Sapardi dan Szymborska

Di Kompas minggu lalu, Sapardi Djoko Damono menjawab puisi A Funeral-nya Wyslawa Szymborska dengan puisi berjudul "Pulang dari Pemakaman Teman."
================================================
Ini puisi Wyzlawa Szymborska yang saya terjemahkan secara bebas;
 
Pemakaman

"Sangat tiba-tiba. Siapa menyangka"
"Sudah kuingatkan: bahaya merokok dan perasaan tertekan"
"Lumayan, terimakasih"
"Tebarkan bunga-bunga itu"
"Saudaranya juga meninggal karena jantung. Keturunan, kali"
"Astaga! Pangling aku! Kau jenggotan, sih!"
"Deritanya sendiri. Bisnis-bisnisnya kacau"
"Yang baru datang tadi kasih pidato. Gak kelihatan. Susah"
"Kazek di Warsawa, Tadek di luar negeri"
"Beruntungnya kau. Satu-satunya orang yang bawa payung"
"Sudah terlambat tapi dia memang paling hebat"
"Baska tak akan suka, ruangannya terhubung satu sama lain"
"Jujur saja, pendapatnya benar. Tapi itu bukan alasan"
"Coba tebak harganya, itu pintu kayu berpelitur"
"Dua telur dan sesendok gula"
"Bukan urusannya. Buat apa ikut campur?"
"Yang biru. Ukuran small saja"
"Sudah lima kali aku tanya, dan dia gak jawab apa-apa"
"Tenang saja, yang kau minta akan aku berikan. Aku coba. Kamu gimana?"
"Baguslah. Setidaknya dia punya kerjaan"
"Bisa jadi saudaranya. Bisa jadi"
"Pendetanya mirip Belmondo, ya?"
"Baru kali ini aku ke sebelah sini dari kuburan ini"
"Ya ampun. Mungkin waktu aku mimpiin dia itu firasat ya"
"Anaknya yang paling kecil cantik"
"Kita semua bakal seperti dia"
"Aku buru-buru nih, kasih aja ke istrinya"
"Lebih 'gimana gitu' kalau 'pake' bahasa Latin"
"Waktu tak bisa diputar kembali"
"Selamat jalan"
"ngebir, 'abis ini"
"makanya telepon, dong, nanti kita 'ngobrol"
"ke empat atau ke dua belas ya?"
"kalo gue sih gini"
"Bagi kami ada baiknya begitu"
================================================
Ini puisi Sapardi Djoko Damono;

Pulang dari Pemakaman Teman
: Wyslawa Szymborska

Yang pakai jas hitam ngoceh tentang proyeknya yang belum
jelas berhasil-tidaknya meskipun jagoannya menang dalam adu
sms melawan capres saingannya di pemilu sebuah Republik
Demokratik Nusantik.

Yang sarungnya palekat tidak mau diajak istrinya mampir ke
“Mal Firdaus” khawatir jangan-jangan ular yang suka melet-melet
itu masih menjulur-julurkan lidahnya di atas onggokan buah apel
impor di sana.

Yang tadi berpidato sambil sesenggukan atas nama keluarga
si mati dengan sabar mengelus-elus kepala anak laki-lakinya yang
sejak datang tak henti-hentinya bikin ribut minta pulang kebelet
main game petak umpet dalam gadget yang kemarin dibelinya.

Yang pakai sepatu kets loncat-loncat kecil sambil nyengir
becerita kepada yang pakai celana ketat tentang boss-nya yang
ragu-ragu mau memindahkannya dari bagian basah ke bagian
kering sebab khawatir kalau nanti kena demo anak buahnya.

Orang muda yang pakai songkok merah agak kegedean
merangkul istrinya sambil bisik-bisik – untung kita tak mendengar
apa yang dibicarakan pasangan yang baru nikah minggu lalu itu.

Yang berbaju batik terus mengomel tentang cuaca yang
tidak juga membaik akhir-akhir ini, anaknya yang semata wayang
keluar-masuk rumah sakit – “Meskipun kami sudah punya askes,
Mas,” katanya.

Yang berjalan pincang-pincangan memakai tongkat rotan
(yakni saya?) tumben kali ini sama sekali tidak mau bicara,
tampaknya bertanya-tanya kepada dirinya sendiri kenapa
sih teman yang baru dimakamkan itu sampai hati benar
mendahului dirinya.

Yang sudah tertimbun tanah menjadi saksi itu semua dan
untuk pertama kalinya merasa sangat berbahagia; sayang si
pincang sama sekali tidak melihatnya.
================================================

Lihatlah, persamaan dari kedua puisi itu. Keduanya "memotret" suasana dalam sebuah pemakaman. Keduanya juga bermain-main dengan orang-orang yang hadir dalam pemakaman. Szymborska menuliskan "apa yang dia dengar" secara bahasa verbal, sedangkan Sapardi Damono Full menuliskan dengan pola bahasa tulisan. Efek yang ditimbulkan nyaris sama - menyadarkan kita betapa tidak sakral sebuah upacara pemakaman sebenarnya atau justru menohok kita bagaimana seharusnya kita membuat upacara pemakaman itu menjadi sakral. Paling tidak untuk membuat kita bahwa suatu saat kita akan meninggal juga.
Jakarta, Oktober 2014

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung