Posts

Showing posts from July, 2015

Sajak Cinta

Aku telah mencintaimu lebih dari embun turun ke atas daun. Yang bahasanya basah dan inginnya tetap dingin. Aku akan menjagaimu lebih dari tangkai dan kelopak pada bunga. Supaya kau tetap terangkai dan tegak sebagaimana mestinya. Aku terus merindukanmu meski bunga dan daun gugur. Dan mendoakanmu dengan mata basah dan suara tumpur. 2015

Ada Saatnya Aku Menghilang

Ada saatnya aku menghilang. Seperti jeda pada kalimat, atau semacam penekanan nada bicara yang tak mungkin dituliskan. Saat itu, kau tak perlu menghiraukanku. Kali lain aku datang. Menjadi tanda seru pada akhir tulisan. Dan kau menduga ada yang patut untuk diperhatikan. Seperti peluru hendak dilepaskan itu. Aku tembok kota. Warna cerah grafiti itu. Wajah dengan ukuran besar. Bisa juga lampu atau marka dekat perempatan. Mata kucing di samping gardu jalan bebas hambatan. Saat kau melintasiku, bisa saja kau tak akan memperhatikanku. Ada saatnya aku menghilang dari pikiranmu. Semacam penglihatan semu atau ingatan suatu kejadian yang tiba-tiba datang. Aku bagimu adalah déjà vu. . 2015

Pelajaran Mengenai Politik

Pelajaran Mengenai Politik Perhatikanlah politik baik-baik. Dia seumpama ular tua di pohon abadi. Katanya, tak ada yang lebih baik daripada berpolitik itu sendiri. Dari lidahnya, ada pangkal bicara mengenai kebaikan. Tapi di ujungnya, sangat tergantung dari siapa dan bagaimana kebaikan itu akan dijatuhkan. Perhatikan geriknya yang lentik. Dia penari sempurna di panggung kebahagiaan. Tak ada musuh sejati, seperti tak ada kawan yang rela mati. Jubahnya adalah rahasia yang berkelebat di setiap kesempatan. Pada lengannya terbalik tanda-tanda, maknanya tergantung dari sebelah mana kaupandang. Aku suka takut dengan suara sepatunya. Sebaiknya kau juga begitu. Ada perasaan diburu-buru, semacam dihantui dengan cara seksama, selama-lamanya. Kau tak bisa menerka ke arah mana dia berlari atau menghampiri sebab semua arah berada dalam jangkauannya. Dia tak ke mana-mana tapi bisa di mana saja. Dia tak terarah dan bisa berada di sisi sesiapa yang ingin dikuasainya. Dia bicara

Menyingkirkan Ketakutan

Sebagai manusia, aku tak berakar, hanya lingkungan menunjang kebutuhanku dan keburukan adalah apa yang kutinggalkan untuknya. Bukanlah pohon aku ini, bukan juga mata air. Segala yang segar kuhirup dalam- dalam, dan yang kembar hanyalah lubang mata yang semakin hitam - menajamkan ketakutan dan ngeri yang berasal dari keburukanku sendiri. Apakah aku akan peduli pada sesama? Atau meninggalkan yang baik pada generasi mendatang kelak? Itu semua juga ketakutanku sendiri. Dan hidup kupandang begini: segala upaya adalah menyingkirkan ketakutan. Memandang fakir diri pribadi seolah tak bakal ada yang kuabadikan dalam perjalanan panjang ini, selain menutupi jejak -- aku telah membuat rantai karbon tak berkesudahan. Meninggalkan polutan dan kelangkaan hewan-hewan. Menjadikan papa kaum mendatang dari kesegaran alam. Menuliskan hal-hal pribadi seolah jadi warisan bagi negeri. Dan dari kedua mataku ini, akan datang rasa sedih tak berkesudahan, yang kuteruskan pada semua pemuda dan

Bangunan Kekecewaan

Bangunkan aku dalam bangunan kekecewaan. Semua yang buruk dan kenyataan yang pahit kutelan. Bisa saja kau bertanya, untuk apakah itu semua? Tapi yang jelas bisa kubagi - semacam informasi - adalah begini: Hidup dibentuk bukan semata karena rasa bahagia, tapi ada mimpi harus dikejar selama badan masih bisa terjaga. Bangunkan aku dalam bangunan paling tidak sempurna. Seolah semua kata tak akan punya makna. Dan kerjapan mata atau angguk kepala adalah bahasa yang didiktekan dan ditulis pada semua diktat mata ajar siswa. Dan hidup adalah cerita motivasi, inspirasi serta cara meraih kesuksesan yang diukur dengan materi. Dan yang disebut orang gagal adalah yang belum paham bagaimana berinvestasi atau menjalin relasi. Padahal hidup adalah timbunan putus asa yang semakin lama semakin biasa kau reguk seperti meminum sari bunga siantan ketika demam, atau berusaha untuk tidak mual menghabiskan 2 liter air sebelum kau tertidur. Ya, hidup adalah puisi yang menuliskan diri sendiri,

Trombosit

Katakanlah kau menyerah. Tak akan musnah seluruh kata. Bahkan selembar duka mudah terserak sebelum hari berubah. Apa kemudian tangisan bisa berarti hal yang berbeda? Tentu saja tangis adalah tetas tetes dari mata, bukan yang ada dalam cairan infusa. Kau menangis karena sesal dalam diri: Mengapa ada yang harus lenyap bahkan mati, bahkan, mengapa harus ada peperangan ini. Bukankah manusia lebih baik saling menghormati, seperti setiap pagi matahari datang menyalakan mimpi -- supaya manusia tetap hidup, dan kata jadi abadi. Supaya yang bergolak dapat redup, dan kita terus saling mengerti. Tak usah mengeluh; aku kalah - aku kalah. Tak ada juga yang meminta: akuilah... 2015

Menjadi Manusia

Menjadi manusia adalah menjadi sakit, tua, dan lupa. Dan menyadari betapa peradaban begitu mudah dihancurkan, untuk kemudian ditata kembali. Seperti merapikan maskara setelah kau menangis dan berpura-pura: tak terjadi apa-apa, bukan? Menjadi manusia berarti bersiap pada perubahan. Kulit mengendur dan rambut beruban lalu perlahan gugur. Yang sulit adalah mengatur perasaan. Menampakkan kewajaran dan menyembunyikan tanda heran seolah berkata: kapan dan bagaimana hal itu terjadi, aku sudah menduganya. Sebab di tangan manusia waktu adalah percakapan rumah kopi, dan tayangan televisi. Sementara cinta - entah bagaimana berulangkali kau mengejanya - adalah persoalan menepis sepi. Padahal keduanya adalah ruang penyekap abadi.  Yang dengan menjadi manusia, kita belajar hidup dalam waktu yang cukup untuk menyatakan cinta sebesar-besarnya. Melebihi angan kita tentang hidup kita sendiri, terlebih apa yang jadi ruang lingkup kita sendiri sebagai manusia. 2015