Posts

Showing posts from 2014

Belajar Percaya

Kita belajar percaya pada angin, agar diperjumpakan dengan jumbai jubah lalu getar jadi denting. Kita belajar percaya pada tanah, agar ditetapkan telapak dan kuda-kuda dan diluruskan arah langkah. Kita belajar pula pada pejam mata dan tajam mata tombak, supaya segala yang bergerak dipadankan, sepadatnya. Dan jadilah kita sepasang pemangsa yang saling menjaga kata dan suara supaya tidak sama merasa kau atau aku yang pertama mengeluh; O, Hidup. Apa darimu yang tak cukup? 2014

Dalam Hari Ini

Dalam hari ini, aku bunyi yang putus dari dawai lira. Tapi tak perlu kau mengira satu komposisi begitu mangkus membuatmu jatuh dalam lara. Dalam hari ini, aku laju gemawan di langit biru. Barangkali di situ segala yang kau pikirkan jadi permainan menduga bentuk sederhana. Dalam hari ini, aku jadi bentuk yang utuh menangkapmu. Sepasang lengan yang lincah dan gemuk yang akan mendekapmu dengan riang dan dalam pelukan itu kita bicara tentang hari ini saja. Ya. Hari ini saja. 2014

Penjaga Malam

Penjaga Malam Dengan cemas aku berdiri malam ini, menanti kemungkinan yang terlepas dari gejolak di dalam hati. Ini seligi telah ditajamkan sesiangan tadi. Siap memburu hewan-hewan yang mencengkeram keriangan di dalam hati. Jangan silap, aku berdiri tidak untuk menombak atau merombak hukum yang pasti. Sebab yang kutahu darimu: kematian akan menjangkau segala yang hidup. Meski di malam ini, tiga mahluk buruk terus menghantuiku dan membaui sisa-sisa hidup yang ada di sini. Mereka yang bertopeng baja, mengincar gelisah di dada. Mereka yang bersenjata, tahu benar ketakutan itu nyata. Mereka yang berdiri saja membuat aku merasa tidak baik untuk tidur sebentar saja. Tidak! Tidak baik tidur sebentar saja. 2014

Pada Jendelamu

Pada Jendelamu "Aduh, kekasihku padaku semua tiada berguna..."          Amir Hamzah   Pada jendelamu, kumainkan bayang yang seruncing dan setajam maut. Rasa takut yang lama kupagut. Pada cahaya yang terbakar di sana, kugantungkan semacam harapan yang berulangkali lepas dari tangan. Dalam gelap kamarku sendiri, selembar kain peluh dan selimut berkali-kali basah dan kusut oleh tingkah hidup. Kegelisahan yang tak ingin redup. 2014

Biarkan Aku Mencintaimu Dengan Cara Begini

Biarkan Aku Mencintaimu Dengan Cara Begini Seperti buluh pertama yang terkulai dalam badai. Dia yang tak pernah berkata, "Nanti dulu, aku hendak tegak." Seperti helai daun pertama yang dibelai embun. Dia pasrah dan maklum, "Biarlah, inginku surut oleh dingin." Seperti kuntum pertama yang dimekarkan udara. Dia disergap prasangka, "Ternyata hidup kaya warna!" Seperti pokok yang dilamun kabut dini hari. Dia tak resah pada cuaca, "Tetap kujaga nama-nama yang telah ditorehkan olehmu. Meski setiap kali, ada yang jatuh, menurut, dan tertipu pada suatu peristiwa." 2014

Tidurlah Kekasih

Tidurlah Kekasih : Iztacchiuatl "Bahkan aku telah gagal sebelum aku memulai sesuatu."        Abraham Ibn Ezra 1. Hidup - bagiku - gugur buah-buahan, jika kau - pemimpi - hanya berjaga lalu terbuai suasana. 2. Peperangan belum usai, butir salju dari para dewa baru saja ditebarkan di atas tubuhmu. Kibaskanlah! Kembangkan kipas bulu merak itu! Para pemuda - orang-orang suruhan juga budak - menghunus pedang di gunung. Raja-raja menggelar peta dan berhenti minum anggur. Murung. Pasangkan juga sehelai merak di atas kepalamu, Kekasihku. Sebagai tanda: kelak ada yang berbahagia, mengelak dari segala bahaya. 3. Aku, Kekasihku, pemberi tanda panah ke atas di selembar kertas. Di mana waktu beringsut, begitu rupa seolah di hidup ini tak ada yang benar keras. 4. Jika perdamaian dilembarkan di lembah, para pemuda dan raja-raja saling sembah, bunga-bunga peoni mekar, dan kau, Kekasihku, turun dari puncak gunung seringan dengung lebah. Akan

Tak Akan Dilenakan

Tak Akan Dilenakan Telah Kudengar nyanyian persembahanmu. Telah Kusabarkan singa yang meraung di ruang-hatiKu. Dan mahkota bebungaan itu juga telah Kusediakan untukmu. Nanti, akan kaukenakan - jika habis impian. Sisa doamu, yang Kudengar di tiang altar, jadi kuntum di depan kakiKu. Yang bergetar seperti dawai gitar saat Aku berjalan. Saat Aku mendengarkan penuh perhatian. Kini biar Kuberkati tidurmu. Juga dinding kamarmu yang sedikit terang itu. Kuberkati, karena ruang-hatiKu jadi gelap juga. Lantai dan dindingnya gemetar seakan hendak runtuh. Kuberkati dengan satu-satunya harapan: dalam setiap kegelisahan yang berulang kaunyanyikan, tak akan dilenakan sebuah kekaguman. 2014

Makanlah Bulir-Bulir AnggurKu

Makanlah Bulir-Bulir AnggurKu Kau yang berserah, tenanglah. Biarkan burung-burung mengerti betapa hidup bukanlah benang panjang di antara paruh mereka itu. Berbaring, dan nikmatilah kesendirian. Jika ingin, makanlah bulir-bulir anggurKu. Yang Kusediakan di dalam cawan, dibagikan pada semua binatang, dan Kusimpan pada relung paling rahasia dalam dirimu. Makanlah sepenuh nafsu. Agar dalam hatimu timbul kegelisahan baru. Yang membuat kau ingin punya sayap dan terbang atau bergulir jatuh seperti bintang di langit terang. Dan orang-orang yang memandang mengambil waktu berdoa dan percaya akan DiriKu. Atau, bisa saja kau berharap jadi titik-titik hujan yang mengandung harapan bagi petani dan pekerja ladangKu. 2014

Hatiku Ruang Kudus

Hatiku Ruang Kudus Hatiku ruang kudus bagi beragam ritus. Mereka yang saling genggam tangan, menancapkan sebilah doa pelan, dan membunuh rupa-rupa kesunyian. Di dalam hatiku, roh merpati terbang tiga kali. Waktu berhenti berdentang, seperti siput hilang rumah dan dibakar ayat-ayat asing, lalu hilang jadi debar. Sekali waktu, ingin kututup hatiku serapat mungkin. Untuk berdua denganmu sesaat saja. Agar cuping hidung kita saling sentuh, lalu doa dan segala upacara jadi keluh; Jadi suara yang tak bisa kupahami ketika aku masih ada di bumi. 2014

Ironi Bagi Para Perenang

Ironi Bagi Para Perenang “Dewa-dewa, para prajurit hilang di asingnya medan perang, tak pernah kita tahu siapa mereka sebenarnya,”                 William Meredith Karena laut adalah penggembaraan, kegembiraan masa muda, berilah aku sampan. Bukan gajah betina. Lengan dan tungkaiku selalu menggapai harapan, membentuk gerak canggung ke depan, begitu aku perumpamakan. Bukan gerak balerina. Kupandangi sekali lagi: ombak dan langit. Hal-hal serupa pemberontakan sengit. Dan memastikan: suaraku bukan kata-kata penuh pesona. Sebuah ledakan dari masa lalu yang kembang. Kata-kataku belalai gajah yang siap dan sigap untuk menyerbu, menyembur. Kata-kataku tumpuan kaki sebelum menyentuh air. Hingga puisi ini semacam ruang hampa tanpa warna   di tengah kegelisahan para perenang, saat menyeberang selat. Kau tak harus memedulikan kecuali kau benar-benar merasa begitu haus dan kelaparan. 2014

Ketika Engkau Datang

Ketika Engkau Datang "Dunia, sebenarnya, yang ke dalamnya dia datang dalam waktu-waktu ini, tampak sederhana saja."                     Jon Anderson Lebih tinggi dari pucuk piramida, kegelisahanku memuncak dan tak juga reda. Bunga-bunga rumput diudar ke udara. Tubuh buruk tanpa busana. Lebih kusam dari jendela kamar, harapanku gambar kapal karam di kejauhan. Jejak masai angin badai. Seluruh hal yang akan disesal. Namun kali ini, seperti dalam waktu yang dihembuskan demikian kencang, aku harus tetap tenang. Menjaga setiap kata, kalimat, dan bangun puisi ini dalam harmoni. Supaya ketika engkau datang, akan kau dapatkan: aku tegak dan selalu rimbun selama menanti. Selama hidup ini tak sekedar rupa dan bunyi. 2014

Lihatlah Aku

Lihatlah Aku "Hanya bagaimana cara —bukan kapan atau di mana, bahkan bukan apa— kau melihatnya."            Lenore Horowitz Di bumi ini, waktu kuat namun licin, seketat jadwal kunjungan di mausoleum Ho Chi Minh. Tak bakal sempat kita bergunjing - tubuh lilin itu, benar dia atau orang lain. Karena itu, aku meminta dengan sangat kepadamu; Cukup lihatlah aku! Lihat bagaimana aku berdiri, menggeliat, bahkan akrobat dan tak henti berlari seperti gemawan yang gesit berkelit di langit. Aku tak mau menuntutmu memberi hal-hal ajaib dan superlatif dari cinta. Sebab segalanya akan berkurang kadarnya seiring waktu. Cukup lihatlah aku, kali ini. Sebagai kata-kata dalam puisi yang berdiri seperti petugas jaga dari jalan, alun-alun, dan bekas istana di kota ini. Mengawal perjalananmu supaya tetap berbahagia. 2014

Di Bumi

Di Bumi "Kami membaca masa depan, bukan masa lalu, dari wajahnya."                May Sarton Telah disembunyikan segala pertikaian di bawah cahaya langit malam. Telah dibunyikan terompet kecil natarian oleh prajurit jaga malam. Telah diselesaikan gerak lompatan jadi fouetté rond de jambe en tournant. Yang belum hanya menerima undangan darimu, Tuan, ke pesta pernikahan. Agar di bumi seperti di surga. 2014

Aku Tak Patah

Aku Tak Patah "Tetapi kesedihan memiliki tradisi panjang, melewati mata demi mata, dari hati ke hati,"                          Yehuda Amichi Langit tak jadi terang dalam angan, ada badai yang sengit, mengguncang dan menerbangkan diri ke lubang sepi. Tak hanya bintang akan jadi pandu. Ada tiang-tiang listrik dan juga gardu. Mengingatkanku pada waktu. Para peziarah berulangkali menjenguk dan bertanya, "Adakah yang lebih khusyuk dari doa semata?" Tapi di rumah kata-kata, ada lebih banyak airmata. Sungai dan darah murni bagi kaum petani yang meminta langit selalu terbuka, agar pusaran badai itu berputar dan mengisap lebih kencang hingga sepi tak akan lagi mematahkan aku. Lebih dari itu, ia akan mementahkan kau yang berseru, "Kemari. Kau akan kuperbaiki." 2014

Jangan Dengarkan Aku

Jangan Dengarkan Aku "Dengarlah aku seperti seseorang menyimak bunyi hujan," Octavio Paz Mataku: buta masa lalu. Topi penambang di dalam kelam. Yang kutemukan hanya sepotong tubuhmu - lorong panjang paling kering. Tanganku: doa bisu. Bunga tak kembang, tanpa jambangan. Yang kuraba perasaan bahagia sekaligus bayang baju - warna kuning kurang jernih. Abaikanlah suaraku: bulu unggas hiasan kepala. Yang tak menyentuh siapa-siapa. Tak ada harapan di sana - terkulai seperti bekas linggis dan garu. Kau tak akan temukan pecah benih salju. 2014

Perangkap

Perangkap "Ikutilah aku. Jangan mengikutiku. Aku akan bicara hal-hal semacam itu, dan maksudku keduanya." Stephen Dunn Kegelisahanku gergasi penangkap peri. Dengan perangkap kupu-kupu di tangannya. Ingin menyekap aku dalam dunianya. Tentu, aku tak mau menyerah. Aku peri pemarah. Kukutuki langit warna dadu, juga tanah semu tembaga. Kadang aku kalah. Masuk ke dalam perangkap mereka. Tunduk dan hanya bisa memandang: wajah tak ramah. Kadang aku terbang tinggi. Membuat mereka melompat dan berlari. Membuat awan kalang kabut dalam gerak kalut. Aku tahu rahasia - ini yang ingin kusampaikan padamu: Jemari gergasi itu demikian gemuk, hingga tak bisa menjumput tubuh kata yang begitu mungil. Tujuh peri kecil yang tumbuh dari pikiranku tentangmu. 2014

Kenangan

Kenangan "Kau bangkit, dan di depanmu berdiri: ketakutan, doa-doa, dan sebentuk tahun-tahun yang berlalu." Rilke Belum pernah aku seterus terang ini kepadamu. Melompat melawan gerak orang-orang yang berteriak: Ingat! Ingatlah! Telah aku buang rasa takut sebagai bentukan tak jelas dari bayangan gajah di dekat meja. Aku berlari riang ke belakang. Ke tempat kau bertolak sebagai penari, pembawa bunga-bunga di kepala (yang kau anggap doa). Aku berlari untuk memastikan: kau tak lupa tali pinggang, kipas kertas, dan riasan bulu mata. Karena aku benar-benar tak yakin - kau ingin tampil sederhana. 2014

Wisata Laut

Wisata Laut "Kadang, meski di taman bisa dirasakan gerakan ekor atau sirip ikan," Kay Ryan . Berdirilah dekatku. Supaya tak sendiri aku. Kata-katamu pelampung bagi kegelisahan. Topeng selam untuk sebuah keinginan. Ajari aku berenang. Aku sudah bosan dengan rasa takut tenggelam. Gajah kecil dalam diri ini ingin terbang. Tak musykil, rasanya, dan kau juga pasti mau. Sebab aku tahu: dalam puisi kau selalu berbagi. Selalu mengerti kemauanku. Dan kau sebenarnya juga aku ini. 2014

Memelukmu

Memelukmu "Kita seharusnya memahami sebagian dari deretan kebersamaan dalam hidup kita akan berakhir dalam kegelapan," William Stafford Apakah kita? Sama telanjang, sama terbuang dari bayang-bayang musim semi. Seperti kembang yang jatuh. Suara burung di padang-padang jauh. Aku hanya memilikimu, sejak kau memilih aku. Kehebatan yang kita miliki tak lebih dari pesawat ulang-alik yang sampai di bulan. Sementara kelemahan utama kita adalah saling berbagi; merawat sakit dan kelaparan setiap pagi. Juga melupakan tangan-tangan yang ingin menggenggam: penuh harapan. Apakah kita? Jika kita merasa begitu jauh, padahal aku tengah memelukmu, dan kau setia dengan perasaan cinta yang kau punya. Barangkali, kita hanya sebatang rokok menyala belaka. Apa yang diharap dari sana? Selain perubahan rupa, rasa, dan suasana. Padahal kita nyata-nyata telah habis suara. Telah sampai pada kegelisahan tentang kita sendiri: apakah kita saling mengerti? 2014

Para Penghibur

Para Penghibur   "Perasaan seperti apa yang bisa disematkan pada ayat-ayat yang membuat orang tetap kaya, yatim, dan dicintai sekaligus?" - William Meredith Kami bertiga: pecinta suara, pemetik sepi, dan pengagum pemandangan. Kami bersatu: pada malam di mana mekar kembang, langit tak berbintang, dan daun-daun seperti melambaikan temaram. Kau bisa saja menyebut kami: para penghibur, pelipur orang-orang yang baru pulang dari kubur, atau mereka yang tadi habis berpisah di stasiun, yang berjalan dengan wajah tunduk tertegun. Kami biasa tidak dihargai, tidak dimengerti. Dan kami bisa juga tidak peduli. Karena bagi kami bertiga: hidup adalah menghibur diri, sampai nanti ada yang terang dalam diri. 2014

Penari

Penari "Tuhanku, berikan padaku keberanian dan kegembiraan," Jorge Luis Borges Aku telah mati. Panggung diserbu ratusan bunga. Layar gemuruh seperti rombongan tuna. Lantai jadi bayang dari pertempuran belaka. Lihat gerakan tanganku, sebelum mereka terkulai. Memeluk, membentang, seperti menarik ke segala arah, mengusir ketakutanku - akankah ini semua jadi milikku? Tungkai kakiku telah lelah melompat. Jinjit dan berlari. Tapi duniaku tetap di sini. Dunia yang disapu dari warna kuning dan jingga saja. Aku menyimpan suara sebaik-baiknya. Menyumpah juga sebaik-baiknya. Agar tak terganggu tempik sorak itu. Keputusanku untuk mati - sederhana begini: di tengah panggung, di adegan yang seharusnya kuhadirkan gerakan canggung, semua anggota badanku berhenti. Seperti ada yang bernyanyi hymne "Bagimu Negeri" di akhir program acara televisi. 2014

Jika Aku Menulis Puisi

Aku melepas belenggu diri, membentang sayap-sayap dan terbang - berlari dari tangkapan lanskap taman dan potret diri. Jika aku menulis puisi, jadi diri sendiri yang kagum pada yang lesap dan lenyap dan tak dapat kujadikan bagian hidup ini. Hidup yang seperti pelukis dengan alat sandar kanvas yang setiap pagi dia bongkar pasang berulang di taman, palet dengan sisa cat yang telah lekat, ratusan kertas gambar dengan sketsa dari pensil konte dan bau akrilik. Setidaknya, jika aku menulis puisi, ada kebanggaan akan masa depan, sekaligus ada harapan-harapan yang kubangkitkan berulang dari masa lalu yang seperti bentukan peri. 2014

Sapardi dan Frost

Kalau tadi saya bandingkan Puisi Sapardi Djoko Damono dengan puisi Wyslawa Szymborska, di Kompas minggu lalu juga, Sapardi Damono Full "menjawab" puisi dari Robert Frost yang berjudul The Road Not Taken dengan puisinya berjudul Memilih Jalan. ======================================== Demikian puisi Sapardi; Memilih Jalan : Robert Frost /1/ Jalan kecil ini berujung di sebuah makam dan kau bertanya, “Kenapa tadi kita tidak jadi mengambil jalan yang satunya?” Tapi kenapa kau tidak bertanya, “Untunglah kita tidak mengambil jalan itu tadi”? Memang absurd, jalan ini kenapa ada ujungnya dan tidak menjulur saja terus-menerus sampai pada batas yang seharusnya juga tidak perlu ada. (Ternyata masih tetap ada yang berujung pada kalimat yang tampaknya memerlukan tanda tanya.) /2/ Kita mungkin keliru memilih jalan tapi itu sama sekali bukan salahmu. Akulah yang mengajakmu mengambil jalan ini sebab kupikir kota yang kita tuju terletak di ujung jalan yang kita l

Sapardi dan Szymborska

Di Kompas minggu lalu, Sapardi Djoko Damono menjawab puisi A Funeral-nya Wyslawa Szymborska dengan puisi berjudul "Pulang dari Pemakaman Teman." ================================================ Ini puisi Wyzlawa Szymborska yang saya terjemahkan secara bebas;   Pemakaman "Sangat tiba-tiba. Siapa menyangka" "Sudah kuingatkan: bahaya merokok dan perasaan tertekan" "Lumayan, terimakasih" "Tebarkan bunga-bunga itu" "Saudaranya juga meninggal karena jantung. Keturunan, kali" "Astaga! Pangling aku! Kau jenggotan, sih!" "Deritanya sendiri. Bisnis-bisnisnya kacau" "Yang baru datang tadi kasih pidato. Gak kelihatan. Susah" "Kazek di Warsawa, Tadek di luar negeri" "Beruntungnya kau. Satu-satunya orang yang bawa payung" "Sudah terlambat tapi dia memang paling hebat" "Baska tak akan suka, ruangannya terhubung satu sama lain" "Jujur saja, penda

Kembali Padamu

Adalah menggenapi diam gunung api, menjaga dengan berani perawan suci. Kau tak akan pernah bisa menyangka jika tiba-tiba gunung itu meledak, dan perawan itu nyanyi suci, setengah berteriak. Kembali padamu adalah memazmurkan diri, menyatakan aku bodoh, lugu, dan tak tahu diri. Kau mungkin akan mengira: kata-kata dalam sajak ini tak bermuara pada apa-apa, selain metafora-metafora yang terserak. 2014

Rahasia-Rahasia Kecil

O. Sayangku, jangan kau cari aku di dalam bait-bait sajak ini. Di balik sebatang pohon - meski bukan misteri - aku jadi doa lugu. Ekor anjing yang bergerak lucu. Bersenang diri pada hadirat Tuhan. Di dalam taman, aku patung pualam. Menahan lebam hujan semalaman. Menantang terang matahari yang pucat itu. Di dekat bangku, bersiasatlah aku, seolah ada pasangan yang malu-malu bicara cinta. Hanya memberi tanda dengan paku karatan pada kulit kayu. "Di taman ini, aku kenangkan hikayat purba. Tuhan yang mencari cinta di antara rahasia-rahasia kecil seperti; - mekar bunga rumput, - keciap burung terkejut, - udara yang tiba-tiba terasa menyusut seperti dada tak sanggup menampung rindu." O. Sayangku, setelah aku sembunyi dalam bait-bait sajak ini. Ada baiknya kau menulis isyarat yang berbeda. Semisal doa. Sederhana saja. 2014

Akar Gantung

Menjulur ke bawah, seolah mengukur segala yang tabah. Menelusur tiap jejak langkah: busur udara, karbon dioksida. Memelihara keras penampang kayu, menjaga yang waras dan tampak lugu. Arah jemari ketika berdoa dengan suara tergugu, "Tuhanku. Tuhanku." Begitulah penaku meneteskan tinta hijau. Menetaskan cinta pada engkau. Membuat kuat bahasa dengan melekat- liatkan kata-kata. Supaya pohon diriku bernafas. Supaya yang aku mohon ini tak pernah lepas dan lekas. 2014

Epigon

Epigon Sebab aku pucat, kurus, dan menyukai malam, maka kuanggap bulan sebagai terang sebenarnya. Aku menyaru mata - tak berkedip - sedikit mirip kunang-kunang. Suaraku bunga yang tumbuh lebih rendah dari payudara. Dan malam. Binatang yang gemar melahap kelaparan para sufi, kujadikan tubuh ini. Merayap aku dalam kenangan. Jika kau sangka aku peniru yang gagal, pasrahlah aku dalam hal-hal yang banal. Seperti kunang-kunang kenangan. Seperti bunga-bunga menyebar harum ke udara. Sebab aku pucat, kurus, dan menyakini malam sebagai hidup, dalam sajak ini kata-kata jadi jejak diri. 2014

Teka Teki Malam

Teka Teki Malam Aku penari masa lalu, di tanganku bunga-bunga. Kau bukan bayangan tapi selalu mengikutiku. Aku lubang di tengah jalan, kepalaku besi bersilangan. Kau hendak menyeberang, aku tak diacuhkan. Barangkali, yang kecoklatan adalah pintu belakang. Sebuah stiker: "dilarang masuk" terpampang miring berwarna kuning. Kau pura-pura sibuk: mengamati pendar lampu. Baiklah. Akan kubuat mudah. Aku ibu, dan kau anak. Aku memegang payung, kau mengandeng tanganku. Di tengah malam, siapa peduli pada yang menangis? Kau garis putih di tengah jalan. Aku bayang gedung tinggi menjulang. Di bidang yang mana kita akan bersilangan? Jangan gaduh. Jangan menuduh. Ini semacam teka-teki yang hanya bisa dipecahkan seorang bapak. 2014

Doaku

Doaku Doaku: angin. Yang berputar sebentar dekat jendela-Mu. Melempar-liar angan dan harapan akan tatapan-Mu. Doaku: awan. Yang memayung menyelubung bayangan diri yang tak sabar sekaligus gentar jika suatu waktu bertemu diri-Mu. Doaku: tali. Yang kujulur-panjangkan seumur perjalanan hidup-Ku. Suatu saat, aku tahu Kau akan menghela atau memangkas semudah helaan napas. 2014

Bagian dari Kepahitan

Seperti basuhan, lepas sudah kegelisahan. Sepasang tangan merupa Iqlima dan Labuda mencari perhatian anak-anak Bapa. Seperti sentuhan, lepai sudah perjalanan. Sepasang kaki, mirip punya Harun dan Musa mendaki kembali harapan. Aku ingin menukar kegamangan, melepas-liarkan sesuatu yang sering kuangankan sebagai bagian dari kepahitan. Dan bermandi, menyatukan diri dengan air kehidupan, bagiku seperti menulis puisi. Melukis kemauan diri ini. Menepis masa lalu - yang mengingin abadi. 2014

Di Dalam Kebun Anggur-Mu

Di dalam Kebun Anggur-Mu Di dalam Kebun Anggur-Mu, Aku sepasang tangan saling genggam. Juga sepasang lengan yang ingin melumpuhkan dan melupakan bagaimana hidup adalah mengasingkan kekalahan. Dan sepasang mata yang seolah dilemparkan jauh melampaui semak masa lampau dan menyimak masa depan dengan harapan. Juga sepasang kaki yang terus mengalihkan segala yang harus dikeluhkan: hidup bukanlah padang datar. Penuh turunan dan tanjakan. Di dalam Kebun Anggur-Mu, Aku bibir dan geraham. Rahang yang tak henti memperkatakan: yang dipertautkan Tuhan mana boleh manusia memisahkan. Maka Aku hitung diriku, seperti membilang bulir-bulir anggur-Mu: Kepala, Leher, Pundak, Lengan, Tangan, Dada, Perut, Lutut, Tungkai, Kaki. Seutuhnya manusia. Yang kini berada di dalam Kebun Anggur-Mu ini sebagai petani. 2014

Bukan Dalam Puisi

Puisi mengajarku merenung dengan benar; setenang capung di atas bungai teratai, atau segamang payung ditutup saat hujan usai. Puisi juga telah memberitahuku menghitung lama bersabar; sepasrah kerang dipanggang panas pantai, atau seramah kaki capung di pinggang tunas yang seolah melembai. Tapi puisi tak pernah menyebutku sebagai orang liar; hanya karena aku tak pernah menyambutmu, "Hai..." atau ketika terkejut, tak kuingat Tuhan yang acap kugapai-gapai. Dia akan memelukku seolah tak pernah ada onar; semua orang hidup dalam harmoni, dan alam ini begitu lestari. Karena harus kuwujudkan semua ini dalam hidup sebenarnya. Bukan dalam puisi. 2014

Aku Selalu Menunggumu

Aku Selalu Menunggumu Meski kepada Nuh, merpati itu membawa kabar: setelah kapal berlabuh, kubawa hanya bunga belukar. Atau pada hukum keseimbangan ditemukan: betapa sukar jeruk lemon disusun seperti mercusuar. Aku selalu menunggumu: seperti seekor anjing liar di depan pintu. Berbaring dan tak hendak mencakar pada setiap yang lewat. Berusaha tetap sabar meski waktu memucat, memudar. Seperti Nuh menunggu banjir surut benar, dan para ilmuwan berupaya menemukan partikel terluar yang seimbang. Aku selalu menunggumu. Menebar pesan: Datanglah! Datanglah! Ke dadamu tanpa gemetar. 2014

Dedy Tri Riyadi dan Sekeranjang Sajak-sajaknya

Image
Esai Khudori Husnan Dedy Tri Riyadi dan Sekeranjang Sajak-Sajaknya   Rabu kemarin (24/09) setelah cukup lama absen, saya kembali menginjakkan kaki di Warung Apresiasi Bulungan Blok M Jakarta Selatan menghadiri acara Sastra Reboan. Malam itu Sastra Reboan meluncurkan dua buku sekaligus pertama buku kumpulan puisi karya Dedy Tri Riyadi “Liburan Penyair” dan kedua buku   “Misteri Borobudur (Candi Borobudur Bukan Peninggalan Nabi Sulaiman).” Dari kedua buku tersebut hanya buku karya Dedy Tri Riyadi yang sempat saya baca itupun dalam bentuk naskah embrional dan bukan wujud asli seperti yang kini beredar di pasaran. Bagi saya kumpulan puisi Dedy Tri Riyadi (selanjutnya DTR) menarik dinikmati   lantaran buku tersebut cukup mencerminkan sikap, posisi, dan pemahaman DTR pada apa yang disebutnya sebagai sajak atau puisi. “Liburan Penyair” dapat dibaca sebagai ikhtiar DTR   menempatkan dirinya dalam khasanah perpuisian Indonesia mutakhir yang sebelumnya telah disesaki n

Catatan Zabidi Zay Lawanglangit atas Liburan Penyair

Image
Bagaimana Cara Penyair Berlibur? : Sebuah Catatan Kecil untuk Buku Puisi “Liburan Penyair” karya Dedy Tri Riyadi. Apakah benar puisi-puisi dalam buku bertajuk “Liburan Penyair” karya Dedy Tri Riyadi ini buah dari perjalanan liburan seorang penyair? Atau mungkin inilah cara liburan ala penyair Dedy Tri Riyadi. Saya sedang menduga bahwa sebenarnya penyair ini tidak sedang benar-benar berlibur untuk hanya menulis puisi. Dugaan saya selanjutnya adalah bahwa puisi-puisi dalam buku “Liburan Penyair’ ini lahir dari kehendak untuk menulis sajak yang memanggilnya. Memanggilnya pada setiap momen yang dilewatinya di suatu waktu. Entah penyair ini tengah berada di manapun, misalnya saja dalam perjalanannya ke luar kota. Boleh jadi tidak dalam rangka liburan, tapi bisa jadi dalam rangkaian tugas sebuah pekerjaan kantor. Apapun alasan sebuah kepergian, itu hanya jalan untuk sampai ke suatu tempat di mana panggilan menulis menggedor-gedor pintu dada, lalu puisi-puisi itu kemudian

Catatan Penerbitan Kumpulan Puisi "Liburan Penyair"

Sebuah Catatan Menjelang Perayaan Diterbitkannya Kumpulan Puisi Liburan Penyair Let me take you far away You'd like a holiday Tadinya, kumpulan puisi saya akan diterbitkan dengan judul "Angka-Angka yang Beranjak" untuk menyatakan bahwa dalam kumpulan puisi ini, sebagai penyair saya membawa semacam kalkulasi terhadap permasalahan-permasalah di sekitar saya. Saat itu, puisi yang berjudul "Liburan Penyair" belum lama kelar saya buat dan belum dimuat di media cetak. Setelah sampai di tangan penerbit, nasib kumpulan puisi itu diusulkan diubah judulnya menjadi "Liburan Penyair" seperti yang sudah diberitahukan kepada khalayak. Atas usulan penerbit, saya tidak berkeberatan karena secara esensi tidak ada naskah puisi yang diubah dan hanya judul kumpulan puisinya saja. Kemudian saya teringat tahun 2007 silam, saya pernah membuat satu puisi dengan judul "Iklan Lowongan Pekerjaan Pertama di Dunia" yang isinya seperti ini: Sesampai

Koloseum

Koloseum Yang dipertaruhkan dalam hidup seperti sebuah pertarungan tanpa henti. Yang dipertaringkan adalah diri sendiri seperti pada batuan penyangga itu ada besi-besi. Dan bertahun-tahun, bersahut-sahutan nyeri dan sepi. Sebelum waktu memutar ibu jari menunjuk ke pasir gelanggang. Merujuk lepasnya binatang buas                              dari kandang. 2014

Keindahan

Katakanlah padaku, apa arti keindahan. Bunga akan layu, cat lukisan pecah-pecah terkena lampu. Tanganku cuma jambangan, air di dalam akan mengering. Tangkai bunga-bunga itu rapuh dan melengkung. Wangi yang tadinya semerbak musnah dalam deru angin. Seulas senyummu sebentar lagi jadi tangis. Seolah waktu mahluk buruk yang menelan kejadian, perasaan senang, dan kenangan itu. Sementara kita dicekam takut yang semakin teruk. Kematian, katamu adalah takdir bagi mimpi dan harapan. Tapi hidup ini harus diisi. Maka kita biarkan pelukis tua itu terus menyapukan kuas dan warna pucat ke atas kanvas. dan kekuatiranku jadi semburat kelabu di pinggir sebentuk kotak yang di atasnya tergantung akar atau sisa-sisa daun. Jadi, katakanlah padaku, apa arti keindahan, selain masa menunggu dan mengamati apa yang diberi nama: masih hidup. 2014

Aku Tak Ingin Kau Jadi Ladang

Hidup terlalu buruk jika hanya untuk menumbuhkan jeruk, memelihara sebentuk pohon yang didiami tupai dan dihingapi burung. Aku tak benci petani dan ladangnya yang kuning. Yang ku kutuk hanya waktu seperti lampu di atas bukit. Kita memandang dengan pesona sampai kita terlena hidup adalah ladang sesungguhnya. Hidup akan lebih baik jika di tepi sungai kau susun setumpuk batuan. Biar air tak meluap dan melupakan di sisi kanan dan kirinya ada aneka tumbuhan dan hewan yang mesti dijauhkan dari rasa takut akan banjir bandang. Aku tak ingin kau jadi ladang, jika waktu hanya pendar, dan biji kenari tersebar. Karena burung dan tupai saling incar akan bebijian itu dalam waktu yang sebentar. Ada baiknya, di tepi sungai, kau berdiri memandang aku. Memastikan kedua tanganku sekokoh batu. Dan keinginanku seperti sungai itu. Karena dari itu, akan lancar alir kata-kata yang semakin hidup. Mewujudkan cinta kepadamu. Seperti petani mendatangi ladangnya setiap pagi. 2014

Hidup Masih Hidup

Hidup masihlah hidup. Meski kerang tinggal cangkang, dan bengkok paku dicabut dari dinding itu. Hidup tetaplah hidup. Walau sepi merambati tulang, dan tak elok apa yang disebut dalam gerutu. Hidup itu kita dalam cinta utuh. Walau bayang nisan dan kegelapan tak pernah jauh. Selalu. 2014

Aku Menjerit Seperti Menara Suar

Di pulau ini, aku berdiri sendiri menantang pandang kapal, membentang keyakinan, tangan-tangan terkepal. Di pulau ini, segala yang lepas ini kuikat liat dan kuat. Kenangan yang lekat, harapan yang likat. Dan kegagalan serta kegalauan kujeritkan seperti menara suar, agar kau datang dan memberi kabar: ada yang seperti aku di gugusan pulau yang lain itu. 2014

Pada Suatu Masa, Kita Paus yang Tertipu Ombak

Di teluk, pada ombak yang merasa takluk, kita adalah mahluk pemabuk. Sepasang paus bungkuk. Usai pelayaran panjang, deret kapal dengan lambung hitam, kita merasa limbung, bukan? Hingga di teluk, kita menipu diri. Merasa jadi mahluk paling malang, tak bisa berenang. Kepala dan ekor ganti timbul tenggelam. Dan dari kejauhan orang-orang melihat dengan riang. Karena kemunculan kita adalah pemandangan langka. Apa yang kita punya seolah pemuas prasangka. Sampai nanti, ketika kita lelah, di pantai yang landai, bangkai-bangkai kita ditertawakan mereka. Dijadikan kenangan, bahkan sebagian dari tubuh kita dijadikan kenang-kenangan. Di teluk, di mana burung- burung itu hibuk, kita jadi mahluk terkutuk. Ditipu suara-suara ombak yang seolah takluk oleh kebesaran kita. 2014

Aku Membayangkan Diri Sebagai Delima Merah

Mudah sekali aku terbelah, memburaikan bebijian dan kekejian, sampai dunia seolah kacang kenari yang disia-siakan burung. Mudah sekali aku mendapatkan perhatian, menjadi yang diperebutkan, hingga dari segala lubang di dalam kotak ini, menyembul aneka kepala burung. Meski demikian, sebagai delima merah, aku tak bisa membayangkan dengan benar; paruh-paruh itu atau pisau lebih nyeri dari sepiku. Sempit lubang atau pengap kotak lebih menyekap atau akan membebaskanku: dari perumpamaan bebijian yang jatuh ke tanah berbatu dalam pikiranmu itu. Pikiran yang tumbuh setabah dan sehebat pepohonan, muasal para burung. 2014