiba-tiba terhidu haru

Menemuimu

Aku mengingat Fernando, yang disebut oleh Frida dalam sebuah lagu:  kita masih muda, penuh daya hidup, dan tak ada dari kita bersiap untuk kematian* . Tapi langit terang, bulan membayangkan pokok mahoni - siapa peduli arti menanti? Jalanan seperti sirkus, mahir dan mangkus mengusir kesepian dengan suara dan warna. Kembali ke dalam diri, menemuimu, yang tua dan kelabu. Getar senar gitar penuh rasa cemas akan kemerdekaan utuh. Tapi ini bukan Rio Grande, Tuan - begitu bisiknya. Tak akan kau lihat budak-budak menceburkan diri ke sungai dan menyeberang untuk kebebasannya! Ini Jakarta. Kulihat anak-anak tertidur di gerobak, kuli-kuli berjalan kaki menyandang cangkul dan laki-laki memakai rok mini menari-nari dari satu warung tenda ke lainnya. Dan aku masih mengingat Fernando. Perang besar telah lewat. Tapi, lewat suara gitar, derunya masih kudengar - siapa merasa menang? Siapa merasa senang? Cahaya lampu berpendar ke arah trotoar,

Menelusuri Sungai Minish dalam Puisi Gus Tf

Sebelumnya, biarlah anda menikmati terlebih dahulu puisi yang saya maksudkan ini. Susi Tali, Susi Akar ... 3.       Tak Soal Si Pengunyah Serta, Si Pemakan Akar, itulah dua nama yang kauberikan kepadanya sesudah banjir besar itu menjelmakan dia jadi ikan salem. Kami tahu, tinggal hanya dia yang pernah hidup di Baalbek dan Tiahuanaco sebelum menjelma jadi reruntuhan dan kota tua, Dalam air, di dasar Sungai Minish, dia mulai menyingkirkan tiang-tiang dan batu, memanah serat-serat dan akar kayu. Menyilamkan dendam dan benci, mengangakan cakra dan Susi. Setiap hari, setiap hari dia hanya berenang-renang. Setiap hari, setiap hari dia hanya bersenang-senang, melupakan kami dan pertanyaan sialan itu: mengapa ini terjadi bagaimana ini terjadi. Seperti kauduga, pelan-pelan dia mulai membelah diri, menjadi dua. Sebagaimana dulu di Baalbek, Si Pengunyah Serat lebih suka hidup di hulu, di ketinggian, di gunung-gunung, yang membuat dia merasa dekat dengan seme

Terjemahan Bebas Sajak - Sajak Octavio Paz

Gerak Kalau kau gurat waktu batu ambar     Aku urat darah menyebar Kalau kau bulir salju mula-mula     Aku pelita hati pagi tiba Kalau kau menara malam     Aku onak menyala dalam pikiran Kalau kau pagi berombak     Aku burung pertama berteriak Kalau kau sekeranjang jeruk     Aku pisau mentari menusuk Kalau kau altar batu     Aku tetangan tabu Kalau kau daratan terlena     Aku tebu hijau sempurna Kalau kau laluan angin     Aku api terkubur dingin Kalau kau mulut air     Aku lumut bau anyir Kalau kau hutan dalam kabut     Aku kapak membelah runut Kalau kau kota berpolusi     Aku air limbah dan lindi Kalau kau kuning batu gamping     Aku tangan merah lumut kering Kalau kau matahari naik     Aku darah menakik (sajak aslinya berjudul "Motion") Jembatan Antara kini dan kini, yakni aku dan kau ini, ada jembatan kata. Melampauinya kau masuk dirimu sendiri; dunia terhubung sempurna terkunci seperti cinc