Posts

Showing posts from September, 2006

Hari Keberangkatan

Bergegas mengemas mimpi sebelum menelepon taksi ada tanya yang menepi "apa yang akan terjadi?" Ratusan kenangan menyelam bagai ikan dalam lautan bayang-bayang berkeriapan sepanjang perjalanan "Inikah rindu itu?" ada malu yang terpalu berdentam bertalu Ada kata dalam hati "aku harus pergi" sebelum semua mimpi tak berarti esok nanti

Sajak Peron

Barisan bangku tidak teratur melontarkan kata yang jujur "Siapa yang bisa tidur?" Sebentar lagi peluit terdengar layaknya sebuah kabar Di sini hanya persinggahan tak ada yang bisa kita rebahkan tak juga kantong mimpi bahkan bunga akan mati Di antara deru yang berseru kita kemas hati buru-buru Gerbong-gerbong telah terbuka meminta paksa tubuh dan jiwa untuk perjalanan penuh makna Dari barisan bangku peron ini kita mengantri untuk pergi

Sajadah

"kapan doa sampai pada alamatnya?" terlipat rapi sebuah tanya terbalut bau wangi di dalam almari walau selembar walau sebentar sujud 'kan kubenamkan pada sutera penuh kelembutan

Bidadari dalam Palung

Palung waktu ciptakan pusarannya sendiri Aku terseret di tepinya Lalu senja pun mengerung "Setan mana yang pantas aku kutuk?" Aku diam. Hari pun telanjur malam Bidadari dalam palung ajak aku pulang "Setan!" keluhnya kudengar saat sampai di kamar

Sajak Asap

Aku pegang dada menahan kata tanya " Api sembunyi di mana?"

Sajak Api

Sebuah kata tersulut di bibir kayu, merayu Api pun membara dalam rindu, tanpa ragu tuntas lah janji api pada kayu Kayu tunduk, hukum alam dipeluk kala cinta diukir sebagai unggun gemunung angan pun ditimbun Pada sulut pertama kali Api telanjur birahi kayu pasrah menanti arti

Sajak Belukar

/1/ Api telah meninggi berderak lah bunyi bara tak mau pergi Sejak semak disulut tanganku memegang lutut hampir sujud /2/ Pokok kayu menghitam layu api meredam laju Belukar musnah jadi abu dan debu tanah aku, ladang yang punah

Sajak Pelangi

Sebab cinta telah lama menghablur di balik jendela kucumbu angin yang membeku kepadanya, aku pun bertanya "Untuk siapakah diuntai sejuta warna dalam genggaman tanganmu?" Gerimis telah lama berlalu tinggal lah sebuah nyanyian penghapus jejak-jejak di taman terbilang dalam waktu "aku telah memajang rindu sebagai hiasan di atas kemaluanmu" Jawabnya ketika mengurai merah, kuning, biru, dan kelabu tepat di depan kedua mataku

Sajak Di Depan Cermin

wajah di depan cermin manyun di pelupuknya ada tangis kaca cermin berembun sebuah buku dibaca tak habis

Sajak Jendela

"Jerit siapa tertahan di batas malam?" Ada jendela tak berdaun terayun bayu Bulan coba jejalkan sinar pada kisi-kisinya Sekedar menyapa kesedihan yang ada Awan sungguh berbaik hati ditutupkan tangan pada mulut bulan yang menganga tersebab terkejut melihat air mata Lalu hujan terpanggil turun Mengulurkan cairan penghapus tangisan disapu pula jejak-jejak kesedihan Di batas malam Jendela tergumam Ada sedih yang belum habis ditelan

Lelaki yang menanti

Tergumam sejumlah kata yang dipahat pada sebuah nisan tua "Di sini telah dibaringkan segala keinginan yang tersisa dari ratusan angan di kepala" Lelaki itu kemudian diam seluruh bunyi pun diredam seperti sebuah penantian yang luruh dalam pusaran jaman Lelaki itu sedang menanti Bunyi apa lagi hendak dilantunkan Dikeluarkan patahan tulang lalu dipukul pelan "Diam lah yang sudah diam, jangan pernah bicara dendam"

Sajak Kapal Karam

/1/ Kapalku telah karam mata ini pun kupejam biar tak ada laut dan pantai terbaca jelas oleh badai /2/ Tak ke pantai dia menepi adalah karang yang dihampiri lalu rebah dia di tiap sisi punah sudah rindu di hati /3/ Kapal karam memendam rindu suara ibu yang merayu-rayu dermaga sebenar sandaran kalbu hanya tergambar dalam desir bayu

Sajak Kamar Mandi

Dinding keramik yang dingin demikian pula dengan lantai yang diam gemericik air yang ingin sesegera mungkin aku siram "Akan kupeluk dalam basah, biar luruh semua gelisah, dan panashati pun musnah" Segera kubuka diri Telanjang seperti bayi Mungkinkah kulihat bayang Tuhan dalam genang air yang tertahan?

Sajak Saputangan

Sebuah siang terlipat rapi di sudut saku celana ini "Isak siapa tergolek bersamanya?" Yang kutahu, ada keringat yang disapu Merata di tiap serat seakan hidup ini tidaklah sarat "Semua 'kan baik kembali di dalam sebuah mesin cuci esok nanti" Lalu isak tadi sibuk kembali merajut selembar mimpi

Di Sudut Kamar

Lampu temaram, hampir-hampir tak ada sinar. ada isak yang diredam, pada langit-langit dan dinding kamar.

Sajak Pedati

Gelisah telah lama berima di rusuk - rusuk roda pedati "Hidup ini berputar senantiasa" Pijakan membekas seperti urat sungai dengan darahnya Setiap lekuk membungkus deru dari anak-anak peluh "O, Jawi penarik hidup kepadamu lah kuserah arah?" tersebab hatiku terlalu gelap untuk mengartikan sarat Seuntai demi seuntai biji-biji lempung digerus lenguh dengan buncahan liur Satu tarikan nafas beranak ratusan rangka yang tertanam di pangkal helaan Ada satu pertanyaan yang tersisa kupetikkan dalam irama cambuk di udara "Adakah bagian peta yang terbuang, hingga kita lupa jalan pulang?" Di sisi yang salah langit telah berkendit jingga Tersisa lah seutas terang pada punggung lintasan (kolaborasi pakcik_ahmad dan dedy_tri_r)

Sajak Peri Embun

Sebelum beduk subuh ditabuh kutelisik tunas kamboja yang tumbuh sebab tepat pada pukulan ke sepuluh Peri Embun menitipkan keluh di tiap helai daun Olehnya satu per satu embun itu diberi marka dengan segala rupa rasa di dada selayaknya dia sedang bercerita Kulacak jejak pada titik embun pagi yang terekam sebagai mantera cerita sedih Ibu Sebab Bapak pernah berkata Ibu terlalu sering menangis di pucuk-pucuk kamboja

Ghazal Udara

Bersembunyilah dekap udara ; menghilang dari sepasang payudara sementara duka terikat erat oleh pengap udara Duhai ibu yang remajanya usai dituai dalam endap nestapa Beracaralah pada isak kami yang hanya bisa ditangkap udara Sebab belum lama kami merapal mantera ratap atmaja Engkau telah meniti lembah pelangi di balik tingkap udara Dan yang tersembul sebagai kenangan dalam tatap menyala menuntun Perindu ini temukan lagi gairah dekap udara

Ghazal Cahaya Cinta

Kekasihku telah mencari cahaya pendaki senja Kukirimkan pelangi sebagai ganti jemari cahaya Hingga gelisahnya tertangkup degup berahi jiwa walau siapakah sebenarnya yang menanti cahaya Sebab hatiku pun meringkuk dalam terali cinta tak sanggup hingga kurasa perlu ditemani cahaya Cinta sejurus kemudian hanya menjadi rasa Pun Si Perindu terjerat oleh temali cahaya

Toko Sepatu

Adalah kaki yang telanjang menghiba sepanjang bayang Maka ditempuhlah suatu perjalanan demi suatu keinginan Toko sepatu jadi tujuan mula tersebab pada onak dan batu tajam, kaki terluka "Dapatkah kau temukan jodohku?" Ada kata yang tertulis di kaca jendela sebuah tanya yang cedera Ada banyak tubuh mengajak berkelana namun yang kupunya hanya sepasang kaki yang terbuka dan terluka Aku terpaku Kakiku kelu tersergap pagu yang baku; ukuran kaki, model sepatu, bahan kulit atau beludru? Di balik pintu yang tadi kubuka terkuak pula sebuah rahasia "Telitilah sebelum berbelanja" Lalu kupikir kakiku hanya perlu sepasang sepatu yang lebih keras dari batu