Posts

Showing posts from January, 2011

Semacam Pelukan Perpisahan

Sudah saatnya kita tak perlu banyak bicara, biarkanlah lambung perahu mengoyak bayang bulan di atas danau. Kita dengarkan saja kukuk burung hantu dalam diam. Agar bunyinya masuk dada, mencengkeram dan membawa pergi kesepian. Sudah waktunya aku dan kamu lebih banyak menunggu, mana jatuh lebih dulu: sebuah bintang atau selembar daun. Sambil kita pandang daun-daun cemara yang seolah saling sapa dengan angin. Lalu kita saling menduga: pesan apakah tak tersampaikan oleh sepi yang tak mau pergi? Sampai akhirnya kita mengerti: Ini malam semacam pelukan perpisahan. Di balik segala yang kelihatan tenang, adalah hujan yang tiba-tiba datang. 2011

Tentang Lirik Lagu Indonesia - Mengapa Menjajah Telinga Rakyat Sendiri?

Dulu, seorang teman berbeda kelas saat SMA datang ke rumah saya. Niatnya cuma satu: meminjam kaset (waktu itu belum ada CD) lagu-lagu yang sering saya nyanyikan ketika latihan band. Dia terbengong-bengong mengetahui bahwa tidak satu pun saya miliki lagu-lagu tersebut. Saya menghafal liriknya via radio dan 'ngulik sendiri chordnya meskipun tidak benar-benar ahli. Yang penting 'pas' dengan suara saya. Waktu itu, yang digandrungi oleh anak-anak seumur saya adalah lagu-lagu dari Guns N Roses, White Snake, Poison, dan lain-lain yang bisa digolongkan Rock Ballads. Saya tidak bangga dengan kenyataan itu, selain soal chord yang tidak sesuai aslinya, lirik yang saya dendangkan pun sering keliru. Saat itu hal semacam itu tidak menjadi soal -- toh manggung pun hanya di depan teman-teman yang nilai bahasa Inggrisnya pun didapat dari contek kanan-kiri saat ulangan. Penilaian saya terhadap lagu bukanlah dari musiknya saja. Saya termasuk pecinta musik dari dangdut, jazz, pop, keroncong, b

Ang Pao

Rasanya, aku harus menyerah pada sekumpulan gelisah kanak-kanak pemburu amplop merah. Barangkali, ini hanya semacam rasa gerah, karena di ujung tahun biasanya hujan dan panas saling berganti mengunjungimu. Toh, tak ada petugas resmi yang bisa memastikan yang bakal aku terima hanya hadiah atau sesuatu yang bisa disebut sebagai gaji ke empatbelas Biasanya, aku tak gampang memandang pemberian sebagai satu bentuk lain dari ikatan. Tapi ini awal tahun, dan kau harus punya pegangan - begitulah caramu merayu Akhirnya, kuputuskan menjadi sekumpulan kanak-kanak yang bergegas menembus sisi kantungmu. Dan mulai menghitung aneka lambang dan pepatah: Segalanya akan terang, segalanya akan cerah, asal, kau tak pernah melupakan sejarah. 2011

Lampion

Sebelum petasan dan lilin-lilin dinyalakan, akulah arwah Sang Tualang. Kelabu dan pucat seperti akhir tahun yang basah dan berkabut. Bersama percik pertama pada sumbu lampu dan lentera, ada semacam anak tangga yang digelar begitu merah dan dapat dipercaya. Dan saat kau tertawa – setengah terkejut, aku berpegang pada cahaya. Meninggalkan jejak sesamar asap lilin dan sisa petasan. Ah, tahun berganti. Tapi anak-anak tangga ini tak pernah beranjak. Dan perjalananku, hanyalah menyoal rasa percaya tentang cahaya, tentang warna-warna, dan hal-hal yang berkelindan daripada mereka. 2011

Tang Yuen

Kau & aku : Sederhana adanya, seperti kue onde bulat sempurna. Tak pandai merawat rahasia. Dalam setiap percakapan, kau tak pernah mau menduga arah percakapan dan aku tak ingin tahu maksud dari kedatanganmu. Hanya kita sepakat: Sebelum malam usai, tak boleh ada yang bercerai. Dan di bawah terang bulan, tak boleh ada yang diabaikan. Ah, betapa bulan serupa potongan kue terakhir, sebelum lenyap di balik bibirmu itu. Dan yang kuingat, ada rasa manis tergantikan dengan cepat oleh seteguk anggur tua. 2011

Yee Sang

Dari sungai, gairahmu tak ujung usai. Serupa jala mengepung cahaya. Aku: seekor rama-rama buta. Sembunyi di balik sayap bulu merah tua. Tentu saja, air adalah hal yang harus kuhindari. Aku takut kusut. Terlebih takut hanyut. Dalam sepinggan kuah asam-manis, kau tawarkan cerita-cerita musim semi : padang rumput dan bunga peoni Tapi, inilah aku, lembar daun caisim. Serupa lipit gaun yang kaujaga Dalam dudukmu itu. 2011

Nian Gao

Semakin ke atas, kau merasa semakin dekat dengan bulan. Semakin jelas pemandangan ke arah bukit. Baik ke arah puncak maupun lembah. Dengan tubuhmu yang coklat dan berat, kau bawa aroma daging dan sayur dari meja-meja persembahan. Seperti mengusung begitu banyak doa, kau lebih banyak terdiam sepanjang jalan. Sedang aku terlalu suka memandang keningmu yang berkilat-kilat kena lampu. Adalah kita: sepiring semangkuk. Selengkap hidangan pesta semalam suntuk. Hendak membakar puncak-puncak yang diliput kabut. 2011

Cia Cai

Di hari ke tiga belas, kita kosongkan rumah, beriringan tamasya ke kebun dan taman. Rumah sudah sesak dengan gairah, sedang jalanan selalu penuh petasan. Sementara kita bukan lagi kanak-kanak atau seorang tua yang sakit tergeletak tak bisa bergerak. Maka di hari ke tiga belas, kita pergi ke kebun dan taman melihat tetumbuhan. Mengosongkan rongga tubuh dan mengisinya dengan bau-bau bunga, daun dan akar yang disentuh tangan-tangan hujan. Ada baiknya, setahun sekali, kita jadi pemuda yang berharap bertemu kekasih pujaan secara diam-diam, dengan alasan acara sembahyang terlalu lama dan terasa membosankan. 2011

Chuxi

Seberkas sinar bulan memangkas rambutmu, Sayang Kulihat sesuatu berkilauan mirip keping uang logam. Berjatuhan dari kepang yang legam. Aku hanya memotong hutang-hutangku, Sayang Tak lebih, tak kurang. Sebab ini malam harus tuntas, agar selewat sembahyang, tak ada lagi yang terbayang. 2011

Fu Dao

Kertas-kertas merah adalah ajakan untuk berbahagia, begitulah kau menyambutku di depan pintu. Aku mampir untuk mengucap selamat datang, menyimpan pedang dan baju zirah tanpa noda darah. Sejak dari halaman, sudah kudengar kau akan menggenapi sebuah janji: pesta kembang api. Sayangnya, aku tak bermalam di sini. Lewat tengah malam, bersama bunga Mei yang mulai mekar, aku teruskan perjalanan. Ini bukan bai pao, katamu menyerahkan sejumlah catatan, tetapi mudah-mudahan cukup agar kau tetap hidup paling tidak sampai Sin Cia mendatang. 2011

Kim Kit

Kau tak menginginkan perbedaan, dalam piring yang tersanding bersama bebatang hio itu, kau kumpulkan mereka yang tak pernah lebih besar dari sebutir bola pingpong. Kuning semua. Tetapi kau berdoa agar kami semua bersemarak, bersama-gerak. Membungkuk tiga kali sebelum sebuah pesta arak berbumbu percakapan tentang harapan dan segala yang belum diselesaikan. Seperti merencanakan pembunuhan, kau bercerita tentang Nien yang lapar sambil membuka pintu dan jendela lebar-lebar. Aku merasa sebagai mangsa yang siap ditelan dari segala rongga. Siap mengucurkan darah paling bersejarah. Kuambil waktuku sendiri untuk berdoa. Di depan mereka yang membulat sepakat dalam piring, diam-diam kuputuskan untuk mengakhiri ketakutan itu. Bersama wangi hio, ada kelebat warna yang tiba-tiba pupus. Ada pula terhidu aroma kulit jeruk yang hendak membuatku mabuk. 2011

Pacar di Hari Minggu

: Joko Pinurbo Di hari minggu yang biru, Pacar berjalan-jalan dengan gaun kelabu ke arah pasar yang semakin disesaki oleh sepi. "Siapa tahu, di sana bisa bertemu penjual mimpi." Kau baru saja membersihkan becakmu dari debu malam. Sebagian pindah dan betah di rambutmu, menjadi uban. "Mudah-mudahan, Pacar tak bosan memandang." Di pintu pasar, Pacar dan kaupun bertemu. "Sudah kukatakan, jangan temui aku di tempat seperti ini." Pacar sepertinya mengerti. Dengan becak kesayanganmu, Pacar melaju di hari Minggu. "Jangan kau susul aku!" Kulihat kau pun kembali tertidur, sambil berucap, "Selamat tinggal sepi. Selamat datang mimpi." 2010

Lamaran

Berbekal cincin emas 5 gram milik Ibunda, kau berangkat melamar Pacar. Menyitir penyair Chairil, kau berkata padaku, "Kalau sampai waktuku, ku mau tak seorang pun merayu." Padahal, aku hanya meminta kau memarkir becakmu dengan benar. Tidak melintang di tengah trotoar. Di depan rumah Pacar, kau berlutut dan berserah, dan lagi-lagi mencuplik selarik sajak. Kali ini milik Sapardi, "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.." Tapi Pacar malah tertawa. "Ada-ada saja," tukasnya. Di bawah pohon kamboja, Pacar mengajukan satu permintaan: pernikahannya harus dilaksanakan di depan makam Ibunda. Kau pun terguguk dalam bisu. Bagaimana bisa, Ibunda masih sehat sentosa. Di beranda, jari manis Ibunda menunggu cincin 5 gram yang dikira hilang. Ketika kau pulang dan bercerita tentang lamaranmu yang gagal, Ibunda terpingkal-pingkal. Kau pun terkejut mendengar Ibunda berucap mirip larik terakhir sajak Joko Pinurbo; "Dengan kata lain, kau tak akan pernah bisa menikahi Paca