Pagi Pada Sebuah Jalan Puisi
: M Aan Mansyur
KUSANGKA kita berjanji pagi ini pada sebuah puisi di mana kau biarkan peristiwa-peristiwa meleleh ke jalan dan melengket pada sol sepatu orang-orang[1]. Tahukah kau? Tanpa sepatu, aku melangkah ragu-ragu. Kukira pagi adalah rumah tanpa pintu. Hanya ada jendela, tempat kita bertukar berita. Sebab pagi sering kuhabiskan di sebuah jendela yang setengah terbuka, membaca surat-surat tanpa alamat yang tersesat. Ya, kau juga tahu bukan? Kota ini semakin tua untuk sekedar menghafal nama. Katamu, “Tidak aku temukan seorang pun yang namanya pernah aku catat di buku teleponku[2].” Hingga kupikir ada benarnya juga Ibu selalu mendongengkan cerita sebelum kita tidur. Agar ketika pagi, aku segera sadar bahwa kau sedang menungguku di kehidupan nyata : sebuah halte bus yang penghuninya setengah tertidur atau setengah terjaga. Tapi apakah kita perlu mencatatkan nama-nama kita di situ? Yang terakhir kulihat, kau tengah mencatat sesuatu.
KUHARAP pagi tak segera pergi. Turut bersama sebuah bus yang meninggalkan lambaian seorang ayah pada tangis bocah-bocah[3]. Sebab kita sudah berjanji akan membuat sebuah puisi tentang kuncup senyum berwarna hijau kebiruan. Seperti mata perempuan muda yang pernah datang di kafe itu. Perempuan dengan wajah Ibu. Nun, alamatnya berhasil kaudapatkan dari sebuah notes kecil. Ya, aku pernah bilang pagi itu adalah sebentuk wajah perempuan yang termanggu. Yang rindunya embun dan cintanya bunga. Klise bukan? Tapi kau tertawa terpingkal ketika aku mulai menyoal hal itu. Perempuan itu seperti pagi: kau kejar atau kau tertinggal. Astaga! Aku harus bergegas. Karena kau pasti sudah menunggu.
2007
Comments