Posts

Showing posts from March, 2015

Berjalan di Atas Tali

Jika hidup adalah simpulan, aku belajar berjalan di atas tali. Belajar agar tak terjatuh dan mati. Berjalan sampai pada batas diri. Di mana kesabaran menjadi dan terburu-buru sudah pasti berakibat buruk bagiku. Pada ketinggian, kutemukan betapa angin jadi musuh sejati. Seolah hewan buas siap menerkam, atau percakapan tentang kesombongan: Ini tempat di mana orang-orang ingin bersembunyi. Merasa paling sepi sendiri. Merasa tak ada lawan sebanding untuk bertanding. Tapi kurasakan jeri menyeludup dipagut sepi – bagaimana bisa kulawan diri sendiri? Jika hidup adalah simpulan, aku menutup mata dan menenangkan diri: membayangkan akulah tali yang terentang dan hiduplah yang tengah berjalan di atasku. Sekarang ini. 2015

Tamu

Keputusan yang kuambil adalah menunggu ketika sesuatu seolah bergerak ke kanan, lalu berhenti dalam kabut. Aku belum melihatmu, karena ada yang mesti kuperhatikan sebab diam-diam dia merangkak pelan keluar dari cangkangnya, lalu beringsut. Dia ingin menyentuhku. Menyalurkan yang dingin dan lembab itu. Air mata kususut   dari pikiranku. Sekarang ini adalah waktu untuk lebih memperhatikan diri dengan sebaik-baiknya. Mematut sepantasnya untuk bisa disebut aku lebih dari sekadar penyintas. Ayo! Berkemas dan membuka pikiran seluas-luasnya. Cinta tak diam begitu. Rindu mesti dihidangkan juga dalam percakapan, sikap dan kegemasan. Puisi adalah tamu yang berdiri di depan pintu. Tak kelihatan tapi seiring siapnya aku, dia tuntas untuk dituliskan. Hutang yang dibayar lunas. 2015

Petani Sedang Bercerita

 Kotamu sudah dijatuhkan pada lembar-lembar lantai keramik, seperti basah jejak lendir tiga ekor siput - baik yang pertama maupun yang terakhir. Segala kenangan dideretkan begitu apik: buah dari ladang diselingi burung dari padang. Raya kultura yang sudah lama diserobot mesin-mesin pabrik. Aku pengukur yang baik. Menjengkal jalan-jalan di kota ini dengan mata tertunduk. Seolah bahasaku tak laik dipercakapkan ramai. Meski kukenali setiap nat berwarna biru gelap itu di antara coklat dan sepia di trotoar yang sepi. Sesekali, aku seperti mendengar ada petani sedang bercerita: warna yang sama dengan kotak nat itu adalah bunga yang selalu menarik perhatian burung-burung pencari sari, sebuah luka yang tak kunjung mendapat remedi. 2015

Pelajaran Membungkuk

Aku membungkuk di hadapanmu - untuk memberi kau keyakinan: di dunia ini, yang buruk sudah berlalu. Kau tinggal melangkah dengan tenang. Hati-hati, tetaplah lihat kiri-kanan, tataplah seolah semua hendak menyerang. Dan tak memberimu kesempatan untuk menghadang. Kau juga membungkuk kepadaku - semata-mata mengiyakan. Mematuhi apa yang kusarankan, juga memberiku semacam penghargaan - meski kau lebih tinggi, lebih bermakna dari aku yang cuma kata-kata ini, tapi kau muncul setelah aku, setelah nada di antara diam gigi, setelah dia jadi bunyi. Seperti suara murai di waktu pagi. Dan saat kita saling memberi hormat, aku melihat waktu berpaling, mengiringi apa yang kita lakukan: mengetuk sebidang kutukan: harga diri. 2015

Mengulang Pelajaran

Mengulang Pelajaran Di kursi ini, aku duduk bak pesakitan mengulang pelajaran yang kudapatkan dari hidup yang semestinya tidak rumit -- seperti sebuah benang ditambatkan dari satu ke lain botol, dan dua ekor siput beringsut di atasnya. Kau dan aku, pada satu saat, hanya akan terkejut: melihat bebungaan muncul dengan gaun dan warna yang berbeda. Di kursi ini, aku mengulang mengenang, seperti mengartikan tatapan seekor anjing. Rasa setia kawan yang rumit -- antara merajuk untuk ikut, atau mengingkari setiap perintah: berbaring, duduk, beri salam, atau tangkap bola itu!  Tapi - sebagai mana kau tahu - kenangan adalah bola liar. Dia memantul dari setiap peristiwa dan kadang semua suasana mandul dan tak menyisakan apa-apa kecuali penyesalan. Seperti pada selembar tisu, sisa tangisku, dan di kursi ini -- lelah menunggu, bercampur jadi semacam risalah pengajaran: Di sini, dalam hidup ini, selalu saja ada siswa yang harus dua kali belajar tentang arti sabar yang sejati. 2015

Hidup Hanya

Hidup Hanya Hidup hanya berjaga dan sebentar kemudian mengantuk. Hidup hanya bersetia dan mencari cara agar tidak mabuk. Hidup hanya mengantar kepergian setelah memintanya duduk. Hidup hanya membuka pintu pagar lalu sibuk mencari: siapa hendak masuk. 2015

Berjalan di Atas Telaga

Berjalan di Atas Telaga Rindukah yang tepercik pada langkah-langkah kita? Ricik rancak di atas telaga -- abu-abu kabut yang sampai kapan pun tak bisa kau rebut. Berjalanlah kau di depan atau di belakangku - sama saja ini perjalanan tangan mengacung, menunjuk, menjumput -- yang sia-sia. Dan selalu ada yang membayangi kita memadupadankan gerakan -- seperti pada cermin air sampai kita semua seolah mencair sampai kita pada perpisahan yang tak henti-hentinya kau sebut sejak perjalanan ini dimulai dengan gerak amat gemulai. 2015

Pada Akhirnya

Pada akhirnya hanya ada arus, dingin batu-batu dan tepi sungai yang menggigilkan kenangan. Tak lagi kau temukan akhir rasa haus, langkah yang malu-malu, dan andai yang dipikirkan sebelum menyeberang sungai deras ini. Bisa saja kau bayangkan segerombolan gajah, atau rantai manusia sambung-menyambung memberi rasa aman. Atau setidaknya ada sesuatu yang bisa kau pegang. Pucuk atau sejumput rerimbunan. Bisa juga harapan. Bahwa hidup adalah keberanian, sedikit rasa takut, dan perasaan yang mengambang di antaranya. Pada akhirnya hanya ada awan, sedengung nada riang dan sungai yang terus menerus mengabarkan: hidup hanya sekadar laluan. 2015

Kemenangan Tupai

Kemenanganku bukan melompat dari satu dahan ke dahan lain dengan sekali gerakan, bukan pula karena sampai di sebuah paku setelah melewati benang terentang. Kemenanganku lebih memukau dari betapa diam paruh burung setelah dia mematuk beberapa butir buah merah. Aku menduga mereka bahkan iri pada apa yang kupeluk dengan kedua tangan mungilku ini. Kemenangan yang aku raih melebihi waktu meniti sisi dunia, bahkan lebih dari betapa mudah siput melenggang di atas benang dan papan. Segala yang ada bagiku tak ada guna. Sebab ada sesuatu yang manis bakal kuhisap sendiri. Yang kulitnya kukoyak dengan geligiku, tetapi dagingnya begitu segar terasa di lidah. Kemenanganku adalah menenangkan apa yang bergejolak dalam diri. Rasa jerih dari kekalahan telak. dari lapar ini. 2015