Posts

Showing posts from 2010

Bertandang ke Rumah Pacar

Jauh-jauh ke ibu kota, kau ingin bertandang ke rumah pacar Rumah besar dengan para penjaga berbadan kekar Selalu saja ada alasan mereka untuk menahan kau di pintu pagar, dari tak membawa kartu identitas seperti KTP, pasport, atau kartu pelajar sampai pentingnya harus kau bawa sebuah surat pengantar Kau pun mengeluh, “Bertemu pacar sendiri, kok susah sekali!” Seperti mengajukan ijin untuk mati yang - padahal - sudah jadi jatah tiap orang nanti Merasa diri pecinta sejati, kau pun terus menanti, sebab kau sudah berjalan jauh sekali, dan bertemu dengan pacar adalah impianmu setiap hari. Di bawah pohon, kau ditekuk rasa kantuk sampai kau temukan di pangkuanmu sebuah surat singkat memohon untuk dibaca, “Hai pecinta yang payah! Sudah bertahun-tahun pacaran, kau masih tak tahu alamatku!” 2010

Bunga untuk Pacar

Sebelum pergi bertemu Pacar, kau siapkan bunga istimewa yang lebih harum dari melati, lebih mekar dari mawar, lebih mesra dari cempaka, dan lebih tabah dari kamboja. “Pasti, kau suka sekali memegangnya, memandanginya, menciumnya, dan mungkin akan kau tulis sajak paling indah dari sekuntum bunga ini.” Berkali-kali kau bayangkan bagaimana penerimaan Pacar atas bungamu kali ini. Sampai di rumah Pacar, bunga itu kau serahkan. Dan sebagai balasannya, Pacar mengirimkan kartu ucapan; “Terimakasih bunganya, nanti ketika kau mati, akan kukembalikan bersama hutang-hutangmu.” 2010

Tangis Pacar

Sambil berkeliling kota, kau cari suara yang terdengar sejak mimpimu dibakar matahari di atas becak. Suara tangis pacar yang merdu benar. Diiringi tangis pacar, kau merasa tak lelah menggenjot, "Serasa jogging dengan telinga berpasang i-Pod!" Ketika mengantar penumpang ke kuburan, kau sungguh yakin, tangis pacar itu suara tawa yang samar dari dalam perutnya yang sekarat, belum sarapan. 2010

Mata Pacar

Di bawah tiang listrik, di atas becak, engkau kini makin mengerti betapa mata pacar jauh lebih berarti daripada matahari. Di malam seperti ini, mata pacar benar-benar bersinar seiring kabar dari istri tercinta; tagihan listrik yang mencekik dan SPP anak yang tertunggak. Dari atas becak, engkau kini bersiap. Hendak menembus malam menuju terminal atau stasiun. Barangkali di antara kerumunan penumpang yang selamat dari penjara ibukota, kau temukan mata pacar berbinar-binar saat kaujemput dengan kemiskinanmu itu. 2010

Tangan Pacar

Tangan pacar adalah kenangan yang setia membelaimu saat malam begini dadamu terasa remuk oleh batuk, sementara bulan di luaran tak cukup untuk selimut bagi punggungmu yang bungkuk. Sebentar-sebentar, tangan pacar menyeka keringat dingin di tengkukmu yang tak sanggup dibikin hangat oleh malam yang kurang ajar, menganggap tubuhmu yang meringkuk di atas becak seolah obat nyamuk yang terus menerus menebarkan bau kematian. 2010

Jonggrang

Di rahimmu, matahari tak ingin tenggelam, pecah langit, hitam biru Hari-hari sengit dendam rindu Lihatlah anak-anak waktu Di pucuk-pucuk candi, mereka guncang jejak sejarah paling kelam Oleh karena itu, Putri, aku tidak bahagia Di bawah matahari yang menyala, kurubuhkan kembali 99 tubuh ini Tinggallah aku. Sendiri serupa arca setengah jadi, meratapi kepergian kabut dalam sajak-sajak tentang pagi. Padahal pagi di ingatanku adalah bayi-bayi berwarna hijau yang tumbuh di atas batu : tepat sesaat kau lalu begitu cepat, begitu lesat. 2010 - 2011

Sajak Laron

1. Suatu malam, di depan cahaya, ada yang berdoa. Sederhana saja: "Tuan Icarus, pakailah tubuh saya!" Dan sepasang sayap lilin, lurus lagi halus tumbuh sempurna. 2. Dengan rasa percaya, dia berkelana dari cahaya kepada cahaya. Karena ada banyak cahaya yang tak pernah dilihatnya sejak dia diperam dalam tanah. Sebagai rindu, dialah Ibrahim. Berangkat tanpa syarat, selain sarat cintanya. Maka, setiap berjumpa cahaya, dipersembahkannya sejumput sisik sayap, sambil berharap, "Terbakarlah sebagai sukacita!" Dan dia terus berkelana, dari cahaya ke cahaya, dengan rasa percaya. Sebagai rindu, dia tak pernah jemu menjumput dan membakar sisik sayap setiap bertemu cahaya hingga seluruhnya tercabut dari pundak, dan jatuh. 3. Suatu malam, di depan cahaya, ada yang berkata begini rupa: "Tuan Gibran, tugasmu paripurna." Sayap-sayap lilin telah punah, dan cinta pada cahaya mengantar rindu,

Sejak Lebak Dituliskan Dalam Sajak

Lembut lekuk tubuhmu, Adinda, lumat dalam warna karat senja di hutan karet. Aku, Saija, mata sawah yang terlalu sarat oleh tangis para peladang yang berderet. Apakah yang tersisa dari sajian kisah cinta yang digubah Tuan Multatuli ini? Kecuali fakta sejarah telah begitu berdarah karena duka tak kunjung sirna dari kami, Pribumi. Sejak Lebak dituliskan dalam sajak Rendra, tak semua bisa sepakat bahwa cinta begitu dekat dengan kematian, Adinda, maka kubiarkan saja di langit yang tak lagi biru kubayangkan kau bagai Shinta direngkuh Rahwana, dikejar Garudeya, dan aku, Laksmana, rela mati untuk Rama, Sang Raja. 2010

Sajak Pintu

: untuk Jimbo Kau, puisi yang menyambutku, meminta cahaya terus dinyalakan sebelum kau menghilang. Saat kulewat, kau berseru, "Jangan pergi terlalu jauh! Hidup bukanlah apa yang kau perlu." Lalu aku tersadar- kau & aku: sepasang tubuh telanjang, berlari berdampingan dalam diam, Sementara yang tersisa adalah tari guguran mimpi, terlepas dari rumit rambut: kegiatan sehari-hari. Lagi, kau berkata, "Sayangku, janganlah kau menghilang!" Padahal aku masih termangu menyaksikan kau tumbuh sebagai burung pemangsa. Dan akulah bangkai hilang jerit setiap kau berderit. 2010

Jayadrata

1. Duhai gerhana, tenda patah tonggak, akulah yang merana karena kau tak bisa lagi berpihak. 2. Yang kusangka malam hanyalah ketakutan - Aku bukanlah aku jika tanpa bayangan, seregu pasukan atau orang-orang yang bisa kupandang. Adalah wajah Sang Panduputra, melingkup tahta Sindhunarendra, Dia, dengan Pasuphati di tangan, adalah kematian yang berjalan-jalan. Saat ini, dalam gelap yang menyala, aku hanya mengutuk dan merutuk, menelan segala serapah yang terlanjur tumpah di dekat meja judi Hastina. Demi Draupadi, inilah waktu yang suci agar hidupku lahir kembali sebagai orang yang mengerti, di balik kain panjang tanpa akhir itu, ada kutukan bagi nafsu birahi. Nanti, jika cahaya masuk ke celah tenda, kusambut maut dari tangan-tangan mereka semua dan biarlah mata Pasuphati basah darah. O Khrsna, di bawah kakimu kuletakkan kepala Jayadrata, aku yang tertawa pada kemenanganku. 3. Duhai matahari, terang teramat gelap, mataku, ya mataku, tak akan mampu menatap kisah seperti ini lagi. 2010

Pariksit

Panah dalam tenda, Ananda, taruhlah dekat dada. Peperangan ini belumlah usai, sejuta atau selaksa kita tetap tercerai. Tercabut hidup-hidup dari hidup sesungguhnya. Dan seseorang sekuat kuda merasa bisa – lebih dari semua. Ke tengah-tengah kemah kita, dia menjumpai mati. Seorang diri. Mematut hidup pada redup nama-nama yang telah tiada. Panah di dekat dada, Ananda, pertaruhan sesungguhnya; antara nyalang mata keris, atau nyaring suara tangis. 2010

Kau Bakar Juga

1. Kau bakar juga mawar dalam jambangan, hingga dada ini merah sempurna. Dan sebentuk cinta jatuh sebagai abu. Doa yang lama tersimpan, menguar dupanya. Dia tak lagi tegar, tak lagi mempesona. Siapa mampu menatap bara? Sedang aku: arang kenangan. Kau bakar juga tonggak salib, hingga galib. Nyata seperti tubuh mengaduh. Dan ini rindu remuk tak berbentuk. Kudengar: yang teramat kering mengertap di murung langit-langit. Kosong yang begitu gosong. Aku jadi debu atau tinggal bayang-bayang. Kau: Api menggantang pandang. Sebentar datang, sebentar hilang. 2. Kau bakar juga rumah kenangan. Dan dadaku semakin bara; Siapa Tuan bersemayam di mimpi malam? Kuharap: asap, wangi dan sejati. Pengingat peristiwa tak terperi. Aku yang terjerembab dalam senyap meminta raga: merupalah segera! Tapi kau bakar ayat yang lain, tentang semangkuk air dan selusuh kain. O, gerangan gersang yang menyerang, sudilah bersemi tetunas biji. Seperti di pantai Niniwe, tumbuh serumpun labu. Akulah yang berseru : Janganlah

Ketika Aku Pergi

1. Tangisilah datangnya kesendirian, Kau. Ranjang kian lapang, dan ruang makan kehilangan hangat percakapan. Kau pun hilang, sejak langkah itu terbilang di gelisah beranda, di kalut pagar, di cemas jalan berkabut itu. 2. Siapkanlah jalan untuk kedatangan, Aku. Jalan mawar, sejuk angin gunung, dan pantai semesra ruang dansa. Aku membawamu serta, bahkan di cakrawala, saat bulan terasa temaram, malam ini. 3. Berdukalah untuk timbulnya rasa kehilangan tapi, jangan tumpahkan airmata sia-sia. 2010

Kunang kunang

Biarlah kupasangkan nyala kunang-kunang di mata taman, seperti kutenangkan juga jiwa pengelana di bangkunya yang usang. Selimut malam baru didinginkan, Tuan, apa tidak sebaiknya kau simpan sedikit bintang di bawah bantalmu yang berdebu? Tidak perlu. Aku akan memimpikan rumah yang terbakar. Yang abunya berhamburan di udara, dan kerlipnya membuatku girang, seperti kanak-kanak yang berteriak dan melonjak-lonjak melihat kunang-kunang. 2010

Puisiku di Kompas, 24/10/10

Dedy Tri Riyadi Tiga Versi Nyanyi Ratapan Yesaya Meratapi Kebun Anggur Kebun Anggurku, Kekasihku, Buah-buah Harapan yang Manis dan Sempurna, akan kutinggalkan Kau merana dan gersang, diliput semak duri, rumput, dan puteri malu. Kebun Anggurku, Kekasihku, Buah-buah Masam yang Kucampakkan ke luar pagar, telah kunantikan Kau dalam geram dan kecemasan, di menara jaga, di atas tembok, di lereng bukit subur. Lihatlah, pagar duri telah runtuh, awan hujan pun jauh, dan pokok-pokok itu tak lagi beranting, tak juga bersiang setiap carang. Berteman angin kering, aku setia menggemariMu, mengitariMu, Kebun Anggurku. Yeremia Meratapi Dua Kota Puteriku, Anak-anak Luka yang tak kunjung sembuh, yang kepadaMu airmataku tercurah siang dan malam, janganlah kecewa! Bukankah mereka tak berbeda dengan patung-patung sesembahan yang ada? Saling asing dan tak berbuat apa-apa sepanjang musim, selain bergunjing: “Ini luka siapa? Begitu ngangga dan berdarah sia-sia. Tak ada balsam dan tabib di sini.” Puteriku, Bau

Apa Kabar, Steven Kurniawan?

1. Betapa rindu kubayangkan sebagai kabel panjang dan tiang-tiang yang berjajar. Sebagai perpanjangan dari lenganku untuk memeluk pundakmu. Ada semacam getar tertata yang merambat; dari tiang terjauh, dari sebuah telepon genggam di kamarmu ( agar satu tanganmu bebas memainkan rambut, seolah-olah tanganku sedang mengelus kepalamu; tangan lainnya membuat sketsa seseorang tengah menelepon, dan telepon genggam itu kaujepit di antara dagu dan pundak, seperti ada lenganku menggamitmu ), lalu getar itu melompat riang dari satu tiang ke lain tiang dan sampailah ke gagang teleponku. Ahai! Getaran ini menyengat dahsyat seperti aroma tahun 80-an saat suara Lionel Richie sering terdengar di radio, mengucap: Hello... 2. Sudah lama aku tak mendengar sapaan; "Apa kabar, Steven Kurniawan?" Sebab, biasanya teman dan keluarga memanggilku dengan nama singkat, jarang yang menyebut secara lengkap. Aku tidak menduga suara di ujung telepon ini berasal dari sebuah jawatan, sebab nadanya terdengar ke

Lokan

Kematian sudah lebih dulu tinggal di dasar kolam. Lidahnya yang licin lagi lincah memilih cerita terbaik untuk diperdengarkan kepadamu sebelum aku tertidur di atas gelombang. Kau yang terbuka dan tertutup sesekali mengaduk lumpur dalam cahaya redup. Kaulah cangkang hidup penyimpan rahasia kelam yang kelak terlahir dari air, terkuak dari selaput lendir, terjebak dalam rupa takdir. Katamu; "Kehidupan diperam remang cahaya." Dan aku pun menyelam semakin dalam. Kematian sudah lebih dulu sampai, saat aku menggapai pinggiran yang begitu lekuk. Seakan menanti sebutir pasir dibentuk jadi mutiara. 2010

Merantau

Bangkit dari sisa anggur dan arang, dari rongga dada yang meradang. Merantau ke kota luka, kata-kata kutuk dan cela. Menjangkau yang tak sia-sia; mata cahaya, bunga cinta. Siapa dia, diam di bara semak-semak raya? Di atas bukit, dalam diam dan sakit. Aku yang cemburu, tak ingin yang lain. Ini seperti hari-hari menari, melanggam sunyi jadi lagu mimpi. Menjelajah pelosok makna, yang maya dari yang nyata. Membelah kemungkinan yang ada; puji dalam benci, suka dalam duka. Dia yang menyala-nyala, kini membakar segala. Segunung dendam dan tubuh yang lebam. Aku yang terusir, tak pernah bisa menyingkir. 2010

Potret Tukang Sado

Potret Tukang Sado "Hidup adalah perjalanan," demikianlah dia memulai pembicaraan setiap kali aku berjumpa dengannya. Dengan cekatan dia menghela tali kekang dan dari mulutnya terdengar kata-kata yang nampaknya sangat dimengerti oleh kuda berkulit coklat yang dari dalam sado hanya kulihat pantat, ekor dan surainya yang bergerak-gerak. Setiap hari minggu, ada seorang anak yang duduk di depan bersamanya. Si Tukang Sado tidak pernah mengenalkan siapa anak itu kepadaku, sehingga aku menduga bahwa itu anaknya. Hanya pernah dia tertawa sambil berkata,"Anak ini terjebak dalam lagu." Tanpa sadar aku pun mengikuti ketersesatannya itu sambil memutar lagu yang dia maksud; Pada hari Minggu kuturut ayah ke kota... Ah, akhirnya aku tahu siapa anak itu! Pastinya, Tukang Sado itu pun dulu seperti anak itu. Dia tidak akan pernah bisa berkata "Hidup adalah perjalanan" jika tidak pernah tamasya naik sado keliling kota. Sampai akhirnya ketika ayahnya menua dan sakit-sakitan,

Yang Kuman, Yang Lautan

Kau koloni kuman, Lautan yang kuseberangi seorang diri dengan mata terpejam. Bukan lantaran kau begitu menakutkan, tetapi menaklukkanmu adalah beragam kemungkinan. Aku, perahu kebimbangan. Cadik patah, layar terbelah. Ombak setinggi lutut, menekukku sepenuh kalut. Pulau dan pepohonan seperti kenangan membayang. Menghiba-menghimbau agar aku cepat pulang. Kitakah lambang perjuangan? Di dinding candi, di gambar selembar uang. Kisah nenek moyang yang tersengal - terpenggal pada lirik lagu. Seperti punggung ikan paus tertikam harpun. Menyelam! Tenggelam! Sebelum pukat, sebelum jerat. Sebelum pantun bernada laknat. 2010

Yang Darah, Yang Nanah

Kau Luka, yang lewat mata berkirim kabar dengan lirih rintih & jerit sakit. Aku tergoda airmata - karena begitu seharusnya - seperti yang dahaga, seperti yang bertemu telaga. Lalu mengada darah; tubuh pasrah, sungai paham arah. Dialirkannya aku mendekat; Terpikat. Terjerat! Pada akhirnya Muara; Suara-suara anak dara berdendang dendam rindu. Merayu. Likat madu. Serupa nanah dari balik ruam. Pecah sudah rupa gundah. 2010

Yang Himar, Yang Hingar

Janganlah Kau sangka aku: Dermawan Di luar tembok, tertambat hanya 2 ekor himar Pakailah mereka sesukamu, Tuan Padanya tak bergembok, segalanya telah terlukar Dan mari kuantar Tuan ke Pasar Di sana, yang hinggar dan sesak itu kesabaran Segobang, secupak kuberikan juga, kuanggap hilang, kuanggap tak berharga. Tanpa payung dan panji, pasti kupenuhi janji, seperti daun palma berbentang jejari. Duhai Tuan, perjalanan panjang ini; Kau atau Aku yang harus memulai? 2010

Yang Seperti Daun, Yang Serupa Bunga

Daun salam, daun kapulaga, tergoda pula kuncup cempaka. Walau segala diam namun curiga, rahasia rapat ditutup akan terbuka. Yang Kau sebut bunga; Lembar mahkota mekar besar, kelopak melingkar berombak, atau tunas daun beda warna. Aku harus meraba agar tak pernah disebut menduga, kuhirup pula madu dan nektar, supaya fasih bahasa serangga. Daun magnolia, daun lili, terhimpun di antara rumpun rumput. Luka dan luka haruslah terjadi sebelum ada yang dibangunkan oleh maut. Yang Kau rangkai itu; rahasia warna dan rupa adanya, tangkai sulur mengulir, cabang tegak merona perak. Namun, air tetap dalam jambangan, dengan sedikit garam dan bubuk abate, demikian aku berjaga-bertahan, Tuan. Yang seperti daun, yang serupa bunga, bersusun penuh setia, pada ragam gaya. Oleh kuasa yang pernah tak ada padaku, hanya kuharap penuh dalam merupa. Sungguh! 2010

Yang Meriam, Yang Karam

Duhai Sumbu; kesabaran melalui hari-hari berdebu, pijar apakah itu di tubuhmu? Yang selekas redup ragu, setegas percik api ke arah punggung panggung bisu. Dan bola-bola besi; teguh hati juga langkah diri, ada masanya terlepas dan berlari. Menuju-Mu mesti. Melaju tanpa henti. Pas. Pasti! Telah kuukur laju angin, Nahkoda. Telah kutekur segala; yang mungkin dan yang tak mungkin. Sebab dari meriam, harus ada yang karam. Terhenti dan menjadi abadi. 2010

Doa Pemancing

Lubuk yang tenang, ikan-ikan berenang, Gemawan mengambang di langit lengang. Tak terik mentari, angin menari-nari, Segala pucuk hijau dan berseri. Di bawah serasah, cacing berserah, di ujung kail, Sang Maut memanggil. Seperti lengan terjulur, seperti umpan diangsur kesabaran menjadi hari-hari yang tak tergusur. Nanti, di mulut ikan, di langit-langit tertusuk janji, seluruh hati seakan dipanggil. 2010

Kematian Abu Malik

Dari menara, dari menara, seorang perempuan berjaga. Seperti awan hujan yang begitu iba melihat lahan gersang, dan di tangannya butir-butir air seakan tertahan. Telah didengarnya yang terjadi di Sikhem, di atas Gunung Zalmon, tentang Abu Malik dan api yang membakar, yang menjalar. Hingga di Tebes, di mana dia memanjat, seusai bermunajat, sesuatu haruslah tamat! Dari menara, seorang perempuan menjatuhkan batu kilangan. Dan Abu Malik menawar rahasia; kematian adalah kehormatan. Dengan kepala berdarah, dengan pisau terarah, dia inginkan luka yang teramat parah. Dari menara, di atas semua peristiwa, seorang perempuan tertawa. Sebab di bawahnya, tak ada lagi duka. 2010

Bersuka

Kau, rimbun pohon, teduh pagi, dan sebatang sungai yang mengalun namun tak gaduh; Aku, pengelana dari negeri jauh, melepas sebentuk keluh ke dalam suara-suara rindu yang penuh. Bersama, kita bayangkan sebutir biji rumput dilempar-limbungkan angin, di sepanjang perjalanan, jauh dari indah panorama di masa pancaroba seperti sekarang ini. Sebutir biji rumput yang malang, seperti bunyi ayat-ayat yang hilang, dari doa-doaku kepadaMu. Kau, pohon buah yang ranum, gilang sinar matahari, suara rincik sungai itu; Aku, pendosa yang ingin berpulang, yang senantiasa dicekam ingin yang begitu terbilang, di sepanjang badan, di sepanjang kenang. Kita, sama-sama terjebak dalam lanskap kitab suci, dalam nyanyian imamat rajani, seperti suara angin yang gemuruh di dalam diri. Gemuruh yang tak pernah bisa pergi. Tak juga bisa mati. Seakan ini kisah yang pernah kaudengar berulangkali. Dan Kau, rumah yang teguh di atas bukit, bayang-bayang pohon tarbantin, dan kepak burung-burung pipit; Aku, seorang anak yan

Yehezkiel Meratapi Sang Faraoh

Gelisahlah Kau, Rajaku, Binatang ganas yang telah memangsa tubuhku, yang kepadaMu sebuah jaring telah kukembangkan. Di dalam pukat, tubuhMu bukan lagi milikMu sendiri. Lumpur laut dan sungai begitu lekat, begitu pekat. Sebagai rakyat, aku tak akan dapat mengenaliMu lagi. Menggigillah Kau, Penguasaku, Kepak burung yang bergemuruh di langitku, yang di tubuhMu hinggap segala keluhan. Seperti gemintang, tubuhMu akan dibilang, agar dicukupkan lapar kami; para binatang, dan sampai waktunya, tak dapat lagi Kau pandang langit dan bulan. PedangMu, Tuan, kepunahan bangsaMu, yang tertanam dalam kubur para Raja dan Pahlawan. Dari Asyur, Elam, Mesekh, dan Tubal. Yang Kautusukkan bersama tubuhMu sendiri. Sedalam-dalamnya. Dan aku pun terbaring di sini, Rajaku, dalam ketakutan yang begitu hidup, dalam kekalutan yang tak ingin redup. Bersama mereka yang mati muda, dalam patahan pucuk piramida. 2010

Yeremia Meratapi Dua Kota

Puteriku, Anak-anak Luka yang tak kunjung sembuh, yang kepadaMu airmataku tercurah siang dan malam, janganlah kecewa! Bukankah mereka tak berbeda dengan patung-patung sesembahan yang ada? Saling asing dan tak berbuat apa-apa sepanjang musim, selain bergunjing; “Ini luka siapa? Begitu ngangga dan berdarah sia-sia. Tak ada balsam dan tabib di sini.” Puteriku, Bau busuk jasad yang menguar, yang ingin kutinggalkan namun tak bisa, bertahanlah! Lidah-lidah mereka lihai berdusta, memanah dada sendiri dengan janji setia; “Ini kota-kota kami yang suci. Tak ada yang busuk di sini. Dan Tuhan adalah Raja kami.” Menangislah Puteriku, menangislah sekeras suara ternak yang berlari, sepilu sisa-sisa senyap dari puing-puing kotaku, biarlah serigala-serigala itu datang, dan segala gunung termenung, dan segala padang terdiam, dan kota-kota ini terhalang dari segala rancangan di mata mereka. 2010

Yesaya Meratapi Kebun Anggur

Kebun Anggurku, Kekasihku, Buah-buah Harapan yang Manis dan Sempurna, akan kutinggalkan Kau merana dan gersang, diliput semak duri, rumput, dan puteri malu. Kebun Anggurku, Kekasihku, Buah-buah Masam yang Kucampakkan ke luar pagar, telah kunantikan Kau dalam geram dan kecemasan, di menara jaga, di atas tembok, di lereng bukit subur. Lihatlah, pagar duri telah runtuh, awan hujan pun jauh, dan pokok-pokok itu tak lagi beranting, tak juga bersiang setiap carang. Berteman angin kering, aku setia menggemariMu, mengitariMu, Kebun Anggurku. 2010

Kain Penutup Mata

: Eva Adakah Gandari mengajarimu menyembunyikan luka berdarah dengan daun padma? Di halaman, hujan memecah-mecah suara; jadi beku, jadi pilu, jadi gelisah yang terlalu menggebu. Adakah Destarata merayumu menyandikan silsilah dengan kain penutup mata? Dan di gelanggang, ada yang mengayun-ayun senjata; atas nama cinta, atas nama kuasa, dan sekuntum rasa tanpa nama. Kau pun berjalan begitu pelan, seperti sedang menekan-nekan setiap bayang pada jejak-jejak luka, agar menghilang, agar menghitam. Dan mataku (juga matamu sendiri) tak bisa melihat apa-apa. Hanya menduga apa yang sesungguhnya telah ada. 2010

Arjuna

: Pradnya Paramitha Kau tak pernah salah jika menyebut diriNya: Panah, sebab ada sesuatu yang kelak membuatmu terluka dan berdarah sesaat setelah kudengar sederu seru; "Kita anak-anak Sang Angin," katamu, "Tak akan pernah bisa bertahan, walau telah dibendung daun dan dahan, digenggam kenangan pada bingkai tingkap waktu." Maka setiap hari, Dia berlari. Tanpa pernah sedetikpun berhenti, seperti baru saja dilepaskan dari tangan gendewa, sebelum sampai pada dada burung kayu di balik rerimbun itu. 2010

Benda-Benda yang Kubawa Mandi

Sikat Gigi Bernyanyilah. Biar aku mengatur barisan ini serapatnya. Sedapatnya. Hidup ini seperti bertanya: Apakah benar gusi mengikat kuat geligi, ataukah geraham yang erat mencengkeram? Bernyanyilah. Agar hati tetap jenak walau bertemu yang retak dan berkerak. Setelah merasa bersih dan wangi, menjadilah! Walau hanya di wajah cermin. 2010 Sabun Mandi Kau jatuhkan bacin yang paling tubuh ke licin kulit yang paling lilin itu. Kupunguti wangi yang begitu merayu di setiap lekuk dan lecur. Agar ruap setiap bentuk. Agar harap segenap kujur. Dan di segar tetesan terakhir, kau menyala dengan api yang paling dingin. 2010 Handuk Sejak semula, dia ingin menjadi peziarah. Menyentuh ceruk resah, memeluk tubuh yang basah. Aku tak akan pernah melupakan dekap itu, sebab lengannya begitu lembut dan hangatnya terlampau menghanyutkan. Dan aku pun terus berputar-putar mencari saat untuk mengakhiri. Saat untuk memulai sesuatu yang bisa-bisanya kau sebut sebagai keterlepasan. Seperti ketelanjangan tanpa pur

Sajak Syampu

Dia bicara dengan bahasa rambut; belai lembut, helai halus dan hirup wangi. Siapa mengira; setiap kala penuh makna, di balik keluh kelemumur dan riuh luruh. Ketika dia menulis puisi dengan air segayung, tunduklah! Sebab ada yang kelak limbung dari pucuk perkiraanmu. 2010

Sajak Handuk

Sejak semula, dia ingin menjadi peziarah; menyentuh ceruk resah, memeluk tubuh yang basah. Aku tak akan pernah melupakan dekap itu sebab lengannya begitu lembut dan hangatnya terlampau menghanyutkan. Dan aku pun terus berputar-putar mencari saat untuk mengakhiri, saat untuk memulai sesuatu yang bisa-bisanya kau sebut itu keterlepasan. Seperti suatu ketelanjangan tanpa pura-pura yang terus kau bentangkan di depanku, di lenganmu itu. Ah, andai saja dingin sepi tak lagi menyiksa, akan kupeluk dirimu lebih lama. Seperti seorang pecinta. 2010

Sajak Sabun Mandi

Kaujatuhkan bacin yang paling tubuh ke licin kulit paling lilin itu. Kupunguti wangi yang begitu merayu di setiap lekuk dan lecur agar ruap setiap bentuk, agar harap segenap kujur. Dan di segar tetesan terakhir, kau menyala dengan api yang paling dingin. 2010

Sajak Sikat Gigi

Bernyanyilah. Biar aku mengatur barisan ini serapatnya. Sedapatnya. Hidup ini seperti bertanya: Apakah benar gusi mengikat kuat geligi, ataukah geraham yang erat mencengkeram? Bernyanyilah, agar hati tetap jenak walau bertemu yang retak dan berkerak. Di depan cermin, ada yang sedang menjadi! Setelah merasa bersih dan wangi. 2010

Lumpur 2

Cangkul! Cangkul! Mengapa Kau luputkan lumpur ini? Sekiranya kau ada di sini, tentu aku tak bergumul sepi. Sekawanan kerbau hanyalah pemikiran-pemikiran masa lampau yang kerap mendongengkan Raksasa dan Timun Mas. Sedang burung-burung kuntul tak membawa kabar bahagia! Lantas dada siapa yang hendak kupukul-pukul selain dadaku sendiri? Sekiranya kau bersamaku, tentu saja setiap sumpah kita bagi. Seperti ketam di rawa-rawa, beriringan kita menuju rimbun kelapa. Tapi bukankah pokok-pokok bakau terlalu jauh dijangkau? Dan di sini, tidak ada tanda-tanda ombak bakal berdebur. Cangkul! Cangkul! Dada siapa lagi yang hendak kaupukul? 2010

Puisiku di Kompas 23 Mei 2010

Ada dua buah puisiku di Kompas Minggu 23 Mei 2010 Litani Sebuah Pagi dan Taman Zen Taman Zen adalah sebuah puisi yang lahir dari obrolan aku dan Sihar Ramses Simatupang tentang hobi terbarunya untuk mengumpulkan tanaman-tanaman khususnya ficus sp. seperti beringin, ara, dan bodhi. Dia bercerita bagaimana suka dukanya mengumpulkan tanaman-tanaman itu, bahkan ada yang dia dapatkan dari reruntuhan gedung tua. Dari ceritanya, aku berjanji untuk membuatkan baginya sebuah puisi. Hasilnya adalah Taman Zen itu. Berikut link dari lembaran puisi di Kompas Minggu tanggal 23 Mei 2010 ini. http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/23/04024382/puisi

Lumpur 1

Katakanlah padaku: "Aku masih menunggu." Yang kutahu, penantian itu tak pernah panjang sabar. Disembur-semburkan sampah sumpah, didebur-deburkan sejumlah gundah. Tapi kaki-kaki kesetiaan tahan benar. Meski lumpur membenamkan mata kaki, meski umur pelan-pelan meminta diri. Jangan katakan: "Aku pun tak mau terlambat!" Waktu seperti pengungsi yang kian emosi; menutup separuh badan jalan, melingkup seluruh pemberitaan dengan penderitaan. Di sini aku kian bertamadun; menguras tubuh sekujur, berkeras pada hal-hal yang terkubur. 2010

Kelambu

Kalau sudah waktumu, tutuplah dengan kelambu. Dan setiap rindu, menunggu di pintu kamarmu. Tidurlah dengan tubuh terbuka, hingga tak ada relung padam sia-sia. Sebelum mimpi menjemputmu, kecup Ibu sungguh jelai madu. Dan mimpi-buruk hanya penunggu pohon bunga. Kau, kupukupu, terhindar jaring labalaba! 2010

Baju

1/ Bayangkan sehunus pedang sedang menembus tubuhmu. 2/ Sekarang, seluruhnya adalah rongga yang terbuka: penuh suara. Berserapah akan segala apa yang bisa disebut, merambah segala sisa yang bisa direnggut. Seperti berlari hampir garis akhir, ada yang meledak-ledak di dada ini. Inilah waktu untuk mengancing, membentuk-padatkan hal-hal tak penting. Dan saat kau sentuh setiap ujung dan rumbai, sebentuk badan terpadu-padan sempurna. 3/ Duduklah tegak dan sedikit sombong, karena selain engkau hanyalah kosong. Tapi dengarkan setiap decak dan bisik, supaya kau tahu : mana yang lecek, mana yang perlu ditisik. Lalu kita kembali menjadi orang-orang baik : orang-orang yang tak pernah saling usil mengusik. 4/ Katamu: "Aku tak pernah belajar memegang pedang." Aku ingin percaya, tapi, potongan ini begitu langsing. Dan tanpamu, aku begitu asing. 2010

Taman Zen

: Sihar 1/ Yang Kau sebut Bodhi itu telah berakar di hati dan rimbun daunnya seperti hari-hari yang tenang, saat kau memandang: ada yang serupa lanskap lembah dan ladang. Seperti tegak karang pada pot datar, di mana akar-akar kecil itu melingkar, memegang, dan mencengkeram ruang kosong yang tak bimbang menjagamu dalam rupa Sang Pertapa. 2/ Tapi, Kau memilih terlahir sebagai pecinta yang tabah. Kau hitung ulang sudut-sudut tak kasat mata: dari antara pucuk, ranting, batang, dan batu karang, juga bidang pot itu. Sebelum kau masuki dunia yang benar-benar sunyi; dunia daun-daun yang ingin meluruhkan diri. 3/ Apa yang Kau pegang sekarang? Selain sebentuk ranting, dan rasa yang begitu ingin tak berhenti untuk memandang: betapa teduh mata bumi, betapa sungguh tangan matahari. Lalu angin; dia yang selalu berbisik; Inilah saat yang jangan pernah sekali-kali kau usik! 4/ Jadilah kesunyian ini abadi, seperti mata yang selalu mengenali. Agar bernama setiap pokok, berwarna setiap batu, dan sejumlah

Bekisar

Sepantasnya, kita lupakan saja waktu, dan mulai percaya: batu mata ini bukan batu biasa - karena ketika waktu menua dan buta - batu ini semakin berat menjerat di dasar rasa curiga pada tunas cahaya. Seperti cahaya perak yang perlahan tumbuh dari timur jauh saat sudah tegak bulu-bulu jingga dan biru di lurus lehermu; Kau tahu? Sulurnya lebih tajam dari suaramu. Tepat mulutmu menyebut nama Sang Pagi, sulur-sulur itu sudah menanti. Menyelipkan barang sebentar sehelai rambut akar di lidahmu. Supaya semakin parau suaramu ( semakin risau aku! ) Aku harus bergegas. Melempar-pantulkan batu mata ini ke dinding masa yang begitu pejal, supaya terdengar suara yang kikuk itu. Suara yang sama sekali bukan suaramu, bukan? Dan kita bersama-sama menghitung : berapa tik, berapa tok, berapa tik-tok lagi yang makin samar, menjadi kokok yang berkobar. Lalu waktu hanyalah jeda: saat mata kita bertemu. 2010

Silet

1. Sekali-kali kuminta: lupakanlah luka! 2. Mulutnya lebih tahu Tuhan daripada mulut para pendosa. Bahkan sebelum kau mengaduh, di mulutnya ada tawa yang membuka pintu-pintu rindu. Ketahuilah, dia lebih tebal dari bantal. Agar di tubuhnya, segala yang banal - sebelum jadi sesal - ditimbunkan dan ditidurkan di tiap jengkal pangkal lehermu. Tapi jangan sekali-kali tertidur! Selembut bisik jembalang, berkali-kali dia akan datang: mengusik ruang-ruang mimpi dengan getar sayap kunang-kunang. Mungkin, kau akan merasa sedikit pusing. Seperti setiap kali aku melihat darah, ada rasa mual dan ingin muntah. Tapi yakinlah: pertama kali kau dipeluknya, itu kali terakhir kau merasa mabuk. Lalu setiap detik adalah kenangan: kumpulan imaji tentang beragam perasaan di saat kau mengada - di saat kau merasa tak ada waktu yang lebih baik dari saat itu. Dan jemarinya akan mengekalkannya, mendekapkan mereka di nadi-nadi yang terbuka, bahkan di setiap sel plasma yang mengalir ke ruang menganga. Berdoalah dal

Reggae di Tepian Martapura

: Toni Q Rastafara 1/ Di sini tak ada pantai, hanya sungai menderas-derukan lagu, tapi langkah kami ringan dan hati kami riang; mendendangkan cintamu. Detak jantung kami seirama laju kelotok itu, menghentak-hentak tubuh sang waktu. Maka kami bersorak, berjingkrak seperti tak peduli, ini malam segera berlalu. 2/ Pun tak ada yang mengenang Venesia tersebab kami bergembira, berkumpul di tepian Martapura. Hanya aku menghitung debit air hujan; isyarat genit dari Tuhan saat mereka memainkan lagu terakhir: "Lagu untukmu," Kata Para penyanyi. Tapi yang hadir di sini, tak lagi peduli. "Ini juga lagu kami," Dan mereka terus menari. 2010

Narapidana

Aku mengenalmu dari segala yang dingin dan diam: lantai semen, terali besi, rantang kosong di sudut ruang. Usiamu; deret turus tak tuntas ditulis di dinding. "Hari esok : antara terlahir kembali atau mati," begitu katamu. Setiap malam, kita bergantian membaca bait-bait sajak Chairil; - Tambah ini menanti jadi mencekik. Memberat-mencekung punda. - Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku. agar pada pagi hari, kita menyair tubuh sendiri, mencari sajak sendiri. Dalam remang cahaya di jendela, aku melihat wajahmu seperti langkah-langkah waktu yang bergegas itu : yang meninggalkanku. 2010

Langkah Kaki

: Tom Ibnur Dadamukah ladang yang melanjarkan langkah-langkah kaki, hingga yang gemerisik semakin apik, semakin musik. Ini perjalanan mendebu, menghilangkan aku karena pada ketukan yang talu, kaupasangkan nahu. Jadilah telinga mereka mengerti bahasa, jadilah. Dan mata mereka begitu paham pada langgam. Aku tak bisa menghitung kenangan di keningmu, tersebab zapin, tersebab gemerlap kain. Seperti background yang hitam dan kosong, tak berarti lagi semua yang berbau kimiawi. Menjadi kau yang menari, melangkah kian kemari. Dan mereka - yang mendengar dan memandang - kini melepas kendali. Menghentak-hentak kaki. 2010

Rekuiem #6

Apakah mendung memayung di suram mata atau ini lapisan duka yang tak dapat kubuka? Hanya airmata akan menjernihkannya. Aku pelayat. Tak tamat mendengar iqamat. Terburu menabur bunga ke atas pusara. Telekung hitamkah menudung kepala atau semata selubung luka yang tak sanggup kulukar? Adalah jari maut yang lembut menautkannya kembali. Aku tak pantas kausebut peziarah : mereka yang berserah. Pulang terlebih dulu, sebelum tujuh langkah terbilang. 2010

Rekuiem #5

Kami yang hidup : menyalakan lilin, membarakan segenap ingin, agar jiwa ini tak gampang redup. Kami tahu : kau hanya mati sekali. Seperti mimpi saat aku berjaga senantiasa sebelum pagi. Dan sebelum tertidur, kami bernyanyi: memazmurkan kau yang abadi. 2010

Rekuiem #4

Peti mati itu : tubuh baru untukmu, yang mandi airmata dan taburan bunga mawar & melati. Liang lahat ini : kamar tidur paling sepi, tidak ada lagi deru sepeda motor ngebut lewat mimpi. Lalu nisan adalah weker yang berdering tanpa henti. Mengingatkan kelahiran, perpisahan, kepergian, dan kenangan yang tertidur di sini. 2010

Memanggungkan Keterbatasan, Memunggungi Kelemahan

Layaknya menonton film, saya pasti mencari nilai-nilai kehidupan yang unik dan universal bagi saya pribadi, juga mencari hal-hal yang menjadi titik pembeda dari sekian banyak film yang sedang diputar pada saat yang bersamaan. Beberapa waktu lalu, saya membawa keluarga dengan maksud menonton film animasi yang menjadi box office, namun lantaran tiketnya ternyata laris manis, akhirnya saya harus memutuskan antara film animasi lainnya atau film adaptasi novel karya anak negeri yang juga banyak direferensikan untuk ditonton. Alih-alih menonton film yang terakhir, dengan pertimbangan "selera anak" akhirnya saya memutuskan untuk membeli tiket film semi-animasi yang mengisahkan tiga ekor tupai! Mungkin, orang lain akan mencibir pilihan saya. Permasalahannya adalah saya tidak menonton seorang diri. Anak saya yang masih balita tentu tidak bisa mencerna film nasional adaptasi novel itu dengan pikiran kanak-kanaknya. "Bahasa"nya pasti berbeda. Dan bagi saya, akan lebih mudah

Rekuiem #3

Tanah pekuburan masih diakrabi sepi, lalu lamat-lamat kau lihat di bagian bawah batang cemara sekumpulan lumut mulai menyemut; seperti pelayat dalam perkabungan tak rampung. Mendung mengembangkan payung, aku memegang tubuh yang terhuyung ; hampir tujuh langkah aku hitung. Betapa berat dan limbung menyajakkan kematian, karena di setiap kalimat ada nafas tersengal, ada tangis yang bakal, dan rasa damai - yang jauh tertinggal - di rumah-rumah doa belaka. Berjalan di belakang keranda, Sang Pembawa Nisan : dia yang pertama kali membaca kesalahan ejaan. Tanah pekuburan - di saat seperti ini - akan semakin menepi, mempersilakan kita berduka sepuas hati. Agar seperti doa kerelaan yang dibaca di akhir acara, sekumpulan lumut di bawah cemara mulai menumbuhkan spora. 2010

Rekuiem #2

Punggungmu tak lagi bisa kukenali. Seperti tangan menengadah, kau hanya menampakkan wajah - tapi bukan memandangku, hanya pada awan seakan ke sana lah engkau akan melangkah. Kau tak tersenyum, kali ini. Bibirmu membeku, seakan percakapan ini sudah seharusnya berhenti. Namun tangisan jadi bahasa yang paling jitu, di saat segala kata tak lagi berarti ( Ah, seharusnya kau mengerti! ) Hanya sunyi berulangkali lahir dan mati, sebagai penepuk-nepuk punggung yang lelah, sebagai penyeka airmata di kedua pipi, atau sekedar merapikan raut wajah. 2010

Rekuiem #1

Sebentar lagi, sebuah obituari kutulis dengan tinta hijau : ada namamu dan namaku - tak peduli siapa yang pergi, dan yang ditangisi - juga nama-nama mereka yang sedang berduka. Sebentar lagi, kau dan aku tak lagi berkata dengan suara parau : hanya berbisik, seakan di sini hanya ada kita berdua dan larutan kesedihan yang teramat penuh, begitu jenuh di udara. Lalu, kita tandai hari ini dengan wajah yang berbeda : yang serupa wajah dalam foto di depan keranda. 2010

Sajak Kecil

Pada mulanya rindu sebelum kau dan aku sebelum janji untuk bertemu lalu rindu itu terang terekam oleh mata-mata cerlang hingga kau dan aku saling pandang hanya ada perjalanan, singkat percakapan, sedikit tangisan, dan kata-kata yang dituliskan oleh waktu yang bergegas meninggalkan kau dan aku 2010

Sayap Kupu-kupu di Lengan Ibu

Ibu menumbuhkan sayap kupu-kupu di lengannya. Sayap yang terlihat halus dan lembut, tapi ketika bergetar terasa bagai arus di laut. Ganas dan liar. Hingga aku yang tengah sembunyi di bilik sunyi - ruang paling sendiri dan terkunci, terduduk gemetar. Ibu menerbangkan sayap itu ke langit kamar. Tepat di bawah lampu pijar. Tapi bayangnya, luar biasa gelap kupandang! Aku tak bisa lagi melihat, hanya meraba-raba dinding dan bertanya-tanya pada sekeliling; Ibu, masihkah kau di sana? Ada lintasan-lintasan samar seperti ketika aku di dalam kereta dan memandang persawahan - dan aku masih melihat sayap itu bergetar di bawah lampu pijar - bersama rasa takut yang tak bisa kukatakan. Hanya berpegang pada cahaya yang mulai buta, aku melangkah mencari suara Ibu.

Sajak-Sajak yang Terinspirasi Lirik Lagu Dangdut

Bibirku Cawan Anggurmu : Anggur Merah Bibirku adalah kehausan yang sungguh, adalah kegembiraan yang menghendak kau sepenuh seakan kau dipetik dari ladang terbaik di tepian sungai yang subur, lalu diperam hingga benar-benar berumur Ronamu merah memikat. Siapa yang tahan pada kilau berkilat-kilat itu? Yang teramat cerlang di bibir gelas, terang dan hangat tergambar begitu jelas Akulah kesetiaan. Menunggu segalanya tertuang, terbuang, dan terulang Hingga habis sesap manis, sampai nanti ada yang akan mengingat sisa-sisa hangat malam lalu tersadar betapa sia-sia kegembiraan, dan betapa sesal segala kemabukan Meski - saat itu - Anggurku, telah lepas dari cawan bibirku, gawal dari takdirku. 2009-2010 Sebelum Masuk Setelah Mabuk : Gubuk Derita Mengapa bilah-bilah bambu seakan saling berpilin, bersiasat melawan angin? Hingga suara-suara dari luar - gangguan bagi mimpi-mimpimu - terjebak dingin. Sementara berkas cahaya dari lampu begitu bebas menerobos celah dinding, jendela dan pintu Mengapa k

pembelajaran puisi

Image

Hikayat Sepucuk Surat

Kelak, jika kuputuskan untuk menjelma, tersebab rindu yang teramat, aku akan menjadi surat. Tanpa perlu alamat, karena tujuan sudah lama diidamkan. Tak perlu juga pengantar, sebab aku bukan sembarang surat. Bahkan tanpa amplop dan perangko, karena hanya kau yang akan kujangkau. Kelak, jika kuputuskan untuk sampai, karena dalam dadaku seperti disengat kesumat, tak perlu kau menunggu di depan pintu, menumpu tangan di dagu dan termangu pada kosong ruang jendela, bahkan tak usah juga kau menitip pesan pada Si Penjaga Gerbang. Ini sudah sebuah kepastian yang tersirat. Sejak sajak ini dituliskan, sejak terlahirkan kita sebagai anak, bahkan jauh sebelum itu. Sebelum kita sadar bahwa kita benar-benar satu. 2010

Hikayat Pisau Lipat

O Gembala, sejak kau tinggalkan, aku seperti domba yang siap dijagal. Gemintang di langit ibarat mata serigala lapar yang setiap saat bisa runtuhkan segala pagar. Di kanopi pepohonan, angin yang berkesiut aku dengar seperti desir maut yang siap memagut. Dan pada gelisah rerumputan, kutemukan tubuhku sendiri, terserak layaknya embun diteriknya hari. Hanya janjimu, Duhai Gembala, kusimpan lekat dekat tulang belikat, tak ubahnya pisau lipat. Janji bahwa kau akan datang di setiap waktu, sekelebat, seperti luka tikam dan gores itu yang pernah bernas di tubuhmu, yang berbekas penuh padaku. 2010

Suatu Ketika di Tambora

1. Ziarah Sayid Idrus Sayid Idrus senantiasa menjaga jumbai jubahnya agar tak tersentuh basah cuping hidung anjing. ”Jauhkanlah dari aku, segala najis dan malu sebab aku belum lagi kembali ke rumah Bapakku.” Penjaga anjing raja itu tak tahu letak surga atau neraka, baginya; ini negeri Tambora. Sayid Idrus akan menggesah siapa saja yang menghalangi langkahnya berziarah. ”Telah kujamah negeri-negeri tanpa nama, telah kutolak rindu ibu-bapak, tapi di sini tak kujumpai juga sambutan gembira.” Penjaga anjing raja hanya tahu arah istana, dari sanalah segala titah dan rencana. Dan Sayid Idrus akan terus berdoa, berzikir debu dan pasir, menulis sajak dan syair pada tapak kaki tanpa sepatu, tanpa ragu. 2. Perjamuan dengan Raja Ada yang merayakan sebuah pertemuan; sepasang dendam tak berkesudahan, dalam langgam orang-orang yang saling asing. ”Aku mengenal negeri ini seperti daging; lembut dan nikmat, seakan maut berpagut dalam kesumat. Inilah makanan pilihan, jangan ragu untuk menelan.” S

Seperti Petal Mawar yang Tertebar di Pelataran

masih ada yang lebih baik dari pada ketika aku ditelantarkan, seperti petal mawar yang tersebar di pelataran matahari di dinding cakrawala mencuri pandang pada jubah angin yang tersangkut di daun-daun angsana sedang hujan seperti paduan suara di altar, memuja-muja seseorang yang lebih dahulu mengenal kata sengsara seorang gadis melangkah pelan menghitung sejumlah kata perpisahan yang tadi tak terselesaikan dan kota memandang dingin padaku dari kaca jendela sebuah bis kota dalam haru dan pilu, wangi mawar terhidu sedemikian syahdu meski telah terberai, meski tak lagi terangkai masih ada saja yang lebih baik daripada ketika aku kautinggalkan, seperti saat jubah angin melayang turun dari pucuk angsana menerpa bulir-bulir air mata 2009

Ode Untuk Cisadane

O Sungai bawalah aku kepada haus yang lebih haus dari kerongkongan ternak yang lebih halus dari keriangan kanak-kanak yang lebih tandus dari kekeringan di pucuk-pucuk jati di mana punggung batu hitam begitu dendam pada seorang bocah gembala di tengah hutan yang di tangannya sebuluh bambu telah pecah jadi suara pilu suara yang tajamnya mengiris langkahku, hingga kuhentikan sejenak perjalananku. O Sungai ke mana lagi arus akan menjadi tubuh perempuan berkemben batik tulis, akan menjelma pada rimbun talas berbaris-baris, dan berakhir mengalir di kaki tua petani yang penuh lumpur itu? Aku telah tumbuh seperti lumut kerak di ranting lapuk, bertahan dengan sisa sisa embun, dengan tai burung pelatuk sampai pengayuh rakit bambu sibuk menyibak dedaunan bercampur plastik. O Sungai kusampaikan lagi kerinduan ini agar di tepianmu, kubasuh kaki kota itu dengan rambutku, dengan sambatku. 2010