Posts

Showing posts from April, 2011

Perihal Perih

1. Seiris jeruk nipis di atas luka dan kudengar jerit itu! Jerit yang seperti Kau yang tertawa 2. Selalu, dalam derita kupanggil Kau padahal bertahun tak menemu. Ini sabar sudah terlampau lebar, berpuluh pujian sudah kuhantar di altar, dan sebagai pengantin, telah kusiapkan gaun yang paling yakin. Luka ini, Tuan, luka dengan darah segar. Seperti mawar, dialah mekar itu sendiri. dan sebagai duri, dia juga perih yang begitu kini Setiap kali tak terganti sebab dia adalah pergantian hari demi hari. 3. Segeram garam dibubuhkan di atas luka kembali mengalun rintih itu Seperti dalam lagu, ini hanya interlude sebuah permulaan atau pertengahan belum akan berakhir, belum saatnya Kau hadir. 2011

Perihal Mawar

Ruang murung ini kau koyak dengan harum semerbak seperti ada yang menumpahkan sebuli mur atau menyalakan sebatang dupa untuk berdoa. Padahal, kau hanya merah sederhana, tak harap menyala atau membara di dalam jambangan, di atas meja. Pun tak ada asap melangit, tak ada tatap yang sengit. Matamu dan mataku sama terpejam, sama-sama merendam yang cerah dan yang lelah dengan warna senja dalam ruang yang mengurung sunyi dalam hati. Sunyi yang merupa duri: menusukkan perih dan nyeri seperti aroma yang tak ingin pergi. Maka kau pendam aroma yang tabah, dan aku luka tusuk yang terus khusyuk bertahan - akan sebuah kerinduan. 2011

Perihal Paku

Dari balik genggam tanganmu : sebuah palu yang bahasanya kupahami sebagai dua kata - hantam & terbenam Kuingat : lengan alun yang tak lelah memukul dan tubuh pantai yang begitu tabah menanggul Kuingat pula : cakrawala sebelah barat dan langkah matahari tua yang sarat tepat sebelum senja muncul Tapi martil di tanganmu itu terlalu degil; dia dingin besi dan keinginan yang tak bisa diminta berhenti Berkali-kali aku dihantam! Berkali-kali aku terbenam! Sampai nanti aku menemu arti : ada yang akan terpasang di sini - jam dinding yang mengingatkanmu akan mati, kenangan yang tercetak dan dijebak dalam gambar-gambar, atau sebuah tanda bahwa ada yang kau yakini begitu kuat. Begitu hebat. 2011

Setia

Sungguh setia kesepian itu menjagaku dari kehilanganmu. Di cuaca semuram kaca jendela, kesepian mengetukkan jari-jari hujan. Diperdengarkan pula suara hewan-hewan hutan. Agar sempurna lanskap hijau pucat pemandangan, sehingga aku merasa ada yang kurang di sana; kau yang menangis sambil menulis sejumlah sajak cinta. Kunyalakan perapian. Tapi kesepian sudah menyiapkan cerita penghantar tidur; bulan putih disaput asap abu-abu. Ditambahkan pula bau kayu dan rumput terbakar gelisah. Maka kutemukan negeri dongengku sendiri; kau pengembara dan aku pintu gerbang kota tua. Kau mencari, aku menunggu. Tibalah aku dalam kantukku. Selimut kesepian mendekapku erat. Menyisakan dingin yang sangat kuhafal gigilnya; kekosongan sisi ranjang. Dalam diam, kesepian membangun jembatan mimpi: tempat kita berbagi hangat kenangan. 2011

Dekap

Keranda, Ananda. Ya, Keranda! Ibunda hanyalah pengantar jasadmu ke liang lahat. Ke mana mata dendam hilang sengat. Dan di dalamnya, hanyalah dirimu sendiri, ya dirimu, mendapat nikmat. Payung dan telekung hitam adalah pengantar tidur. Isyarat tentang hidup penuh syukur. Jika kau masih sempat mengucap salam, awan dan langit hanya hiasan dan kenangan akan malam-malam saat kau merenung sebuah sajak cinta paling kelam. Maka tangisan ini, Ananda, tangisan kebahagiaan. Bahasa purba yang tak bisa diterjemahkan aneka kitab dan kamus. Seperti guguran daun menghumus, seperti spora jamur yang subur di bawah serasah. Tak terlihat namun sungguh bermanfaat. Kenanglah aku, Ananda, seperti kau mengingat dengan benar matahari pagi yang bersinar. Kau, rumpun bambu muda. Bersimbah embun berbasah bahasa santun. Selayaknya rumpun berselimut embun di seberang jendela, kau kupandang sepenuh bahagia 2011