Posts

Showing posts from November, 2006

beristirahatlah (dalam) damai

1/ sebelum pesan itu sampai ada nada yang tabah menunggu tidakkah kau terganggu? 2/ jika damai beristirahat maka kita harus kerja keras untuk membangunkannya 3/ istirahat tak sama dengan menunggu padahal sama dalam artian jeda waktu 4/ kata damai sudah lama terpahat di batu batu nisan tempat bermain petak umpet saat kami masih kecil saat melihatnya, aku berpikir mungkin dia juga sedang bermain petak umpet bersama kami tapi mungkin dia sebenarnya tersesat atau bahkan tak mau kami temukan

di bibir ini ada nama

1/ nama itu serupa hujan basah dan dingin maka bibir ini tak pernah nyaman selalu luapkan banjir kata hanya untuk lebih sering basahkan hati 2/ mengeja setiap huruf dalam nama itu memecah setitik beku dalah hati ini 3/ tiba-tiba saja bibir melahirkan kata dan kemudian kita beri dia nama 4/ di bibir ini ada nama meski hanya sebuah kata namun selalu punya makna begitu dalam di palung hati

rindu dalam kwatrina

1/ haus ini telah kering bibir kemarau panggang gelisah usang hujan di langit tak jua hadir berjuta harap jadi ilalang 2/ bulan pucat pasi malam tanpa isi angin mendadak pergi dengan siapa aku di sini? 3/ bulan di langit kemarau pucuk ilalang tegak kaku suara rindu telah parau mengusir sepi di sebelahku

Membaca Darwin

1/ ada yang purba dalam kepala darwin pun menerka sejarah dan tiba-tiba seekor kera muncul pada halaman tengah 2/ begitu purba begitu lemah begitu juga sejarah ada dua bayang di buku tua darwin dan sesuatu entah apa 3/ aku terlalu sibuk membaca darwin tapi tak ada kera di halaman selanjutnya

porong merongrong

ada pemberontakan. aku pikir itu laut. lengkap dengan ombak. bergemuruh. orang-orang bersenjata. aku kira itu bukan cuma senjata. tetapi itu laut. sengaja menyorongkan senjata. seperti tombak. aku yakin itu pemberontakan. bukan cuma laut. angkatan yang bergelora. orang-orang mencari suaka. berlarian ke arah laut. itu bukan kejadian biasa. bukan senjata biasa. itu tombak. memberontak di dada. darah bergelora. ada lautan darah. aku kira itu lautan orang. berenang dengan satu tujuan. mencari senjata.

misteri secangkir kopi

hirupanku tak lagi tuntas pada secangkir kopi pagi ada yang menjadi ampas ketika tersibak satu misteri seorang gadis pembuat kopi memasak biji kopi pilihan ekskresi musang bulan ditambah segenggam jagung kering oh, tak sanggup lagi aku minum kopi ini terlalu penuh rahasia meskipun gadis itu tersenyum di cangkir itu terbungkam kata

cinta dalam kwatrina

1/ serupa musim geliatkan mentari begitu ingin gairah hariku menderai angin lagukan rindu demi gugurnya tanda yang menanti 2/ seiring layu bunga mimpi nyalang benar mata inginku cinta ini tetap kucari meski nyata masih lah jauh

Sesaat Sebelum Kereta Masuk Terowongan

1/ jendela merekam cahaya yang paling berbinar lalu dititipkannya di pelupuk mata "diam, jangan beranjak dari sajak" 2/ aku mendekap dadaku sendiri kurasa gemuruh yang lebih deru dari kereta yang melaju ada getar menghentak di setiap sambungan rel terowongan tawarkan malam di hari yang siang ah, aku tak siap untuk pulang! 3/ dalam gelap kudengar suara ratap dada ini terpaksa erat kudekap "puisi, puisi, kenapa kau pergi?" 4/ di pelupuk mata cahaya berpendar sebentar lalu entah siapa yang berpuisi tentang matahari yang sama menunggu di seberang sana 5/ sambungan rel di atas jembatan melagukan rindu yang sama berderap ke kota yang sama di mana kenangan lama terbaring di bawah matahari musim kering 6/ di dada ada degup sebuah rindu meletup tapi tak kulihat gugup meskipun cahaya kian redup

(Obrolan) Dari Siang sampai Malam bersama Joko Pinurbo

Siang itu, di teras sebuah kamar audiovisual milik Johannes "Gie" Sugianto, saya berbincang sedikit dengan Joko Pinurbo. Mengganggu waktu istirahatnya. Ada kesan gelisah yang saya temukan pada wajahnya. Entah apa. Mungkin dia sedang berpuisi di dalam hati. Maka saya pun mulai bertanya yang ringan-ringan saja. + Apa yang menjadi inspirasi anda dalam mencipta? - Apa saja. Semua hal di dalam kehidupan adalah inspirasi. + Apa makna celana dalam puisi anda. Saya menerkanya itu seperti hidup dan kehidupan. - Ya bisa dibilang seperti itu. Di dalam hidup ini kan ada yang bersifat essensial dan ada yang artifisial. Ada kan orang yang hidup tapi mati secara kehidupannya? + Saya sangat tertarik dengan sajak Ranjang Ibu. - Wah, sajak itu banyak sekali yang bilang paling menarik. Itu memang ranjang yang berderit-derit seperti punggung ibu. + Saya pertama membaca sajak itu, saya pikir anda tidak bisa tidur lantaran ibu sedang sakit. Tapi kemudian saya baca lagi wah ..dalam sekal

Ketika Musim Berbunga

ketika musim berbunga angin salah menerka arah sunyiku pun tak lagi indah taman berpagar gundah

nada lagu rock

satu nada tinggi dari lagu rock tentang pagi kucuri dalam sepi nanti jika engkau pergi kan kupakai 'tuk bisikkan namamu

Sepatu Budi

Budi pergi ke sekolah tanpa sepatu ketika guru memintanya menulis cita-cita dia tuliskan kata dengan huruf kapital "Aku bersekolah supaya pintar. Setelah lulus nanti, aku akan bekerja. dan gaji pertamaku nanti akan kubelikan sebuah sepatu baru."

selembar sajak di kelopak mawar

mawar yang indah merahnya menidurkan malam yang penjarakan bulan di pelupuk mata hingga titik titik embun hanyalah sisa peluh tak tamat ditulis pada setiap kelopak kutemukan selembar sajak tidur di tengah gigil kerinduan malam mawar yang indah dan aku yang lelah merangkai panorama langit tanpa bintang

Kita pun Bertukar Sebelah Sepatu

Sajak Hasan Aspahani : Dedy TR KITA dulu bertemu ketika kita masih belajar berjalan. Masih sama telanjang kaki. Kau membanggakan parut di telapak dan lutut. Aku bercerita soal sakit ketika rambut yang mulai tumbuh di kaki harus dicabut KITA pernah terpincang-pincang. Nyaris saja jatuh. Dan mengira gunung yang hendak ditaklukkan terlalu tinggi untuk kaki kita yang masih juga telanjang. "Kita tak boleh letih," katamu. Kita mengenang Sepatu di puncak itu. KITA bertemu lagi setelah punya sepasang sepatu. "Tapi aku tak sempat lagi kemana-mana," katamu. "Ah, mungkin sepatu barumu perlu dibawa jauh dari toko yang menjualnya dulu," ujarku. Dan kita bertukar sebelah sepatu. Sepatu palsu.

dimana sepatumu?

aku menuju Ibu dengan berlari di jalanan siang ini orang ramai berorasi lalulintas semrawut polantas kalangkabut sebentar lagi kubasuh muka dalam teduh air mata sempat kudengar pistol menggelegar ramai orang gempar mencari siapa yang menggelepar perjalanan ini makin terik siang dibakar dengan sempurna dari arah yang berbeda roda roda baja memasang badan rantai manusia kendur perlahan perlawanan itu reda? dahaga kurasa begitu meraja di tiap tetes air mata ibu akan kututup duka tapi masih terdengar teori penyerbuan di jalanan yang bukan pasar sepatu sepatu berserakan tak ada yang mau menawar hanya di pangkuan ibu sapaku mungkin akan berakhir ada darah berarti ada luka lantas jerit itu untuk siapa? jalanan lebih manjakan angin dan debu sekadar pengingat muasal manusia wajah ibu berseri seri sebelum bertanya padaku : dimana sepatumu?

Matinya TV Kami

Matinya TV kami "Wajah pembunuh itu menakutkan!" Ibu menutupkan bantal di wajahnya sendiri Bapak menyalakan sebatang rokok dalam bayang asap wajahnya berbinar siaran sepak bola sebentar lagi Di buku gambar, remote tv pecah dua buah batu baterai berloncatan

Sepatu yang Kehilangan Kaki

di musim sepi kaki relakan sepatu temui dingin yang menunggu sedang di pelukan selimut gairahnya telah direnggut perjalanan tak lagi punya makna demi sesaat rasa : kehilangan

Sepatu yang Pertama Mencium Bulan

: pradnya paramita 1/ dicarinya pandang bulan pada jalanan penuh debu sebelum berkata lirih betapa ingin ia menciumnya 2/ mungkin ia terlalu khusyuk bergelut dengan temali kusut hingga lupa ada yang melompat sebelum akhirnya mengumpat 3/ meski terhempas kenangan itu tak pernah bisa lepas bersamaku ia tidur sepanjang waktu

Sepatu di atap Kereta

1/ sepatu di atap kereta tak mau turun di stasiun ia dengar Musa bicara pada cahaya ditebaknya pijar kawat baja menuju ke manakah jiwa? 2/ di antara deru kereta laju ia dengar bahasa rindu seperti sapa Isa pada bayu "tenanglah!" 3/ di atap kereta ia menghitung mundur kematian sang waktu saat dimana ia pergi tanpa perlu dinanti kembali

Sepatu Cinderela

: inez dikara 1/ siapa telah tinggalkan duka? sedang aku terlalu ragu untuk memunggutnya 2/ pengharapan apa yang pantas dibingkai di kaca kaca yang getas? retaknya jelas terpantul dari mata sang bulan yang terlambat muncul

Berlindung di Bawah Sepatu

aku adalah debu di bawah telapak sepatu berlindung dari tatapmu

Sepatu Bertumit Tinggi

:kelana dia mematut diri di depan jernih besi pintu lift "pagi ini adakah yang belum kupandang rendah?" ketika pintu lift terbuka dia masih cemas menunggu kapan hari tertutup

Pengkhianatan Sepatu

Di negeri ini, sepatu berkhianat menginjak kaki kaki kami sebelum kausebut itu kiamat aku telanjang kaki di negeri sendiri

Sepatu Sang Kekasih

Lama ditatap paras kekasihnya tanpa kedip lalu pandang meladang hingga ke mata kaki " Sudah hampir pagi dan bulan di matamu ingin segera pergi tuliskan rindu di petak petak mimpi " Maka kuajak dia kembali susuri jalan pulang sebab tak hendak menahannya dalam gelojak saat kuikatkan cinta di setiap helai tali sepatunya Seperti yang aku inginkan : mulai hari ini tubuhmu kutelusuri

Sepatu Pelacur

sebelum rebahkan badan dikecupnya ujung sepatu dengan ciuman paling nafsu supaya dalam taman tidur dia bisa berlari dan menangkap kupu kupu namun badai jejali telinganya dengan mimpi tentang letih yang berbunga di sepanjang badan hingga yang terdengar hanya suara di jelujur kasur " hidup ini terlalu sukar. terlalu sukar... " dengan sepatu berhias gambar kupu kupu dia redakan badai di taman mimpi sebab hidupnya terlalu sukar diceritakan

Sepatu Yang Terlambat Pulang

pada malam yang hampir pagi bintang bintang seakan luruh dalam dirinya dihitungnya dengan teliti butiran pasir yang mendekap erat sebagai rangkuman perjalanan pulang ketika pintu rumah terbuka nanti dia sudah punya alasan tepat " aku bukan lah bintang namun sebutir pasir yang selalu kalah oleh injakan sang waktu "

Lomba Menyanyi

setiap tahun sekali diadakan lomba menyanyi pesertanya bisa siapa saja sebab tak dicantumkan jenis kelamin dan batas usia kali ini Ibu ingin jadi peserta dipilihnya sebuah lagu wajib bernada dasar minor bertema cinta yang penuh kesedihan dia yakin sekali bisa jadi juara sebab liriknya sudah dihafalkan sejak dia menikahi Bapak yang tak kusangka Bapak juga ikut serta dia akan menyanyikan lagu perjuangan dengan irama kekerasan yang dilantunkannya setiap hari di rumah kami daripada dipaksa memilih jadi pendukung siapa aku putuskan untuk ikut juga bahkan dengan lagu ciptaan sendiri yang kukarang sewaktu menulis nama di daftar peserta judulnya : Keluarga Bahagia Yang Paling Kudamba Belum pernah dengar bukan?

Kereta yang pergi sendiri

alih-alih selalu dihina kereta yang dicap sering telat tak hadir di stasiun pemberangkatan maka gemparlah seluruh kota beribu-ribu orang terlambat pergi kerja, terlambat masuk sekolah, atau batal berbelanja maklum saja hanya kereta itu yang mau menampung manusia kelas ekonomi yang kulitnya kebal sengatan listrik, terpaan angin, dan segala jenis bau-bauan tajam segerombolan penjahat pun datang ke kantor polisi tak mau dituduh sabotase sarana transportasi kota harap dipahami bahwa di dalam gerbong-gerbong kereta mereka mengais rejeki Jawatan Kementerian Transportasi menurunkan para ahli melacak keberadaan kereta yang dianggap tidak tahu diri "lantaran dikatai sering telat saja sampai putus asa?" begitu lah Kepala Jawatan menilai aksi menghilangkan diri si kereta api di tempat persembunyiannya Dia bertemu dengan beberapa orang yang ingin cepat pulang sebab bertahun-tahun keluarganya telah menanti dan tak sepotong kabar pun diterima oleh mereka "Maukah kau mengantar kami pul

Pinangan

dengan mahar kata kata kupinang halaman kosong membangun mahligai puisi

Terbang

: mega vristian Ada yang terkungkung di dalam horizon yang melengkung Sangkar itu begitu kuat serupa jerat erat merengkuh bulubulu rindu sayap ini tak kuasa kepakkan sajak Berapa banyak bagian peta yang terbuang lupakah dia hangatnya sarang? Hujan telah lama pergi tinggalkan pohon terakhir yang mengajar sebuah kata : terbang

Sajak Empat Musim

/musim semi/ Katamu manusia bukanlah bagian dari kerajaan binatang Jadi menurutmu untuk siapa istilah cinta monyet diciptakan? /musim panas/ Serangkai bunga edelweis takkan pernah pantas disandingkan dengan kuntum-kuntum mawar /musim gugur/ Dengan wajah penuh debu kulihat tulisan di belakang truk yang melaju "Kutunggu jandamu" /musim dingin/ Jika kau pergi liburan ke puncak gunung maka kuputuskan untuk jalan-jalan ke kebun binatang

Kisah Kemarau

Kemarau ingin pulang ke kampung halaman negeri yang selalu hujan saat dia menghilang diambilnya jatah cuti tahunan yang masih sisa berbulan-bulan Dipesannya tiket pesawat kelas eksekutif supaya bisa berbincang dengan penumpang bersuara petani yang kerap melancong ke luar negeri, demikian dia beralasan "Tak mengapa walau cuma sebentar", katanya malu-malu takut dianggap terlalu ingin tahu urusan orang lain Sebenarnya, dia ingin mengorek keterangan resmi sebagai upaya beroleh kebenaran dari kabar yang tersiar bahwa jika dia kerja lembur, para petani tak kan pernah hidup makmur Padahal tugas yang diembannya sangat jelas menjaga keseimbangan cuaca di negeri hujan bahkan untuk para petani, dia sudah berikan bonus berupa matinya jamur dan fungus Dalam hati dia sangat yakin jika para petani telah menghitung segala kemungkinan dengan pasti Toh, dia kerja bukan baru kemarin? Tapi penumpang yang ditunggu berkomentar tak pernah selesai berkelakar bahkan terus bercerita tentang negeri-neg

Puisi yang tak pernah usai

Bapak tak pernah minta kepada matahari mengajarinya membuat api tapi dititipkannya di hati semangat yang menyala dan tak kunjung mati Ibu tak pernah minta kepada bumi mengajarinya untuk sediakan makanan diwariskan sebidang dada lapang untuk kami tanami kata Sebab hidup ini adalah ladang untuk puisi yang tak pernah usai Jakarta, November 2006

Saat Langit Menulis Sajak

/1/ Apakah kaupikir aku mampu menghitung setiap tetes gerimis sebelum hembusan nafas kekal di buramnya kaca jendela? Jika kau mau aku menunggu coba lukiskan meriahnya pelangi sebagai tirai sebelum kilat yang pertama membias di langit itu /2/ Di kaca jendela ini tak ingin lagi kudekap bayangan lembab yang begitu akrab Hingga kukira itu mendung saat langit menulis sajak : kau kira itu kah hujan? /3/ Jika di langit itu ada kuasa untuk menggurat jejak sang waktu Aku bersyukur pada bumi yang telah begitu tabah menghitung setiap jejak langkah Sebab katamu Ada yang telah ditahbiskan menjadi ruang penantian yang teramat panjang /4/ Saat langit membuka pintu kemarau kunikmati perjalanan ini dari debu ke debu Jika nanti hujan tiba di dinding yang basah kusandarkan segala lelah Jakarta, November 2006

Doa Ibu

" Renyah kerupuk itu?" Ibu tanya soal teman nasi yang kucicipi "Begitu lah", jawabku hambar Karena nasi di piring masih banyak kucomot sebuah kerupuk lagi dari kaleng bertuliskan "Doa Ibu"