Posts

Showing posts from October, 2014

Ketika Engkau Datang

Ketika Engkau Datang "Dunia, sebenarnya, yang ke dalamnya dia datang dalam waktu-waktu ini, tampak sederhana saja."                     Jon Anderson Lebih tinggi dari pucuk piramida, kegelisahanku memuncak dan tak juga reda. Bunga-bunga rumput diudar ke udara. Tubuh buruk tanpa busana. Lebih kusam dari jendela kamar, harapanku gambar kapal karam di kejauhan. Jejak masai angin badai. Seluruh hal yang akan disesal. Namun kali ini, seperti dalam waktu yang dihembuskan demikian kencang, aku harus tetap tenang. Menjaga setiap kata, kalimat, dan bangun puisi ini dalam harmoni. Supaya ketika engkau datang, akan kau dapatkan: aku tegak dan selalu rimbun selama menanti. Selama hidup ini tak sekedar rupa dan bunyi. 2014

Lihatlah Aku

Lihatlah Aku "Hanya bagaimana cara —bukan kapan atau di mana, bahkan bukan apa— kau melihatnya."            Lenore Horowitz Di bumi ini, waktu kuat namun licin, seketat jadwal kunjungan di mausoleum Ho Chi Minh. Tak bakal sempat kita bergunjing - tubuh lilin itu, benar dia atau orang lain. Karena itu, aku meminta dengan sangat kepadamu; Cukup lihatlah aku! Lihat bagaimana aku berdiri, menggeliat, bahkan akrobat dan tak henti berlari seperti gemawan yang gesit berkelit di langit. Aku tak mau menuntutmu memberi hal-hal ajaib dan superlatif dari cinta. Sebab segalanya akan berkurang kadarnya seiring waktu. Cukup lihatlah aku, kali ini. Sebagai kata-kata dalam puisi yang berdiri seperti petugas jaga dari jalan, alun-alun, dan bekas istana di kota ini. Mengawal perjalananmu supaya tetap berbahagia. 2014

Di Bumi

Di Bumi "Kami membaca masa depan, bukan masa lalu, dari wajahnya."                May Sarton Telah disembunyikan segala pertikaian di bawah cahaya langit malam. Telah dibunyikan terompet kecil natarian oleh prajurit jaga malam. Telah diselesaikan gerak lompatan jadi fouetté rond de jambe en tournant. Yang belum hanya menerima undangan darimu, Tuan, ke pesta pernikahan. Agar di bumi seperti di surga. 2014

Aku Tak Patah

Aku Tak Patah "Tetapi kesedihan memiliki tradisi panjang, melewati mata demi mata, dari hati ke hati,"                          Yehuda Amichi Langit tak jadi terang dalam angan, ada badai yang sengit, mengguncang dan menerbangkan diri ke lubang sepi. Tak hanya bintang akan jadi pandu. Ada tiang-tiang listrik dan juga gardu. Mengingatkanku pada waktu. Para peziarah berulangkali menjenguk dan bertanya, "Adakah yang lebih khusyuk dari doa semata?" Tapi di rumah kata-kata, ada lebih banyak airmata. Sungai dan darah murni bagi kaum petani yang meminta langit selalu terbuka, agar pusaran badai itu berputar dan mengisap lebih kencang hingga sepi tak akan lagi mematahkan aku. Lebih dari itu, ia akan mementahkan kau yang berseru, "Kemari. Kau akan kuperbaiki." 2014

Jangan Dengarkan Aku

Jangan Dengarkan Aku "Dengarlah aku seperti seseorang menyimak bunyi hujan," Octavio Paz Mataku: buta masa lalu. Topi penambang di dalam kelam. Yang kutemukan hanya sepotong tubuhmu - lorong panjang paling kering. Tanganku: doa bisu. Bunga tak kembang, tanpa jambangan. Yang kuraba perasaan bahagia sekaligus bayang baju - warna kuning kurang jernih. Abaikanlah suaraku: bulu unggas hiasan kepala. Yang tak menyentuh siapa-siapa. Tak ada harapan di sana - terkulai seperti bekas linggis dan garu. Kau tak akan temukan pecah benih salju. 2014

Perangkap

Perangkap "Ikutilah aku. Jangan mengikutiku. Aku akan bicara hal-hal semacam itu, dan maksudku keduanya." Stephen Dunn Kegelisahanku gergasi penangkap peri. Dengan perangkap kupu-kupu di tangannya. Ingin menyekap aku dalam dunianya. Tentu, aku tak mau menyerah. Aku peri pemarah. Kukutuki langit warna dadu, juga tanah semu tembaga. Kadang aku kalah. Masuk ke dalam perangkap mereka. Tunduk dan hanya bisa memandang: wajah tak ramah. Kadang aku terbang tinggi. Membuat mereka melompat dan berlari. Membuat awan kalang kabut dalam gerak kalut. Aku tahu rahasia - ini yang ingin kusampaikan padamu: Jemari gergasi itu demikian gemuk, hingga tak bisa menjumput tubuh kata yang begitu mungil. Tujuh peri kecil yang tumbuh dari pikiranku tentangmu. 2014

Kenangan

Kenangan "Kau bangkit, dan di depanmu berdiri: ketakutan, doa-doa, dan sebentuk tahun-tahun yang berlalu." Rilke Belum pernah aku seterus terang ini kepadamu. Melompat melawan gerak orang-orang yang berteriak: Ingat! Ingatlah! Telah aku buang rasa takut sebagai bentukan tak jelas dari bayangan gajah di dekat meja. Aku berlari riang ke belakang. Ke tempat kau bertolak sebagai penari, pembawa bunga-bunga di kepala (yang kau anggap doa). Aku berlari untuk memastikan: kau tak lupa tali pinggang, kipas kertas, dan riasan bulu mata. Karena aku benar-benar tak yakin - kau ingin tampil sederhana. 2014

Wisata Laut

Wisata Laut "Kadang, meski di taman bisa dirasakan gerakan ekor atau sirip ikan," Kay Ryan . Berdirilah dekatku. Supaya tak sendiri aku. Kata-katamu pelampung bagi kegelisahan. Topeng selam untuk sebuah keinginan. Ajari aku berenang. Aku sudah bosan dengan rasa takut tenggelam. Gajah kecil dalam diri ini ingin terbang. Tak musykil, rasanya, dan kau juga pasti mau. Sebab aku tahu: dalam puisi kau selalu berbagi. Selalu mengerti kemauanku. Dan kau sebenarnya juga aku ini. 2014

Memelukmu

Memelukmu "Kita seharusnya memahami sebagian dari deretan kebersamaan dalam hidup kita akan berakhir dalam kegelapan," William Stafford Apakah kita? Sama telanjang, sama terbuang dari bayang-bayang musim semi. Seperti kembang yang jatuh. Suara burung di padang-padang jauh. Aku hanya memilikimu, sejak kau memilih aku. Kehebatan yang kita miliki tak lebih dari pesawat ulang-alik yang sampai di bulan. Sementara kelemahan utama kita adalah saling berbagi; merawat sakit dan kelaparan setiap pagi. Juga melupakan tangan-tangan yang ingin menggenggam: penuh harapan. Apakah kita? Jika kita merasa begitu jauh, padahal aku tengah memelukmu, dan kau setia dengan perasaan cinta yang kau punya. Barangkali, kita hanya sebatang rokok menyala belaka. Apa yang diharap dari sana? Selain perubahan rupa, rasa, dan suasana. Padahal kita nyata-nyata telah habis suara. Telah sampai pada kegelisahan tentang kita sendiri: apakah kita saling mengerti? 2014

Para Penghibur

Para Penghibur   "Perasaan seperti apa yang bisa disematkan pada ayat-ayat yang membuat orang tetap kaya, yatim, dan dicintai sekaligus?" - William Meredith Kami bertiga: pecinta suara, pemetik sepi, dan pengagum pemandangan. Kami bersatu: pada malam di mana mekar kembang, langit tak berbintang, dan daun-daun seperti melambaikan temaram. Kau bisa saja menyebut kami: para penghibur, pelipur orang-orang yang baru pulang dari kubur, atau mereka yang tadi habis berpisah di stasiun, yang berjalan dengan wajah tunduk tertegun. Kami biasa tidak dihargai, tidak dimengerti. Dan kami bisa juga tidak peduli. Karena bagi kami bertiga: hidup adalah menghibur diri, sampai nanti ada yang terang dalam diri. 2014

Penari

Penari "Tuhanku, berikan padaku keberanian dan kegembiraan," Jorge Luis Borges Aku telah mati. Panggung diserbu ratusan bunga. Layar gemuruh seperti rombongan tuna. Lantai jadi bayang dari pertempuran belaka. Lihat gerakan tanganku, sebelum mereka terkulai. Memeluk, membentang, seperti menarik ke segala arah, mengusir ketakutanku - akankah ini semua jadi milikku? Tungkai kakiku telah lelah melompat. Jinjit dan berlari. Tapi duniaku tetap di sini. Dunia yang disapu dari warna kuning dan jingga saja. Aku menyimpan suara sebaik-baiknya. Menyumpah juga sebaik-baiknya. Agar tak terganggu tempik sorak itu. Keputusanku untuk mati - sederhana begini: di tengah panggung, di adegan yang seharusnya kuhadirkan gerakan canggung, semua anggota badanku berhenti. Seperti ada yang bernyanyi hymne "Bagimu Negeri" di akhir program acara televisi. 2014

Jika Aku Menulis Puisi

Aku melepas belenggu diri, membentang sayap-sayap dan terbang - berlari dari tangkapan lanskap taman dan potret diri. Jika aku menulis puisi, jadi diri sendiri yang kagum pada yang lesap dan lenyap dan tak dapat kujadikan bagian hidup ini. Hidup yang seperti pelukis dengan alat sandar kanvas yang setiap pagi dia bongkar pasang berulang di taman, palet dengan sisa cat yang telah lekat, ratusan kertas gambar dengan sketsa dari pensil konte dan bau akrilik. Setidaknya, jika aku menulis puisi, ada kebanggaan akan masa depan, sekaligus ada harapan-harapan yang kubangkitkan berulang dari masa lalu yang seperti bentukan peri. 2014

Sapardi dan Frost

Kalau tadi saya bandingkan Puisi Sapardi Djoko Damono dengan puisi Wyslawa Szymborska, di Kompas minggu lalu juga, Sapardi Damono Full "menjawab" puisi dari Robert Frost yang berjudul The Road Not Taken dengan puisinya berjudul Memilih Jalan. ======================================== Demikian puisi Sapardi; Memilih Jalan : Robert Frost /1/ Jalan kecil ini berujung di sebuah makam dan kau bertanya, “Kenapa tadi kita tidak jadi mengambil jalan yang satunya?” Tapi kenapa kau tidak bertanya, “Untunglah kita tidak mengambil jalan itu tadi”? Memang absurd, jalan ini kenapa ada ujungnya dan tidak menjulur saja terus-menerus sampai pada batas yang seharusnya juga tidak perlu ada. (Ternyata masih tetap ada yang berujung pada kalimat yang tampaknya memerlukan tanda tanya.) /2/ Kita mungkin keliru memilih jalan tapi itu sama sekali bukan salahmu. Akulah yang mengajakmu mengambil jalan ini sebab kupikir kota yang kita tuju terletak di ujung jalan yang kita l

Sapardi dan Szymborska

Di Kompas minggu lalu, Sapardi Djoko Damono menjawab puisi A Funeral-nya Wyslawa Szymborska dengan puisi berjudul "Pulang dari Pemakaman Teman." ================================================ Ini puisi Wyzlawa Szymborska yang saya terjemahkan secara bebas;   Pemakaman "Sangat tiba-tiba. Siapa menyangka" "Sudah kuingatkan: bahaya merokok dan perasaan tertekan" "Lumayan, terimakasih" "Tebarkan bunga-bunga itu" "Saudaranya juga meninggal karena jantung. Keturunan, kali" "Astaga! Pangling aku! Kau jenggotan, sih!" "Deritanya sendiri. Bisnis-bisnisnya kacau" "Yang baru datang tadi kasih pidato. Gak kelihatan. Susah" "Kazek di Warsawa, Tadek di luar negeri" "Beruntungnya kau. Satu-satunya orang yang bawa payung" "Sudah terlambat tapi dia memang paling hebat" "Baska tak akan suka, ruangannya terhubung satu sama lain" "Jujur saja, penda

Kembali Padamu

Adalah menggenapi diam gunung api, menjaga dengan berani perawan suci. Kau tak akan pernah bisa menyangka jika tiba-tiba gunung itu meledak, dan perawan itu nyanyi suci, setengah berteriak. Kembali padamu adalah memazmurkan diri, menyatakan aku bodoh, lugu, dan tak tahu diri. Kau mungkin akan mengira: kata-kata dalam sajak ini tak bermuara pada apa-apa, selain metafora-metafora yang terserak. 2014

Rahasia-Rahasia Kecil

O. Sayangku, jangan kau cari aku di dalam bait-bait sajak ini. Di balik sebatang pohon - meski bukan misteri - aku jadi doa lugu. Ekor anjing yang bergerak lucu. Bersenang diri pada hadirat Tuhan. Di dalam taman, aku patung pualam. Menahan lebam hujan semalaman. Menantang terang matahari yang pucat itu. Di dekat bangku, bersiasatlah aku, seolah ada pasangan yang malu-malu bicara cinta. Hanya memberi tanda dengan paku karatan pada kulit kayu. "Di taman ini, aku kenangkan hikayat purba. Tuhan yang mencari cinta di antara rahasia-rahasia kecil seperti; - mekar bunga rumput, - keciap burung terkejut, - udara yang tiba-tiba terasa menyusut seperti dada tak sanggup menampung rindu." O. Sayangku, setelah aku sembunyi dalam bait-bait sajak ini. Ada baiknya kau menulis isyarat yang berbeda. Semisal doa. Sederhana saja. 2014

Akar Gantung

Menjulur ke bawah, seolah mengukur segala yang tabah. Menelusur tiap jejak langkah: busur udara, karbon dioksida. Memelihara keras penampang kayu, menjaga yang waras dan tampak lugu. Arah jemari ketika berdoa dengan suara tergugu, "Tuhanku. Tuhanku." Begitulah penaku meneteskan tinta hijau. Menetaskan cinta pada engkau. Membuat kuat bahasa dengan melekat- liatkan kata-kata. Supaya pohon diriku bernafas. Supaya yang aku mohon ini tak pernah lepas dan lekas. 2014

Epigon

Epigon Sebab aku pucat, kurus, dan menyukai malam, maka kuanggap bulan sebagai terang sebenarnya. Aku menyaru mata - tak berkedip - sedikit mirip kunang-kunang. Suaraku bunga yang tumbuh lebih rendah dari payudara. Dan malam. Binatang yang gemar melahap kelaparan para sufi, kujadikan tubuh ini. Merayap aku dalam kenangan. Jika kau sangka aku peniru yang gagal, pasrahlah aku dalam hal-hal yang banal. Seperti kunang-kunang kenangan. Seperti bunga-bunga menyebar harum ke udara. Sebab aku pucat, kurus, dan menyakini malam sebagai hidup, dalam sajak ini kata-kata jadi jejak diri. 2014

Teka Teki Malam

Teka Teki Malam Aku penari masa lalu, di tanganku bunga-bunga. Kau bukan bayangan tapi selalu mengikutiku. Aku lubang di tengah jalan, kepalaku besi bersilangan. Kau hendak menyeberang, aku tak diacuhkan. Barangkali, yang kecoklatan adalah pintu belakang. Sebuah stiker: "dilarang masuk" terpampang miring berwarna kuning. Kau pura-pura sibuk: mengamati pendar lampu. Baiklah. Akan kubuat mudah. Aku ibu, dan kau anak. Aku memegang payung, kau mengandeng tanganku. Di tengah malam, siapa peduli pada yang menangis? Kau garis putih di tengah jalan. Aku bayang gedung tinggi menjulang. Di bidang yang mana kita akan bersilangan? Jangan gaduh. Jangan menuduh. Ini semacam teka-teki yang hanya bisa dipecahkan seorang bapak. 2014

Doaku

Doaku Doaku: angin. Yang berputar sebentar dekat jendela-Mu. Melempar-liar angan dan harapan akan tatapan-Mu. Doaku: awan. Yang memayung menyelubung bayangan diri yang tak sabar sekaligus gentar jika suatu waktu bertemu diri-Mu. Doaku: tali. Yang kujulur-panjangkan seumur perjalanan hidup-Ku. Suatu saat, aku tahu Kau akan menghela atau memangkas semudah helaan napas. 2014

Bagian dari Kepahitan

Seperti basuhan, lepas sudah kegelisahan. Sepasang tangan merupa Iqlima dan Labuda mencari perhatian anak-anak Bapa. Seperti sentuhan, lepai sudah perjalanan. Sepasang kaki, mirip punya Harun dan Musa mendaki kembali harapan. Aku ingin menukar kegamangan, melepas-liarkan sesuatu yang sering kuangankan sebagai bagian dari kepahitan. Dan bermandi, menyatukan diri dengan air kehidupan, bagiku seperti menulis puisi. Melukis kemauan diri ini. Menepis masa lalu - yang mengingin abadi. 2014

Di Dalam Kebun Anggur-Mu

Di dalam Kebun Anggur-Mu Di dalam Kebun Anggur-Mu, Aku sepasang tangan saling genggam. Juga sepasang lengan yang ingin melumpuhkan dan melupakan bagaimana hidup adalah mengasingkan kekalahan. Dan sepasang mata yang seolah dilemparkan jauh melampaui semak masa lampau dan menyimak masa depan dengan harapan. Juga sepasang kaki yang terus mengalihkan segala yang harus dikeluhkan: hidup bukanlah padang datar. Penuh turunan dan tanjakan. Di dalam Kebun Anggur-Mu, Aku bibir dan geraham. Rahang yang tak henti memperkatakan: yang dipertautkan Tuhan mana boleh manusia memisahkan. Maka Aku hitung diriku, seperti membilang bulir-bulir anggur-Mu: Kepala, Leher, Pundak, Lengan, Tangan, Dada, Perut, Lutut, Tungkai, Kaki. Seutuhnya manusia. Yang kini berada di dalam Kebun Anggur-Mu ini sebagai petani. 2014

Bukan Dalam Puisi

Puisi mengajarku merenung dengan benar; setenang capung di atas bungai teratai, atau segamang payung ditutup saat hujan usai. Puisi juga telah memberitahuku menghitung lama bersabar; sepasrah kerang dipanggang panas pantai, atau seramah kaki capung di pinggang tunas yang seolah melembai. Tapi puisi tak pernah menyebutku sebagai orang liar; hanya karena aku tak pernah menyambutmu, "Hai..." atau ketika terkejut, tak kuingat Tuhan yang acap kugapai-gapai. Dia akan memelukku seolah tak pernah ada onar; semua orang hidup dalam harmoni, dan alam ini begitu lestari. Karena harus kuwujudkan semua ini dalam hidup sebenarnya. Bukan dalam puisi. 2014

Aku Selalu Menunggumu

Aku Selalu Menunggumu Meski kepada Nuh, merpati itu membawa kabar: setelah kapal berlabuh, kubawa hanya bunga belukar. Atau pada hukum keseimbangan ditemukan: betapa sukar jeruk lemon disusun seperti mercusuar. Aku selalu menunggumu: seperti seekor anjing liar di depan pintu. Berbaring dan tak hendak mencakar pada setiap yang lewat. Berusaha tetap sabar meski waktu memucat, memudar. Seperti Nuh menunggu banjir surut benar, dan para ilmuwan berupaya menemukan partikel terluar yang seimbang. Aku selalu menunggumu. Menebar pesan: Datanglah! Datanglah! Ke dadamu tanpa gemetar. 2014