[IsengAsyik] Gelisah

Sesungguhnya orang yang tidak mau gelisah, dia sudah mati,” Kawabata Yasunari, Novelis Jepang Peraih Nobel Sastra.

Ada banyak hal yang membuat saya gelisah dalam menyair akhir-akhir ini. Mungkin bagi orang lain kegelisahan saya ini terasa berlebihan. Tapi tidak mengapa, sebab kegelisahan bagi saya adalah sumber inspirasi. Selama ini saya punya sajak dengan tema ibu-bapak yang konon kata Bang Hasan (Hasan Aspahani : www.sejuta-puisi.blogspot.com) termasuk baru di ranah persajakan. Tapi hal ini tidak membuat saya kemudian memilih duduk tenang dan bermain-main dengan imaji-imaji itu saja. Saya masih gelisah karena sajak-sajak saya belum seindah sajak Bang Hasan yang dengan lincah bercerita tentang seorang ayah dan seorang bocah di tengah sawah ketika beliau berkunjung ke Yogyakarta dan melihat betapa Bandar udara berdiri dengan megah mengangkangi luasan sawah. Saya masih gelisah karena sosok Ibu dalam sajak-sajak saya tidak sehalus dan serahasia Ibu dalam sajak-sajak Bang M. Aan Mansyur (www.pecandubuku.blogspot.com). Pun, apalagi, situasi yang ironi dan paradoks dalam sajak-sajak saya tidak se-manisgetir suasana dalam sajak-sajak Pak Joko Pinurbo (www.jokpin.blogspot.com).

Lantas apakah ini berarti saya merasa ingin bisa bersaing dengan mereka? Tidak. Sama sekali tidak. Saya menganggap dunia kepenyairan bukanlah seperti ketika saya yang bocah berada di dalam sekolah yang berebutan belajar sebaik-baiknya untuk menjadi yang utama. Konyol jika ada yang menganggap seperti ini karena saya bukanlah siapa-siapa di antara mereka.

Saya merasa wajib gelisah karena saya ingin menyair yang sebaik-baiknya. Sajak di mana sosok Ayahnya terasa ramah (seperti sosok Ayah dalam sajak-sajak Bang Hasan), yang sosok Ibunya misterius dan halus (seperti sosok Ibu dalam sajak-sajak Bang Aan) dan yang susasana sajaknya terasa manisgetir. Ini bukan berarti saya ingin mencontek/meniru. Saya ingin bisa mendapatkan essensi dari setiap tahap membangun sebuah sajak. Seperti membangun rumah; banyak inspirasi yang akan kita gali. Bentuk genteng dan bahan bakunya, bentuk bangunan yang ala Eropa atau dengan seni ukiran Arabia, lantai Italia atau kayu oak Amerika. Inilah inti kegelisahan saya dalam bersajak.

Di samping itu ada gelisah yang lain seperti keinginan bersajak dengan pesan global warming, perdamaian yang tak kunjung terbangun, juga kemiskinan yang masih kita saksikan dan rasakan. Pun, satu lagi saya ingat tentang pentingnya penyair terkait dengan bahasa, saya merasa wajib gelisah dengan gaya bahasa saya yang masih seperti ini. Nun, ada yang mengatakan masa depan sebuah bahasa terletak pada tangan penyair-penyairnya. Ya. Saya merasa harus gelisah dengan sajak-sajak saya, karena memang saya belum merasa nyaman. Ah...

Comments

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun