Posts

Showing posts from December, 2006

catatan akhir tahun

jika tanah masih berhumus kukira engkau yang begitu tandus menyemai embun dengan kenangan tanah merah pekuburan tempat ibu memetik bunga kamboja jika hujan masih basah tak hanya aku yang begitu resah nikmati luka luka penuh nanah bumbu hidup bertabur garam di sana engkau banyak temukan diam hanya angin pengembara teman lelaki pengelana di sebuah negeri tanpa nama mereka bisa tertawa bersama aku dan kamu, entah siapa dan mereka masih berduka

setidaknya

setidaknya, biarlah kepedihan tertancap di punggung kami walau sejenak biar dada ini tak selalu tegak setidaknya, hentikan sebentar lari kami yang hilang arah sebab kadang kata terendap di sela sela batu dan tanah setidaknya sejenak biarkan kami berbaring bersama bumi di bawah matahari yang sama

mahaduka

1/ luka mendedah air mata ada kenangan terbuka saat kita tak menginginkannya 2/ duka serupa langit di hari petang sebentar lagi malam akan mengekalkan warna hitamnya 3/ air mata kembali meruah banjir tak berkata sudah sungai alirkan resah hujan nyanyikan warna darah di sini, kami menghitung tubuh kami sendiri dalam gigil yang tak kunjung musykil

[Pernyataan] Cak Bono dan Asosiasi

Asosiasi dan hasil proses asosiasi berawal dari persepsi -"esse est percippi". Sebuah persoalan persepsi tentang bagaimana kita melihat suatu realitas. Misalnya saat bersama-sama berkumpul di Stasiun Gambir sambil melihat langit sore yang merah dan juga Tugu Monas yang tegak berdiri di sana maka akan banyak persepsi yang tidak akan sama antara satu orang dengan orang yang lain. Dari satu peristiwa di atas, akan ada banyak kalimat-kalimat puisi yang tercipta, misal : "Senja yang menepi dijemput malam" - Johannes Sugianto "Sore itu perih sekali" - Cak Bono "Kerlip binar matamu : airlaut yang menggerus lunas perahu" - Dino F. Umahuk "Langit sore menari gemulai" - Anto Bugtronic "Jingga melarut pada malam" - Fitri Menurut Cak Bono, salah satu ciri orang yang berbakat puisi itu ekspresit, melatih berkata-kata setiap saat, sedikit demi sedikit. Sebab puisi adalah kata yang dilatih. Pada setiap persepsi, ada lautan bawah sadar.

dari sebuah kalender

1/ lautan airmata angka di kalender menghitung jumlah luka 2/ angin seolah tak ingin ribut hujan telah terdiam di kolam lumpur menanti suara terompet dinyaringkan kaki ini kami tarik ke atas hindari tanah yang bergerak basah sambil mengisak dalam diam angka kembali menjadi juri suara siapa yang paling lantang 3/ tahun ini hujan penuh isak kami juga jenuh mungkin lewat malam ada seseorang tertawa riang

desember di hatimu sungguh hangat

dekat perapian dan pohon terang semisal lilin di atas meja bertatap mesra anggur dalam cawan sepasang anak dara bersayap tipis salju dalam kaos kaki tebal dan rimbunan kotak berpita semisal lonceng yang bergema ditingkahi terompet sukacita rusa rusa berlari menanti bintang fajar

kelambu

: anb selalu saja ada gangguan setiap malam sebelum terpejam sebuah doa yang belum terucapkan bahkan seekor nyamuk yang cari makan lalu aku masuk ke dalam kelambu satu-satunya teman tidur yang tenang ia redakan gangguan malam tapi aku malah tak bisa tidur berpikir kelambu ini begitu nakal dipenjarakan aku dalam ruang dengan alasan menahan nafsu jalang milik nyamuk-nyamuk kelaparan aku ucapkan sepotong doa "biarkan kelambu itu tidur, Tuhan" sebab malam masih teramat panjang

[Sajak Emily Dickinson] Life part IX

THE HEART asks pleasure first, And then, excuse from pain; And then, those little anodynes That deaden suffering; And then, to go to sleep; And then, if it should be The will of its Inquisitor, The liberty to die. === hati ini lebih dahulu meminta bahagia, dan di sana ada maaf dari duka, dan di sana pula ketenangan sementara yang merana meredam lara lalu untuk bisa tidur; seperti yang seharusnya wasiat dari Sang Penanya, kebebasan untuk mati

[Sajak Emily Dickinson] XXIII

XXIII I REASON, earth is short, And anguish absolute. And many hurt; But what of that? I reason, we could die: The best vitality Cannot excel decay; But what of that? I reason that in heaven Somehow, it will be even, Some new equation given; But what of that? === kusadari, hidup begitu singkat, dan kesedihan mendalam yang nyata. dan banyak luka; tetapi apakah itu? kusadari, kita akan mati: daya hidup paling luar biasa takkan bisa melampaui kehancuran tetapi apakah itu? dan kusadari nanti dalam surga yang entah, tapi pasti terjadi, ada kesetaraan baru yang diberi; tetapi apakah itu?

[Sajak Emily Dickinson] Life II

II bagian kita dari malam adalah menahan, bagian kita dari pagi, kekosongan kita dalam bahagia adalah mengisi, kekosongan kita dalam hinaan. bintang di sini, dan bintang di sana, kadang hilang arah. embun di sini, dan embun di sana, esok hari!

punggung ibu

seruling gembala tak bisa lagukan sepi sebagaimana lembu dan domba memamah pucuk pucuk muda dengan gembira "hutan semakin menua nak, pungutlah kayu bakar dari semak saja" di tepi padang aku dan ibu duduk memandang gunung di sebelah sana langit tampak murung mungkin dia iri pada keceriaan gembala dan ternaknya atau pada ibu dan aku? hari menjemput hujan saat kami melangkah pulang ibu dan aku berjalan beriringan menyunggi kayu bakar kulihat punggungnya makin runduk sementara hujan makin peluk tapi ibu berjalan cepat, ada yang harus dia kejar "ayo, nak! ibu belum masak untuk makan malam!" sayup-sayup kudengar gembala berdendang melayu menggiring ternaknya ke rerimbunan bambu

aku belum bisa menulis rindu untukmu ibu

1/ aku belum bisa menulis rindu untukmu ibu seperti hujan yang menyapu bumi rinainya rintik di tengah telisik waktu dan daun pun luruh tak sanggup memeluk rengkuh tak ada lagi yang tumbuh setelah dia jatuh 2/ angin telah berlalu musim menggigil pilu kesetiaanmu bagaikan batu menilam sunyi yang bertalu 3/ aku belum bisa menulis rindu kepulanganku terbalut ragu di antara kaki, tangan, dada dan rambutmu aku tersesat tanpa malu maafkan aku

tangis ibu

ketika hujan, ibu tak segera memanggil matahari dibiarkan sejenak aku kuyup dan rinduku begitu gugup tak berani aku bertanya tentang kehangatan sebab sudah lama aku tak mencatat kenangan ibu hanya diam kala air mulai menggenang "cobalah untuk berenang"katanya tenang aku tak berani membantah "sebentar lagi hari cerah", pikirku ketika matahari datang kulihat ibu tersenyum senang dielusnya kepalaku "kau sudah belajar tentang cuaca" katanya ada yang samar di balik mata ibu yang berbinar "kenapa aku tak sempat mencatatnya?"

sepatu untuk ibu

ibu menebar benih di awal musim maka pada setiap jengkal tanah ladang yang ditugal, kaki telanjangnya simpan sebuah rahasia "kau akan mengetahuinya nanti setelah berbuah" dan dimintanya aku tenang karena hujan mulai kerap datang menjelang panen, bapak mengundang tukang ijon rahasia kami pun bertukar dengan angka padahal aku sangat ingin tahu bagaimana rasanya buah hasil semaian ibu "kau tak perlu sedih, nanti kau bisa buat kebun sendiri" aku pun mulai membayangkan diriku bisa bercocok tanam tapi ibu kemudian bercerita tentang luka patukan ular di kakinya "kau juga harus siap bertarung dengannya di kebunmu sendiri" tiba-tiba aku ingin mengadu kepada bapak meminta sebagian hasil penjualan untuk membeli dua pasang sepatu : satu untukku dan satu untuk ibu

Tak Ada Saran dari Pablo Neruda untuk Para Penyair Muda

Ketika diminta untuk memberikan saran kepada penyair-penyair muda, Neruda sepertinya enggan. Katanya tak ada saran yang dia bisa berikan kepada penyair-penyair muda. Sebab menurutnya, para penyair muda harus mencari jalannya sendiri, dan harus menemukan kendala saat ingin mengemukakan perasaannya dan harus mengalahkan kendala tersebut. Apa yang tidak akan pernah disarankan kepada penyair muda oleh Neruda adalah memulai dengan puisi politik. Puisi politik punya emosi yang sangat pelik dibanding dengan yang lain - setidaknya seperti kebanyakan puisi cinta - dan tidak dapat dipaksakan karena ia akan menjadi vulgar dan tidak dapat diterima. Sangat perlu melalui banyak jenis puisi sebelum mendalami puisi politik. Penyair politik harus mempersiapkan diri menerima kecaman yang ditujukan kepadanya - penyair yang berkhianat, atau karya sastra yang berkhianat. Kemudian juga, penyair politik harus mempersenjatai dirinya dengan kekayaan isi, substansi, intelektualitas, serta emosional yang

ibu itu

ibu itu perempuan berdada lembah di mana burung-burung singgah dan anak domba bermain lincah rambutnya cakrawala yang senja aku sering tidur di sana memainkan mimpi di ujung-ujung malam dan bernyanyi lagu "bubuy bulan" sebelum kudengar dia berkesah ke dunia tanpa makna, aku berpindah ibu kerap memainkan harpa senar senar begitu getar rumah ini penuh hingar walau pun bapak tak pernah punya kabar.

ibu tak pernah pakai sepatu

kaki ibu adalah jalan yang kulalui ketika pergi ke sekolah aku seringkali terjatuh dan terantuk bebatuan di sana "kau harus hati-hati melangkah. sepatumu itu hasil keringat bapak. peliharalah sampai lulus nanti" sejak itu, aku lebih sering jalan telanjang kaki

sepatu pelari

dia punya sepatu pelari tapi lebih suka lari telanjang kaki dia memang sedang tak ingin berkeluh tentang kerikil di jalanan yang mendaki dia ingin sepatu itu punya cerita di sepanjang pelariannya sendiri barangkali tajamnya kerikil itu nyata dan perjalanan memang begitu mendaki

pada sepertiga malam

1/ sebab jemari ingin begitu gundah hingga setiap pori menjadi api lalu memadam usia malam di sepertiga puncak kenikmatan tepat sebelum kaubuka seluar di mana embun berkibar juga musim seruakkan wangi tubuh 2/ di simpuh kakimu yang terlipat kuletakkan sudut kening supaya lebih dekat kucumbu aroma surga tapi ah, kenapa selendang itu begitu halangi pandang? 3/ sungguh, sudah ada yang terkulai sebelum jalar desah nafas berkibar di seluruh dinding kamar pada cawat malam yang hampir terlukar aku terbakar ingin yang tak kelar

kepada seorang penyanyi rock

di balik panggung aku pikir ada malaikat berjubah hitam bertanya padanya rasa seteguk anggur : "kau sering mencecapnya, bukan?" dengan suara serak, kau bicara tentang semangat dan ribuan orang mengamuk lantaran tidak punya tiket masuk tapi sepertinya, ini malam sangat biasa hanya ada embun sebelum hujan turun di atas panggung, sesuatu telah terkurung mungkin sebutir anggur yang turun dari surga

kepada seorang penyanyi dangdut

sepertinya Tuhan tiupkan ruhmu dari kelopak tangan hingga tak sanggup lagi irama melawan indahnya tarian lalu tabla jadi hentakan kaki tak lupa seruling liukkan pinggul semenjak panggung didirikan ada yang hilang dari tatapanku mungkin tersesat di rumah seseorang

sajak sebuah selimut

dari balik selimut tua tiba-tiba sajak itu tersingkap selepas tidur, sebelum bangun dia telah setia menyelimutiku hindarkan tubuh dari dingin subuh tapi aku masih penuh gigil entah karena usianya yang menahun atau punggungnya tak lagi utuh tak cekatan lagi dia tangkap dingin bahkan sering gagal tangkup kehangatan tapi kata kata akan tanpa makna jika sajak pergi begitu saja segera kurapikan tidur juga melipat mimpi dan akan kuselimuti sajak itu

kutemukan sepi saat musim berbunga

oh, musim berbunga di mana kan kutemui sepi? sedang di sini lebah dan kumbang belalang dan kupu kupu riuh beterbangan di gersang ladang, telah kutinggal sebuah sajak tunas semanggi berdaun empat katamu : "ah, itu keberuntungan semata" lalu kau terbang entah bersama lebah, kumbang belalang atau kupu kupu pikirku : "dan bunga tak lagi bersenandung" di ladang ini, kutemani tunas semanggi dan seperti kau pernah berjanji "keberuntungan tak datang setiap kali"

sajak di ladang

1/ seperti juga rindumu, pucuk pucuk bernafas angin sedang sepatuku masih bertemali ragu jika cintamu begitu, daun pun melayang ke bumi tapi arti perjalanan ini belum kutemui 2/ maka di langit janji kutabur rupa benih yang disemai di ladang kita dan jika pada suatu musim terpetik berita aku akan pulang untuk menjemputnya

kembang kertas

Image
duh, kembang kertas rindu siapa t'lah meretas? esok seperti hari yang lari di mana sunyi lahir sendiri

bunga bakung

Image
sesederhana bunga bakung aku memelukmu dalam rindu di bawah langit mendung biar hanya kita yang menjadi debu

lily casablanca

Image
1/ lelaki bermata basah perempuan berwangi resah mendekap hari yang paling lelah 2/ oh, di dada ini ada yang meletup! sebab wangimu melesak begitu dalam dan paru paruku begitu kuncup di dekatmu, aku serupa bayang kelam 3/ gaun perempuan itu masih putih sedang wangi tubuhnya resah di sebelahnya, mata lelaki itu basah pandangnya menghujam ke bumi

bunga ilalang

1/ ah, andai sajakku terdampar di sisi lembah akan kukenali kau, bunga ilalang sebab dalam perjalanan panjang selalu ada kata singgah 2/ anganmu terlalu ingin taklukkan angin hingga arah berdesah pasrah dan sajak ini mungkin terlalu lemah tuk hangatkanmu di hari dingin 3/ di sisi lembah yang sunyi cuaca dingin paksaku bernyanyi lagu tentang bunga ilalang yang lama t'lah menghilang : di manakah dia singgah ?

kamboja

1/ tak pernah musim begitu mendung ketika sajak luruhkan murung jatuh ia sebagai gerimis kuburkan sisa sisa tangis 2/ di pekuburan tanpa nama di kuncupmu sajak berbunga di dada ini masih ada kata 3/ kamboja di ujung senja siapa terkubur sia sia? sebab malam nanti sajakku akan terkubur di sini

Penyair Bulan Desember : Emily Dickinson

Berikut ini adalah biografi Emily Dickinson yang saya temukan di sebuah situs online-literature. Emily Dickinson saya pilih sebagai penyair bulan Desember karena dia lahir di bulan Desember. Di samping itu, banyak penyair Indonesia yang mengakui terpengaruh oleh kepenyairannya. Dia dianggap sebagai penyair Amerika yang paling berpengaruh pada abad ke-19. Dia banyak menggunakan baris tak berima. Menggunakan tanda penghubung yang tak umum. Juga huruf-huruf kapital yang menurut orang banyak tidak pada tempatnya. Tetapi dia sangat kreatif dalam hal penggunaan metafora dan gayanya sangat inovatif. Dia wanita yang sangat sensitif. Mengeksplor secara kejiwaan spiritualitasnya. Bahkan puisinya terasa sangat personal. Dia kagum dengan karya John Keats dan Elizabeth Barrett Browning, tetapi menghindari gaya berbunga-bunga dan romantis. Selama hidupnya dia menciptakan puisi yang murni dan mengandung imaji-imaji, bersamaan itu dia menggunakan kata dengan sangat cerdas dan mengandung ironi

dan malam pun sempurna

ular melacak panas di udara sebelum didapatnya mangsa ini saat lelaki merintih tersebab luka yang perih perempuannya lebih ingin mendekap malam yang dingin dan malam pun sempurna seperti ular menelan mangsa seorang lelaki tanpa nama merupa hampa di rongga dada ah, itu perempuan mendesis!

pedas di ujung lidah

seperti sudah diduga, air mata perempuan itu jatuh ke pasir bukit sejak semalam telah disandangnya rasa sakit di seberang gunung, lelaki yang sangat dikenalnya gelisah seekor ular mendesis di sebelahnya seperti ada pedas di ujung lidah pesta buah berlangsung di saat yang salah mereka tercerai mencari penawar tulah

dendam ular

mata itu selalu terbuka meski di dalam liang tanah sehabis berburu tikus seekor ular merapal mantra ada yang tak akan dikatakan sebelum empat puluh hari lamanya dia ingin lanjutkan tidurnya di dunia yang lebih hitam daripada dendam

kamus seekor ular

dia begitu setia mencatat celah ketaksetiaan guratan guratan ingkar api di pohon itu "suatu saat, pintu ini takkan tertutup rapat" gumamnya memandang ranumnya buah lelaki itu pergi ke ladang menanam pisang, mengusir babi hutan perempuan tidur memeluk selimut kesepian lalu entah dari mana asalnya rasa haus itu ke arah yang sama mereka menuju "mungkin ini saat membuka diri" ular bergumam, sebutir buah ranum sudah mereka genggam api melingkar lingkar di pintu tak tertuju ular itu entah kemana berlalu

embun ini tak lagi sunyi

1/ embun ini tak lagi sunyi ada ratapan di tiap helai daun tersisa di kabut senja hari ini, angin merana 2/ bisu pun tuntas membeku angin telah berhenti menyapa sesuatu luruh sebelum musim berganti 3/ inilah musim tanpa angin di mana lelaki pergi dan wanita menanti pohon pohon lagukan sunyi embun pagi membeku sendiri

peri mimpi

setiap malam, peri mimpi datang di balik selimut mengajakku pergi ke negeri negeri jauh dikenalkannya padaku senyum senyum manis dan mengulang celoteh terakhir yang paling berkesan sebelum tidur tetapi kadang dia jahat juga diajaknya monster monster menyeramkan untuk main kejar kejaran juga smack down aku pun ketakutan dan jadi ingin pipis untunglah ibu sangat baik biasanya sebelum tidur aku diminta pipis terlebih dahulu dan juga berdoa agar peri mimpi tidak terlalu usil

nama yang diam

(kolaborasi puisi dedy tri riyadi dan pakcik ahmad) ada tiga ratus enam puluh makna diam di sekeliling nama itu empat kali langit berputar bertukar sunyi di antara aksaranya lalu simpuhku menjadi debu dan angin menerbangkannya ke lempung berbentuk bejana dengan yakin yang sungguh, aku mendengar keluh "Siapa yang tak patuh?" bibirku jatuh menuai derak yang terdengar bernada rapi satu satu bulurindu menjelma dalam wujud malaikat tanpa sayap daya sebesar buana pun melontarkannya mengawang jiwa kelana tak ingin singgah, tapi ada yang membuatku harus pasrah kukutip satu persatu tanggalan masa pada bulu bunga ilalang sepertinya ketetapan sudah menjadi jerat bagi hasrat yang hilang o diam, o bungkam, kelukan aku

hikayat seorang lelaki

dia seorang wanita yang menanti karena sepi dipukulnya ranting pohon itu pohon yang dijanjikan untuk tidak dijamah seekor ular mendesah pelan "kenapa kau bangunkan tidur panjangku?" dia butuh seorang teman yang bisa diajak bercakap-cakap tentang keindahan ular lalu bercerita hikayat seseorang yang sangat dikenalnya tapi wanita itu teramat bosan tak sengaja tangannya menyentuh sebentuk buah ular memekik "apakah itu hatimu?" pada seseorang yang tak dicarinya wanita itu membuka telapak "kamu mau?"

dewi malam

tak pernah lengkap catatanku tentang dewi malam yang kuingat adalah kecupan ibu, dongeng yang tak kunjung tuntas, dan teriakan "goool" milik bapak. dari mulut penjaga sekolah yang terkantuk yang kudengar tentangnya hanyalah suara kodok, derik jangkrik, dan ratapan musang kekenyangan. jika nanti aku bertemu dewi bulan akan kudongengkan kisah penjaga sekolah tapi yang pasti aku akan berteriak sekeras-kerasnya melebihi teriakan bapak.

Tuan Matahari

:HAH Tuan Matahari, demikian kusebut teman bermainku setiap pulang sekolah diajaknya aku membuat bayangan Namun Ibu selalu mengingatkanku untuk segera tidur siang dia tidak ingin kulit anaknya menjadi hitam Aku jadi ingin bertanya pada Tuan Matahari adakah seseorang yang bersembunyi di balik punggungnya dan bersiap dengan cat hitam di tangan untuk melumuri kulitku

bersandar

tak usah saja ada jendela terpasang di dinding gerbong sebab tak seorang pun dari kami ingin melukis pemandangan juga bangku bangku itu tidak perlu, toh duduk dan tidur kami selalu beralaskan koran bekas di sepanjang lorong gerbong kami akui dalam perjalanan ini ada yang sibuk sorongkan karcis untuk dilubangi atau bahkan banyak yang menghindar dari kondektur tak ada yang sempat nikmati warna langit dan hembus udara sebab lelah ini lekat benar di punggung kami dan tak pernah bisa bersandar