Membaca Sajak di Mata Ibu

TELAH kuterima sajakmu, Ibu : dua lembar air mata

.:. Lembar pertama; pintu yang pasrah

Bocah hujan itu (yang matanya selalu basah,
dan di pipinya ada sisa tangis yang lelah)
ingin menyelusup dalam peluk dan pagut.

Dia itu dingin yang takut, dingin yang takluk.
Dan tanganmu; pintu yang setengah tertutup.
Bisakah dia masuk? Tak akankah kau mengatup?

Samar, dari balik kamar, kudengar ada nama
kausebut sepenuh gundah. Benarkah itu nama Ayah?

Sebenarnya, hujan tahu bahwa Ayah hadir
sebagai petir, bergetar sebentar di kaca jendela,
lalu memucat di pucuk-pucuk jemari
yang tengadah; daun pintu yang pasrah.

.:. Lembar kedua; halaman tanpa bunga

Layang-layang ungu jatuh; angin yang muda
tak bisa membawanya kemana-mana,
selain pada halaman tanpa bunga-bunga.

Bocah, dengan tangan yang lelah, menatap
reranting perdu; tempat diharapnya
kuncup-kuncup angin segera mekar, dan
membiarkan benda kesayangannya itu melayang.

Dan dia membayangkan dirinya menjadi garuda;
hinggap pada sebuah jendela, memamerkan bulu-bulunya
yang gagah; seperti bunga yang merekah;
bunga yang ingin ditanam Ibu.

2007

Comments

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun