Suatu Ketika di Tambora


1. Ziarah Sayid Idrus

Sayid Idrus senantiasa menjaga jumbai jubahnya
agar tak tersentuh basah cuping hidung anjing.

”Jauhkanlah dari aku, segala najis dan malu
sebab aku belum lagi kembali ke rumah Bapakku.”

Penjaga anjing raja itu tak tahu letak surga
atau neraka, baginya; ini negeri Tambora.

Sayid Idrus akan menggesah siapa saja
yang menghalangi langkahnya berziarah.

”Telah kujamah negeri-negeri tanpa nama,
telah kutolak rindu ibu-bapak, tapi di sini
tak kujumpai juga sambutan gembira.”

Penjaga anjing raja hanya tahu arah istana,
dari sanalah segala titah dan rencana.

Dan Sayid Idrus akan terus berdoa,
berzikir debu dan pasir, menulis sajak
dan syair pada tapak kaki tanpa sepatu,
tanpa ragu.


2. Perjamuan dengan Raja

Ada yang merayakan sebuah pertemuan;
sepasang dendam tak berkesudahan,
dalam langgam orang-orang yang saling asing.

”Aku mengenal negeri ini seperti daging;
lembut dan nikmat, seakan maut berpagut
dalam kesumat. Inilah makanan pilihan,
jangan ragu untuk menelan.”

Sayid Idrus tak bisa menolak, walau tahu
ada yang akan membuatnya tersedak.

”Seorang pengembara adalah gembala
tanpa ternak, tongkat dan anjing penjaga,
hanya langkahnya yang ia pertaruhkan.”

Maka raja meminta Sayid Idrus untuk
menumpahkan darah, memutus arah ziarah.

“Aku mengenalmu seperti tulang; keras
dan dingin, bukan sesuatu yang aku bakal
merasa puas dan ingin. Tinggal kematian
menjelang, temuilah dia dengan hati riang.”

Setelah itu semua, ada yang akan merayakan
perpisahan; sebuah perjumpaan dengan sunyi,
kerinduan pada diri sendiri.


3. Di Kepundan Tambora

Di dekat kepundan, sebelum seligi
dihujam, Sayid Idrus bergumam:

”Serupa petal mawar, dalam angin
dia menyebar wangi - dalam hujan,
ditinggalkan dia sendiri.”

Terkadang kita adalah Sang Penjaga;
pelaksana kata-kata belaka - seperti
tubuh tanpa jiwa - di mana titah raja
lebih utama.

”Dengan tajam mata tombakku,
kau jadi pusar angin di petal mawar itu.
Dan di pijar lava, tubuhmu akan
lebih lembab dari hujan.”

Setelah Sayid Idrus tertikam
dan dibuang dalam kepundan,
sepi datang menyesali;

Mengapa batu dan pohon
tak pernah bisa abadi,
walau sekedar jadi saksi?


4. Antara Tambora - Sodom & Gomora

Dari seluruh kota dan padang,
kita hanyalah para pendatang,
dan akan senantiasa demikian.

Menara-menara kota terlalu angkuh
bagi lelah sepatu, bagi sejarah yang bisu.

Dan di Tambora – daerahmu di masa lalu
sejarah telah ditulis dengan darah,
dengan tinta kelabu.

Seperti di Sodom & Gomora, ada
Yang telah bertekun sekian lama
menyusun rencana;

jika anggur baru akan dituang,
bejana lama harus dibuang!

Begitulah, hingga seluruh kota
dan padang akan menutup pintu,
dan segenap penduduk melepaskan
anjing-anjing penjaga -

memburu Si Penyelinap itu
: aku.


5. Hujan Abu sampai Negeri Jauh

Tak perlu lagi kapal untuk berlayar,
tak perlu juga angin membawa kabar,

sebab segala abu yang kuterima
di tanah Bugis dan Mengkasar
telah menjadi berita bahagia bagiku.

Dari Tambora, berulangkali kau serukan
kepulanganmu; lewat kepulan-kepulan itu.

Dan cuaca mengekalkannya,
dan cerita meneguhkannya,
jadi batu, jadi reruntuhan
dan jeritan yang lebih pilu
dari lolong anjing hutan.

Maka aku tak perlu lagi datang
dengan pedang atau senapan,

karena kau sudah lebih dulu menang,
dengan riuh beribu tangisan
yang lebih guruh dari ombak,
yang lebih runtuh dari segala lantak,

karena kematianmu, hancurlah
Tambora, sepenuhnya!

Duhai Sayid Idrus! Sejak itu aku
tak perlu menangis, namun akan terus
kutulis kisahmu yang tragis.

2010

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung