Posts

Showing posts from October, 2007

Isyarat Cinta dan Kematian ala Janadarya Naya

Pada hari ketiga, Ratridewi menemukan sebuah rahasia yang terbuka! Janadarya Naya jauh sebelum hari kematiannya, setidaknya telah menuliskan tiga buah sajak yang mengisyaratkan kematiannya : Sajak Pertama : Upacara Tanpa Kata Ratridewi, yang berarti kepasrahan bulan pada rengkuh malam , hanyalah kabut tipis yang kutemukan pada pelipis bunga melati, yang kausemat begitu rapi pada rambut itu; Rambut yang semeriah rancak gamelan, rambut yang menggoyah puncak kesepian, hingga aku mengira pada tiap helainya ada yang khusyuk berdoa dalam satu upacara; Meminta malam mengekalkan warna hitamnya, Meminta embun menyejukkan lembut helainya, Meminta bintang gemerlapkan setiap kilaunya, Meminta aku mengenangkan segala kibasnya; Hingga ketika aku menari, tak pernah merasa sendiri. Sajak Kedua : Burung Malam

Membaca Sajak di Mata Ibu

TELAH kuterima sajakmu, Ibu : dua lembar air mata .:. Lembar pertama; pintu yang pasrah Bocah hujan itu ( yang matanya selalu basah, dan di pipinya ada sisa tangis yang lelah ) ingin menyelusup dalam peluk dan pagut. Dia itu dingin yang takut, dingin yang takluk. Dan tanganmu; pintu yang setengah tertutup. Bisakah dia masuk? Tak akankah kau mengatup? Samar , dari balik kamar, kudengar ada nama kausebut sepenuh gundah. Benarkah itu nama Ayah? Sebenarnya, hujan tahu bahwa Ayah hadir sebagai petir, bergetar sebentar di kaca jendela, lalu memucat di pucuk-pucuk jemari yang tengadah; daun pintu yang pasrah. .:. Lembar kedua; halaman tanpa bunga Layang-layang ungu jatuh; angin yang muda tak bisa membawanya kemana-mana, selain pada halaman tanpa bunga-bunga. Bocah, dengan tangan yang lelah, menatap reranting perdu; tempat diharapnya kuncup-kuncup angin segera mekar, dan membiarkan benda kesayangannya itu melayang. Dan dia me

[IsengAsyik] Gelisah

“ Sesungguhnya orang yang tidak mau gelisah, dia sudah mati ,” Kawabata Yasunari, Novelis Jepang Peraih Nobel Sastra. Ada banyak hal yang membuat saya gelisah dalam menyair akhir-akhir ini. Mungkin bagi orang lain kegelisahan saya ini terasa berlebihan. Tapi tidak mengapa, sebab kegelisahan bagi saya adalah sumber inspirasi. Selama ini saya punya sajak dengan tema ibu-bapak yang konon kata Bang Hasan (Hasan Aspahani : www.sejuta-puisi.blogspot.com) termasuk baru di ranah persajakan. Tapi hal ini tidak membuat saya kemudian memilih duduk tenang dan bermain-main dengan imaji-imaji itu saja. Saya masih gelisah karena sajak-sajak saya belum seindah sajak Bang Hasan yang dengan lincah bercerita tentang seorang ayah dan seorang bocah di tengah sawah ketika beliau berkunjung ke Yogyakarta dan melihat betapa Bandar udara berdiri dengan megah mengangkangi luasan sawah. Saya masih gelisah karena sosok Ibu dalam sajak-sajak saya tidak sehalus dan serahasia Ibu dalam sajak-sajak Bang M. Aan

Misalkan Dirimu Daun

Aku, pengganggu tidurmu. Tapi aku takut onak; Usah kau teriak, &nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp&nbsp Usah kau bergerak Sebelum tubuhmu terserak, kau akan utuh jadi kenangan dalam tidurku yang panjang. Tidur yang menjelmakan : Aku, yang akan singgah di mimpi bungamu yang mulai rekah 2007

Aku Ingin Menghapus Satu Baris Sajakmu

Aku ingin menghapus satu baris saja pada sajak yang kautulis sambil menangis. "Satu baris merubah segalanya," cegahmu. Dan aku, jelas tak setuju. Kautuliskan begini; 'cinta bisa dinyatakan berulang tanpa bosan'. Padahal kau tahu, aku adalah laut. Dan pada sebuah pantai; berjuta riak dan ombak tersampai. Dan kau tetap tak setuju. Tanyamu,"Kau ingin seperti kupu-kupu?" Padahal kau tahu; pada sebuah muara, air laut menjadi payau. Saat yang galau. 2007

Sepenggal Lagu Pilu

Aku ingat satu alamat : rumah berpagar putih merpati. Dia, yang biasa kupanggil Kekasih, membuka pelukan sebagai pintu. Dan katanya, ”Masuklah. Aku sudah siapkan minuman.” Lalu turunlah hujan: saat burung-burung pulang ke sarang. Aku tak pernah lupa, setelah hujan reda, di halamannya kita menggelar tikar. Lalu dia, yang membiarkan rambutnya terurai, menyanyikan lagu. Dan kataku, ”kata-kata dalam lagu itu membawaku pada sebuah jalan.” Dia, yang matanya gelisah, menduga aku ingin segera pulang. Padahal, demikian petikan lagu itu: ” long and winding road... ” Dan yang terakhir kuingat; pelukmu begitu erat seakan aku merpati yang tak kauinginkan terbang. 2007

Hijau

Dominique, begitulah dia sebutkan nama. Aku mendengarnya seperti rintik. Atau ringkik? Yang kubayangkan adalah padang rumput. Hijau dan hangat. Seperti warna matanya, seperti peluknya. Dan aku menjelma sebagai kuda. Liar kausangka? Hujan pagi telah mengurungku di sini. Sebuah jendela rumah tua. Aku memesan secangkir teh. Hijau pula warnanya. Teringat Tardji, teringat Neruda. Kenapa hijau begitu mengada? Hijau itu lambang keremajaan, katamu. Lantas, haruskah kupanggil kau, ”Adik?” Atau "Cantik?" 2007

Rencana Liburan

DIA bilang, "Sekali-kali jalanlah ke Budokee. Di sana ada banyak anjing mini." Apakah kau tak lagi merasa diriku seksi hingga kauminta aku menjauh dari hidupmu yang sunyi? DIA bertanya lagi,"Kapan terakhir kau liburan naik pesawat?" Penampilanku memang mirip pudel yang tak terawat. Rambutku gondrong tak berminyak. Dan baju ini berbau asap. Apakah karena itu kaubilang bersamaku hidupmu bertambah pengap? SUNGGUH Aku tak punya rencana liburan. Seperti seekor ketam di pantai Thailand, ribuan pasir membuatku tertahan. "Sebentar lagi malam," kataku. Mengajakmu pulang. Menyusuri kusut lipatan di ranjang : sebuah peta tempat aku bertahan. DIA bilang, "Kau tersesat di puisi ini?" Aku hanya tersenyum. Geli. 2007

Empat Bahan Pembicaraan Sebelum Tidur

1/ Jangan dulu kaubayangkan ranjangmu, Dik. Malam masih selincah remaja. Dimain-mainkannya senja yang menua di balik pohon cemara. Cahaya bersulam cahaya pada pucuk-pucuk usia. Kita belum tua, Dik. Dan aku belum mengantuk. Sebenarnya kita tak bicara soal usia, bukan? Kau kupanggil adik karena aku tak ingin menduga-duga. Yang aku tahu, tadi pagi kita baru saja dipertemukan dalam sebuah puisi tentang cinta. Ya, kau pasti setuju; bicara cinta berarti bicara tentang seluruh hidup ini. 2/ Tapi kita tak selalu bicara tentang hidup, Dik. Kau tahu, sedari pagi tak ada burung yang bernyanyi. Polusi memaksa mereka mengungsi. Dan kita cuma bisa melongo di depan televisi. Sebab katamu, bukan hanya burung yang bisa bernyanyi. Dan berloncatanlah lagu-lagu cinta di kamar mandi, warung pinggir kali, angkot-angkot yang berhenti, juga alat mungil yang kausebut MP3. ”Hidup ini imitasi.” Kau meraung sendiri. Toh aku juga sedang pura-pura menulis puisi. 3/ Apakah kantukmu tak tertahan lagi, D

Pagi Pada Sebuah Jalan Puisi

: M Aan Mansyur KUSANGKA kita berjanji pagi ini pada sebuah puisi di mana kau biarkan peristiwa-peristiwa meleleh ke jalan dan melengket pada sol sepatu orang-orang [1] . Tahukah kau? Tanpa sepatu, aku melangkah ragu-ragu. Kukira pagi adalah rumah tanpa pintu. Hanya ada jendela, tempat kita bertukar berita. Sebab pagi sering kuhabiskan di sebuah jendela yang setengah terbuka, membaca surat-surat tanpa alamat yang tersesat. Ya, kau juga tahu bukan? Kota ini semakin tua untuk sekedar menghafal nama. Katamu, “Tidak aku temukan seorang pun yang namanya pernah aku catat di buku teleponku [2] .” Hingga kupikir ada benarnya juga Ibu selalu mendongengkan cerita sebelum kita tidur. Agar ketika pagi, aku segera sadar bahwa kau sedang menungguku di kehidupan nyata : sebuah halte bus yang penghuninya setengah tertidur atau setengah terjaga. Tapi apakah kita perlu mencatatkan nama-nama kita di situ? Yang terakhir kulihat, kau tengah mencatat sesuatu. KUHARAP pagi tak segera pergi. Turut

Tarian Bunga Sepatu

Aku mandi di sedihmu, bunga sepatu merasakan putikmu yang tertunduk malu Seperti bulir embun, bunga sepatu cintaku menetes dari pucuk daun itu Bersujud aku di potmu, bunga sepatu berharap cintaku meresap di akar-akarmu 2007

Tarian Sepasang Sepatu

: kau nikmati irama lagu &nbsp&nbsp yang liriknya kau tahu &nbsp&nbsp dari nyanyian ibu Padahal aku sedang tak ingin pulang; Kami telah berjanji mengadu layang-layang, ditantangnya aku,"Aku atau kamu paling jago?" dan dari kemarin telah kupilih benang nomor satu; aku yakin: sekali tergesek, layang-layangnya akan jatuh! Hanya saja kakiku tak menyukai ilalang, ujung tajam dedaunannya sering melukai kulit kaki. Maka kupasangkan pada kakiku sepasang sepatu ; oleh-oleh Bapak dari pekan di desa seberang. Ibu mengira aku hendak menyombongkan diri; memakai sepatu baru di hadapan teman-teman. Tapi aku sedang tak peduli. Aku terus berlari ke padang ilalang, tempat kami berjanji. Tak kuhiraukan lagi teriakan atau umpatan. Hanya kemudian angin tak ada di padang, kulihat kau tertunduk setelah layang-layangmu tersangkut di pucuk-pucuk jati. Haruskah kukatakan padamu betapa kecewanya aku? Tak ada tantangan yang kemenangannya bisa kubawa pulang! Padahal aku sedang tak ingin p

Tarian Sebuah Kamar

: belum juga kau jenak di dalam dirimu sudah ingin kau jejak tubuh yang baru Katamu; "Ingin kudengar lagi suara yang tak beraturan, serupa dengkur setelah lelah bekerja." Maka kaubayangkan sebuah mimpi yang timbul tenggelam di antara kedua mata yang terpejam. Tapi aku tak suka bermimpi. Aku lebih suka pada sisi selimut yang begitu lembut menyentuhmu di pipi. Juga hangat yang kausembunyikan di balik bantal di sisi tubuhmu yang sintal. Ah, seperti puisi liris yang kubaca pada sebuah gerimis ; embun pada sebuah jendela. Hanya jam tua yang berdetak mengganggu tatapanku juga tidurmu seperti bapak yang membentak mengagetkan tidur kanak-kanakmu Katamu; "Ingin kukenang lagi suara lembut ibu, pada sebuah dendang ninabobo yang tak sudah ." Dan kini kaubalik bantal, dan kauanggap mimpi itu telah gagal menjenakkan tubuhmu. 2007

Tarian Pagi

Ketabahan bocah yang menunggu ayah adalah kesetiaan pagi di petak-petak sawah; Lihatlah! Selalu ada pita-pita rambut matahari menyembul dari batang-batang padi. Pagi yang lincah sengaja melemparkan pita-pita yang berkeriapan, seperti dia yang membiarkan anak-anak rambutnya ditiup-tiup angin yang merenggut kabut dari celah sarungnya yang menganga. Suara ibu tak dihiraunya, dia lebih asyik menatap ke arah mana burung-burung pipit kembali setelah memetik sebulir padi. Dia ingin menemukan dunianya yang hilang ; Sebuah sarang! Di mana ada suara lapar kanak-kanak burung disambut celoteh dan suapan induknya yang sepasang. Dari binar matanya, ibu telah tahu dia tak ingin mimpinya diganggu. 2007

Tarian Malam

: kepada ibu pada sebuah jendela yang tak kunjung tertutup Sepotong bulan pucat di kening tua, dan bayang-bayang awan adalah luka; menebal pada keriput kantung mata. "Aku ingin memadamkan lilin yang digenggam oleh sekumpulan bintang," katamu ketika aku beranjak untuk menutup pintu, memadamkan lampu, dan bersiap menggumamkan sepenggal doa malam; "Tuhan, ijinkanlah aku merawat sajak tua itu: sajak yang tak ingin mati sebelum dunia melebar melebihi ukuran sepatu. Sebagaimana ibu telah merawat aku seperti puisi yang paling tersembunyi." Dan sebelum tidur, kukecup pejam di matanya yang mulai menguncup ; "Tenanglah Ibu. Tenanglah. Anak-anak malam segera bersarang di lembah-lembah hatimu." 2007