Posts

Showing posts from February, 2009

Melankolia Mata

: menerjemahkan alun-alun kota tua karya Claudia Velasco Kolam itu seperti seorang penggembara yang begitu haus. Begitu rakusnya akan air yang tak henti mengalir dari ceruk batu besar abu-abu di tengah-tengah kolam. Sebagai balasan, dia pantulkan langit biru terang dan sedikit putih awan. Sepotong pesona siang yang mungkin hanya bisa kau temui di sebuah musim semi yang asing. Di antara lompatan kakikaki tiga ekor angsa cokelat muda, digubahnya serangkaian titinada yang bergema di tembok-tembok bangunan tua. Kurasa rinciknya akan sampai kepadamu, sebab di sini terlalu lengang. Tak ada sesiapa tercermin di kaca-kaca jendela di sepanjang deretan kafe dan toko-toko yang dilamun kenangan. Tak kujumpai dia yang melangkah cepat hingga tiga ekor angsa itu meloncat, atau ucap terkejut seseorang dengan kulit pucat yang mengintip dari tirai gerai roti yang setengah tertutup – mengira kau, aku, atau seorang penggembara l

Vladimir Mayakovsy - Lewat Jam Satu

Vladimir Mayakovsky Lewat Jam Satu Lewat jam satu. Kau harus tidur. Galaksi bima sakti mengalirkan perak ke dalam malam. Aku tak tergesa; dengan telegram-telegram yang tibatiba aku tak punya alasan apaapa untuk membangunkan atau membuatmu gundah. Dan, seperti yang mereka kata, kejadian ini teramat dekat. Bahtera cinta telah remuk tertumbuk kekelaman seharihari. Sekarang kau dan aku sama terdiam. Untuk apa berpayah selaraskan kesedihan-kesedihan, kepedihan-kepedihan, dan luka-luka kita. Lihatlah betapa kesunyian diam di bumi. Malam membungkus langit seperti persembahan dari gemintang. Pada jam-jam begini, seseorang bangkit mengalamatkan usia, sejarah dan segala ciptaan. 1930

Engkaukah Jendela Itu?

1/ Saat tetangan hangat ayah matahari memeluk erat sembab bantal, selimut tebal,dan rambutnya yang ikal. Memainkan cahaya pada deretan foto keluarga di samping ranjang, mengecupnya di antara kelopak mata yang setengah pejam; karena terlampau lelah ia mencari wajah bunda bulan di dada malam, dari antara larik-larik sajak cinta yang pernah ia tuliskan, pada takik pepohonan dan perdu, pada pekik pungguk perindu. 2/ Ketika tekun dibacanya sajak seorang penyair buta - yang mudah-mudahan aku tak salah mengutipnya - “sekarang semua orang yang selamat, mereka yang terhindar dari kematian, telah berada aman di dalam rumah, jauh dari hingar perang dan garang gelombang, hanya ada seseorang …” Dan dia merasa - pada saat itu – dirinyalah yang dimaksud dalam sajak itu; karena sayap-sayap sepi akan segera menghantarnya pergi dari kepungan matamu 3/ Pada waktu seorang senja datang mengulur tangan, dan membekalinya benih pagi; benih yang selalu tumbuh di atas batu. Batu waktu. 2009

Sebelum Pergi

Dipatut-patutkan tubuhnya dengan sepasang sepatu. 2009

Sehabis Mandi

Dia mengira tubuhnya hanyut bersama sisa syampu, bekas sabun, dan air keruh itu. 2009

Saat Menunggu

Kau hitung juga bulir cemasku, s eperti dia yang berzikir pada butir pasir dalam bejana waktu. Diterjemahkannya kitab-kitab perasaan dengan bahasa angin dan hujan, hingga tubuh ini menjelma sungai, ambangkan bangkai. Seakan ada yang bertanya “Siapa hendak segera mati?” Tapi suara-suara itu terlalu tuli dengan dirinya sendiri. Di sini hanya ada meja-meja kosong dan seseorang, secara perlahan, ditelan balon percakapan tanpa isi. Bahkan Yusuf pun menolak hadir di sini, sebab ini memang bukan dunia mimpi. A ku meraih bulir cemas dari tanganmu. Antara hendak meremas dan menghempaskannya ke sudut ruang atau menyeludupkannya ke jangkauan saku celana. Aih, betapa cemas adalah langkah-langkahku sendiri. Bersiasat dengan sepatu, dia menuju pada sebuah pintu. 2 009

Taman Hujan

Kini kau pandai menanam hujan. Di tanganmu, hujan bersulur panjang. Daunnya tunas dan hijau terang. Matahari begitu cemburu, sebab setiap pagi dia ingin paling hijau sendiri. Bersiasat dengan awan dan kilat, matahari mengirim hujan yang lain. Hujan dengan tubuh yang sangat cokelat. Kau petik juga dedaunan hujan. Keranjangmu begitu pemalu. Setiap habis bertemu hujan, ditulisnya sebuah catatan. Sesuatu yang - padahal - sangat ingin dia ucapkan. Seperti yang satu ini; "Hari ini hujan tampak kelabu. Dia lupa menyemir sepatu." Kau pulang berkalung hujan. Rumahmu sudah penuh hujan. Sebut saja satu per satu; kursi hujan, meja hujan, almari hujan, bahkan kasur hujan pun ada. Tapi kau masih merasa kehilangan sesuatu; sepatu hujan. Sebab dengan mengenakannya kau akan bisa bertemu seorang Ibu. Ibu hujan. 2009

Hikayat Mistar

Alahai, Tuan. Kau jarakkan kami dari pohon. Dari tepi taman. Sementara kami tak pernah memohon, tak juga menginginkan. Maka datanglah ular. Sedepa lebih panjangnya. Kami merentang tangan. Mendekap tidak, hanya agar tak terpegang. Dibisikinya perempuan-perempuan kami akan sebuah niscaya, yang sungguh-sungguh tak akan bisa kami percaya. Tapi, beginilah yang terjadi. Kami ini lelaki. Seperti bumi. Lubang-lubang di dada kami selalu minta ditanami. Dan perempuan-perempuan kami adalah petani yang sejati. Di tangannya selalu saja ada benih. Ular itu, Tuan. Sedepa lebih panjangnya. Melintas di depan kami. Merapatkan kami, laki-bini, hingga dia puas. Dan tak kulihat Engkau, Tuan. Sebab kini ada jarak mencegat kami. DariMu, dari taman ini. 2009

Percakapan Pengantin di Sepanjang Batanghari

/1/ Katamu, dahulu dunia sebesar telur angsa dan kita menjadi kehangatan yang sangat didamba Aku, Adammu Engkau, Hawaku Kita bersatu dalam perahu Dari rahimmu, Dan hangat pelukku Lahir dunia baru /2/ Ini kisah cinta yang tak biasa, Dan aku merasa sangat mengenalinya Hingga pada akhirnya, ada satu bahtera berlayar dengan arahan sepasang angsa Tapi, jangan pernah kautanyakan suatu tujuan, sebab pelayaran baru bermula /3/ Tapi kita bukanlah kaum Nuh, Sayang Langit teduh dan tak ada gelombang Hanya angsa-angsa pemberian Temenggung Merah Mato, di buritan Kajang Lako pendukung segala isyarat arah ke mana kita turun mendarat Maka demikianlah kukatakan, Alahai Sayangku, Mayang Mengurai ini dunia, kita yang punya Untuk selamanya /4/ Dan pada tubuhmu, Batanghari kujelmakan misteri Kunci abadi Negeri Jambi ; sebuah cinta suci Sebab di hilir nanti, ada yang menepi : kita yang abadi 2007