Melankolia Mata

: menerjemahkan alun-alun kota tua karya Claudia Velasco

Kolam itu seperti seorang penggembara yang begitu haus.
Begitu rakusnya akan air yang tak henti mengalir dari ceruk
batu besar abu-abu di tengah-tengah kolam. Sebagai balasan,
dia pantulkan langit biru terang dan sedikit putih awan.
Sepotong pesona siang yang mungkin hanya bisa kau temui
di sebuah musim semi yang asing.

Di antara lompatan kakikaki tiga ekor angsa cokelat muda,
digubahnya serangkaian titinada yang bergema
di tembok-tembok bangunan tua.

Kurasa rinciknya akan sampai kepadamu,
sebab di sini terlalu lengang.

Tak ada sesiapa tercermin di kaca-kaca jendela
di sepanjang deretan kafe dan toko-toko
yang dilamun kenangan.

Tak kujumpai dia yang melangkah cepat
hingga tiga ekor angsa itu meloncat,
atau ucap terkejut seseorang dengan kulit pucat
yang mengintip dari tirai gerai roti
yang setengah tertutup – mengira
kau,
aku,
atau
seorang penggembara lainnya singgah
dan memesan sesuatu,

atau sekedar memandang ke arah kolam itu;
kolam yang diam-diam meminum terik
pada putih mataku.

2009

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung