Posts

Showing posts from November, 2013

Sebelas

Aku telah melihat yang retak. Aku juga telah menyaksikan yang purba. Waktu jadi samudra. Aku pelaut, berlayar di tengah kalut. Ikan-ikan gergasi bergigi tajam semacam kenangan yang diam-diam ingin menghabisi. Di punggungku, kota cita-cita. Ekor dan leherku menjulur pada cakrawala yang membujur. Kau, sekumpulan awan. Arah perjalanan yang ditimbulkan di atas penderitaan. Yang tubuhnya begitu utuh menyimpan hal-hal yang kuanggap abadi. Yang belum pernah aku alami. 2013

Sepuluh

Sepuluh Jika hidup adalah gelombang besar, akankah kau memilih berjaga di dermaga? Seperti dia, aku pun tak hendak dirayu Sebab mengucap seolah mengembus busa sabun yang mudah pecah di udara. Lebih baik jadi bintang laut Dia mati ketika laut surut saja. Aku tak mau mati sebagai ikan, lihatlah seekor kucing kuning menunggu. Tak juga aku hendak mematut diri dengan pakaian penari. Tapi aku akan bergembira seperti jarum jam di atas kamar mandi Dia tak menghitung berapa lama kau di dalam sana, dia hanya mencari makna atas angka-angka yang seperti umur bayi beranjak remaja. Jika hidup adalah gelombang besar, bangunkan aku segera. Jauhkan aku dari jendela. Bawalah ke luasan padang. Ke luasan kata-kata yang dihidang dari lautan dan ikan-ikan. 2013

Dua

Jangan kira aku berputus asa Kapal besar ini tak mungkin menjauh dari rengkuh gemawan badai itu. Masih tegak benteng dan dinding kota Tak ada yang retak atau mulai renta. Sedikit berkelit, jangan dipikir aku tak mau bertemu yang sulit. Hanya mencari cerah matahari, menemu lembah dan pohonan untuk tetirah. Pantang bagi pelaut berlayar ke laut surut Bagi penjaga tembok kota, setiap hari adalah berjaga. Jika gemawan dan kabut bergulung jadi badai, sangkakala kutiup agar seluruh kata bersiaga dan kau selamat di dalamnya. 2013

Satu

Pikiranku, kota tua hampir ambruk. Masa silam sebuah peluru. Lubang menganga yang nyaris tak ada, hanya ladang-ladang subur dan sungai dengan air beralur. Peristiwa-peristiwa seperti bendera di atas menara. Berkibar senantiasa. Hanya dengan mata terpejam, dinding batu yang dingin dan diam, aku bisa merasa tenang, meski angin menyapu awan dan menyisakan garis tipis bulan. Jikalau aku risau, hanya karena engkau. Pejalan yang tak sudi menjenguk. Kebisuan puncak menara di tengah luasan ladang. Mungkin kau takut berita perang. Mungkin juga kau tak sudi mendaki dingin dinding batu. Mungkin juga kau tak datang, karena sibuk menjadi petani. Memilih benih, mendugal ladang, mengalirkan air sungai, dan menunggu buah-buahan matang. Puisi bagi duniamu sendiri. 2013

Tujuh

Bendungan itu retak sudah Apa yang kurenung seolah cuma rumah kecil Lemah dan terpencil. Dan kesepian, ladang-ladang mungil, dikepung air. Ikan dan ubur-ubur adalah kenangan terkubur yang susah diusir. Bendungan itu retak, tapi tak ada banjir. Apa yang kupikir, sungai-sungai di padang pasir. Dan kesendirian, langit tak bertepi di sebuah panorama yang muskil. Dia tetap sangkil, seperti sebuah rumah mengambang di atas air. Pikiran dan perasaan penyair. 2013

Sepasang Patung

Kau boleh menyesal pada kata-kata yang gagal dalam sajak ini. Batu gompal bahan sepasang patung. Mereka berhadapan, seolah menyoal letusan gunung, atau petir sambung menyambung. Seperti kita berbincang tentang burung, juga hal yang mengipasi sebuah hubungan jadi dingin. Dan kita dicekam diam, meski berdiri berhadapan. Kau boleh menggugat kata-kata yang berloncatan dalam sajak ini. Batu dan lava dari letusan gunung. Kita sepasang patung dalam sajak ini, jika ada petir menyambar atau tahi burung jatuh, mana boleh kita merasa menyesal sepanjang kita berdiri berhadapan. 2013

Vertigo

Kau, para penari, berdiri dalam kebimbangan seutas tali. Gajah-gajah itu, seperti aku. Beradu ekor dengan belalai-belalainya memegang seutas tali, di tengah sungai. Pikiran dan perasaan adalah sekawanan gajah yang menyeberang. Bagaimana aku berpikir tentang keseimbangan? Hanya sekumpulan awan. Berupaya mengatasi imaji tentang para penari yang meniti seutas tali di tengah sungai yang dipegang belalai. Bisa juga tenang sungai yang menahan riaknya, pada sirkus di alam terbuka. 2013

Tetirah dalam Tiga Batang Paku di Dinding

Setelah membayangkan mengarung padang alang-alang, seekor capung mengambil waktu berhenti di paku pertama. Sayapnya terbentang seperti tengah berkata, "Aku tak ingin kau ganggu meski di bawah paku ke dua, bahumu lanjang dan matamu yang pejam kau tumpu pada sepasang lengan. Seolah baru datang kekasih dan belum sempat melepas sepatu." Dia juga seolah menantang pada kelinci di bawah paku ke tiga, "Kau tahu arti lucu? Dunia yang dipaksa tenang berhenti dari kejaran waktu!" Dunia yang tumbuh dari bayang-bayang penari yang tertidur itu. Dunia yang dibesarkan lidah panjang cicak berwarna abu-abu, yang hendak menerkamku. Sementara di meja sebidang, kau - kelinci belang - menatapku seolah aku ini pembawa kabar dari padang. Kabar yang ditunggu-tunggu, oleh penari yang tertidur tenang, dan akan menggerakkan telinga panjangmu hingga dia bangun dengan dada terguncang-guncang. 2013

Sedikit Menjauh dari Riuh

Aku tak akan malu-malu (semisal mengintip dari antara dua batang pohon cemara) tapi tak juga akan bergaya (membentang lengan, menekuk tungkai, pura-pura hendak menari) ketika keriuhan itu dimulai. Bagiku, menyandarkan punggung ke batang pohon, menyimpan lengan di balik punggung, memasang tampang bingung, lebih baik daripada menerus murung. Biarkan saja musik mengalun, kaki-kaki menghentak (kadang seolah saling menyepak), menyentak di selingkung telaga (kau tahu, di sana ada gunung, gerumbul pepohonan hijau tua- hijau muda, tanah coklat dengan bayang-bayang orang lalu lalang, dan air danau yang beriak pelan seperti dengkur pemabuk pada gelas ke lima). Aku tak akan malu-malu menyatakan (meski bicara lirih soal topi yang lucu, baju kedodoran, dan kumis yang bersambung jambang) betapa keliru menyatukan bunyi getar senar sitar dengan gitar, dan kegaduhan yang ditimbulkan para penari yang berdiri dan diam. Karena dengan sedikit menjauh dari riuh, aku mende

Satire dalam Dua Puluh Lima Gram Ceri Asam

Mungkin bosan mandi air garam, seekor camar membawa dua buah ceri di paruhnya. Mungkin terkejut atau heran, terbanglah tiga ekor kolibri di dekat mata. Mungkin cuma sampai enam, di atas selembar tisu, tangkai dan biji ceri dilekatkan. Memilih baju kuning tua, dengan pita merah di dada, duduk miring tak menghadap meja. Memikirkan bakal seperti apa bunga di jambangan, sementara tak penuh airnya. Dua puluh lima gram ceri asam, disebar begitu saja, di atas meja. Dunia - setidaknya dua jenis burung dan satu jenis tanaman, dan kau yang begitu belia - dirangkum dalam sebuah renung: dongeng apa yang bisa dimulakan dari laut dan berakhir pada sebuah kamar berwarna biru terung. 2013

Di Sungai Itu

: Ahmad Yulden Erwin Di sungai itu, mereka tidak mencari. Hanya berziarah sambil mengingat musim panen padi. Di sungai itu, mereka merasa sepi. Seperti habis kehilangan pematang di waktu pagi. Seolah ragu untuk berenang atau tenggelam, mereka dibasahkan rindu bahasa ikan. Dan angin lebih dulu menyentuh selembar daun waru, sebelum hijau senyum disebar pada sayap seekor burung, pada sebongkah batu. Mereka mengira di muara, di suatu senja ada yang terasa asin dan bercahaya. Di sungai itu, mereka menunggu berita yang dihanyutkan bangkai pemburu. Berita yang terdengar seperti metafora dari rasa kehilangan yang berarus dari dada. 2013

Menghadiri Misa

Tuhan, cepatlah masuk dan duduk di sebelahku. Sebentar lagi, pendeta akan berkotbah tentang kebaikanMu. 2013

Kalau Aku Menulis Sajak Tentang Ular

1/ Kalau aku menulis sajak tentang ular, jangan sekali pun kau berpikir - aku ingin jadi pendekar. Aku hanya ingin tidur melingkar, menekuk lututku sedekat dada, dan biar mimpi menelan seluruh pikiran liar dan membenamkannya sampai ke dasar sesuatu yang kau sebut naar di mana sampai hangus dan lebur dia dibakar. 2/ Konon ada sebuah pohon besar di tengah taman, di sana ular itu tidur dengan nyaman. Dia bermimpi sepasang insan datang dan meminta saran tentang kehidupan. Dia hanya mendesis pelan. Si perempuan ingin makan, Si lelaki itu sedang kasmaran. Ketika ditunjuk buah di dahan, Si lelaki segera mengambilkan. Ular itu terbangun karena suara gesekan, dia merasa terlambat mengingatkan. 3/ Kalau aku ingin menulis sajak tentang ular, baiknya kau bacakan lagi kisah orang Tatar. Di mana diramalkan seratus tahun tidur melingkar, seekor ular bisa tumbuh sangat besar. Dan di Bilär, orang-orang Bulgar ingin membunuh seekor ular besar. Tapi Tuhan begit

Perasaan-Perasaan dalam Hujan

Betapa tabah awan menimbun duka laut, danau, dan sungai di tambun tubuhnya, sebelum angin begitu perkasa memaksanya turun sebagai hujan. Betapa gelisah langit menyaksikan tubuh awan dipecah jadi butiran hujan, hingga dijanjikannya terbit pelangi, nanti jika hujan reda. Betapa kuatir petir hingga dipukulnya udara yang dingin dan basah, dan berkilat-kilatlah dia. Dan betapa cemasnya yang menyeberangi hujan, menyangka kilat akan menyatakan nyala matanya yang habis menangis, dan hujan tak juga menghapus jejak tangis di kedua pipinya. Sampai-sampai, dia tak mau memandang kepadaku, yang dari tadi dilanda ragu untuk mengembangkan payung. 2013

Tentang Ketenangan

Ketenangan, bukan peregangan, Sayang. Bukan benang yang diikat di ekor hewan, dan ditarik ke udara oleh burung finca. Ketenangan, bukan permainan kotak dan warna. Seakan perjalanan yang teramat lamban dari sebidang ubin ke lainnya, menurut perhitungan kawanan siput. Ketenangan, bukan juga upaya mengupas betapa keras cangkang armadillo, atau hanya duduk mencakung menunggu engkau. Ketenangan itu seperti jarak pandang dua orang balerina dalam sebuah ruang dansa. Seseorang melakukan peregangan, dan seseorang melihatnya begitu saja. Seolah ada yang mereka tunggu untuk masuk, dan mengajak berdansa dengan iringan orkestra Rusia, semisal Baba Yaga. 2013

Dalam Pertemuan Kita

Dalam pertemuan kita, waktu seperti seekor tikus pemabuk Mengira sepotong bulan di langit adalah keju berbau sengit Kita, kucing buta. Betah memainkan gulungan benang. Percakapan seolah tak berujung.   Dalam pertemuan kita, dibelukar beragam rahasia cuaca. Mendung yang menggantung, badai yang bergulung, menetes dalam segelas teh hangat yang nyaris tandas. Pikiran kita, gedung menjulang. Mengira langit dapat ditembus, dan pada jendelanya, bulan tampak begitu kurus.   2013

Nona N

Hujan dan sedikit cahaya matahari yang seperti acuh itu masih memainkan lagu. Kau mendengarnya sebagai desau, aku mengira engkau. Cinta serupa jendela, katamu, setiap perpisahan tak pernah seinci debu. Aku kuntum malu. Mekar merah dadu. Hujan dan sedikit matahari yang seperti acuh itu menggoyangkan tangkaiku. Memudarkan warnaku. Barangkali, kau menganggapnya - kacau. Aku tak mencari penyebabnya, walau hujan dan sedikit cahaya matahari yang seperti acuh itu masih memainkan lagu. 2013

Kadal

Gelap lengkap. Tombak disandarkan ke palang kayu itu. Tak ada lagi petarung. Di gelanggang, tinggal sepi. Seekor kadal masuk ke air. Di mulutnya, sayap lalat ditelan semua. Bagaimana bisa memadamkan dendam? Seseorang entah berkata, entah mengerang. Luka masih basah. Di tanah, ada darah. Menetes dari sepi. Menetas jadi api. Tapi gelap lebih dulu menyekapnya. Sebelum tombak siap diayun kembali, sebelum para petarung turun ke gelanggang. Seekor kadal sembunyi. Di mulutnya, pertarungan sudah lama selesai. Tak ada lagi dendam, hanya lidah menjulur pelan. Seperti mencibiri matahari. 2013

Obrolan di Kedai Pangkas Rambut

Siang seperti langkah seekor kucing dengan bangkai ikan di mulutnya. Sedangkan menunggu giliran lebih mirip seekor burung bangau yang menyesal. Menyesal? Apakah itu perasaan seseorang yang duduk dekat jendela? Bisa juga sama seperti seekor anjing yang habis melahirkan dengan puting-puting susu yang tampak membesar. Dia kehilangan anak-anaknya? Setiap kehilangan atau kerinduan bisa dinyanyikan dengan gembira. Semisal oleh sekumpulan mariachi. Kau tak akan tahu apa yang disembunyikan dalam topi sombreronya. Siapa butuh topi saat kita akan bercukur? Yang tepat, selama menunggu, kita perlu barista penyeduh kopi. Tapi, hati-hatilah. Mungkin di cangkir itu akan kautemukan bulu-bulu kucing. Terakhir kali kulihat, dia berada di atas papan nama kedai ini. Tapi yang kubaca itu seperti coretan di dinding. Aneka kata bahasa asing. Yunani, Jepang, dan Inggris. Cara membacanya lebih tepat jika digambarkan dengan dengung lalat di dekat lampu. Sayap lalat itu