Posts

Showing posts from December, 2011

Pembacaan "Sebelum Masuk Gubuk, Setelah Mabuk Derita"

Raka Mahendra, Yosephine Maria, dan Yayok Apfd, dari KPSI, membacakan sajak saya "Sebelum Masuk Gubuk, Setelah dimabuk Derita" di Warung Apresiasi Bulungan, tanggal 28 Desember 2011.

Gaun Tidur 1001 Malam

Gaun Tidur 1001 Malam - malam ini, sebelum cerita dimulai, Raja Syahrayar meminta Ratu Sassanid itu mendengarkan nyanyiannya Cinta seperti gaun tidur yang membiarkan separuh bahumu terlihat, Syaharazad Gaun tidur yang membuat aku bermimpi tanpa harus tertidur, dan lorong-lorong istana yang kosong, seolah gorong-gorong - penuh sampah alam nyata. Cinta, Syaharazad, adalah bagaimana ujung gaun tidur itu menyentuh pualam di dingin malam, sehingga menjejakkan cerita yang tak pernah ada dalam pikiranmu - cerita yang aku dengar bahkan sebelum kau mengetuk pintu kamar. Cinta juga lah gerak juntai gaun tidur itu, Syaharazad yang menganggunkan lambai tungkai dan lenganmu, sehingga angin terdiam beku oleh dinginnya sendiri, dan api di tungku, menelan kehangatannya kembali. Cinta, Syaharazad, semacam lipit gaun tidur itu, yang persis kalimat sebelum akhir kisah yang sengaja tak pernah kau tamatkan. Lipitan yang kau atur sebelum duduk di tepi ranjangku, hingga hukuman yang pernah kujanjikan dul

Merayakan Tahun Baru

Merayakan Tahun Baru Tahun baru, katamu, seperti hantu yang telah lama mengintip dari balik pintu. Tapi tenanglah, tambahmu, karena ada Tuhan bersamamu. Kau bermaksud menenangkanku. Hanya kulihat wajahmu justru mengingatkan pada sebuah Desember yang basah dan kesepian, yang ditinggalkan oleh mereka yang pergi beriringan membawa terompet, kembang api, dengan satu atau dua botol minuman, untuk merayakan kematian 365 hari, yang akan dimakamkan secara bersamaan di udara, malam nanti. Tapi itu bukan kematian yang menyakitkan, katamu lagi, karena besok paginya seorang penyapu akan mengeluhkan - bagaimana cara tercepat menguburkan jutaan bangkai kenangan yang terserak sepanjang jalan? 2011

Pada Mulanya Adalah Nyanyian

Image
Pada mulanya adalah nyanyian, cakrawala terbuka di kaki langit, kesiut angin laut, dan suara karang dihantam gelombang. Nyanyian itu digemakan guha-guha, direnung gunung dan bukit, tapi selirih suara satwa yang telah disembelih, dan dikorbankan di atas altar. Dia diulang-ulang dalam sembahyang, sebagai nama-nama tuhan, yang dikenalkan dan dikekalkan aneka kitab dan mantra. Dizikirkan para peziarah, yang zuhud, yang mabuk cinta. Yang lupa pada usia, dunia, dan peristiwa-peristiwa yang berkelindan pada pagi dan petang. "Baiklah, kita tidur sebagai bayi saja," katamu dalam tangis yang manja. Tangis yang timbul setelah kita tak mampu lagi bicara tentang pahlawan, pedang, atau raja. Padahal tadi, aku hendak bernyanyi memuji Dia, karena sejak awal tak ada bagiku yang lain selain nyanyian kemenangan. Nyanyian yang dikutuki para pecundang, digelorakan para serdadu dan pengasah pedang. Sebab, pada mulanya memang hanya ada nyanyian, suara-suara yang didengar dari atas tembok kota, dari

Peristiwa Di Depan Istana

Yang didahagakan para denawa dan Rahwana adalah juga yang kita cintai dari hal-hal yang nyata, Kekasihku. Dan jika dengan air dan debu, Engkau masih ragu, biarlah kunyalakan tungku. Api adalah apa yang menuntaskan, juga memuaskan. Kepadanya, segala yang indah tak sepenuhnya musnah, hanya mengabu, mengembalikan pada senyawa-senyawa sederhana. Memecah-mecahkannya ke udara. Dan akhirnya, Kekasihku, yang terlihat adalah hakikatku. Muasal dari semisal bahan aku dibentuk. Hm..Hanya mungkin tak kau lihat yang menyublim itu! 2011

Esai Fradhyt Fahrenheit "Masturbasi Kata-Kata"

Catatan: Esai berikut, ditulis dalam rangka rencana penerbitan buku puisi saya yang perdana "Gelembung." Ditulis oleh seorang Creative Director yang juga telah menerbitkan novel (trilogi) yang best seller dengan angka penjualan yang fantastis. Sengaja saya memilih beliau dikarenakan profesionalitas beliau sebagai creative director sudah tidak bisa diragukan lagi. Banyak brand jadi besar di tangannya. Dan sesuai dengan keinginan awal saya yang ingin menjadikan sajak-sajak saya bisa diberlakukan seperti sebuah brand, maka begitulah kami berjodoh dalam buku ini. Berikut adalah tulisan beliau. Silakan dinikmati. Masturbasi Kata-Kata Dalam pengantarnya Dedy Tri Riyadi menuliskan, “Sebagai penyair, saya merasa sangat perlu menjadikan puisi-puisi yang saya tulis bukan untuk konsumsi pribadi.” Saya setuju. 1000% setuju! Setidaknya kalau ingin jadi profesional di era sekarang, wajib mengerti insight dari komunikan, atau target market. Harus tahu tren dan apa yang diinginkan suatu komu

Teringat Sumadi

Sebagaimana bunga memercaya cahaya, yang memekarkan warnanya, dan kelak akan membuatnya kekal pada mata lebah madu atau kupukupu itu, begitulah aku memanjakan panjang ingatan yang merentangi waktu. Ingatan tentang kedai bibit tanaman di depan asrama kampus, seseorang dengan tubuh tinggi-kurus, dan cita-citanya yang terlanjur lampus, seperti mahkota bunga sehabis peristiwa penyerbukan itu. Dan sebagaimana bunga yang layu dan jatuh itu percaya: benih hidup yang dikandung badannya, akan berkembang jadi buah yang manis dan cantik, aku pun yakin pada sederet kalimat talqin yang dibacakan sebelum dia dimakamkan. Namun ada semacam getah buah sawo kecik yang tak akan lekas lekang membuat puas pada dahaga tentang hal-hal yang baik, tapi menyisakan sedikit rasa getir di sudut bibir. 2011

Kita Bercinta seperti Angin di Gunung Itu

Kita bercinta seperti angin di gunung itu dilembutkan suara hutan dan air terjun, dipagutkan warna satwa dan segala rumpun. Sampai kita tak bisa bedakan: itu percik atau embun. Cahaya matahari memintal bayangannya sendiri, seperti aku yang tak menyesal hilangnya diri, sedangkan kau - gemawan di ujung ufuk, memukau tubuh ladang yang menguning jeruk. Kita bercinta seperti angin yang sampai di sebuah dangau, meningkah sayup suara gending di radio yang merasuk dalam mimpi siang petani yang lelah. Sementara seekor kerbau sibuk memamah rumput di sebuah kubangan, di dekat sungai. Seperti aku yang takjub - bagaimana cinta selembut maut, tiba-tiba mengingatkan akan Tuhan. 2011

Litani Petani

Diberkatilah caping dan matahari, karena mereka buat aku mengerti begitu teduh harapan meski selalu setia panas bersinar. Mereka mengajarkan aku sesuatu yang padu padan dan yang berlawanan, tetapi bisa berada bersama di padang terbuka. Diberkatilah cangkul, lumpur sawah, dan rumput. Mereka yang memberi pengertian bahwa hidup itu senantiasa bergumul, berserah, dan tak menyerah meski pada maut. Diberkati juga embun dan sungai. Supaya kami belajar menerima yang sedikit seperti titik-titik air di atas daun, dan disadarkan bahwa tak ada padas yang tak bisa jadi batu paras, sepanjang kita terus menggerus. Diberkatilah lenguh dan embik ternak itu, juga cicit anak burung dalam sarang. Karena mereka semua menyadarkan aku bahwa kata-kata haruslah disuarakan dengan bijak, bukan keluh, jerit, dan teriak semata. Diberkati pula Pak Kades, Carik, Modin, dan Kamituwo, lewat mereka, aku belajar tertib untuk dipimpin. Seperti setiap menjelang magrib, serombongan itik atau kambing juga sapi dituntun gemb

Kekasihku Bukan Bunga Melati

Ia bakung, bunga gunung biasa. Kata-katanya kelopak berwarna, tegak mengatasi rumpun daunnya yang rimbun. Ia yang berkata "silakan" saat aku datang dengan sakit di pinggang, juga waktu kukeringkan petal-petalnya jauh setelah natal - sebab di Juni sampai September, aku kerap menanggung panas dalam. Amboi! Dia berumbi. Dari padang rumput, hutan, dan rawa-rawa, kukuh tak tercabut. Dia bertahan, selama dia bisa. Kekasihku bukan bunga melati, yang kau hidu harumnya, dan dibiarkan mengerang, "Aku mengering!" 2011