Mengenal Puisi Klasik Myanmar
U Kyin U
Kalau sudah melihat
Kau baru percaya.
Betapa aneh melihatnya
Di lengkungnya tepi pantai
Bergerombol siput-siput itu
Putih, merah, kuning, dan biru
Bergerak dan memamerkan dirinya
Seperti deret peniti emas
Atau koper-koper besi
Sedang lainnya – jepit rambut peri
Oh? Kelomang!
Mengarah ke mari atau pergi ke sana
Dan ke mana saja
Sungguh pemandangan menarik
Dengan meminjam
Cangkang-cangkang kosong siput laut
Lalu hidup di dalamnya
Dan bergerak di dalamnya
Sungguhlah aneh semua ini.
U Kyin U
Kita tak pernah takut pada apapun!
Kita pemberani dan nekat
Siap berkorban nyawa
Dengan Parpahein berbaris ke kotaraja
Hari ini adalah hari kemenangan.
Pada tenda kami di belantara
Menghijau ranting-ranting
Bersemi kuncup bebunga;
Manis terdengar seluruh suara
Genderang dan gong melengking
Pada keteduhan cahaya senja.
Begitu kabut dan gemawan menyisih
Kami hancurkan musuh tanpa jeri
Zeyathein, kakak kami.
U Ponnya
Saat melati
Tak sedang mekar
Di taman-taman istana
Keraton menghiasi dirinya
Dengan kembang kan
Saat melati
Tengah mekar-mekarnya
Di taman-taman istana
Di Mandalay
Keraton tak akan
Mempermolek diri
Dengan kembang-kembang kan
Dan kembang-kembang kan
Hanya disukai
Rakyat jelata.
Shin Maharattathara
Memeriksa, menulis, mengujicoba, dan mengingat –
Delapan kebiasaan ini harus rajin dilaku-lekatkan
Seperti seseorang mengenakan kalung rangkaian bunga.
Selalu, dengan ruh persaingan dan
Ketekunan seorang pemula belajar ilmu pengetahuan dasar
Ia harus belajar menghafal…dan
Jika ia melakukannya dengan sekuat daya
Ia akan menjadi seorang terpelajar yang terkenal.
Jika ia tak pernah mencoba dengan keberanian
Seekor elang yang mangkus meringkus seekor ayam;
Jika tak mau belajar dan merenungkan,
Tak mau bertanya dan memperbincangkan, dan
Jika ia tak mau beri ceramah –
Tahunya hanya baca lontar –
Bagaimana ia dapat jadi sastrawan yang ternama?
Seperti kucing menyantap udang begitu nikmat
Seorang cantrik harus menyelidik aneka kitab – tak menampik apapun –
dan menelaahnya tak setengah-setengah.
Haruslah ia setajam mata gergaji
Menyelusup dalam ke inti semua soalan.
Hingga sungguh ia paham
Tak terhapus laksana pahatan batu.
Jika telah sampai pada pengertian sempurna
Dari dalam hatinya terkatakan semuanya.
Itulah saat ia siap untuk berkhotbah
Dalam berjenis majelis untuk aneka masalah.
Dan menguraikan pangkal ke ujung kajian,
Tanpa ketakutan – seperti singa –
Berdiri di tengah kerumunan,
Tak terguncang bagai tonggak batu.
Merinci hingga bagian penting terkecil
Menjawab semua pertanyaan dengan berhasil.
Semua ayat bertulisan Pali haruslah sudah ia mengerti.
Ragam bentuk sapaan dan kata arkaik pelik,
Harus ia ketahui arti-artinya dan menyusun
Elemen-elemennya, penggunaan metafora dan menggubah syair,
Metoda tatabahasa dan beri catatan,
Dan bagaimana memandang jauh ke depan dan berpegang akan sejarah.
Ia akan terkenal jika telah memahami semua ini.
Dirayakan sepanjang hidupnya sebagai yang terpelajar.
Dan di masa datang, di dalam Samsara, ia terlahir kembali
Menyerupai Buddha Arya Maitreya
Dan baginya tak akan jauh dari Nirvana.
Myavati Mingyi U Sa
Keharuman langka menyebar
Dari bunga-bunga saga
Tumbuh di sekitar
Gunung Istana Raksasa
Gelap menyergap kaki langit
Selubungi kita dari selatan dalam kekelaman
Menyerbu hatiku dengan melankolia.
O, Dewa Hujan, jangan jadikan kami bersedih!
Jangan jadikan kami berduka. Hujan menderas dan
Seluruh delapan penjuru bakal tampak muram.
Dan hujan jadikan kita sedih dengan bermacam cara.
U Kyaw Thamee
Biar kujelaskan masalahku
Alangkah menderita dengan begitu ngeri
Jika seseorang disiksa Api Semesta.
Seperti tujuh matahari keji menyinari
Seluruh dunia tersiksa terpanggang rata.
Tak ada tempat dingin tersisa.
Risau hati karena duka teramat dalam.
Namun tiba-tiba munculah gadis cantik itu.
“Jika kau ingin ringankan sakitku,
Perciki aku dengan hujan beraroma mawar.”
Siput-Siput Laut
Kalau sudah bertemuKalau sudah melihat
Kau baru percaya.
Betapa aneh melihatnya
Di lengkungnya tepi pantai
Bergerombol siput-siput itu
Putih, merah, kuning, dan biru
Bergerak dan memamerkan dirinya
Seperti deret peniti emas
Atau koper-koper besi
Sedang lainnya – jepit rambut peri
Oh? Kelomang!
Mengarah ke mari atau pergi ke sana
Dan ke mana saja
Sungguh pemandangan menarik
Dengan meminjam
Cangkang-cangkang kosong siput laut
Lalu hidup di dalamnya
Dan bergerak di dalamnya
Sungguhlah aneh semua ini.
U Kyin U
Barisan Tentara
Kita tak pernah takut pada apapun!
Kita pemberani dan nekat
Siap berkorban nyawa
Dengan Parpahein berbaris ke kotaraja
Hari ini adalah hari kemenangan.
Pada tenda kami di belantara
Menghijau ranting-ranting
Bersemi kuncup bebunga;
Manis terdengar seluruh suara
Genderang dan gong melengking
Pada keteduhan cahaya senja.
Begitu kabut dan gemawan menyisih
Kami hancurkan musuh tanpa jeri
Zeyathein, kakak kami.
U Ponnya
Melati
Saat melati
Tak sedang mekar
Di taman-taman istana
Keraton menghiasi dirinya
Dengan kembang kan
Saat melati
Tengah mekar-mekarnya
Di taman-taman istana
Di Mandalay
Keraton tak akan
Mempermolek diri
Dengan kembang-kembang kan
Dan kembang-kembang kan
Hanya disukai
Rakyat jelata.
Shin Maharattathara
Pembebasan Tak Akan Bisa Berjarak Jauh
Menyimak, berpikir, mempertanyakan, menjawab,Memeriksa, menulis, mengujicoba, dan mengingat –
Delapan kebiasaan ini harus rajin dilaku-lekatkan
Seperti seseorang mengenakan kalung rangkaian bunga.
Selalu, dengan ruh persaingan dan
Ketekunan seorang pemula belajar ilmu pengetahuan dasar
Ia harus belajar menghafal…dan
Jika ia melakukannya dengan sekuat daya
Ia akan menjadi seorang terpelajar yang terkenal.
Jika ia tak pernah mencoba dengan keberanian
Seekor elang yang mangkus meringkus seekor ayam;
Jika tak mau belajar dan merenungkan,
Tak mau bertanya dan memperbincangkan, dan
Jika ia tak mau beri ceramah –
Tahunya hanya baca lontar –
Bagaimana ia dapat jadi sastrawan yang ternama?
Seperti kucing menyantap udang begitu nikmat
Seorang cantrik harus menyelidik aneka kitab – tak menampik apapun –
dan menelaahnya tak setengah-setengah.
Haruslah ia setajam mata gergaji
Menyelusup dalam ke inti semua soalan.
Hingga sungguh ia paham
Tak terhapus laksana pahatan batu.
Jika telah sampai pada pengertian sempurna
Dari dalam hatinya terkatakan semuanya.
Itulah saat ia siap untuk berkhotbah
Dalam berjenis majelis untuk aneka masalah.
Dan menguraikan pangkal ke ujung kajian,
Tanpa ketakutan – seperti singa –
Berdiri di tengah kerumunan,
Tak terguncang bagai tonggak batu.
Merinci hingga bagian penting terkecil
Menjawab semua pertanyaan dengan berhasil.
Semua ayat bertulisan Pali haruslah sudah ia mengerti.
Ragam bentuk sapaan dan kata arkaik pelik,
Harus ia ketahui arti-artinya dan menyusun
Elemen-elemennya, penggunaan metafora dan menggubah syair,
Metoda tatabahasa dan beri catatan,
Dan bagaimana memandang jauh ke depan dan berpegang akan sejarah.
Ia akan terkenal jika telah memahami semua ini.
Dirayakan sepanjang hidupnya sebagai yang terpelajar.
Dan di masa datang, di dalam Samsara, ia terlahir kembali
Menyerupai Buddha Arya Maitreya
Dan baginya tak akan jauh dari Nirvana.
Myavati Mingyi U Sa
Hujan
Saat angin lembut bertiupKeharuman langka menyebar
Dari bunga-bunga saga
Tumbuh di sekitar
Gunung Istana Raksasa
Gelap menyergap kaki langit
Selubungi kita dari selatan dalam kekelaman
Menyerbu hatiku dengan melankolia.
O, Dewa Hujan, jangan jadikan kami bersedih!
Jangan jadikan kami berduka. Hujan menderas dan
Seluruh delapan penjuru bakal tampak muram.
Dan hujan jadikan kita sedih dengan bermacam cara.
U Kyaw Thamee
Sakit Memang
Sakit memang…Biar kujelaskan masalahku
Alangkah menderita dengan begitu ngeri
Jika seseorang disiksa Api Semesta.
Seperti tujuh matahari keji menyinari
Seluruh dunia tersiksa terpanggang rata.
Tak ada tempat dingin tersisa.
Risau hati karena duka teramat dalam.
Namun tiba-tiba munculah gadis cantik itu.
“Jika kau ingin ringankan sakitku,
Perciki aku dengan hujan beraroma mawar.”
U Kyin U adalah penyair besar Burma yang hidup melalui tiga
pemerintahan raja yaitu Raja Bagyidaw (1819–1837), Raja Tharrawaddy
(1837–1846), dan Raja Pagan (1846–1853). Parpahein dan Zeyathein adalah
tokoh dalam drama karya U Kyin U yang diberi judul Parpahein Pyazat.
Mereka berdua adalah para pangeran kakak beradik dari sebuah kerajaan
yang akhirnya saling berperang untuk memperebutkan tahta. Dalam kisah
itu, Zeyathein kalah.
U Ponnya adalah penyair terbaik yang
dimiliki kerajaan saat Raja Mindon (1853 – 1878) berkuasa. Karena
jasanya, U Ponnya mendapat gelar kebangsawanan dan sebidang tanah untuk
dimiliki. Bunga kan adalah bunga yang indah tetapi tidak harum, seperti
bunga angrek tetapi kecil-kecil bunganya.
Shin Maharattathara
(1468 – 1529) adalah bhiksu Buddha terkenal. Puisi ini ditulis pada abad
ke 16 dan menceritakan tentang spirit pembelajaran, meskipun jika
dilihat penekanan-penekanannya secara umum masih bisa berlaku umum
hingga kini.
Myavati Mingyi U Sa (1766 – 1853) bukan hanya
penyair besar juga penggubah dan pelestari musik khas Burma. Ia adalah
pencipta lagu Htumachana Tchachingan.
U Kyaw Thamee adalah
penyair wanita yang merupakan anak dari U Kyaw, seorang penyair yang
hidup di masa pemerintahan raja Mindon (1853 – 1878) dan menerima
beragam penghargaan sebagai penyair dengan bakat sangat mengagumkan.
Comments