Isyarat Cinta dan Kematian ala Janadarya Naya

Pada hari ketiga, Ratridewi menemukan
sebuah rahasia yang terbuka! Janadarya Naya
jauh sebelum hari kematiannya, setidaknya
telah menuliskan tiga buah sajak
yang mengisyaratkan kematiannya :

Sajak Pertama : Upacara Tanpa Kata

Ratridewi, yang berarti kepasrahan bulan
pada rengkuh malam
, hanyalah kabut tipis
yang kutemukan pada pelipis bunga melati,
yang kausemat begitu rapi pada rambut itu;

Rambut yang semeriah rancak gamelan,
rambut yang menggoyah puncak kesepian,
hingga aku mengira pada tiap helainya
ada yang khusyuk berdoa dalam satu upacara;

Meminta malam mengekalkan warna hitamnya,
Meminta embun menyejukkan lembut helainya,
Meminta bintang gemerlapkan setiap kilaunya,
Meminta aku mengenangkan segala kibasnya;

Hingga ketika aku menari,
tak pernah merasa sendiri.

Sajak Kedua : Burung Malam

Bagaimana aku bisa melupakan malam?
Malam teramat tekun mengerami
sebutir embun. Hingga aku menyangka;
malam itu induk segala burung pagi;

yang keciapnya menabraki selimutmu,
getarkan helai-helai rambutmu yang tergelung,
dan menyerakkan bau keringat sebagai dupa
pada altar-altar luka : lembar-lembar sajak cinta;

yang kautulis begini rupa : “ Apakah malam
yang menelan bulan begitu rakus // apakah padang
yang berjalan begitu tandus // aku hanya pejalan malam
yang haus // ingin mengecup embun bulan yang telah matang.

Jadi bagaimana aku bisa meninggalkan malam,
yang mengigau senantiasa : “Di manakah bulan?”

Sajak Ketiga : Andai Ibuku Pokok Meranti

Aku ingin menyajakkan kesendirian
bahkan kematian hanya dengan memandangmu,
O, Penyiram tanaman, yang bisa jadi kemudian
mengira akan demikian bunyi sajakku;

“Andai ibuku pokok meranti,
aku lemah sekali,
tanpa sayap naungannya,
aku benih tak berdaya.”

Sejujurnya aku tak dapat membayangkan diriku
sebagai buah meranti yang dilayangkan bak bidadari itu,
sebab begitu banyak yang dia perlukan:
sayap puja-puji , wangi airmata, & tangga yang tak kelihatan;

tangga baginya untuk memanjatkan doa,
tangga bagi Ibu untuk menjemputnya.

2007

Comments

Muzzammil Massa said…
aku paling suka sajak kedua, ded.
utamanya kalimat:
Malam teramat tekun mengerami
sebutir embun. Hingga aku menyangka;
malam itu induk segala burung pagi;

istilahnya temanku yang juga bernama dedy: sugestif.
good work!

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung