Posts

Showing posts from September, 2015

Mata Kata Membaca

Mata kata membaca garis hujan di jendela. Sesekali dipandangi pula kilat kecil nan lincah menari. Mata kata menala baris kehidupan di bawah hujan. Disadari betapa telat memahami salah letak hidup dalam puisi ini. 2015

Tanpa Cela

Bunga mementaskan warna ke hadapan mata kata. "Ini dukaku, buatlah peringatan atasnya," dia meminta. Embun meneteskan luka ke ribaan kata. "Ini rinduku, minumlah. Dan kau tak akan merasa haus lagi." Begitu saja. Tangan kata menggerakkan dunia. Daun-daun menggidikkan aku tanpa cela. 2015

Nyanyian Sang Dara

Aku percaya bahwa cinta mudah dimengerti meski dari cahaya merah cakrawala. Matahari tak pernah benar-benar hilang. Pada lantai langkan jejaknya tak henti menegaskan kenangan. Waktu hanya lintasan cahaya. Kita ruang remang. Tak ada yang bisa bertahan selamanya. Nyanyian pada teguh karang sia-sia adanya. Lonceng kapal tak menyahuti menara suar. Janji juga mudah batal. Yang kudekap rindu bercekak. Bayang sarang di pucuk cemara di mata camar. Perjalananku gelepar ikan di ujung paruhnya. Begitu terang akhir kisah. Begitu nyalang kekhawatiranku. 2015

Angin

Angin yang menebarkan duka di punggung pintu, ujar Jendela. Angin pula yang menaburkan kata-kata tak menentu di beranda. Bukan! Bukan aku! Bunga-bunga memawarkan aku. Hingga semua seolah menawarkan makna, jeritnya mencabik sepi di telingaku. 2015

Pigura

Kesepian seperti angin menitip debu di pigura. Sekarib pura-pura melekat pada kenangan. Tak mengarah pada cerah, tak juga menemu kabut abu-abu. Baik kau maupun aku adalah lukisan. Luka sebaik-baiknya kiasan. Walau cacat, walau buruk, tetap terlihat, tak akan jadi remuk. Hanya cahaya pagi seperti membagi perhatian. Ada yang mempertegas ingatan, dan ada yang menggegas kealpaan. 2015

Pergi Memancing

Kata begitu tenang. Menunggu di dasar kolam. Tapi kau bukan joran. Melainkan lidah panjang peradaban. Yang menjulur dari mulut dan gigi-gigi masa. Aku percik ludah. Sebentar mampir di atas pasir. Kata terlalu remang. Lumut dan ganggang di dasar kolam. Tapi kau bukan senar. Melainkan tangan dan pikiran. Yang bersatu padu pada bahasa. Aku gas metana. Menguap tanpa bisa ditangkup. Kata adalah gelombang. Adalah ikan. Adalah kolam. Tapi kau bukan pemancing. Sejak dilahirkan, kau orang lapar. Menunggu dipuaskan sebelum bisa berhenti tiba-tiba. Aku daun keladi. Air yang kurindu semacam keputusasaan. 2015

Belajar Bernyanyi

Kata memberikan diri pada suara. Gaung purba itu. Kita memberanikan diri bersuara, "Ayang-ayang gung..." Ditanamkan yang ingin dipetik setelah tumbuh. Ditenangkan mereka yang ingin memekik-- Duhai, Priyagung! Pada petang hari, kanak-kanak belajar bernyanyi pupuh. Padahal, kita mengenang betapa tamak yang tak ingin ditundung. Kekuasaan seperti kering keringat di leher baju. Kita tak bisa merasakan, hanya kadang melihat dengan canggung. Lalu kita belajar bernyanyi dengan suara paling merdu. Dan sejarah hanya bicara yang tak wajar di hulu Ciujung. 2015

Bagaimana Tuhan Menciptakan Pengungsi

Dengan duka sekerat apel, suami istri itu pergi. Dengan seberat-beratnya, doa dirapal. Tanah asing dijelajahi. 2015

Tapi Luka Telah Diperkatakan

"Biar bagaimana keadaannya, aku selalu diyakinkan bahwa kita semua entah apa caranya akan bisa keluar dari penderitaan ini tanpa mengalami cedera. Dan aku selalu menjaga keyakinan seperti itu."                            Gerrit Jan Van Dam, 1942 Tapi luka telah diperkatakan. Diberangkatkan dengan kereta api ke arah Cimahi. Dengan pesan: Jangan pernah melawan. Dia biarkan kata-kata menemukan pengobatan atas sengsaranya sendiri. Kata-kata akan abadi. Selama masih banyak yang menyangkal kekalahan dan mengayalkan suatu kemenangan -- sekadar bertemu istri dan anak, usai pengasingan melelahkan. Tapi kata telah lama jadi luka. Arsip tua dengan nomor dan singkatan. Paling-paling sekelumit kulit sejarah. Mereka yang ditulis karena kenangan. Nama kota dan petilasan disusun demikian: Cilacap - Garut - Cimahi. Dan melalui generasi selanjutnya, kata dijadikan permainan. Seperti perasaan cemburu ketika teman berburu di Situ Bagendit, atau

Kau Basuh Aku

Kau basahkan bahasamu -- pembatasan pembahasan masa depan. Agar aku mengira masa lalu dan kenangan hanya pijaran api di semak-semak belaka. Kau basuh aku dengan dahaga itu. Bagian terperikan dari pinggiran sepi. Kata-kata yang berasal dari perjalanan. Kaki tanpa kasut ke arah suara. Dan aku pun batu bertuliskan pesan. Pengajaran makna dan metafora peradaban. Yang di sebelah kanan adalah larangan. Dan di kirinya pengharapan. 2015

Yang Kau Bisikkan

Yang kau bisikan kubahasakan. Sebagai bisu yang membiusku sendiri. Membuatku merasa jadi arus dalam sungai. Melemah dan menguat walau tak seperti harapanmu. Yang kau bisikkan kubiasakan sebagai batu berlumut itu. Yang tak bersuara, tapi seolah bahagia karena selalu bersentuhan erat dengan arus sungaimu -- diriku. Kau bisa bilang aku egois. Tapi begitu tingkah penyair: membuat kata tak berdaya di alam pikirnya, untuk kemudian mencuat hanya sebagai metafora -- bisikanmu. 2015

Melangkah Menjauhi Taman

Duka tak sanggup diluputkan oleh kabut, sekalipun kau beringsut, membuka pagar dan berjalan kembali ke dalam taman. Dalam rambun, cahaya tagar. Kau rebut perhatian dengan warna biru. Duka benar, yang kata-katanya amin dan aman. "Kita tak selamanya berjaga," katamu langut. Tak seperti dulu, Ibu tak benar-benar lapar, tapi diambilnya buah itu dalam genggaman. Hanya kata -- kataku -- bisa merangkut. Mengambil semua duka dengan tak sabar, dan melangkah menjauhi taman. Menanggung kutukan, menampung semua yang bisa diperkarakan. Di masa depan. 2015

Yang Kelak Dihapus dari Tekak

Berhentilah menebak. Wajahku tak terjebak dalam kenangan masa lalu. Kolam-kolam ingatan kadang lebih gamang dari debam daun jatuh. Hujan lebih sering mengalirkan kesedihan yang tak tertampung pada bunyi rem kendaraan di jalanan macet. Jangan menduga aku yang teriak. Kata-kataku hanya batu dengan garis kehijauan. Batu yang diam meski di atasnya kambuh kegilaan para penambang dan penembang lagu dangdut oplosan. Di kotaku, hujan adalah hiasan dalam puisi. Tak ada yang bakal terisak sebab aku tak menangisi kematian seseorang. Yang kutangisi dalam diamku hanya begitu rapuh penyair di hadapan kata. Di hadapan sesuatu yang kelak dihapus dari tekak. 2015