Posts

Showing posts from 2017

Zabidi "Zay Lawanglangit" Menulis Catatan untuk Buku Puisiku "Berlatih Solmisasi"

Image
Sebuah telaah kecil dari BERLATIH SOLMISASI Kumpulan puisi Dedy Tri Riyadi Oleh Zabidi Zay lawanglangit Pembaca sekalian, “Berlatih Solmisasi” demikian Dedy Tri Riyadi melabeli buku antologi puisinya. Sebuah judul antologi puisi yang menggelitik, mengajak pembacanya pada sebuah perspektif berbeda. Seperti yang dia paparkan di pengantar bukunya : “puisi-puisi itu ditulis menggunakan metrum dan guru lagu seperti penulisan tembang-tembang gede, madya dan macapat. Dengan harapan puisi tersebut bisa ditembangkan”. Kemudian lanjutnya : “ketika menggagas puisi ini, saya berangkat dari sebuah pengertian bahwa hidup yang sesungguhnya hanyalah suara-suara yang berada dan terdengar di sekitar kita.” Sebelum masuk lebih jauh ke tubuh puisi-puisi dalam buku ini, saya paparkan sebuah deskripsi tentang musik. Secara ringkas bisa dituliskan: “Musik adalah salah satu wujud manifestasi suara alam semesta. Musik juga merupakan gerbang menuju kesadaran. Musik men

Puisi-Puisi Yevgeny Yevtushenko (1933 - 2017)

Yevgeny Yevtushenko Para Pewaris Stalin Diam itu pualam. Kaca pun berkilau kebisuan. Diam penjaga dalam tegaknya, terpapar embusan angin. Gumpalan asap tipis meliuk di atas peti mati. Dan napas menelusup celah saat mereka melepaskannya dari pintu makam. Pelan peti mati itu terangkat, melintas tegakan bayonet. Ia juga terdiam - kepalan tangannya yang dibalsam, hanya pura-pura mati, dari dalam mengamati. Ingin ia atur posisi pengusung jenazah dalam ingatannya: para pemuda yang dipilih dari Ryazan dan Kursk, supaya nanti bisa ia kumpulkan kekuatannya untuk memilih, bangkit dari dalam kubur, dan merengkuh para pemuda yang tak mencerminkan keadaan bangsanya. Sudah ia rencanakan. Hanya tidur sekejap. Dan aku, mohon pemerintah kita, bikin petisi ke mereka menggandakan, bahkan melipatkan tiga, para penjaga di pintu itu, dan mencegah Stalin bangkit lagi. Juga, masa lalu, bersama Stalin dulu. Aku tak mengatakan masa lalu, yang suci dan berjaya, dari Turksib, dan Magnitka,

Mengenal Puisi Klasik Myanmar

U Kyin U Siput-Siput Laut Kalau sudah bertemu Kalau sudah melihat Kau baru percaya. Betapa aneh melihatnya Di lengkungnya tepi pantai Bergerombol siput-siput itu Putih, merah, kuning, dan biru Bergerak dan memamerkan dirinya Seperti deret peniti emas Atau koper-koper besi Sedang lainnya – jepit rambut peri Oh? Kelomang! Mengarah ke mari atau pergi ke sana Dan ke mana saja Sungguh pemandangan menarik Dengan meminjam Cangkang-cangkang kosong siput laut Lalu hidup di dalamnya Dan bergerak di dalamnya Sungguhlah aneh semua ini. U Kyin U Barisan Tentara Kita tak pernah takut pada apapun! Kita pemberani dan nekat Siap berkorban nyawa Dengan Parpahein berbaris ke kotaraja Hari ini adalah hari kemenangan. Pada tenda kami di belantara Menghijau ranting-ranting Bersemi kuncup bebunga; Manis terdengar seluruh suara Genderang dan gong melengking Pada keteduhan cahaya senja. Begitu kabut dan gemawan menyisih Kami hancurkan musuh tanpa jeri Zeyath

Puisi-Puisi César Vallejo (1892 – 1938)

César Vallejo Batu Hitam pada Batu Putih Aku akan mati di Paris bersama hujan, suatu hari yang telah aku ingat. Aku akan mati di Paris - dan aku tak berkarat Mungkin suatu Kamis, seperti hari ini, di musim gugur. Pastinya Kamis, karena hari ini, Kamis, yang jemu mengatakan larik-larik ini, tulang lengan atas yang kuletakkan pada keburukan dan, tak seperti hari ini, aku telah bisa, dengan bermacam caraku sendiri, melihatku kesepian. César Vallejo telah mati, mereka memukulinya tanpa satu pun alasan kenapa mereka lakukan; bertubi-tubi mereka memukulinya dengan kayu berulangkali pula dengan tambang; mereka saksi pada hari Kamis dan sepotong tulang lengan atas, kesepian, hujan, dan jalanan... César Vallejo Paris, Oktober 1936 Dari semua ini, hanya aku yang pergi Dari bangku ini aku pergi, dari celanaku, Dari gempita situasi yang kupunya, dari perbuatanku dari nomorku yang menyisih dari satu ke lain sisi, Dari semua ini hanya aku yang pergi. Dari Champs

Ruang Sastra: Puisi untuk Rohingya

Ruang Sastra: Puisi untuk Rohingya Indonesia didirikan dengan kesadaran bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh karena itu maka segala bentuk penjajahan di dunia harus dihapuskan. Kalimat “segala bentuk penjajahan” termasuk di dalamnya adalah dominasi satu pihak atas pihak lainnya, dan juga adanya upaya pemusnahan. Atas dasar itulah, kami para sastrawan dan pegiat sastra yang tergabung dalam Ruang Sastra menggagas pentingnya untuk bersuara atas kekerasan yang bahkan telah mengarah pada genosida pada entitas suku Rohingya tengah terjadi di wilayah Arakan, Rakhine, Myanmar.   Terlepas dari apakah ini persoalan politik, atau sektarian, agama, yang menjadi perhatian kami adalah nasib ribuan orang baik tua maupun muda, sampai pada anak-anak dan bayi yang menderita karena kekerasan yang terjadi di sana. Siapapun, baik apapun suku dan agamanya, tidak boleh dibiarkan menderita, dipersekusi, dan dianiaya, akibat kekerasan yang dipicu dan dilakukan oleh siapapun j

Puisi-Puisi Berlatar Imlek

Dedy Tri Riyadi Ya Sui 1/ Tak ada duka setelah kauterima segala yang merah dengan tabah. Ada mungkin sejumlah kecewa, tapi itu   karena tak bisa membaca pepatah. 2/ Ia, yang padamu diserahkan, semacam petuah – dahan hijau baik disimpan, burung berkicau terpancing datang. Kau, yang menerimanya, tentu paham juga – selagi sanak berkumpul, tidaklah patut menelisik isi sampul. 3/ Ia tak pernah menyesal sebab tahun baru awal. Hanya sedikit kesal pada yang menyoal – rencana menikah sudah pasti gagal? Ia malah merasa bahagia ketika langit jadi jingga. Ketika popo, nene, kungkung, yeye, duduk bersama di satu meja. 2017 Ya Sui           =        lengkapnya Ya Sui Qian, Angpao Popo             =        nenek dari pihak ibu, istilah Tionghoa Nene            =        nenek dari pihak bapak, Kungkung =        kakek dari pihak ibu, Yeye             =        kakek dari pihak bapak, Dedy Tri Riyadi Lay See 1/