Sapardi dan Frost
Kalau tadi saya bandingkan Puisi Sapardi Djoko Damono dengan puisi Wyslawa Szymborska, di Kompas minggu lalu juga, Sapardi Damono Full "menjawab" puisi dari Robert Frost yang berjudul The Road Not Taken dengan puisinya berjudul Memilih Jalan.
========================================
Demikian puisi Sapardi;
Memilih Jalan
: Robert Frost
/1/
Jalan kecil ini berujung di sebuah makam dan kau bertanya,
“Kenapa tadi kita tidak jadi mengambil jalan yang satunya?”
Tapi kenapa kau tidak bertanya, “Untunglah kita tidak
mengambil jalan itu tadi”?
Memang absurd, jalan ini kenapa ada ujungnya dan tidak
menjulur saja terus-menerus sampai pada batas yang seharusnya
juga tidak perlu ada.
(Ternyata masih tetap ada yang berujung pada kalimat yang
tampaknya memerlukan tanda tanya.)
/2/
Kita mungkin keliru memilih jalan tapi itu sama sekali bukan
salahmu.
Akulah yang mengajakmu mengambil jalan ini sebab kupikir
kota yang kita tuju terletak di ujung jalan yang kita lalui ini.
Hanya comberan bekas hujan.
Hanya bunyi-bunyian lirih sisa nyanyian yang seperti
memberi tahu bahwa dahulu nenek-moyang kita pernah
membuka hutan dan mendirikan kerajaan besar dengan bantuan
orang-orang dari seberang yang buru-buru pergi lagi begitu
terdengar kita dibelah oleh ribut-ribut memperebutkan tahta
kerajaan.
Hanya bekas comberan.
Sehabis hujan.
Hanya suara sopir taksi yang tak bosan-bosannya bertanya
alamat rumah ibadah kita persisnya di mana.
/3/
Jalan buntu ini kemarin tak ada.
“Ia muncul dari suara yang asing, dari hakikat malam yang
sangat pekat perangainya,” katamu ketika melihatku seperti
bertanya-tanya.
Ya, tetapi kenapa kemarin jalan buntu ini tak ada?
“Sebaiknya kautanyakan saja kenapa jalan buntu ini
sekarang ada.”
==============================================
Nah, yang ini terjemahan bebas ala saya atas puisi "The Road Not Taken" -nya Robert Frost (semoga bisa diterima).
Jalan yang Kuabaikan
Di antara pokok-pokok cladartis, jalan terpecah dua
sebagai pengembara, aku tak bisa mengambil keduanya
maaf jika aku terpaku lama memandangnya
kupandang begitu rupa salah satunya
sampai pada semak-semak di ujung sana
Kupandangi juga jalan yang satu lagi
sepertinya lebih menarik hati
rumputannya rapi, seperti gampang dilalui
bagi yang sudah pernah melewati
mungkin sama saja rasanya dengan yang tadi
Pada pagi hari, kedua jalan itu terlihat murni
tak ada jejak-jejak kaki, rerumputan tegak bestari
Oh. Kuputuskan: kulalui jalan pertama esok hari
meski tak tahu apa yang akan kutemui di ujungnya nanti
tak juga tahu apakah aku akan kembali
Barangkali aku harus bercerita dengan duka
suatu saat, pada umur kita, akan berjumpa
persimpangan seperti jalan bercabang dua
di mana aku telah berjalan pada salah satunya
jalan yang jarang sekali dilalui. Dan itulah beda kita.
================================================
Sepertinya (dan pastinya) ada permenungan-permenungan yang dilakukan sebelum "menjawab" puisi Frost. Dengan begitu, puisi Sapardi terasa lebih kaya warna dibandingkan Frost. Kalau Frost begitu ketat dengan metafora yang telah dipilihnya sehingga bolak balik dia bicara soal jalan bercabang dua, sedangkan Sapardi membongkar soal pilihan pada berbagai hal-hal faktual seperti;
- hidup ini yang harus berakhir (kenapa jalan ini harus ada ujungnya?)
- tentang pilihan memilih pemimpin juga (ribut-ribut memperebutkan tahta kerajaan)
- tentang pilihan beragama (alamat rumah ibadah)
- tentang harapan atau berputus asa (jalan buntu ini)
Lucunya, karena tersangkut dengan hal yang faktual juga, pilihan yang disampaikan dalam puisi Sapardi ini juga seolah menyoal isu diskriminasi yang digembar-gemborkan oleh Denny JA. Terutama soal beribadah tadi. Artinya, secara sadar, para penyair tanpa perlu flagship gerakan "Indonesia tanpa Diskriminasi" merasa sudah wajib menyampaikan isu-isu anti diskriminasi, karena itu memang sebuah kenyataan dalam hidup. Suatu pilihan yang konsekuensinya seperti diucap oleh Frost sebagai pembeda antara aku dan Anda.
Jakarta, Oktober 2014
========================================
Demikian puisi Sapardi;
Memilih Jalan
: Robert Frost
/1/
Jalan kecil ini berujung di sebuah makam dan kau bertanya,
“Kenapa tadi kita tidak jadi mengambil jalan yang satunya?”
Tapi kenapa kau tidak bertanya, “Untunglah kita tidak
mengambil jalan itu tadi”?
Memang absurd, jalan ini kenapa ada ujungnya dan tidak
menjulur saja terus-menerus sampai pada batas yang seharusnya
juga tidak perlu ada.
(Ternyata masih tetap ada yang berujung pada kalimat yang
tampaknya memerlukan tanda tanya.)
/2/
Kita mungkin keliru memilih jalan tapi itu sama sekali bukan
salahmu.
Akulah yang mengajakmu mengambil jalan ini sebab kupikir
kota yang kita tuju terletak di ujung jalan yang kita lalui ini.
Hanya comberan bekas hujan.
Hanya bunyi-bunyian lirih sisa nyanyian yang seperti
memberi tahu bahwa dahulu nenek-moyang kita pernah
membuka hutan dan mendirikan kerajaan besar dengan bantuan
orang-orang dari seberang yang buru-buru pergi lagi begitu
terdengar kita dibelah oleh ribut-ribut memperebutkan tahta
kerajaan.
Hanya bekas comberan.
Sehabis hujan.
Hanya suara sopir taksi yang tak bosan-bosannya bertanya
alamat rumah ibadah kita persisnya di mana.
/3/
Jalan buntu ini kemarin tak ada.
“Ia muncul dari suara yang asing, dari hakikat malam yang
sangat pekat perangainya,” katamu ketika melihatku seperti
bertanya-tanya.
Ya, tetapi kenapa kemarin jalan buntu ini tak ada?
“Sebaiknya kautanyakan saja kenapa jalan buntu ini
sekarang ada.”
==============================================
Nah, yang ini terjemahan bebas ala saya atas puisi "The Road Not Taken" -nya Robert Frost (semoga bisa diterima).
Jalan yang Kuabaikan
Di antara pokok-pokok cladartis, jalan terpecah dua
sebagai pengembara, aku tak bisa mengambil keduanya
maaf jika aku terpaku lama memandangnya
kupandang begitu rupa salah satunya
sampai pada semak-semak di ujung sana
Kupandangi juga jalan yang satu lagi
sepertinya lebih menarik hati
rumputannya rapi, seperti gampang dilalui
bagi yang sudah pernah melewati
mungkin sama saja rasanya dengan yang tadi
Pada pagi hari, kedua jalan itu terlihat murni
tak ada jejak-jejak kaki, rerumputan tegak bestari
Oh. Kuputuskan: kulalui jalan pertama esok hari
meski tak tahu apa yang akan kutemui di ujungnya nanti
tak juga tahu apakah aku akan kembali
Barangkali aku harus bercerita dengan duka
suatu saat, pada umur kita, akan berjumpa
persimpangan seperti jalan bercabang dua
di mana aku telah berjalan pada salah satunya
jalan yang jarang sekali dilalui. Dan itulah beda kita.
================================================
Sepertinya (dan pastinya) ada permenungan-permenungan yang dilakukan sebelum "menjawab" puisi Frost. Dengan begitu, puisi Sapardi terasa lebih kaya warna dibandingkan Frost. Kalau Frost begitu ketat dengan metafora yang telah dipilihnya sehingga bolak balik dia bicara soal jalan bercabang dua, sedangkan Sapardi membongkar soal pilihan pada berbagai hal-hal faktual seperti;
- hidup ini yang harus berakhir (kenapa jalan ini harus ada ujungnya?)
- tentang pilihan memilih pemimpin juga (ribut-ribut memperebutkan tahta kerajaan)
- tentang pilihan beragama (alamat rumah ibadah)
- tentang harapan atau berputus asa (jalan buntu ini)
Lucunya, karena tersangkut dengan hal yang faktual juga, pilihan yang disampaikan dalam puisi Sapardi ini juga seolah menyoal isu diskriminasi yang digembar-gemborkan oleh Denny JA. Terutama soal beribadah tadi. Artinya, secara sadar, para penyair tanpa perlu flagship gerakan "Indonesia tanpa Diskriminasi" merasa sudah wajib menyampaikan isu-isu anti diskriminasi, karena itu memang sebuah kenyataan dalam hidup. Suatu pilihan yang konsekuensinya seperti diucap oleh Frost sebagai pembeda antara aku dan Anda.
Jakarta, Oktober 2014
Comments