Posts

Showing posts from 2009

update tentang novelku

Sungguh berbangga hati karena National Library of Australia telah mencatatkan novel "dan segalanya menghilang" pada katalognya. Recordnya bisa dilihat di http://catalogue.nla.gov.au/Record/4691605 Seorang pembaca juga telah mereviewnya di goodreads . Makin penasaran untuk membacanya? Untuk di Jakarta bisa didapatkan di Gramedia Matraman dan TM (Toga Mas?) Bookstore di Poins Square Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Mafela

Dia hendak mendekapmu. Dan kumohon biarkanlah begitu. Agar tak kudengar suara batuk karena masuk angin, atau bangkis yang mengejutkan kesepian ini. Dia mendekapmu lembut, bukan? Dan akan kubiarkan demikian. Walau tak bisa lagi kulihat urat-urat kebiruan di bawah dagumu, yang seakan menunjuk ke mana arah sisa cokelat hangat itu seusai pertemuan ini. Lalu angin seakan maklum pada salam perpisahan, dikibarkannya helai-helai benang itu sebentar. Semacam detik-detik perpanjangan waktu yang dihitung oleh langkahnya. Oleh cahaya senja. Oleh air mata. Lalu aku mulai takut akan kesendirian, bersama kibar benang mafela di dekat dadanya, di pangkal lehernya, kusertakan sesuatu yang gaib. Yang begitu karib. 2010

Di Ruang Tamu

seperti ikan dalam akuarium, berpalingkah ia pada cahaya di jendela? seperti gelembung sampai ke permukaan, bertahankah ia pada hembus angin itu? hanya pendar lampu neon di atas akuarium itu seakan jadi pertanda; di ruang tamu ini ada kehidupan lain yang lebih kecil dari perkiraanmu, tapi lebih besar dari segala resah yang bergulir. seperti secangkir teh hangat di hadapanmu, tersinggungkah ia akan senyum manisnya? seperti majalah wanita edisi bulan kemarin, menantikah ia pada tatap matamu? lalu percakapan tiba-tiba menyergap seluruh ruang; hingga di ruang tamu ini muncul mimpi yang tak kau bangun ketika tidur dan kau harus selalu terjaga agar tidak terseret masuk ke dalamnya. 2009

Peristiwa Desember

Airmataku sudah jadi petir yang menyambar ujung Desember hingga semua angka menghitam, dan tak bisa kubedakan Senin atau Minggu, hari Besar atau hari Libur Nasional. Api semakin besar. Di dalam dada. Di atas kepala. Oksigen adalah kesabaran yang semakin langka. Semua jadi ingin muntah. Sesak nafas dan pusing. Lalu, hari-hari adalah hujan. Semua jadi rindu matahari besar. Kita di sini terlelap dalam kedinginan, tenggelam bersama sepi dan jemu, semakin gusar oleh segala hal. Sementara, sajak-sajak semakin menggoda saja. Lebih dari sebuah nama hari, atau sebuah angka. Penaku bertambah betah. Seperti peluru kian berdesing! 2009

Wacana : Tetap Berhati-hati di Kendaraan Umum

Saya menjadi korban tindakan kriminal berupa perampasan telepon genggam di kendaraan umum yang biasa saya tumpangi dari rumah - kantor pp. Dari peristiwa yang saya alami, saya melihat ada dua trik yang dilakukan komplotan tersebut. Saya mengatakan komplotan karena pada trik yang pertama ada seorang yang jelas-jelas membantu seorang yang lain. Inilah trik yang dijalankan oleh mereka - semoga teman-teman (khususnya yang di Jakarta) waspada terhadap trik-trik semacam ini. 1. Seseorang dari mereka akan mengingatkan kepada kita "Hati-hati, Mas/Mbak. Handphonenya disimpan saja!" Ini rupanya kode buat komplotan itu beraksi. Jika kita diperingatkan seperti itu, artinya kita sudah diincar oleh mereka. Tanpa pikir panjang, apalagi mikir ongkos, mendingan kita segera turun dari kendaraan tersebut. 2. Menyebarkan pamflet Pengobatan Rematik / Arthristis ala Cina. Tepatnya pijat tradisional. Salah seorang dari mereka akan mempraktekkan pijatan tersebut kepada seseorang yang duduk tepat d

Merpati yang Dilepas dari Bilik Perahu

1. dari dadaku, dari bilik perahu, kulepas engkau. biar pada cabang hijau zaitun, kaupegang ketabahan yang menahun. laiknya bandang yang menggunung, terbanglah engkau! terbang mengatasi banjir yang tak surut, kerinduan dan sepi yang tak bisa larut. tak akan pernah bisa. aku tak akan pernah jadi nuh, sampai kau tempuh penerbangan perdanamu setelah hujan panjang ini. 2. dengan cintaku, di lunas perahu, kau kutunggu. sampai kaubawa pulang sehelai daun. sehelai saja! larik-larik hujan sudah hilang. cepat pulanglah kau! bawa berita tentang dermaga sederhana, huma terbuka dan rindang kamboja untuk nisanku. hingga namaku dan namamu dapat kutulis sebagai pesan. Sebagai kiasan akan kebahagiaan. 2009

Beliung

patahkan akar kesetiaan, Teman karena angin lebih sering mengguncang atap rumah. galilah lebih dalam kesabaran meski hujan dan daun-daun menutupi tanah. kami berpegang padamu, Teman pada lahan terbuka dan alang-alang. agar kami dapat belajar dengan benar pada batu, lumpur, dan akar tunjang. 2009

Refreshment

Image
Novel saya ini sudah terbit bulan Juli lalu, tetapi belum sekalipun dilaunching. Bulan ini saya mau memperkenalkan kembali novel saya ini di acara Reboan. Bagi yang belum menemukan, bisa dilacak di Toga Mas terdekat, sedangkan di Jakarta sementara baru ada di Gramedia Matraman dan TM Bookstore - Poins Square Lebak Bulus. Semoga menyenangkan ... Buat penggemar puisi Bang Hasan Aspahani, di novel ini bertebaran petikan-petikan puisi beliau ..

Maktab

1. di luar kita - katamu - sudah terlalu banyak perahu disesatkan suar, terlalu sesak pejalan kaki ditipu trotoar, dan ada banyak malam tidur telanjang tanpa bulan. sebab itu, kau tulis ulang isi kitab pada jendela, di mana pucat pantai beradu temaram cahaya kota hingga pias wajah bulan terbelah dua. lalu kau selipkan sesudu rindu di muka pintu, mungkin masih ada sadak jejak sepatu - serupa kenangan yang timpang dan terguncang sepanjang jalan. " agar mereka tak pernah lupa jalan pulang ", katamu. 2. lalu kau hapus nama-nama di kitabmu; nama pahlawan, nama pejuang, dan nama mereka yang terbunuh dalam diam. namun kau tak pernah menghapus namanya, pelancong yang datang di suatu malam bertahun silam. " harus ada yang mesti disalahkan dari hari-hari yang lelah berlari ", katamu. dan kenangan, tetaplah pembunuh ulung! setelah kau bubuhkan tanda tangan- di halaman kitab paling belakang - kau meng

Caping

kepalamu yang petani, kerap menggarap ladang matahari. menjalinnya agar ia serupa jala maya daun kelapa, atau runcing jejarum bayang cemara yang menusuk mata. di antara pematang, kepalamu bergoyang-goyang. hingga lusuh kain selendang berhendak mengekalkan. ah, aku ini meraga angin. iri pada rasa kebahagiaan yang lain. kepalamu begitu rajin mencuri mataku dari bukit-bukit itu hingga di tepi laut, di mana seharusnya sudah kularung perahu, kayuh, dan selubung senja yang menua. ya. aku sudah merasa yakin. meraba segala yang mungkin. tapi kepalamu petani yang rajin. dijelujurnya sepanjang pandang ini dengan segala benih. seperti tak kenal letih. dan sepertinya aku yang angin tak akan pernah betah meningkah di akar anak rambutmu. 2009

Aku dan Pantai

Aku dan Pantai : bernard batubara Jika ku temukan pantai, menjelmalah kau. jadi karang. jadi pasir. jadi burung. jadi awan. jadi kau. agar bisa aku menarikan tarian ombak. tarian angin. tarian langit. tarian senja. tarian cinta. dan di sebelah dermaga kayu, kapal-kapal nelayan menghimpun lagi temali sepi dan nyeri yang telah lama direnggut jauh dari tiang-tiang layar, jatuh dari bulan yang samar. Jika kutinggalkan pantai ini, pergilah kau! jadi angin. jadi langit. jadi senja. jadi cinta. agar pada setiap karang, rindu ini terus berbilang, seperti bulir pasir yang kaubilang tak pernah berkurang, seperti kelepak burung yang kau dengar begitu murung, lalu lenyap jadi senyap di halau le

Lilin 2

Kaukah yang membakar sepi di sini? Aku hanya gelisah yang menanti. Lewat pijarmu, ada hal-hal yang selalu tampak terang dan samar. Seperti malam dalam mimpi-mimpiku. Seperti kelam yang semakin menjangkau aku. Dan kaukah juga itu? Yang kukira mengada di antara bayang dan gelap ruang. Karena aku mulai lelah, dilelehkan bara waktu. Sementara kau tepis hembus dingin, tubuhku semakin hangus. 2009

Sajak untuk Sang Penari

1. Raga siapa yang setiap geraknya adalah lebam dentam kendang dan piuh temali kecapi? Selubung kain panjang, riap rambut, dan gerai selendang menggerakkan sesuatu yang lain daripadaku. Hanya jika setetes keringat melunturkan pupur di kedua pipi, wajahku terlahir kembali di situ. 2. Siapakah dia yang memutar pusaran waktu seperti luwes kibas kipas di tangannya? Jemarinya seperti tangkai hujan menyapu pelataran candi, sedang pinggulnya lontar sepi yang ditulis kembali oleh bayang-bayang. Akulah yang tak berpayung, menggigil oleh basah angin sunyi. 3. Kerling siapa yang menikamkan kembali karat khianat pada malam yang sarat menanggung bulan? Adalah sepasang mata - tak sedang mengamati aku yang menanti datangnya Sang Mati - merayu jiwaku untuk terus bersemadi di sini. Agar kutemukan kembali bilah berkilau dari Engkau yang selama ini kucari. 2009

Kuterka Bunga di Tanganmu

kubaca lagi isyarat bunga di jari-jarimu seperti mengurai jerat pemikat lebah madu meski cahaya hanya ungu, pandangku menyeligi kuntum mahkota, pucuk putik, dan benangsari sampai kujumpa sakar nektar di rahim ovari, dalam kenangan yang tak sudah sepanjang hari hingga kubaca lagi, dan lagi, getar jemarimu saat kautabur bunga-bunga itu atas nisanku. 2009

Kepada Penjual Bunga Tabur

Sampai aku dipertemukan denganmu, ada yang selalu ragu bahkan hanya untuk sekedar bertanya, "Berapa kuntum mawar yang pantas dalam satu kantung melati untuk kutebarkan di atas kuburku?" Dan ketika tanganmu menakar bunga, kubayangkan tangan maut mengapai-gapai di atas kepala, di dalam dada, hingga kukatakan padamu, " Tak perlu kenanga, atau cempaka. Cukup mawar dan melati saja." Aku - sebagaimana maut - melangkah tergegas. Ah, seperti juga engkau, bukan? Yang membuat kenangan bertunas, berkembang, dan akhirnya di musim seperti ini, berguguran dedaunannya. Sebentar lagi sampai ke pintu makam, di mana lengkung tangan maut telah selesai memagut, dan selepasnya akan kutemukan sejumlah nama yang sering disirami dan ditebari bunga-bunga kesedihan, kerinduan, dan kerelaan. Dan di sana, sebelum kutaburkan sekantung bunga ini, akan kuingat kembali tanganmu : tangan yang kerap membelai tepi waktu. 2009

Membacamu, Puisi

1/ ada yang tertabur serupa bunga di atas nisan, di sela isak tangis dan peluk tak bermakna lain kecuali "relakanlah, relakanlah, relakan..." lalu kau menulis ulang kisah yang tak pernah hadir di mimpimu sendiri. kisah yang selalu menjelmakan seorang kekasih, pencinta yang namanya tertulis pada epitaf dengan sebaris kata lainnya. 2/ aku adalah orang yang terakhir pulang dari pemakaman. berpayung hitam, dan merasakan begitu murung musim. betapa dingin kepak burung. sedang kau angin yang menderu. memanggil pulang ke rumah ibu. 3/ yang tak pernah terbaca olehku - dan mungkin terlewatkan juga olehmu - hanya rangkaian bunga yang mulai lepas satu per satu kelopaknya. seakan mereka yang tadi berkata; "relakanlah, relakanlah, relakan ..." 2009

Sharon Weimer

Sharon Weimer adalah salah seorang dari 50 penyair terbaik di situs www.poetrysoup.com . Dia berasal dari Amerika Serikat. Pada kontes puisi di situs tersebut terdahulu, puisinya yang berjudul "The Weight of Nothing" mendapatkan posisi pertama. Saya tidak akan me- nerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, tetapi biarlah pembaca blog ini bisa merasakan sendiri emosi yang ada dalam puisi ini dalam bahasa aslinya. Sharon Weimer The Weight of Nothing the looming vastness of distance (strong and aching) between the me I am struggling to remember and the you (omniscient in theory) …your own collide with slivers of wood paint thinner, and a barrage of gun-like tools this fills me up to the whiskey on your breath the smell of God’s burden of gifts a tonic I inhale in wafts of your sighs praying for thirty seconds of understanding relief when you purposely forget without purpose the love we made moment you might as well watch me drift away in an eerie speed of light I am gone (regretf

Percobaan Kedua

Setelah "Berbahagialah Hagai" saya coba terjemahkan dalam bahasa Inggris dan saya sertakan dalam kontes puisi empat bulanan di www.poetrysoup.com , sekarang saya mencoba menerjemahkan "Bibirku Cawan Anggurmu" untuk saya sertakan dalam sebuah kontes bebas puisi berbahasa Inggris. My Lips is Your Wine Grail because you are so sweet. too sweet. more than all of words I’ve said, more than all of tastes I’ve tasted. like you’ve been harvested from the finest farm, along the side of fertile river, and stocked until your golden age. your color is interesting red. who can resist to the shining sight? which very glow on the lips of the grail, bright and warm so obviously seen. therefore my lips as a very thirsty thirst. a joy that need to be fulfilled! I am the faith. waiting to the all being poured, throw away, and all continues deed, until the last drop to carouse. but ones will remember it from the latest late, an existing tinny mindful between all of madness, that’s a jo

Bibirku Cawan Anggurmu

karena kau begitu manis. teramat manis. lebih dari kata yang kuucap, lebih dari rasa yang kucecap. seakan kau dipetik dari ladang terbaik, di tepian sungai yang subur, lalu diperam hingga benar-benar cukup umur. ronamu merah memikat. siapa yang tahan pada kilau berkilat itu? yang teramat cerlang di bibir gelas, terang dan hangat tergambar begitu jelas. bibirku adalah kehausan yang sungguh, kegembiraan yang menghendaki penuh. akulah kesetiaan, menunggu segalanya tertuang, terbuang, dan terulang. hingga habis sesap manis, tapi ada yang akan mengingatnya dari sisa-sisa malam, sisa-sisa kemabukan, sisa-sisa kegembiraan. meski saat itu kau, anggurku, telah lepas dari cawan bibirku. gawal dari takdirku. Jakarta, 30 Agustus 2009

Sajak-Sajak dari Pasar (2)

Pasar Gondang, Nganjuk sepi tak meringkik, tak pula mengembik meski pasar begitu berisik di hari pasarannya adalah mimpi yang berkelindan di antara los penjual buah dan makanan menggelisahkan engkau yang sedari malam tak kunjung bisa diam karena di pinggir jalan sebuah panggung hiburan tengah didirikan adalah engkau yang seksama mengamatiku dari puluhan ekor kambing, tiga dokar, dan sebuah pedati sarat kayu jati Pasar Kandangan, Kediri aku tak lagi muda, dari puluhan karung yang kuangkut dari bak truk hingga los pasar, aku beroleh panjang usia tulang-tulangku seperti lilin ulangtahun yang membara setiap kali truk itu berhenti di depan pasar, ada yang kurasakan begitu berkobar aku tak pernah lagi menebak siapa yang akan datang, lebih baik aku bertepuk tangan karena di sini setiap hari adalah hari jadi Pasar Pon Baru, Trenggalek sebagai petani, aku mengenali dengan baik tunasnya benih sabar karena dari petak sawah yang beralih fungsi jadi pasar, tumbuh pula belukar gusar yang setiap hari

Sajak-sajak dari Pasar

Pasar Larangan, Sidoarjo hanya sebuah becak melintasi kesepian di antara panggung dan emper toko saat seorang biduan dangdut melempar senyum untukmu tapi kulihat tak ada yang bisa kautangkap sebab pada deretan dokar dan becak, seorang janda tua terlalu letih berjualan sate sejak malam tadi ; dia yang tengah membakar senyumnya sendiri sama seperti sepi yang terpanggang panasnya sendiri Pasar Pucang, Surabaya tak dapat lagi kutunggu si pelancong malam yang terakhir meninggalkan kerumunan tikus di sepanjang los penjual ayam karena sebelum pukul empat pagi telah kuhabiskan kopi pada cangkir yang ke dua dan sepi segera menyergapku kembali Pasar Balongsari, Surabaya kesedihan telah menjadi kegembiraan sesungguhnya, saat ada yang mengadu ketangkasan pada sempit halaman parkirmu sementara di pintu masuk lorong pasar, ada wanita-wanita tua yang mengadu tangisan dengan harapan pada luasan dadaku Pasar Dampit, Malang kunikmati dingin anginMu di tubuh musim yang mulai kering di bawah bulan yang se

Malaikat di Ujung Jalan

Ini pengembaraan yang bahagia kita akan selalu bersama-sama, kaki dan sepatu tak pernah lagi peduli pada batu atau pada langit yang setengah menangis, setengah tertawa. Ini juga penggembalaan yang bersahaja, tak perlu lagi peduli pada hujan dan senja yang saling memainkan daun dan jendela itu. Kita berdua saja berjalan. Dan seperti telah saling tahu kapan akan berhenti, menepi, istirahat, atau berlari kembali, kita tak akan banyak bicara. Kau tentu tahu, bagaimana aku telah lama mempersiapkan sepasang sepatu sebagaimana engkau tak berhenti yakin dan berdoa; ada sepasang kaki yang kuat, lalu mengikatmu erat pada perjalanan seakan tanpa penat ini. Maka kita tak akan lagi peduli pada hal-hal selain perjalanan ini. Pernah sekali kita sepakat untuk berhenti, saat kulihat ada malaikat di ujung jalan memainkan sebilah belati. Aku kuatir kau akan terluka dan mati, engkau takut aku tak akan pernah sanggup lagi berlari. 2009

Telah Terbit Novelku

Image
NOVEL "DAN SEGALANYA MENGHILANG" Karya Dedy Tri Riyadi "Sejujurnya aku belum merencanakan apapun selain menghilangkan diri dari kehidupan ini. Lalu aku terkenang pada sesuatu yang ingin aku lakukan sepanjang hidupku. Bertahun-tahun aku menyukai puisi. Menjadi pembaca yang baik dari puisi-puisi orang lain. Mungkin inilah saatnya aku mencoba menuliskan puisi." – Arya Dananjaya, wartawan. "Aku dan Danan adalah sepasang kekasih yang tidak akan pernah bisa bersatu."- Miranti, mahasiswi Kyoto University. Sinopsis Sebuah peristiwa pembunuhan artis penyanyi yang sedang merintis karir menjadi diva di Indonesia membuat Danan merasa ada yang salah dalam hidupnya. Pekerjaannya sebagai wartawan surat kabar kriminal membuatnya terseret dalam lingkaran pembunuhan berantai yang juga mengancam keselamatannya. Dia juga harus berjuang untuk meluruskan hidupnya yang dianggapnya salah cetak dan salah letak. Termasuk kisah cintanya dengan seorang penderita trauma kekerasa

Sekerat Roti di TanganMu

Sekerat Roti di TanganMu 1/ Jangan Kau jerat laparku dengan sekerat roti di tanganMu 2/ Aku pasti menunggu walau seribu kepak merpati dan suara kur-kur-kur di telinga taman ini selalu seperti berjanji; ” ada sepotong frankfurter dan segelas milkshake berukuran medium, spesial untukmu! ” lalu senyumMu mengambang di bangkai sungai di bawah jembatan kayu merah marun beraroma aneh itu dan kutemukan lagi remah roti yang tak termakan gerombolan merpati itu, di atas busa air sungai yang semakin keruh menghitamkan penantianku 3/ Ada harapan yang utuh - bahkan lebih jelas dari gelas milkshake dan lebih pedas dari saus frankfuter di tanganku ini – saat Kau hendak memecah-mecah roti itu 3/ Akhirnya, aku tak bisa memaksaMu kembali setelah habis semua remah roti di paruh seribu merpati, dan sebagian lagi dibasuh busa sungai yang perlahan membuat kotaku mati 2009

Seusai Badai

Seusai Badai Yang lantak hanya kelak sebab aku tak bisa mengelak Tak bisa aku menduga kau seperti tak bisa menakar curah hujan dengan genggam tangan dan yang kelak terserak hanya doa-doa tak terucap Seperti pernah kudengar kau, dari lambung perahu, menghalau kumpulan awan Ah, seusai badai ada banyak yang bisa kita kumpulkan diam-diam 2009

Dari Sebuah Kursi di Ruang Mahkamah

Dari Sebuah Kursi di Ruang Mahkamah 1/ Aku duduk di sini, tapi – ”Siapa sedang bertamu?” 2/ Kau kisahkan kembali Bao, Sang Hakim, Meski ada yang aku tak bisa mengerti; benarkah keadilan itu datang dari langit? 3/ Aku sakit, aku menjerit! Ruang mahkamah maha sempit ini tak sanggup lagi mengurung jiwaku, tak bisa lagi memberi jawaban segala yang rumit 4/ Ya. Tak ada yang peduli pada pleidoi setebal debu di kakimu. Aku hanya ingin duduk di sini. Seorang diri. Walau tak akan kujumpai para tetamu 5/ O Sulaiman, raja bijak mana yang datang mencuri pedangmu? Begitu banyak bayi mati di kali, di tempat sampah, di restoran, di perempatan, di gendongan pengemis, tanpa ada yang membelahnya jadi dua! Tanpa ada tangis Ibunda 6/ Akan kuceritakan lagi padamu Khrisna yang Agung - dia yang hanya dua kali bertiwikrama – hanya untuk bersilang sengketa karena kau bertahan, begitu pejam - dan juga kejam! - seperti tidur Sang Baladewa! Ah, Ruang mahkamah! Betapa cepat perubahan terjadi layaknya kincir angin

Sepasang Sepatu di Kompas.com

Ditulis oleh Cunong N. Suraja Dari ketiganya telah tercatat sepatu sebagai tema besar. Tengok saja sajak Maulana Achmad: Kwatrin Sepatu di Luar Mesjid (15) dan sajak Dedy T Riyadi: Pesta Sepatu (88), Sepatu Adam dan Hawa (93), Pertanyaan untuk Iklan Sepatu (98), danSepasang Sepatu yang Tertinggal di Via Dolorosa (99), sedangkan Inez Dikara tidak menyebutkan sepatu dengan lugas tetapi banyak sajaknya berisikan tentang jejak atau perjalanan yang tentunya tidak akan luput dari mengenakan sepasang sepatu selama perjalanannya (apalagi pengembaraannya di negeri Paman Sam yang bermusim empat!) Di Pasar Malam sebuah ajang pertemuan para penggemar sastra malam reboan saya menerima sebuah buku kumpulan puisi ( dari salah satu penyairnya: Maulana Achmad! ) dengan kulit buku yang menawan dengan jelas menyarankan isi buku dengan gambar sepasang sepatu sepasang kuas dengan latar belakang pemandangan yang mengesankan dalam warna dominan hitam putih. Tiga kumpulan sajak mengingatkan pada buku puisi z

Harmonia di Mata Jendela

Harmonia di Mata Jendela 1/ Di mata jendela, kaulah; - setianya tempias hujan - langkah kilat yang tergesa - gemetar guruh yang merambat - kerumunan massa setelah kecelakaan lalin - riang raung ambulans 2/ Seperti seorang pendongeng, beginilah kuceritakan suatu sore di mata jendela; Hujan, yang tempiasnya seperti tangisku, sedang berjalan-jalan ketika tiba-tiba kilat menabraknya. Mereka bergulingan di jalan, sehingga guruh yang melihatnya sangat ketakutan. Segera saja, orang berkerumun. Bahkan sebuah ambulans menawarkan bantuan mengantarkan hujan dan kilat ke rumah sakit terdekat. Ah, semoga kau suka mendengarnya 4/ Seperti aku yang terus menerus menahan keharuan – Ya. Ya, sebenarnya kesedihan – melihat kau terbaring di ruang isolasi dari punggung jendela, tanpa tahu berapa lama lagi kau akan sehat lagi atau mati. 2009

Loro Blonyo

Loro Blonyo 1/ Seperti inikah ramai pesta? Orang-orang melempar tawa dari sela-sela mulut yang sibuk merasakan rendang dan telur pindang Saat pahatan huruf di batu es itu diam-diam mencairkan tubuhnya ke hangat udara 2/ Seperti sepasang pengantin itu, yang di antara bokor dan kembang mayang juga aroma ratus,terus-menerus menyapa tetamu, kami disanding Tapi tak ada sesiapa memberi salam pada kami Hanya tiga fotografer sewaan sesekali mengarahkan kilat lampu di atas hitam kuluk dan legam konde 3/ Maafkanlah kami, Sobat Tetangan kami telah dipahat begitu erat di atas paha hanya bisa menduga suasana, tak bisa menjabat dingin di tanganmu 2009

Foto yang Hilang

Foto yang Hilang Pernah di sebuah langkan, hanya kita berdua memandang ke tubuh sungai, ke rubuh sangsai. Di mana mulut-mulut lumut, seperti serombongan liliput tanpa sepatu; memainkan jejak-jejak sajak yang tak pernah bisa sampai dalam perjalanan melesapkan luka. Ah, iya. Kau potret juga pemandangan itu. Sepotong lahar yang tergesa turun gunung, mengurung pertemuan kita itu. Foto itu memang telah hilang, sisakan kosong di mata pigura bermotif bunga. Persis seperti ranjang tanpa kita. 2009 Note : Ini sebuah permainan arisan kata. Dilakukan dengan www.kampung-puisi.blogspot.com yang menyumbang kata-kata: Ranjang, Pigura, Bunga, Sungai dan Sepatu. Sedangkan saya menyumbangkan: Langkan, Lesap, Lumut, Liliput, danLahar.

Beberapa Eufimisma

Image
Beberapa Eufimisma Zen Di mata telaga, aku hanya bayang ranting kamboja Meditasi Di teduh akasia, pori pori tubuh tumbuhkan luka Tasbih Ada yang terhidu begitu berbeda dari wangi cendana Teratai Telapak tangan-Mu menyulur hingga ke dasar Kolam Yang tak terjawab angin dan daun hanya mulut ikan 2009

Cepol

Cepol Kau himpun sebentuk ketakutanku sedikit lebih tinggi dari tengkuk hingga segala yang kuhidu bagai bau angin laut Tapi - Ah! - sungguh lencir lembut lecut maut itu, tegak sempurna seperti lancip lecup mawar dan hatiku tak pernah lagi bisa tetap tawar! 2009

Gambus

Gambus 1/ Ya, Rebana! Kau gundah yang membahana Telikung tabah telinga hingga pecah batu bisu Ini dendang begitu berantam tak bisa lagi degam ini kuredam 2/ Ya, Rebana! Rentak aku bergerak mengikutiMu Lantak aku punya tubuh dan waktu Aku dipenjarakan ruang bunyi dibuang-jauhkan dari sunyi 3/ Ya, Rebana! Kau yang sontak bangunkan aku dari degup-detak yang kian kuncup, kian redup Hingga pada temali nada aku bayangkan sulur-sulur bunga 2009

Erratum

Erratum 1/ Sebutir telur seperti mimpi Kulitnya hijau percaya Tidur Dia di beranda. Hingga ada yang mendekati sepenuh hati dari bilik nir cahaya. 2/ Sejak dimulakan tidur-Mu dijagai ruang-ruang antara Dari mata ke kata dari kata ke makna 3/ Kulitmu sehijau telur Sebutir demi sebutir, mimpi lungkah ketika Kau melangkah Dari beranda, cuaca tak dapat lagi tercandra Di ruang tengah, kamar tidur, dan dapur, bayang-bayang semakin kabur Semakin lamur Akulah Si Buta yang belum bisa Kau celikkan! 4/ Aku meraba dan merasa Mengindera suasana belaka Hanya bergantung pada percaya; Ini kerinduan sangat menyengat jangat! Tanpa tongkat putih, anjing penuntun, dan kaca mata hitam, aku melangkah. Mengarahkan tubuh pada kuncup-kuncup kata Agar tak terlangkup hidup Tak diruntuhi serpih-serpih diri Tak dirutuki yang mengingin abadi 5/ Tanpa merah yang sangsi Kau tegaskan lagi tanda-tanda yang harus kuhindari 2009

Dia Kini Berjubah

: de 1/ Dia ingin berubah. Tak sekadar mengganti gambar avatar pada halaman profile , atau juga mengganti alamat email . Dia bahkan ingin segera menutup akun facebook ! 2/ " Aku ingin mencari sesosok paderi dalam diri ," katanya dengan mata seredup senja di sebuah kartu pos bertuliskan Pulau Dewata. Aku menduga; dia akan berkelana. Jauh ke tempat-tempat yang tak terjangkau sesiapa bahkan oleh jagad elektronika. 3/ Blognya sudah lama tidak diupdate. Tak berbalas beratus email , note's tag dan chat. 4/ Dia kini berjubah. Jenggotnya lebat seperti akar kecambah. Berdiri dekat rumah ibadah. " Aku sudah pasrah. Tak kutemukan juga yang kucari. Tapi aku merasa lebih baik begini ," katanya sambil senyum-senyum sendiri, waktu kutanya apakah sang paderi sudah dia temukan. " Kulihat kau juga sedang gelisah ," katanya tiba-tiba. Ya, begitu tiba-tiba. Hingga tak kudengar senja tengah mengetuk jendela. 2009

Kepada Patung Kuda di Jalan Fatmawati

Kepada Patung Kuda di Jalan Fatmawati Dekat kedai gipsum, kakimu terangkat ke udara. Siapa yang akan kau sapa? Duhai, Kaki membatu, hentakkan saja sepi mu ke dadaku! Ya, ke dadaku! Agar runtuh segala ragu, lepas setiap yang repas. Dan yang termangu - tetangan terbelenggu - silakan saja berlalu! Melintas dari hadapmu. 2009

Bugenvil

Bugenvil /1/ Dari bahu jalan tol, tangan-tangan itu memanjangkan mataku Tangan yang juga melintaskan kembali kota yang telah mati berulang kali hingga mata ini seakan tubuh sungai yang penuh bangkai /2/ Apa tersisa di situ? Selain berkas bunga kertas yang tinggal sesaknya dan seorang diri, ia mengenang panjang leher hujan dengan cupang merah malu /3/ Ah, kenangan! Betapa lekas bunga itu lepas dari tubuhku Tubuh sungai yang terus menghempas bangkaimu 2009

Nautilus

Nautilus 1/ Di telingaku, Kau simpan laut sedekat ujung maut 2/ O, Tubuh yang melengkung lekaslah Kau bangun! Ombak telah menggunung, dan bahtera ini limbung 3/ Dari luar cangkang, telah kubuang sejumlah bimbang kusisakan sedikit sirip dan himpun teritip di perut perahu, di carut wajahku Karena hanya bisa kurang, dan tak mungkin hilang. 4/ O, Mulut yang Siput. Ini badai begitu ribut, sedang pelayaran berpantang surut! O, Mata yang Melata. Kau sebut apa yang menyambar tiang bendera dan layar? 5/ Di tubuhmu, kuputar lagi sepenggal sepi 6/ Yang meringkuk seperti kelomang membentuk gelombang dari deru dermaga 2009

Tobong

Tobong 1/ Tak ada seekor kera dalam bubungan bara sebab ini bukan tangis seorang Shinta, Sayang. 2/ Tuhan lebih dulu menyapa wajah merah gerabah sebelum ditata tanganmu, sebelum dibaca bibirmu, Api. 3/ Telah dibariskan – dan digariskan - wajahku pada lebam sekam, ngeri jerami, dan tirus ranting turi, agar setiap api – setiap kali - menyirami mataku. 4/ Seperti Hanuman, yang di jarinya tersemat amanat seorang raja, hendak kuujarkan - kupijarkan lagi - redup rahasia cahaya. 5/ Hingga yang dulu mengais - menangis - tak lagi berduka sebab Tuhan turut mengaduk tanah, membuatku tak lagi buta. 2009

Hidangan

1/ Setiap malam, di meja makan, kulihat kau menggeliat setiap tajam pisau mengerat tubuhmu dan setiap keratan itu menjerat tubuhku. 2/ Dengan dada gemetar ( yang bukan tersebab lapar ) kuterima tubuhmu jadi tubuhku Inilah tubuh yang kusentuh dulu. Tujuh lubang peluru telah lama tumbuh di situ. Dan dari lubang-lubang itu, kutemukan kembali lukaku. 3/ Aku makin tersesat di tubuhmu, tersangkut dalam lubang luka bermata nyalang. Ada yang mendesak-desak, seperti kerongkongan tersedak, seperti suara isak hanya lebih lirih; Keluarlah! Keluarlah! Tapi tubuhmu makin erat, dan tubuhku makin berat meninggalkan lubang lukamu. Menanggalkanmu! 4/ O, kuingat lagi; Kau menggeliat di tajam pisau, keringat dan darah jadi atau, dan suka cita adalah duka cita yang terlampau risau. Kulihat lagi di meja makan, setiap malam, tubuhku mengerat tubuhmu, dan tubuhmu melumat tubuhku. Setiap malam. Setiap makan. 2009

Kuda Putih

Larilah! Semua dada telah tikai, segalanya, ya segalanya, pun surai kita bukan lagi satu tubuh seperti gema dalam gemuruh yang membentur sebelum perlahan menghilang. Kau dengar itu bukan? Seakan ada yang terus berseru kepadaku atau juga kepadamu seperti panggilan pulang, panggilan sayang - satu nama kecil di lidah ibu, dan alamat-alamat dalam kenangmu yang belum bisa hilang, yang belum tuntas kausambangi; sebuah padang demikian luas bagi kaki-kaki yang kehilangan sepatu. 2009

Lelayu

Musim merupa sepanjang surai di tengkukmu tiga pokok akasia dan gunung pucat di sebelah sana menggulung kabut, menyentakkan debu kaki-kaki tanpa ladam, melejanglah ke arah mata Butiran yang turun perlahan, tak bisa kautahan sebab gigil telah sepakat menjerat sepenuh kabar tinggal debar serupa langkah-langkah pelan sebelum semuanya tiba-tiba menghingar Inikah musim berduka? Tiga pokok akasia dan gunung pucat terdiam sementara matahari seperti ibu memanggil anak-anaknya Atau masihkah datang petualang baru dengan kuda yang lebih gagah, sepertimu yang menghilang di antara kepulan debu? 2009

Menjerit, Hetfield!

Image
Yang kau percaya; keadilan telah selesai dituliskan, usai pula diceritakan. Hingga kanak-kanak itu selalu berdoa, sebelum tertidur dengan sebelah mata tak sepenuh pejam. Dan dengan leluasa ada yang berjalan, bergandengan tangan. Memeluk segala bentuk, merentang segala yang tertekuk, menentang hal-hal yang begitu teruk! Yang kau percaya; keadilan akan ditegakkan oleh sesosok mahluk yang dibentuk dari pasir, dari angin yang berdesir, dan bukan dari gerak bibir. Mahluk yang datang ketika malam, saat semua mata hendak memejam! Menjeritlah! Berteriaklah yang paling jerit! Sebab di sempit waktu, kita hanya bisa memutar kepala dan membayangkan semuanya menghitam. Menghitam! 2009

Mari Menari, Marley!

Image
Mari Menari, Marley! Seperti pagi di mata tiga ekor burung, dunia ini tak sepenuhnya murung. Ditinggal kekasih, dibawapaksa ke negeri asing, dilanun ombak raksasa, bahkan terdampar di pulau tak berpeta, bukan suatu hal yang luar biasa. Seperti sesesap terakhir pada selinting ganja yang hampir puntung, kau mulai bersenandung; "Mari menari, melupakan pedih perih di hati." Tapi - Hei! - air apa mengalir di kedua pipi? 2009 image courtesy of www.itsablackthang.com

Berbahagialah, Hagai

Meski dari Babel kami tercerai, ke rumahmu, ke atas bukit itu, kami akan sampai. O Zerubabel, betapa kami tak ingin berjumpa musim-musim tak sejuk, tak dingin; saat ladang gandum, pucuk zaitun, dan bulir-bulir anggur tak sempat lagi kujumput, tak dapat lagi kaupungut. Dan kau, Yosua, betapa kami rindu bersua wajah-wajah ramah, tanah yang rumputnya selalu basah; karena segala ternak, rusa dan kanak-kanak kami senantiasa ingin berkelana, mengembara ke atas bukit itu, ke dalam rumahmu. Hingga dari Babel, dengan segala puing dan reruntuhan, kami akan bangkit! 2009 =============================== Be Happy, Haggai Even from Babel we've been separated, into Thou house, up to the hill, we will embark. O Zerubbabel, how we don’t want to feel a dry seasons, a hot weather; times when our barley field, olive trees, and vineyard give me an empty wagon, none in your hand. And you, Joshua, it’s happened because we want to see happy faces, a fertile land with herds of cattle, a deer, and our child

Dua Sajak Saya di Koran Tempo, 05/04/09

Dua sajak saya, Taman Hujan dan Hikayat Mistar, dimuat mendampingi 3 sajak TS Pinang di Koran Tempo edisi Minggu, 05/04/09. Taman Hujan Kini kau pandai menanam hujan. Di tanganmu, hujan bersulur panjang. Daunnya tunas dan hijau terang. Matahari begitu cemburu, sebab setiap pagi dia ingin paling hijau sendiri. Bersiasat dengan awan dan kilat, matahari mengirim hujan yang lain. Hujan dengan tubuh yang sangat cokelat. Kau petik juga dedaunan hujan. Keranjangmu begitu pemalu. Setiap habis bertemu hujan, ditulisnya sebuah catatan. Sesuatu yang - padahal - sangat ingin dia ucapkan. Seperti yang satu ini; "Hari ini hujan tampak kelabu. Dia lupa menyemir sepatu." Kau pulang berkalung hujan. Rumahmu sudah penuh hujan. Sebut saja satu per satu; kursi hujan, meja hujan, almari hujan, bahkan kasur hujan pun ada. Tapi kau masih merasa kehilangan sesuatu; sepatu hujan. Sebab dengan mengenakannya kau akan bisa bertemu seorang Ibu. Ibu hujan. 2009 Hikayat Mistar Alahai, Tuan. Kau jarakkan ka

Perasaan, Peristiwa, dan Puisi

Dedy Tri Riyadi PERASAAN, PERISTIWA, DAN PUISI Semacam Komentar Panjang Setelah Membaca Kumpulan Sajak Gunawan Maryanto; Perasaan-Perasaan yang Menyusun Sendiri Petualangannya. Pertama kali selesai membaca sajak-sajak Gunawan Maryanto yang akrab dipanggil Cindhil ini, yang terpikirkan oleh saya adalah betapa pandai dia menarik ulur perasaannya terhadap setiap peristiwa. Peristiwa atau kenyataan hidup sehari-hari, dalam ranah semangat puitika, menurut Saku- taro adalah hal-hal yang harus berada di bawah puisi itu sendiri – dalam esensi puisi romantis – atau dikritisi oleh puisi itu – dalam esensi pe- dagogis. Namun yang saya amati dalam puisi-puisi Gunawan Maryanto ini, ada semacam sifat untuk menerima kenyataan tetapi juga tidak begitu saja prosesnya sekaligus tidak juga menafikannya. kita telah melintasinya mereka telah melintasi kita tak ada beda : mereka telah tak ada cinta jadi sia-sia (Kolam Ikan dan Beranda Kosong) Tapi benarkah segala yang terjadi itu sia-sia? Bukankah dalam se

Kau Selalu Punya Cara Untuk Mengatakan Kita Masih Berbahagia (2)

Cara #2. Kau Tidak Sedang Sekarat dan Dirawat di Sebuah Rumah Sakit Darurat Di Selatan Gaza Seperti keledai pada sebuah lubang, aku selalu terperangkap dalam satu kenang; Matamu bicara luka, selalu luka. Dan kapan berakhir dengan kematian - aku tak bisa menduga Betapa luas matamu, kataku Lebih tegas dari kematian? Tanyamu Hingga hanya kesedihan tak pernah lekas tak pernah bekas Setelah dengan api kau bicara cinta, dengan apa lagi aku akan bicara luka? Airmata - katamu - seperti hidup itu sendiri mereka lah mataair sesungguhnya yang akan terus menghidupkan aku, engkau, dan anak-anak kita; mereka yang selalu bicara tentang seekor keledai yang ditambat dekat tembok kota sehari sebelum kematianmu. 2009

Litani Pagi Hari

1/ Sejak dari Gilgal, bahkan jauh sebelumnya, lenganmu lurus panjang. Sehunus pedang. Menembusi bidang dinding tebal, hati yang banal, mata yang gagal menangkap; dari mana jatuh bulir-bulir manna, dari mana asal burung-burung puyuh di tenda, dari siapa suara yang begitu riuh hingga runtuh menara-menara yang angkuh, hingga terampas kota-kota terjauh, kota di mana nyaris tak bisa kujangkau engkau. Duhai, lengan yang anggun mengayun, Segerakanlah dia bangun! 2/ Dia serupa bingkai jendela, dan aku bagai penari belia. Dan seperti pada sebuah taman, aku dan dia akan mulai berbagi peran, dalam sebentuk permainan; membentuk bayang-bayang. Dalam sajak ini, tak hendak aku beranjak. Hanya duduk dan mereguk semriwing suwung di tubuhnya. Hal- hal yang – kutahu – begitu sederhana. Begitu tanpa makna. Sampai dia menciptakan teman yang lain, t

Jika Cinta Dikatakan Dengan Benar

Semacam Komentar atas “cinta yang marah” – serangkaian sajak M. Aan Mansyur Satu Bentuk Penghiburan Dalam kitab suci, kasih diibaratkan sebagai Tuhan itu sendiri; Sang Sumber Kebenaran sejati. Dengan demikian, jika memang cinta kasih yang diungkapkan, tentunya tidak akan pernah menimbulkan satu pun perselisihan, atau satu bentuk kemarahan. Melainkan hanya kedamaian, atau satu bentuk rasa yang sangat mencerahkan dan dirindukan. Adalah sebuah ironi bahwasanya M. Aan Mansyur mengumpulkan 21 Sajak Berjudul Panjang untuk kemudian disebut sebagai Cinta yang Marah. Tetapi lantas hal itu menjadi semakin rumit, ketika membaca sajak-sajak di dalamnya yang memunculkan bahasa yang lembut, bahasa sepasang kekasih yang ngelanut, dalam semacam perenungan antara Aku dan Kau yang demikian erat. Tentunya tidak main-main – bahkan hal ini sangat serius untuk disikapi – bahwa untuk menyatakan kesedihan dengan susunan kata-kata yang demikian indah dan menenangkan. Toh, jika kita – para pembaca, dalam skup k

Bejana

: Bisakah kita saling meminjam catatan? Di lehermu, kupautkan kuncup-kuncup air mata, sesuatu yang kini berdegup- degup dan membahana di dasar tubuhku, di sekitar kulitmu yang rapuh, yang nyaris tak tersentuh. Seperti luka-luka jaman, yang koyak hanyalah liku-liku perjalanan sebelum suara-suara itu terpendam dalam. Di bibirmu, kusaksikan hilangnya nyanyian, kata-kata yang angslup diam-diam, seseorang sangat ingin slulup, menyelam di rongga hatimu, di gua-gua yang bisu, pada catatan yang berdebu : waktu. 2009

Kembali Ke Desa

Kembali mengubur sisa-sisa usia pada berbatang-batang asam jawa dan pematang-pematang sawah, pada lincah bocah-bocah yang tak peduli dengan tubuh kurusnya atau sungai yang deras arusnya, pada layang-layang dan panjang benang yang pada tubuhnya ada jemari yang luka dan kaki-kaki yang pincang, pada panggilan- panggilan sayang dan permainan di halaman belakang, pada pelepah dan batang pisang, pada saat deklamasi atau (bisa kausebut) berpuisi di hadapan papan hitam dan kotak kapur tulis, pada rima dan irama yang diaturnya dalam dada sebelum diledakkannya suaranya yang pertama, pada mata, telinga, dan kaca-kaca jendela di mana pertama kali memandang dia; hal yang untuk pertama kali mengingatkan pada satu kata: "kota". 2009

Jendela Bus Kota

Sedikit terbuka dia pada bagian dada hingga tak sedikit mata menaruh harap darinya agar segera dibebaskannya kata-kata dari mereka yang meniup-niup kepala, meletup-letupkan isi dada dan mencari makna cuaca yang tak tercatat oleh jam tua. Banyak yang ingin bersandar di pangkuannya, kembali menjadi anak-anak, kembali memahami setiap kabar dengan bijak agar ketika ada yang melaju, menuju akhir perjalanan, seakan ada yang harus dikekalkannya; rambut ikal yang urung diudar, juga hal-hal yang batal diujar, seperti sebuah sapaan. Sederhana saja. 2008

Melankolia Mata

: menerjemahkan alun-alun kota tua karya Claudia Velasco Kolam itu seperti seorang penggembara yang begitu haus. Begitu rakusnya akan air yang tak henti mengalir dari ceruk batu besar abu-abu di tengah-tengah kolam. Sebagai balasan, dia pantulkan langit biru terang dan sedikit putih awan. Sepotong pesona siang yang mungkin hanya bisa kau temui di sebuah musim semi yang asing. Di antara lompatan kakikaki tiga ekor angsa cokelat muda, digubahnya serangkaian titinada yang bergema di tembok-tembok bangunan tua. Kurasa rinciknya akan sampai kepadamu, sebab di sini terlalu lengang. Tak ada sesiapa tercermin di kaca-kaca jendela di sepanjang deretan kafe dan toko-toko yang dilamun kenangan. Tak kujumpai dia yang melangkah cepat hingga tiga ekor angsa itu meloncat, atau ucap terkejut seseorang dengan kulit pucat yang mengintip dari tirai gerai roti yang setengah tertutup – mengira kau, aku, atau seorang penggembara l

Vladimir Mayakovsy - Lewat Jam Satu

Vladimir Mayakovsky Lewat Jam Satu Lewat jam satu. Kau harus tidur. Galaksi bima sakti mengalirkan perak ke dalam malam. Aku tak tergesa; dengan telegram-telegram yang tibatiba aku tak punya alasan apaapa untuk membangunkan atau membuatmu gundah. Dan, seperti yang mereka kata, kejadian ini teramat dekat. Bahtera cinta telah remuk tertumbuk kekelaman seharihari. Sekarang kau dan aku sama terdiam. Untuk apa berpayah selaraskan kesedihan-kesedihan, kepedihan-kepedihan, dan luka-luka kita. Lihatlah betapa kesunyian diam di bumi. Malam membungkus langit seperti persembahan dari gemintang. Pada jam-jam begini, seseorang bangkit mengalamatkan usia, sejarah dan segala ciptaan. 1930

Engkaukah Jendela Itu?

1/ Saat tetangan hangat ayah matahari memeluk erat sembab bantal, selimut tebal,dan rambutnya yang ikal. Memainkan cahaya pada deretan foto keluarga di samping ranjang, mengecupnya di antara kelopak mata yang setengah pejam; karena terlampau lelah ia mencari wajah bunda bulan di dada malam, dari antara larik-larik sajak cinta yang pernah ia tuliskan, pada takik pepohonan dan perdu, pada pekik pungguk perindu. 2/ Ketika tekun dibacanya sajak seorang penyair buta - yang mudah-mudahan aku tak salah mengutipnya - “sekarang semua orang yang selamat, mereka yang terhindar dari kematian, telah berada aman di dalam rumah, jauh dari hingar perang dan garang gelombang, hanya ada seseorang …” Dan dia merasa - pada saat itu – dirinyalah yang dimaksud dalam sajak itu; karena sayap-sayap sepi akan segera menghantarnya pergi dari kepungan matamu 3/ Pada waktu seorang senja datang mengulur tangan, dan membekalinya benih pagi; benih yang selalu tumbuh di atas batu. Batu waktu. 2009

Sebelum Pergi

Dipatut-patutkan tubuhnya dengan sepasang sepatu. 2009

Sehabis Mandi

Dia mengira tubuhnya hanyut bersama sisa syampu, bekas sabun, dan air keruh itu. 2009

Saat Menunggu

Kau hitung juga bulir cemasku, s eperti dia yang berzikir pada butir pasir dalam bejana waktu. Diterjemahkannya kitab-kitab perasaan dengan bahasa angin dan hujan, hingga tubuh ini menjelma sungai, ambangkan bangkai. Seakan ada yang bertanya “Siapa hendak segera mati?” Tapi suara-suara itu terlalu tuli dengan dirinya sendiri. Di sini hanya ada meja-meja kosong dan seseorang, secara perlahan, ditelan balon percakapan tanpa isi. Bahkan Yusuf pun menolak hadir di sini, sebab ini memang bukan dunia mimpi. A ku meraih bulir cemas dari tanganmu. Antara hendak meremas dan menghempaskannya ke sudut ruang atau menyeludupkannya ke jangkauan saku celana. Aih, betapa cemas adalah langkah-langkahku sendiri. Bersiasat dengan sepatu, dia menuju pada sebuah pintu. 2 009

Taman Hujan

Kini kau pandai menanam hujan. Di tanganmu, hujan bersulur panjang. Daunnya tunas dan hijau terang. Matahari begitu cemburu, sebab setiap pagi dia ingin paling hijau sendiri. Bersiasat dengan awan dan kilat, matahari mengirim hujan yang lain. Hujan dengan tubuh yang sangat cokelat. Kau petik juga dedaunan hujan. Keranjangmu begitu pemalu. Setiap habis bertemu hujan, ditulisnya sebuah catatan. Sesuatu yang - padahal - sangat ingin dia ucapkan. Seperti yang satu ini; "Hari ini hujan tampak kelabu. Dia lupa menyemir sepatu." Kau pulang berkalung hujan. Rumahmu sudah penuh hujan. Sebut saja satu per satu; kursi hujan, meja hujan, almari hujan, bahkan kasur hujan pun ada. Tapi kau masih merasa kehilangan sesuatu; sepatu hujan. Sebab dengan mengenakannya kau akan bisa bertemu seorang Ibu. Ibu hujan. 2009

Hikayat Mistar

Alahai, Tuan. Kau jarakkan kami dari pohon. Dari tepi taman. Sementara kami tak pernah memohon, tak juga menginginkan. Maka datanglah ular. Sedepa lebih panjangnya. Kami merentang tangan. Mendekap tidak, hanya agar tak terpegang. Dibisikinya perempuan-perempuan kami akan sebuah niscaya, yang sungguh-sungguh tak akan bisa kami percaya. Tapi, beginilah yang terjadi. Kami ini lelaki. Seperti bumi. Lubang-lubang di dada kami selalu minta ditanami. Dan perempuan-perempuan kami adalah petani yang sejati. Di tangannya selalu saja ada benih. Ular itu, Tuan. Sedepa lebih panjangnya. Melintas di depan kami. Merapatkan kami, laki-bini, hingga dia puas. Dan tak kulihat Engkau, Tuan. Sebab kini ada jarak mencegat kami. DariMu, dari taman ini. 2009

Percakapan Pengantin di Sepanjang Batanghari

/1/ Katamu, dahulu dunia sebesar telur angsa dan kita menjadi kehangatan yang sangat didamba Aku, Adammu Engkau, Hawaku Kita bersatu dalam perahu Dari rahimmu, Dan hangat pelukku Lahir dunia baru /2/ Ini kisah cinta yang tak biasa, Dan aku merasa sangat mengenalinya Hingga pada akhirnya, ada satu bahtera berlayar dengan arahan sepasang angsa Tapi, jangan pernah kautanyakan suatu tujuan, sebab pelayaran baru bermula /3/ Tapi kita bukanlah kaum Nuh, Sayang Langit teduh dan tak ada gelombang Hanya angsa-angsa pemberian Temenggung Merah Mato, di buritan Kajang Lako pendukung segala isyarat arah ke mana kita turun mendarat Maka demikianlah kukatakan, Alahai Sayangku, Mayang Mengurai ini dunia, kita yang punya Untuk selamanya /4/ Dan pada tubuhmu, Batanghari kujelmakan misteri Kunci abadi Negeri Jambi ; sebuah cinta suci Sebab di hilir nanti, ada yang menepi : kita yang abadi 2007

Aku Ingin Ke Puncak Sepi

Sepatu baru kembali. Keringatnya deras sekali. "Perjalanan ini tiada henti!" Protesnya kudengar lirih. Aku, lebih baik tidak peduli karena malam, ini kali, kurasakan teramat sedih. Sepatu ingin berhenti. Antara kanan dan kiri saling berganti menjegal langkah sendiri. "Aku akan terus berlari!" Aku yang protes kali ini sebab hampir menetas benih pagi. "Duhai Penyair, ke mana engkau ingin pergi?" Aku ingin ke puncak sepi. Di mana tak pernah lagi kudengar riuh ibukota, keluh ibu kata, dan rengek sajak-sajak yang ingin beranjak dewasa. 2008

Jika Aku Menulis Surat Untukmu

1/ Jika aku menulis surat untukmu, pada bagian awal, akan aku cantumkan panggilan sayangku untukmu. Sebab, sudah pasti, surat ini kutujukan hanya padamu. Selebihnya, kau bisa tebak, bukan? Aku lebih banyak bercerita tentang diriku yang merasa rindu, kehilanganmu, dan bagaimana aku bertahan tanpa dirimu di sisiku. Ya. Tak ada kamu. Karena memang akan selalu begitu. 2/ Aku hanya akan mencatatkan kenangan pada bagian pesan. PS : Kau masih ingat pohon kamboja di samping rumah? Wangi bunganya selalu mengingatkan aku saat kepergianmu tiba. Karena di batang kamboja, kita saling menuliskan nama dengan tanda hati di antaranya. Dan sebuah kalimat yang kita sepakati bersama; "Sampai kematian memisahkan kita." 3/ Aku selalu ragu untuk mengakhiri. Karena akhir sangat bisa menjadi mula sesuatu yang lain. Kububuhkan namaku saja. Nama yang mungkin bisa mengingatkanmu pada seseorang yang pernah kaukenal dahulu, atau nanti. Atau mungkin baru pertama kali kau dengar. Ingin sekali kutambahkan ka

Bagaimana

Bagaimana semestinya kita mengucap cinta? Jika telah terbiasa mengecup kuncup luka. Bagaimana bisa kita merasakan rindu selalu? Jika arah sepatu tak sepenuhnya menuju. Bagaimana kita akan temukan yang sejati? Jika ragu, segunung batu, selalu memenuhi hati. 2009

Sajak untuk Addiction

Pakde Totot , seorang penggiat di dunia advertising dan juga sastra sedang mengupayakan lahirnya kembali majalah periklanan ADdiction, yang diberi nama ADdiction 2.0. Lewat facebook, saya mendapat undangan untuk mengirimkan sebuah sajak pendek yang rencananya akan dimuat di ADdiction 2.0. Sajak itu disyaratkan sebagai sajak terakhir yang dibuat seolah-olah sedang berhadapan dengan Malaikat Maut. Sajak terakhir dalam hidup seseorang, tentunya. Saya kembali teringat pada sajak-sajak dengan idiom sepatu. Sajak-sajak yang menurut beberapa teman menjadikan mereka menyebut saya dengan istilah "tukang sepatu". Bagi saya, sepatu adalah kedagingan, artifisial life, atau sesuatu yang sifatnya secondary. Tetapi dia juga bisa punya fungsi yang sangat ber-prinsip. Maka lahirlah sajak ini. Sajak yang saya beri judul Sepatu 2.0, sebagai kaitan dengan ADdiction 2.0 juga ...Tidak muluk-muluk, harapannya agar sajak ini bisa dimuat saja ...hahaha Hal yang terbersit dari kata kematian, sebenar