Posts

Showing posts from February, 2016

Kisah Sedih di Pagi Hari

Dia terjaga seperti mendengar bom meledak di tengah kota yang dijagainya dengan dada. Dia mendengar sepi hancur terberai di langit selatan, sebelum sempat dia bangkit dari ranjang. Ketika kakinya menyentuh lantai, dia lihat tubuhnya telah jatuh. Telentang mengambang. Dia dengar orang memanggil nama gadisnya, (entah Fatma atau Ophelia -- yang berarti dia yang tumbuh dan mati di telaga) tapi dia sendiri ragu -- itukah namaku? Lalu dia meraba wajahnya. Hanya dingin dan angin. Hal yang membuatnya ingin segera becermin. Di depan cermin, dia melihat lagi retak itu. Serpih masa lalu. Yang selalu dia sembunyikan di bawah bantal. Yang pagi tadi berbunyi seperti suara kematian. 2016

Lagu Padang

Sebagai warna berpendar dia berlari seolah ada yang mengejar. Dia tak mencoba berhenti atau mengerti, yang hitam itu masa silam atau bayangan ketakutan. Sebagai mata dia bersekutu dengan cahaya agar kau bisa merasa ada waktu untuk mengutuk, dan ada masa meraba suatu bentuk tak biasa. Seperti datangnya dukana. Seperti sebuah petang dan seseorang segera menyalakan lampu di beranda. Sebagai manusia, dia kanak yang beranjak dewasa, dan menginginkan perjalanan tanpa ada seorang hirau bahkan abai -- adakah yang telah dia capai? 2016

Lucid Dream

Mari menyusun pelarian, katanya. Kau segera melupakan hijau pada danau, putih cahaya, dan sebuah dunia. Dia ingin menggamitmu, begitu pikiranmu. Segera kau buka pelukan, dan menyiapkan kehangatan segar baginya. Dia berdiri dan berlari di sisimu. Tak menjauh, tak mendekat. Sama-sama menuju kerisauan. Kau mengikuti tanpa henti. Melebarkan jarak dan kenangan. Meliarkan harapan akan masa depan. Mari menuruti kehampaan pikiran, ajaknya. Kau setuju. Segera kau serahkan seluruh badan. Dan di permukaan danau, kisah paling resah dipalungkan agar yang jernih bisa dibawa pulang. 2016

Pejuang

Dia datang kepadamu dengan muka hancur. Masa lalu dari sebuah medan tempur. Dia memberimu kabar: bendera, harapan yang menyala, harus terus dikibarkan. Dikobarkan. Dan luka, peradaban yang belum sempurna, harus dibebat obat penawar. Agar tak ada keluh terdengar. Jika kau bertanya, "Bagaimana masa depanku?" Dia akan memberimu peluru, "silakan maju bertempur dulu." Jika kau mengeluh, "Ah, sepertinya perjuanganmu tak berhasil dulu!" Dia tertawa,"Kau belum pernah terluka?" Di lehernya, terlipat (seperti kau lihat) selembar kain putih. Dan kau mengerti benar -- ada yang dia ikat dan tak akan pernah dia kabarkan kepadamu. 2016

Seri Puisi : Kau Kuasai Kanvasku

Impasto : Tasfrir & Zetsal Menaiki gurun, menakik bukit dan gunung, mencari arti dari yang arkaik, seperti membangkitkan cahaya melalui sebuah warna. Maka, dengan kuas tumpul, dia coba perbaiki nasib – retak tulang dengkul. Dikuatkan tangan dan iman pada setiap goresan. Doa – jika itu sebutannya – serabut semata, dicampur untuk menghasilkan dugaan (-- tepatnya harapan, tapi dia biarkan demikian) dan beginilah yang terjadi: yang hancur hanya pulasan tipis-tipis -- ujung kuas rambut kuda selencir, yang berpendar curahan besar -- semarak warna dasar, yang tegas, yang membayang -- arsiran kuas bambu jepang. Dan terjadilah ruang percakapan panjang – masa lalu & sekarang, dan sebuah perenungan yang tak kunjung kalis dari hari pertama dalam kitab genesis. 2016

Seri Puisi: Kau Kuasai Kanvasku

Exquisite Corpse #4 Malam putih dengan rembulan merah. Pucuk-pucuk pinus seperti tergantung dan tak ingin ditegakkan lagi. Dalam kabut hanya ada doa mengambang seperti tangga gerimis. Kau rapatkan mantel dan mendekat ke altar kapel. Seolah dunia hanya bayangan yang jatuh tersimpuh di lorongnya. Kau buru bara kesepian itu dengan janjinya : Percayalah pada terang itu... Tapi malam makin putih dan rembulan merah tegak di atas pucuk-pucuk pinus yang tergantung, dan doa berkabut. Hanya kau dengar kata 'amin' mengamankan kesepian itu lekat di leher mantelmu yang kau katupkan rapat-rapat. Di luar kapel, gerimis kian pekat. 2016 Exquisite Corpse #4 White night with a red moon. Tops of the pine seems hanging and didn't want to erected again. There's in the fog a prayer floating like a ladder of drizzle. You close the overcoat and approach to the chapel's altar. Like the world only a shadow that fell and knell in the aisle. You rush the embers of

Seri Puisi: Kau Kuasai Kanvasku

Exquisite Corpse #3 Waktu akan runtuh dan keabadian berpenuh. Setiap mata akan selalu pejam, segala badan menemu redam, tapi jiwa tak kunjung temaram. Dia terus menunggu sisik ular itu kembali jadi kulit khuldi Meski mustahil. Meski sampai padam gemintang, dan pasir jadi tiang garam. Cinta, pisau berkarat itu, tetap diasah hingga berkilat, katanya. Sampai luput segala kabut, yang remang, yang gelap, seperti tertusuk dan terbelah dan membuka seluruh pintu juga jendela. Menampakkan rahasia paling purba : paruh gagak di tanah pengembaraan. 2016 Exquisite Corpse #3 Time will fall and eternity get its fulfillment. Every eye will always be closed, every body will be crushed, but the soul will never dim. She kept waiting that snake's scales turning back into the skin of eternity. Even it's impossible. Even though all stars extinguished and sands turn into pillar of salt. Love, that rusty blade, honed to keep shiny, she said. Up to

Seri Puisi: Kau Kuasai Kanvasku

Exquisite Corpse #2 Tuhan, jeritmu, Penjahit Sempurna. Dunia adalah kolase kain perca. Penuh corak & warna. Di tubuhnya, kau tak henti berdarmawisata -- mengendarai usia. Mempelajari yang tak ada  dan yang tak terhingga. Cinta - jelujur benang itu - harus jadi garis dan tanda, katamu, supaya kau tak sering bertanya atau tersesat di dalamnya. Tapi, menurutnya, t ak akan ada doa tanpa ada yang terbuka untuk menerima -- karenanya, dia berikan tubuhnya untuk kau jadikannya  peta. Bukan semata kain perca. Meski kau cari juga potongan yang lain. Kekosongan-kekosongan itu. Dan kau cari juga penggenapan itu. Meski sekadar kain peluh di gerowong waktu. 2016 Exquisite Corpse #2 Lord, you cry, is the perfect tailor. The world is a patchwork collage. Full of shades and colors. Upon it, you never stop travelling -- driving ages. Learning nothings and infinite . Love - that baste of thread  - should be the line and the sign

Seri Puisi : Kau Kuasai Kanvasku

Exquisite Corpse #1 Bagimu, dirinya adalah peta. Baginya, kau tubuh semata. Waktu jadi perjalanan tak hingga, tak ke mana-mana, tapi tak di situ-situ juga. Di tubuhmu, dia bicara angka: gula darah 124, kolesterol 75, Dan dalam setiap jaraknya, kau bertanya: "Bagaimana dengan cuaca?" Tak ada gerimis atau salju di bahunya. Tapi kau cemas dan ragu menjalaninya. Dia memecahkan tubuhnya jadi empat, dan kau adalah yang ke lima. Agar sempurna tanganmu menjelajahinya. 2016 Exquisite Corpse #1 To you, she was the map. To her, you are the only body. Time was everlasting journey, going anywhere, but it was not around. On your body, she talks numbers; blood sugar 124, cholesterol 75, and in every distance, you always ask; what about the weather? There was no rain nor snow upon her shoulder. But you worry and doubts to through on it. Yours is fifth, for she splits her body into four. To makes perfect your hand to explore. 2016

Seri Puisi : Kau Kuasai Kanvasku

Pointilisme Meski titik, d ia zikir pasir.  Sebuah momentum t erbentuknya embun. Dia sikap tawadu' s ebutir debu. Seperti a khir tanpa garis atau lengkung. Dia juga awal sesuatu yang liris atau perpanjangan senandung. Dia t idak di atas meski  menolak di bawah. Di pusar atau di dahi, dia tetap berarti. Dia membentukmu, Sayang. Dia juga mengutukmu. Seperti cinta tanpa kecuali. Seperti rindu tak terperi. Jika kau menuntunnya, Kasih, dia membimbingmu mengenali alam terjauh, seperti kapal hilang sauh. Meski titik, dia kerlip bintang. Sebuah gumam berirama di angkasa raya. Dia sepicing mata bagi dunia. Sebuah mula tanpa pewahyuan dari surga. 2016 Pointilisme Even a dot, she is sand's prayer. A momentum of developing dew. She is humbleness of a dust. Like the end without any line nor curve She is also the beginning something lyrical or renewal humming. She is not at the top despite refusing get bellow. In the navel or on the forehead,

Seri Puisi : Kau Kuasai Kanvasku

Multicolor Technique Dia menaruh serangkum hijau pada mulutmu. Meletakkan kembali jingga pada dahi dan keningmu. Setelah berpikir lama, dia simpan kembali sejumput biru sebab dukamu tak perlu berwarna. Pada leher dan dadamu, dia seka berulangkali merah yang pasi. Isyarat bersedih di waktu pagi. Sebidang ungu disanding dekat bahu. Di rambutmu, bersilang kuning dan kelabu - seperti balon-balon tak meledak di tanganmu yang mungil. Karena kau tak bersuara, dia sapukan sedikit nila pada sisi kiri dan kananmu. Tambah juga toska jadi sebidang latar belakang. Dan setelah memercik putih sebagai pendar cahaya, dia menarik garis coklat tua yang tak pernah ada di udara. Dan ketika seluruh warna pelangi dihabiskan untuk menahbiskanmu, dia bisa menjadi bening -- bulir hujan itu. 2016 Multicolor Technique She put a group of greens into your mouth. Put again an orange on your forehead and your brow. After thinking a while, she kept a dash of blue since your sadness must be co

Seri Puisi : Kau Kuasai Kanvasku

Potret Diri Dia melukismu sebagai sesuatu yang tak bakal tua. Sebagai langit menyala. Sebagai tenung bagi teruna. Sebagai pohon dengan cabang sederhana. Sebagai rimbun dukana. Sebagai sungai dengan nafsu ke utara. Sebagai bisu yang bisa berbahagia. Dia mendudukkanmu di tengah sebagai menara. Sebagai kilat pedang di udara. Sebagai tahun-tahun berburu dan menderita. Sebagai apel busuk di sudut meja. Sebagai lidah terjulur cendekia. Sebagai bangsa berwarna tanpa senjata. Sebagai perahu di tepi dermaga. Dia selalu ingin membuatmu memesona. Sebagai sebuah tamasya. Sebagai kelinci di saku celana. Sebagai doa seorang hamba. Sebagai sembilan ekor koi di muka telaga. Sebagai langkah tertahan seorang perwira. Sebagai delapan kuda memercik ujung samudra. Dia membagi senyum dan pandanganmu ke segenap penjuru. Sebagai hasrat. Sebagai halus ujung kuas mendarat dan menyapu beragam warna. Sebagai tanda untuk dirinya -- suatu saat. Sebagai mukjizat. Sebagai sesuatu yang kerap membuatmu terperan

Dia yang Menolak Jadi Sejarah

Dia yang menolak jadi sejarah berdiri dan memeluk diri sendiri di tepi kolam. Mata dan rambutnya putih. Seperti cahaya telah lama merintih dan mukim di situ. Tidak ada kuning atau hijau pasi pada dinding suaranya. Hanya lembar-lembar hitam dan kering seperti habis dibakar. Usia adalah kata-kata yang telah lama jadi kupukupu atau ngengat. Setelah berahi, dia akan mati. Maka dia berdiri lama-lama sambil terus menutup mata. Punggung dan dadanya terbuka. Siap kau masuki kapan saja. Dia bukan pintu yang berderit itu. Dia yang menolak jadi sejarah bukan sebentuk patung. Dia hanya berdiri di tepi kolam dan memeluk diri sendiri. Bayangan di wajah kolam membelahnya jadi pecahan senja yang perlahan tiba. Antara hutan dan kabut itu, dia putih seperti musim yang kumal pada kaus kakimu. Dan dia tak pernah bosan meramal nasib buruk sepotong batuk yang lulus dari balik dadamu. Dari pelik masalahmu. 2016

Pemeluk Pohon Doa

Jubahmu terlalu hitam untuk sebuah siang yang terang, katanya sambil memeluk sebatang pohon ; mungkin kau baru pulang dari sebuah misa. Laut - sebagaimana hidup - tak pernah bisa tenang, tak seperti pohon. Meski tak berdaun, dia bisa lembut setelah dikupas kulitnya. Di sini, doa hanya buih, meski suara (lembut dan lirih) tak bersahutan, seperti gelombang. Lalu, kau menyela -- bukankah doa bisa tumbuh, bersayap penuh lalu meninggi ke langit itu? Doa - jawabnya - semurni teruna. Dia tak memegang senjata atau pena. Dia juga bukan kata-kata. Dia pelukan berahi seperti api. Dia rindu menjadi. Lalu, di siang ini, keduanya diam. Sebab di sini, doa hanya buih, tak bersahutan. Dan cahaya datang mengepung. Dan suara panggilan seperti limbung. Keduanya berpelukan. Tetap dalam diam. Jubahnya yang hitam berkibar. Berkibar seperti sebuah paparan cahaya. Keras dan kasar seperti kulit pohon. Pohon cahaya. 2016

Balada Tukang Kuda

Dia hampiri hamparan rerumput dengan sejumput niat -- meletakkan kiat melekat erat pada sebungkuk punggung. Punggung yang lama memanggungkan sejarah agung laskar penyerbu bermata lamur dari sebelah timur. Punggung yang ketika membungkuk, sedepa demi sedepa bangsa-bangsa bangkit dan takluk, dan mengira kutukan telah ditimpakan sejak besi-besi itu ditempa. Meski besi berupa sanggurdi dan ujung pelana, dia juga pedang dan cerana. Pada sisinya, dia merasa dunia jadi meja judi dan sebuah kekalahan pertama. Tapi dia bukan seorang dari Pandawa. Dia hanya tukang kuda. Pemelihara yang memicu sebuah pacuan dan penyedia pakan. Dan pada hamparan rerumput itu, dia berjalan. Dia berjalan seperti membawa susu untuk bayi dalam dirinya. Dunia, katanya, tak lebih dari dengus semata. Selebihnya gema. Karenanya dia berjalan, bukan berlari. Sebab dia membawa bayi dalam diri. Bayi yang belum bisa mengerti betapa bahaya ular yang menanti di dekat akar dan sumber air. Ular yang mengerti -- "O.