Balada Tukang Kuda

Dia hampiri
hamparan rerumput
dengan sejumput niat
-- meletakkan kiat melekat erat
pada sebungkuk punggung.
Punggung yang lama memanggungkan sejarah agung
laskar penyerbu bermata lamur dari sebelah timur.
Punggung yang ketika membungkuk,
sedepa demi sedepa bangsa-bangsa bangkit dan takluk,
dan mengira kutukan telah ditimpakan
sejak besi-besi itu ditempa.
Meski besi berupa sanggurdi dan ujung pelana,
dia juga pedang dan cerana.
Pada sisinya, dia merasa dunia jadi meja judi
dan sebuah kekalahan pertama.
Tapi dia bukan seorang dari Pandawa.
Dia hanya tukang kuda.
Pemelihara yang memicu sebuah pacuan
dan penyedia pakan. Dan pada hamparan rerumput itu,
dia berjalan.
Dia berjalan seperti membawa susu
untuk bayi dalam dirinya. Dunia, katanya,
tak lebih dari dengus semata.
Selebihnya gema.
Karenanya dia berjalan,
bukan berlari.
Sebab dia membawa bayi dalam diri.
Bayi yang belum bisa mengerti
betapa bahaya ular yang menanti
di dekat akar dan sumber air.
Ular yang mengerti -- "O. Betapa sukar bisa memberi..."
Dia berjalan di rerumputan
tidak seperti Gautama pada kuntum padma.
Dia akan berjalan sampai padam warna matahari.
Sampai semua kuda habis dipacu,
di bawah basuhan biru langit itu.
Langit yang terbuka serupa matanya.
Serupa pandang yang tak tamat ditumpahkan
pada sebuah padang, di mana dia temukan
-- dirinya seperti deru ladam
di dalam sebuah pacuan.
Dan dia dengar kembali
gemerincing itu.
2016

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung