Posts

Showing posts from January, 2010

Suatu Ketika di Tambora

1. Ziarah Sayid Idrus Sayid Idrus senantiasa menjaga jumbai jubahnya agar tak tersentuh basah cuping hidung anjing. ”Jauhkanlah dari aku, segala najis dan malu sebab aku belum lagi kembali ke rumah Bapakku.” Penjaga anjing raja itu tak tahu letak surga atau neraka, baginya; ini negeri Tambora. Sayid Idrus akan menggesah siapa saja yang menghalangi langkahnya berziarah. ”Telah kujamah negeri-negeri tanpa nama, telah kutolak rindu ibu-bapak, tapi di sini tak kujumpai juga sambutan gembira.” Penjaga anjing raja hanya tahu arah istana, dari sanalah segala titah dan rencana. Dan Sayid Idrus akan terus berdoa, berzikir debu dan pasir, menulis sajak dan syair pada tapak kaki tanpa sepatu, tanpa ragu. 2. Perjamuan dengan Raja Ada yang merayakan sebuah pertemuan; sepasang dendam tak berkesudahan, dalam langgam orang-orang yang saling asing. ”Aku mengenal negeri ini seperti daging; lembut dan nikmat, seakan maut berpagut dalam kesumat. Inilah makanan pilihan, jangan ragu untuk menelan.” S

Seperti Petal Mawar yang Tertebar di Pelataran

masih ada yang lebih baik dari pada ketika aku ditelantarkan, seperti petal mawar yang tersebar di pelataran matahari di dinding cakrawala mencuri pandang pada jubah angin yang tersangkut di daun-daun angsana sedang hujan seperti paduan suara di altar, memuja-muja seseorang yang lebih dahulu mengenal kata sengsara seorang gadis melangkah pelan menghitung sejumlah kata perpisahan yang tadi tak terselesaikan dan kota memandang dingin padaku dari kaca jendela sebuah bis kota dalam haru dan pilu, wangi mawar terhidu sedemikian syahdu meski telah terberai, meski tak lagi terangkai masih ada saja yang lebih baik daripada ketika aku kautinggalkan, seperti saat jubah angin melayang turun dari pucuk angsana menerpa bulir-bulir air mata 2009

Ode Untuk Cisadane

O Sungai bawalah aku kepada haus yang lebih haus dari kerongkongan ternak yang lebih halus dari keriangan kanak-kanak yang lebih tandus dari kekeringan di pucuk-pucuk jati di mana punggung batu hitam begitu dendam pada seorang bocah gembala di tengah hutan yang di tangannya sebuluh bambu telah pecah jadi suara pilu suara yang tajamnya mengiris langkahku, hingga kuhentikan sejenak perjalananku. O Sungai ke mana lagi arus akan menjadi tubuh perempuan berkemben batik tulis, akan menjelma pada rimbun talas berbaris-baris, dan berakhir mengalir di kaki tua petani yang penuh lumpur itu? Aku telah tumbuh seperti lumut kerak di ranting lapuk, bertahan dengan sisa sisa embun, dengan tai burung pelatuk sampai pengayuh rakit bambu sibuk menyibak dedaunan bercampur plastik. O Sungai kusampaikan lagi kerinduan ini agar di tepianmu, kubasuh kaki kota itu dengan rambutku, dengan sambatku. 2010