Posts

Showing posts from September, 2014

Dedy Tri Riyadi dan Sekeranjang Sajak-sajaknya

Image
Esai Khudori Husnan Dedy Tri Riyadi dan Sekeranjang Sajak-Sajaknya   Rabu kemarin (24/09) setelah cukup lama absen, saya kembali menginjakkan kaki di Warung Apresiasi Bulungan Blok M Jakarta Selatan menghadiri acara Sastra Reboan. Malam itu Sastra Reboan meluncurkan dua buku sekaligus pertama buku kumpulan puisi karya Dedy Tri Riyadi “Liburan Penyair” dan kedua buku   “Misteri Borobudur (Candi Borobudur Bukan Peninggalan Nabi Sulaiman).” Dari kedua buku tersebut hanya buku karya Dedy Tri Riyadi yang sempat saya baca itupun dalam bentuk naskah embrional dan bukan wujud asli seperti yang kini beredar di pasaran. Bagi saya kumpulan puisi Dedy Tri Riyadi (selanjutnya DTR) menarik dinikmati   lantaran buku tersebut cukup mencerminkan sikap, posisi, dan pemahaman DTR pada apa yang disebutnya sebagai sajak atau puisi. “Liburan Penyair” dapat dibaca sebagai ikhtiar DTR   menempatkan dirinya dalam khasanah perpuisian Indonesia mutakhir yang sebelumnya telah disesaki n

Catatan Zabidi Zay Lawanglangit atas Liburan Penyair

Image
Bagaimana Cara Penyair Berlibur? : Sebuah Catatan Kecil untuk Buku Puisi “Liburan Penyair” karya Dedy Tri Riyadi. Apakah benar puisi-puisi dalam buku bertajuk “Liburan Penyair” karya Dedy Tri Riyadi ini buah dari perjalanan liburan seorang penyair? Atau mungkin inilah cara liburan ala penyair Dedy Tri Riyadi. Saya sedang menduga bahwa sebenarnya penyair ini tidak sedang benar-benar berlibur untuk hanya menulis puisi. Dugaan saya selanjutnya adalah bahwa puisi-puisi dalam buku “Liburan Penyair’ ini lahir dari kehendak untuk menulis sajak yang memanggilnya. Memanggilnya pada setiap momen yang dilewatinya di suatu waktu. Entah penyair ini tengah berada di manapun, misalnya saja dalam perjalanannya ke luar kota. Boleh jadi tidak dalam rangka liburan, tapi bisa jadi dalam rangkaian tugas sebuah pekerjaan kantor. Apapun alasan sebuah kepergian, itu hanya jalan untuk sampai ke suatu tempat di mana panggilan menulis menggedor-gedor pintu dada, lalu puisi-puisi itu kemudian

Catatan Penerbitan Kumpulan Puisi "Liburan Penyair"

Sebuah Catatan Menjelang Perayaan Diterbitkannya Kumpulan Puisi Liburan Penyair Let me take you far away You'd like a holiday Tadinya, kumpulan puisi saya akan diterbitkan dengan judul "Angka-Angka yang Beranjak" untuk menyatakan bahwa dalam kumpulan puisi ini, sebagai penyair saya membawa semacam kalkulasi terhadap permasalahan-permasalah di sekitar saya. Saat itu, puisi yang berjudul "Liburan Penyair" belum lama kelar saya buat dan belum dimuat di media cetak. Setelah sampai di tangan penerbit, nasib kumpulan puisi itu diusulkan diubah judulnya menjadi "Liburan Penyair" seperti yang sudah diberitahukan kepada khalayak. Atas usulan penerbit, saya tidak berkeberatan karena secara esensi tidak ada naskah puisi yang diubah dan hanya judul kumpulan puisinya saja. Kemudian saya teringat tahun 2007 silam, saya pernah membuat satu puisi dengan judul "Iklan Lowongan Pekerjaan Pertama di Dunia" yang isinya seperti ini: Sesampai

Koloseum

Koloseum Yang dipertaruhkan dalam hidup seperti sebuah pertarungan tanpa henti. Yang dipertaringkan adalah diri sendiri seperti pada batuan penyangga itu ada besi-besi. Dan bertahun-tahun, bersahut-sahutan nyeri dan sepi. Sebelum waktu memutar ibu jari menunjuk ke pasir gelanggang. Merujuk lepasnya binatang buas                              dari kandang. 2014

Keindahan

Katakanlah padaku, apa arti keindahan. Bunga akan layu, cat lukisan pecah-pecah terkena lampu. Tanganku cuma jambangan, air di dalam akan mengering. Tangkai bunga-bunga itu rapuh dan melengkung. Wangi yang tadinya semerbak musnah dalam deru angin. Seulas senyummu sebentar lagi jadi tangis. Seolah waktu mahluk buruk yang menelan kejadian, perasaan senang, dan kenangan itu. Sementara kita dicekam takut yang semakin teruk. Kematian, katamu adalah takdir bagi mimpi dan harapan. Tapi hidup ini harus diisi. Maka kita biarkan pelukis tua itu terus menyapukan kuas dan warna pucat ke atas kanvas. dan kekuatiranku jadi semburat kelabu di pinggir sebentuk kotak yang di atasnya tergantung akar atau sisa-sisa daun. Jadi, katakanlah padaku, apa arti keindahan, selain masa menunggu dan mengamati apa yang diberi nama: masih hidup. 2014

Aku Tak Ingin Kau Jadi Ladang

Hidup terlalu buruk jika hanya untuk menumbuhkan jeruk, memelihara sebentuk pohon yang didiami tupai dan dihingapi burung. Aku tak benci petani dan ladangnya yang kuning. Yang ku kutuk hanya waktu seperti lampu di atas bukit. Kita memandang dengan pesona sampai kita terlena hidup adalah ladang sesungguhnya. Hidup akan lebih baik jika di tepi sungai kau susun setumpuk batuan. Biar air tak meluap dan melupakan di sisi kanan dan kirinya ada aneka tumbuhan dan hewan yang mesti dijauhkan dari rasa takut akan banjir bandang. Aku tak ingin kau jadi ladang, jika waktu hanya pendar, dan biji kenari tersebar. Karena burung dan tupai saling incar akan bebijian itu dalam waktu yang sebentar. Ada baiknya, di tepi sungai, kau berdiri memandang aku. Memastikan kedua tanganku sekokoh batu. Dan keinginanku seperti sungai itu. Karena dari itu, akan lancar alir kata-kata yang semakin hidup. Mewujudkan cinta kepadamu. Seperti petani mendatangi ladangnya setiap pagi. 2014

Hidup Masih Hidup

Hidup masihlah hidup. Meski kerang tinggal cangkang, dan bengkok paku dicabut dari dinding itu. Hidup tetaplah hidup. Walau sepi merambati tulang, dan tak elok apa yang disebut dalam gerutu. Hidup itu kita dalam cinta utuh. Walau bayang nisan dan kegelapan tak pernah jauh. Selalu. 2014

Aku Menjerit Seperti Menara Suar

Di pulau ini, aku berdiri sendiri menantang pandang kapal, membentang keyakinan, tangan-tangan terkepal. Di pulau ini, segala yang lepas ini kuikat liat dan kuat. Kenangan yang lekat, harapan yang likat. Dan kegagalan serta kegalauan kujeritkan seperti menara suar, agar kau datang dan memberi kabar: ada yang seperti aku di gugusan pulau yang lain itu. 2014

Pada Suatu Masa, Kita Paus yang Tertipu Ombak

Di teluk, pada ombak yang merasa takluk, kita adalah mahluk pemabuk. Sepasang paus bungkuk. Usai pelayaran panjang, deret kapal dengan lambung hitam, kita merasa limbung, bukan? Hingga di teluk, kita menipu diri. Merasa jadi mahluk paling malang, tak bisa berenang. Kepala dan ekor ganti timbul tenggelam. Dan dari kejauhan orang-orang melihat dengan riang. Karena kemunculan kita adalah pemandangan langka. Apa yang kita punya seolah pemuas prasangka. Sampai nanti, ketika kita lelah, di pantai yang landai, bangkai-bangkai kita ditertawakan mereka. Dijadikan kenangan, bahkan sebagian dari tubuh kita dijadikan kenang-kenangan. Di teluk, di mana burung- burung itu hibuk, kita jadi mahluk terkutuk. Ditipu suara-suara ombak yang seolah takluk oleh kebesaran kita. 2014

Aku Membayangkan Diri Sebagai Delima Merah

Mudah sekali aku terbelah, memburaikan bebijian dan kekejian, sampai dunia seolah kacang kenari yang disia-siakan burung. Mudah sekali aku mendapatkan perhatian, menjadi yang diperebutkan, hingga dari segala lubang di dalam kotak ini, menyembul aneka kepala burung. Meski demikian, sebagai delima merah, aku tak bisa membayangkan dengan benar; paruh-paruh itu atau pisau lebih nyeri dari sepiku. Sempit lubang atau pengap kotak lebih menyekap atau akan membebaskanku: dari perumpamaan bebijian yang jatuh ke tanah berbatu dalam pikiranmu itu. Pikiran yang tumbuh setabah dan sehebat pepohonan, muasal para burung. 2014

Tiga Sajak Untuk Alm. Slamet Sukirnanto (Penyair Angkatan 66)

Nyanyian Bumi Aku dan cinta tak akan meninggalkanmu meski aku mati, dan cinta tak bersemi lagi. Aku dan cinta akan bersamamu selalu, walau seribu sakit seolah diterjunkan dari langit. Bersama hujan yang turun, dan embun yang membasuh dedaun, aku dan cinta menyanyi, memelihara nama-nama kita. Menghentikan prahara yang gemuruh di dadamu itu. Membunyikan apa yang selama ini dilestarikan bumi : puisi-puisi yang menghendak abadi. 2014 Nyanyi Gersang Jangan kecewa, Kekasih! Aku masih gairah yang tertahan dalam kabut hutan. Nyanyi gersang dari padang-padang. Langkahku kata tanya di hari esok. Sepi yang teronggok di atas batu. Lumurilah aku, Kekasih! Lumuri dengan lumut yang hijau dan basah itu. Liputi dengan lagu semanis gula, dengan iringan doal dan panggora. Agar nyala hidup kita, dan bergelora semesta. Dan batu-batu berbunga. 2014 Cemas Jika sungai adalah ibu, maka riak-riak ini anak-anakny