Posts

Showing posts from 2008

Beginilah (salah satu cara) Mendapat Uang Tambahan

Image
Salah satu program yang saya ikuti sebagai blogger adalah www.sponsoredreview.com . Kali ini saya mendapat tugas untuk meresensi sebuah situs toko peralatan paintball (bola-cat) dengan bayaran $ 5. Nama toko peralatan paint ball itu adalah adalah Ultimate Paintball atau bisa di klik pada http://www.pntball.com/ yang menyediakan bukan hanya senjatanya (paintball guns) tetapi juga perlengkapan lainnya seperti masker, helm, rompi, dan celana. Liburan Natal ini, mereka membuat penawaran 40% -80% sale off. Satu buah senjata JT TAC 5 Camo diobral hanya $ 89.95 dan perlengkapan bermerk TIPPMANN A-5 A5 dijual lengkap hanya $ 339.95. Brand-brand lain yang mereka jual adalah:Spyder, Kingman, Tippmann, BT Paintball, DYE, Proto, Draxxus, Vforce, Empire, JT USA, Smart Parts, Ariakon, Halo, dan perlengkapan paintball GXG. Tersedia juga perlengkapan lain seperti helm, masker, sarung tangan, bahkan sampai celana! Setiap pembelian lebih dari $99 akan mendapatkan Free FEDEX Shipping! Pembayaran

Sajak Desember

Seperti di Getsemani, ada yang tak ingin pergi Siapa sanggup menghabiskan sisa pagi? Segelas kopi dan jejak gerimis saling menyapa sepi di jendela Tak kutemukan juga bahagia di antara deret kepala berita, hanya sepasang sepatu dan wajah seorang serdadu yang tertunduk malu Di halaman, rumpun mawar runduk segar, menakar curah hujan yang semakin mengkuatirkan Lalu siapa yang berlalu itu? Hanya bayangannya sentuh ujung pagar 2008

Jalan Pulang

1. Ini negeri apa? Jalan lengang penuh tanda tanya, penuh papan iklan tapi tak ada penunjuk arah. Lalu ini tubuh siapa? Tergeletak penuh luka, tak ada kartu nama, hanya kertas berlumur darah. 2. Malam tengah bergegas pergi; “Ini hampir pagi.” Supir taksi tak mau berhenti; “Cari saja ambulans!” Tak ada sesiapa di sini, selain aku dan mayat sepi. Hingga pada langit dinihari, kuminta bayang bulan. 3. Wajah beku sepi seperti wajahku yang selalu ragu apakah berjalan dengan sepatu atau telanjang kaki, sebab aku tak yakin jalan di sini ramah seperti ibu selalu menyambut aku pulang sepenuh hati. 4. Ke atas bukit, sendiri kubawa segala sepi. Sementara kota masih dilanda berjuta mimpi. Seperti keterkejutan Musa pada semak berapi, kulihat ada sesuatu antara sepi dan mimpi. 5. “Itukah puisi?” Dari bukit sunyi, tanyaku bergema di lorong-lorong kota, di jalan-jalan utama. Sepi, seperti halnya aku, bertanya hal yang sama, namun tak ada suara, hanya degup dalam dada. 6. Lalu menjelmalah cahaya, kauseb

Bercakap dengan Awalludin

Sebuah kumpulan sajak lahir lagi. Kali ini ditulis oleh seorang bernama Awalludin. Dia ini saya temui pertama kali pada waktu acara saya dan teman-teman Paguyuban Sastra Rabu Malam diundang oleh teman-teman Sastra Universitas Bung Karno yang mengadakan perhelatan Sastra di Mall. Tepatnya di Depok Town Square. Tanggal 29 Oktober 2008, pada saat Reboan digelar, Awal memberitahukan kepada beberapa teman termasuk saya bahwa dia sudah mengumpulkan sajak-sajaknya dalam sebuah buku berformat ‘fotokopi” dengan ukuran setengah A4. Buku kumpulan sajak itu dinamai Percakapan Malam. Ada 35 sajak yang dia kumpulkan dalam buku itu. Semuanya berangka tahun 2008. Artinya semuanya sajak yang baru. Melihat hal itu, saya beranggapan Awal adalah penulis puisi yang rajin atau sedang rajin-rajinnya memanen sajak-sajak yang bertebaran dalam hidupnya. Tema yang diangkat dari ke-35 sajaknya sangat beragam. Mulai dari perkenalan dengan seorang gadis, nasib TKI di tanah perantauan, religi, sampai tanaman padi, b

Sesaat Sebelum Melepas Kalender

: kepada ibunda Kenapa mesti ada gigil sesaat sebelum melepas kalender? Desember sedang dilanda demam tinggi dan hari-hari belakangan telah menjadi tetangan Burisrawa mencabik selendang dan kain panjang berderai dari tubuhnya Seperti Drupadi yang hampir telanjang, dari balik kalender pucat paras cat dinding yang lebih terang dibanding sekelilingnya, hanya bekas rembesan air hujan dan debu menyamarkan mereka berdua, "Siapa mengaburkan kerinduan?" Di tangannya kalender baru, menunggu dibimbing, dipakukan ke dinding Jangan pernah biarkan aku berpaling! 2008

Pesta

Aduh 2008

Night Flight

1/ Aku hendak mengingat warna gaunmu sebab pertemuan kita selalu singkat Aku diburu waktu, kau tak mau menunggu Tak ingin kulupa warna yang begitu padu; antara merah bendera dan coklat tongkat Lagi-lagi aku dikurung rindu, masihkah kau di situ? 2/ Kukenang lagi, di waktu yang sempit, gesek jemarimu pada bebatang sumpit Menu makan malam kita; hidangan laut Ketam laut dalam, udang karang semuanya dibumbu lada hitam samar kudengar kau mulai mencelaku “Kau tak takut sakit perut?” Pandangku pada meriah lampion, kau tunduk di arah taplak merah marun 3/ Dari pengeras suara, diumumkan waktu ketibaan, cuaca di kota tujuan, dan ucapan terima kasih telah terbang bersama Persis seperti gerimis di atas bukit membuyarkan wisata di alam terbuka, memaksa kita masuk ke dalam tenda, dan mulai berdoa untuk keselamatan bersama Dari jendela, pelabuhan tua dengan kapal-kapal bersandar di dadanya, jadi totem sementara di kotamu. 2008

Antara Dia, Aku, dan Dingin Kamar

Nopember-Desember sedang dingin-dinginnya. Hujan pun kerap singgah. Benz, si http//www.bisikanbusuk.blogspot.com, kembali membuat list 10 kata untuk dijadikan puisi. Kata-kata itu adalah : kipas, celana, jeruk, kompor, balkon, taman, rusuk, kereta, kaleng, dan kepala. Puisi dia dengan 10 kata itu sudah bisa dinikmati baik di mukabuku (www.facebook.com) dia ataupun di blog dia tadi. Saya menuliskannya kemudian. Setelah beberapa hari disibukkan urusan 9-5 saya. Antara Dia, Aku, dan Dingin Kamar “Dingin yang tak kuinginkan kini jadi kompor yang menyala.” Tanganmu mengipas, menepis sepi aku bergegas, hendak meraih ujung pergi Inilah sebentuk taman sesal; setangkai daun jeruk di atas bantal sejingga senja di mata sekoloni camar dari balkon menara suar Dengan segumpal jelaga, akan kukumpulkan rahasia dari dalam kepala juga segala bara pada tiap keping kenangan, agar ku bisa berdiang, mengusir dingin yang diam-diam makin erat mendekap kaleng soda di tangannya Ada sesak mengembang dari dalam k

Bukan - tetapi masih - Mozaik Kata

Puisi ini dibuat dari mozaik kata yang dilemparkan oleh benz dan steven . Setelah beberapa yang sudah, tentu saja. Bukan Semacam Mozaik Kata Yang Digunting dari Poster Pendaftaran Siswa Baru Duduklah, tapi terlebih dahulu, lepaskan topimu. Di sini, hanya tersedia gunting untuk memangkas rindu yang tak ingin lekas. Tak ada sepeda untuk kaukayuh menjangkau kenangan di tempat terjauh, tak juga ada sampan tertambat, yang dengannya akan kau susuri sungai, danau, dan selat, mencari harapan yang luput, hanyut, bahkan nyaris tenggelam. Di sini, selalu saja, cinta dinyalakan sempurna. Setelah berkali-kali kotamu jadi abu karena perang, ini hari, begitu banyak ibu berdaster kembangkembang, ingin menemanimu, menepuki pundakmu yang melengkung seperti rak penuh buku usang. Berbaringlah, jika kau begitu lelah, terlalu tabah, atau bahkan sudah merasa; “Inilah saatnya untuk tak lagi pernah merasa resah!” Duniamu, bukan semacam mozaik kata yang digunting dari poster pendaftaran siswa baru, tak pernah

Reboan # 8 - November 2008

Image

Suara Siapa Mencuri Sepiku?

Steven memberikan ide untuk arisan 10 kata-kata. Sudah lama memang saya merasa "stagnan" dalam berkreasi. Saya pun menyambutnya dengan terlebih dahulu menyumbang 5 kata ; lidah, tua, marah, luka, pisau. Yang kemudian disambut balik oleh Steven dengan melempar 5 kata ; tali, suara, bunga, ransel, dan kartu. Inilah hasil dari 10 kata itu, mudah-mudahan berkenan. Suara Siapa Mencuri Sepiku? Ada suara mencuri sepi siang ini, seperti amarah seorang lelaki tua yang kalah bermain kartu di pangkalan ojek sepeda motor ke arah rumahmu Suara itu lalu menjelma jadi pintu, di mana mungkin akan kutemukan hal-hal yang tak pernah kuduga, seperti seransel apel, aneka parcel, atau bahkan sekeranjang anak anjing pudel Suara-suara itu kuat mengikat telingaku dengan semacam tali rahasia yang tak pernah bisa kuraba lembut kasarnya, tak dapat kujangkau di mana ujungnya Hingga hanya lidahku yang turut bergerak seperti hendak berseru kepadamu Tapi ternyata lidahku ini kuncup bunga dedalu, bukan bi

Sesaat Sebelum Kau Berlalu

Jangan lama-lama kaupikir apa yang ingin kau ucapkan, cukup; ‘Selamat tinggal’, dan itu sudah seperti sebuah mangkuk pecah di relung telingaku Aku pun akan segera memutus kabel telepon, sekedar membunuh penasaran untuk bertanya di lain hari kepadamu; Bagaimana kabarmu hari ini? Penyesalan tak ubahnya air tumpah di atas lantai, perlu kain pel, sedikit waktu dan kerja ekstra untuk membersihkannya Bisa saja sia-sia, tapi mungkin juga berguna Tapi mohon, jangan lukarkan gelang pemberianku di tanganmu, bekas gelung tanganku di pundakmu, dan hal-hal yang telah membuat kita tertawa hingga bergulingan, sebab setiap kenangan itu lebih jelas dari segala tulisan di atas kertas, lebih tebal dari karpet Iran yang pernah kita pesan Ambillah jaketmu pelan-pelan, sebab di dalam kamar, aku sedang ingin bermesraan dengan selembar tilam. Menghidu jejak keringatmu agar kutemukan kau yang lain di dalam mimpiku. Walau aku tahu, hal itu akan begitu susah layaknya memasukkan paku ke dalam botol di lomba tujuh

Jika Kau Ingin Tahu Siapa Aku

Kita, sebagaimana pagi dan kabut, tak pernah benar-benar terhalang atau dihalangi apapun. Hanya ada dingin, yang kadang menusuk tulang Tak pernah ada sebuah tembok dengan jendela kecil di antara kita,seperti dalam sebuah lagu lama Bagiku, aku bukanlah satu misteri yang harus kau cari jawabannya. Seperti seutas tambang pastilah ia berujung, begitu pula dengan alir darah dari dan ke jantung. Maka usahlah resah karena aku, karena aku juga tak akan pernah diujikan dalam sebuah mahkamah bahkan dalam formulir kuisioner penjual makanan Tapi jika kau terlalu menggebu mencari tahu, seperti rombongan tentara yang datang menyerbu, aku dapat pastikan kau tak akan pernah bisa tahu siapa aku. Kau harus mencarinya bagai mencecap manis pada gigitan terakhir dari sepotong semangka, menangkap tepuk tangan terakhir pada sebuah pertunjukan sirkus, atau pada jejak kepiting sebelum dihapuskan ombak 2008

Jalan Malam Ke Kota

Kita telah jadi bayang-bayang saat lampu bersengitan dengan jalan, dan malam melayang dari halte sampai jembatan Tersuruk langkah kita seperti dedaunan jeruk pada angin yang hibuk dengan debu dan pikuk roda yang meta. Separuh berpeluh, kita dicambuk waktu Kau hampir saja melekat di dada taman, bukan? Saat kukatakan betapa lengang sepanjang jalan dan hanya kita, lampu jalan, dan pedestrian ambil bagian. Dan kurasa jejak kenangan hampir tersungkur, membulatbusur di wajah bulan 2008

Kembali ke Jakarta

: teman-teman esok Setelah Bungkul, Pucang, dan Waru kukemas tas punggung, riang dan bisu, sekumal tiga potong kaos oblong dan celana jeans yang mulai sobek lututnya Ini bukan sepi yang telah dihingarkan oleh film dari kanal HBO dan Cinemax pada sebuah kamar hotel di pinggir kali juga bukan lagu-lagu 'jadul' dan bergelas kopi, Ini lebih seperti petualangan yang tumbuh dan tak ingin diakhiri, seperti pada jam satu dini hari kita harus belajar bijak layaknya seorang juri Dan hanya pada kuning pintu berjendela kaca aku merasa duniaku mulai dibentuk oleh sisa mabuk perjalanan udara 2008

Jakarta - Singapura

: Steven Kurniawan Aih, di pelabuhanmu, aku lah Brian Clarke. Di mana hari-hari sepanjang trotoar Orchad sudah dilumat selembut embun Maafkan bila aku tak bisa membayangkan seorang Adam bertemu Hawa di sini, Tuan, sebab rindu telah terlalu ngungun pada kapal-kapal ini Sayang memang, kau begitu lekas, mengemas koper dan ransel, lalu menelpon seseorang di Jakarta karena pada basah jalan, ia ingin mengenang malam yang larut di cangkir kopimu 2008

Pada Sebuah Bangku Taman

Dia duduk seperti Ronald McDonald, terkesan santai tapi juga kaku Dari sikapnya itu, pohon mahoni di belakangnya tahu pasti; ada yang sedang dinantinya ini hari Dia memandang sekeliling taman, seperti sedang hendak mengakrabkan diri pada derau angin dan desau dedaunan, juga krik krik suara jangkrik. Cahaya matahari menepuk-nepuk pundak jaketnya, seakan paham; dia yang duduk seperti Ronald McDonald itu tak ingin kegelisahannya nampak bila yang ditunggunya tiba Lalu dengan spidol hitam, jarinya menulis dua buah nama di bangku taman itu; nama seseorang dan seseorang lagi yang rasanya aku telah lama mengenalnya dan sebuah gambar hati yang tergambar begitu tergesa 2008

Malam di dalam Pikiranmu

Malam akan menidurkanmu di sarang burung, di dalam cangkang kau aman terlindung, ada sepasang sayap hangat dan lembut jadi selimut yang bulu-bulunya membuatmu merasa kaulah mahluk yang begitu sempurna Di tiap mimpi-mimpimu, ada seorang gembala setia membimbing. Diarahkannya setiap ingin ke padang hijau dan dingin, hingga terpuaskan segala kata tanya, dan terhiburkan semua yang pedih dan nyeri, layaknya domba yang diberi rumput segar, serupa rusa di dalam telaga. Kau tetap merasa remaja dari setiap waktu yang berlalu, halus seperti cangkang telur yang dijaga sepenuh tulus dari sepasang induknya Hari-hari panjang hanya menjadi silang-silang jaring labalaba, yang oleh tetes embun dini hari ia terputus utas demi utas. Malam di dalam pikiranmu adalah hutan hijau dan menyegarkan, di mana sajak itu tumbuh dan tegak bestari 2008

Dialog Malam

Barangkali sajakmu terlalu sunyi, hingga bulan dan malam tak lagi hangat kelopaknya. Ada bulir hujan yang kering dan dedaunan hanya sampah di halaman. Dan kau, penyairku, ke mana entah Barangkali tanganmu terlalu mungil, sahutnya, sebab bulan itu tinggi dan malam adalah sianghari bagi satpam dan pencuri. Hujan sudah tidak indah, dan sampah, bukankah ia tanda kehidupan sesungguhnya? Aku, kata penyair itu malu-malu, memang sebaiknya sudah mati 2008

Yang Kekal di Antara Kita

Jika kau lalu, aku adalah waktu menunggu, seperti pintu telah terbuka dan terbuang anak kuncinya, atau bahkan tak bisa ditutup lagi. Pencuri dan perampok pesta pora menjarah sepiku, anjing dan kucing berak di ruang mimpi. Aku jadi sarang hantu Di buram jendela, bisa kaujumpai sederet pesan: Datanglah segera sayang, sajak-sajak sudah terhidang. Kapankah kau pulang, ini tubuh semakin subuh. Aku makin dingin, Dinda, tapi kenapa kenangan ini terlalu membara? Aku adalah ranjang dengan sajak sebagai seseorang yang menanti matahari esokhari, sila hampiri Jika kau waktu, yang kekal di antara kita hanyalah sebuah pintu : tempat sajak itu datang dan berlalu 2008

Matamu Kolam Kenangan

Sajakku mandi cibang-cibung dan minum sampai kembung airmatamu Aku memancing di keruh matamu, berharap sepi ini luruh begitu saja Seseorang di matamu seperti ikan menggelepar dihajar kenangan Saat kau terisak, segala bangun yang kususun mulai retak 2008

Membonceng Ayah

Bagaimana jika kupeluk pinggangnya, dan bertanya: “Bagaimana dulu Ibuku memelukmu? Bagaimana dapat kenangan menjeratmu? Dan bagaimana jika aku tak pernah melepaskanmu?" Aku tak pernah bisa tahu perubahan pada rona wajahnya, waktu itu, hanya dari kayuhan yang semakin cepat; aku tahu ada yang tiba-tiba dia ingat 2008

Bersepeda Dalam Hujan

Dia yang mengayuh sepeda merasa butir-butir air yang jatuh di atas kepalanya adalah pesan untuk selalu berhati-hati, sedang dia yang duduk di atas boncengan tak bisa membedakan basah peluh di tubuh mereka, sementara roda yang bergulir itu memercik-mercikkan air di antara paha dan betis. 2008

Suara Karang yang Didengar Seorang Pelaut

: dino f umahuk Apatah kapal jika karam, sedang yang kauhafal nama-nama bulan, bintang – sebagai penanda arah – timbul tenggelam di mata awan. Badai – setelah gumuk yang landai- adalah rumah keberanian bagimu. Hidupmu adalah lautan, Tuan. Tuna dan bawal, hiu dan kerapu simpang aral yang bertumpu-tumpu. Adalah harum tanah dan suara burung penanda musim yang selalu kau kurung di antara jemari dan kemudi. 2008

Bersepeda Sehabis Hujan

Langit abu-abu kosong, jalanan juga lapangan bulutangkis rindu tawa dan tangis kanak-kanak Tapi dia ingin berkayuh ke arah ujung pelangi Dengan akhir tetes gerimis di rumpun melati, dia bergegas membuat lingkaran jejak seperti angka delapan Langit masih abu-abu ketika pecah keluhmu "Aku haus. Bolehkah singgah ke warung?" 2008

Disney Channel

: marvel serafino Semoga rahasia kita - semacam rasa yang kita peram bersama - tersembunyi dalam putaran komidi hingga mereka hanya bisa menerka tawa dan airmata karena sekali-kali kita berlaku seperti Mickey dan Minnie : kau tertawa geli, dan aku tersenyum berseri-seri. Mata kita, selalu berkaca-kaca serupa batas antara pemirsa dan televisi. Ada angan-angan dan perasaan bersinggungan di remang ruang keluarga. Membelai punggung kekasih atau memijat lelah di kaki dan sesekali mencomot sekeping roti. Apakah jeda iklan membuat kita mampu bertahan selama ini? Ah, mengapa ketololan digambarkan bagai Goofy yang berlari? Aku di sini masih mengeja serapah lidah dan kau hanya bisa terperangah : bagaimana bisa kepalsuan demikian indah? 2008

Hadiah Ulang Tahun

Minggu lalu, saya mendapat hadiah ulang tahun berupa puisi dari Johannes Sugianto atau yang lebih dikenal sebagai blue4gie. Kata-kata dalam puisi ini saya kira banyak diambil dari percakapan saya dengan dia pada waktu berlebaran di rumahnya. Tentang obsesi (atau passion ya sebetulnya) untuk bisa melukis kembali. Sesuatu yang sudah lama saya tinggalkan. Saya dulu lebih menyukai lukisan, dan melukis. Dalam hidup saya, setidaknya 2 kali lomba lukis telah berhasil saya juarai dan hadiahnya bisa untuk biaya masuk ke sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas di Tegal. Ada sebuah lukisan ukuran kecil yang dibuat dari kanvas karung terigu bekas bergambar Bima yang tengah bergelut dengan naga / Episode Dewa Ruci di ruang tamu rumah saya di Tegal. Di Asrama Mahasiswa IPB dulu saya cuma sempat membuat satu buah potrait ayah dan ibu seorang teman di Bandung, dan sebuah lukisan abstrak yang saya beri judul Malaikat Api. Sebuah celana jeans belel pernah saya lukis sosok ular naga melingkar

Payung

Jika dia mendung maka aku adalah cermin di langit cekung Serupa payung, kukembang sendiri catatan bayang-bayang Sisi gelapku adalah cahaya dan tubuhmu sebagai penanda Apa jadi jika tak ada matahari? Jika dia sungai andaikan saja sebatang perahu, sebatang saja... Supaya di tubuhnya terjangkau segala ranting bakau dan pucuk enau Yang basah hanya lidah berkecap tiada sudah Apa jadi jika aku tak bersaksi? 2008

Narsis ...

Image
Seorang Narcisus bisa dikatakan seorang yang tergila-gila pada bayangannya sendiri. Sehingga dia tidak mengindahkan orang lain. Lewat kaca air di sebuah sungai dia menyadari akan "kecantikan" dirinya. Namun, kali ini saya hanya ingin mempromosikan buku saya - tepatnya bertiga bersama Maulana Achmad dan Inez Dikara - yang sudah terbit Mei 2008 lalu (meskipun baru terima bulan Agustus, hingga salah menulis bulan cetak di promo terdahulu). Buku ini, Sepasang Sepatu Sendiri Dalam Hujan, mendapat kehormatan untuk bertarung bersama buku-buku lain seperti : Otobiografi - Saut Situmorang (mengundurkan diri), Pandora - Oka Rusmini,Teman-Temanku Dari Atap Bahasa - Afrizal Malna, Atau Ngit Cari Agar - SCB, Aku Hendak Pindah Rumah - M. Aan Mansyur, Demonstran Sexy - Binhad Nurrohmat, Jantung Lebah Ratu - Nirwan Dewanto, Orgasmaya - Hasan Aspahani, dan Sajak-Sajak Menjelang Tidur - Wendoko dalam kancah Khatulistiwa Literary Award 2008 . Sebagai salah satu penulisnya, saya bisa berbangg

Undangan Reboan ke 7

Image

Sehabis Sakit

Pada genangan air, kusaksikan kelahiranmu sebagai yang tahir dari sisa-sisa banjir, hanya petir dabak dan gigir langit retak sebelum kausangka sepasang laki-bini itu bercerita seperti seorang nabi; Dulu, pernah sebatang bahtera hanyut disesap bumi yang keriput, dan tangan-tangan kami tengadah meminta sejumlah tanda yang tak ingin diingkari sepanjang masa Padahal pada seorang bayi seperti engkau, diseberangkanlah janji-janji kami. Seperti kumpulan teritip di bawah lambung kapal, kami selalu limbung oleh hal-hal yang tak pernah kami kutip dari kitab-kitab itu Dan hanya pada genangan air, kami berpikir ada yang akan selalu hadir. Mengetuk setiap pintu yang tertutup, menyapa kami di tiap tingkap dan cungkup. Seperti rasa lega yang mengada sehabis sakit di bagian dada Pada genangan air, kami pun lahir untuk menjalani kutuk dan takdir 2008

Kencan Pertama

Dengan seikat kembang, nyanyian yang sering terngiang dari hijau padang, kutunggu kau hingga malam dan bulan tenang berdiang pada nyala lilin dua batang; satu untukmu, dan yang satu kusimpan cahayanya dalam dada Ini meja begitu setia, ada tiga kuntum anggrek ngelangut membayangkan lebat pepohonan hutan dan sambat hujan, mereka yang kelak sepertiku menungguimu di puncak sunyi Oleh keyakinan akan kautepati sebuah janji, aku jadi diri yang tak sepenuhnya merajai, menimbang kata pertama untuk menyapa atau mencoba sebuah senyuman yang tampak meyakinkan, agar kata-kata selanjutnya adalah hari yang akan diingat seumur hidup kita 2008

Piano

Karena yang paling resah bagiku, adalah seorang ibu berlagu; “Anakku, Anakku…” Maka pada titi pertama, ke tiga, dan ke lima, kupatahkan juga segala rungu di telingamu Dan jika rahim purba Kuba mengubur irama Montuno, biar barang semenit kau kait jarijari Nick Mamahit hingga yang pecah di dadaku tinggal denting yang tertuju ke pepuncak Salahutu 2008

Nisan

Sepanjang tidurmu, kukalungkan mimpi serangkai melati. Sejumput dupa serupa doa dan harapan pada rasa mengingin abadi Sedang waktu terus meminta diri, membujuk segala yang tetap dan separuh pucat bulan penuh ratap Di bujur kenangan, seseorang membasuh wajah, kaki, dan tangan usai menulis sejelas pesan; pergilah, menepi 2008

Sekeping Uang Logam (versi baru)

Kau genggam juga sebuah doa yang bisu di dadamu supaya tak ada yang lebih dekat daripada ceruk kecil di depan katedral karena kenangan terlalu tersengal mengejar langkahmu Kutahu, kita pernah menggelinding seperti sekeping uang logam yang jatuh ke dasarnya hingga ke pikuk pekan raya, di mana hiruk pukau cahaya membawa kita pada nestapa yang kini tak juga reda 2008

Litani Musim Semi

Di padang itu, kau lah pokok jati, sedang aku gembala dengan seruling di tangan Pada bius angin, hibur gerimis, dan derai dedaunan jatuh kau bangun tubuhmu; kubah-kubah dan menara Seperti rahim ibu, kau lingkupi aku hingga tak perlu lagi persemayaman itu Nun di telaga, sekawanan angsa adalah tanda betapa kita selalu bahagia Hanya matahari yang iri pada bayang-bayang seorang ibu di atas koloni jamur kayu 2008

Suatu Sore di TIM bersama Jokpin & Eka

Pukul 10 di Jumat (10/10/08) pagi, sebuah sms datang dari Joko Pinurbo . Isinya ajakan ngopi di sore hari. Jokpin datang ke Jakarta dalam rangka undangan dari Goethe Institut untuk tampil dalam "Narrating The Body" bersama penyair India " Tishani Doshi" Sabtu 11 Oktober 2008 pukul 16.00 WIB. Singkat kata, kami pun bertemu jumat sore itu di warung soto Lamongan di TIM. Rupanya Jokpin tidak sendirian. Dia bersama dengan Eka Kurniawan . Mereka baru selesai makan. Obrolan pun dimulai dengan pertanyaan Jokpin tentang launching buku "Sepasang Sepatu Sendiri Dalam Hujan" kumpulan puisiku, pakcik Achmad , dan Inez Dikara , yang aku jawab bahwa "yang penting sudah ada di toko buku Gramedia." Lalu kita bertiga sore itu mulai menyoroti award seperti KLA , Pena Kencana , dan Freedom Institute/Bakrie Award, bagi para sastrawan. Intinya, award-award untuk sastrawan itu perlu dan dibutuhkan dengan berbagai format dan kriteria yang berbeda-beda. Bisa saja nanti

Potret Diri

Yang kauingin; sekulum senyum itu karar bagai akar dadap di antara pasir pantai di mana sepasang gelodok mencuri binar pagi, lalu menyelam penuh damai. Dari balik kaca, ada mata ke tiga yang nampak menjelaga di antara kuning-jingga cakrawala, yang entah ke mana pandang, ke sana juga sebuah sajak bisa kaubaca. Walau seluruhnya telah bisu seperti sepotong doa dalam dada, ada yang terkatakan selalu. Duhai, kita yang beradu dalam ruang antara, mestinya dingin musim hanya ada di dinding sebentang. 2008

Terjemahan Inggris Sajakku "Masih"

Seorang teman, Milla menterjemahkan sajakku yang berjudul Masih ke dalam bahasa Inggris. Sajak "Masih" ini merupakan salah satu dari beberapa sajak yang saya ambil dari imaji-imaji alkitab. Terlebih saya memang menyukai imaji-imaji tersebut untuk membuat sajak cinta. Inilah terjemahan karya Milla still because i still remember hurt, moan, and every second that shapes the memory of you you still and will always be the secret in owl wings when silence crawling to the city nook as when garden flowers and old hill lit by every torch at the first kiss you are still gleaming luminously before the first dew fall, the earliest sign of broken morning terimakasih Milla ...

Potret Diri

Image
saya sedang membuat puisi dengan judul "potret diri" --- to be continued --- Sambil menunggu, saya ingin mengucapkan "Selamat Hari Iedul Fitri, dan mohon di maafkan segala kesalahan secara lahir dan bathin." foto di ambil dalam terik cuaca di sebuah rumah makan tempat bis sinar jaya jurusan jakarta - tegal - pekalongan & purwokerto singgah, tanggal 26 september 2008... Sedang apa saya di sana? Yang jelas bukan mudik ...

Jalan Ke Emaus

Image
Perjalanan ini selalu saja menyisakan kata tanya. Seperti para nabi yang tak mau menjawab kapan kiamat tiba, atau bahkan nama tuhan yang sebenarnya. Dan sore ini aku biarkan matahari memerah, memberi bayang-bayang panjang gedung dan pepohonan. Toh, aku lebih ingin menulis sajak. Bisa saja, dalam sajak ini tidak ada bait yang saling berkait. Bisa juga kau anggap: aku terlalu banyak bermain rahasia. Sebab sajak adalah perjalanan, dan perjalananku akan kusebut sebagai sajak yang tak pernah lengkap. Sajak, yang sangat bisa saja, hanya aku yang mengerti. Dan pada sebuah perjalanan, tentunya aku pun ingin mengakhiri. Entah pada satu tujuan, atau hanya pulang ke dalam diri. Seperti suatu ketika di Emaus, siapa yang menduga ada yang tiba-tiba mengudar kitab suci. 2008

Menyelami Keterpaksaan

Image
Tak jarang orang-orang Indonesia mencari peruntungan dengan bekerja di negeri orang. Hidup jauh dari sanak saudara, keluarga, bahkan orang-orang yang paling disayang. Pekerjaan yang didapat pun kebanyakan adalah pekerjaan yang emoh ditangani sendiri oleh penduduk di negara tujuan. Dari sinilah keterpaksaan kedua rekan-rekan Buruh Migran Indonesia didapatkan, yaitu melakukan pekerjaan yang dienggani oleh orang lain. Keterpaksaan-keterpaksaan lain pun segera dihadapi. Terpaksa dimarahi jika dianggap tidak becus bekerja, terpaksa disiksa jika sang majikan ternyata mengidap penyakit marah akut yang tidak pernah disadarinya, bahkan ada yang terpaksa diperkosa jika sang Tuan kebelet namun tidak mau keluar uang sepeser pun. Lalu keterpaksaan lain biasanya segera menyusul. Terus begitu. Lantas bagaimana bisa orang lain yang tidak pernah merasakan keterpaksaan itu bisa berempati, bersimpati, bahkan berbagi perasaan dengan mereka? Mungkin inilah sebabnya lima orang yang menjadi bagian dari

Lapar

Sampailah kita ke titik lapar. Tanpa minyak, kau terhenyak. Dengan sedikit garam, kita hitung setiap denyut dalam diam. Baiknya kita piringkan diri, agar tersaji sebentuk nasi, sepotong roti, atau kisah sebongkah batu dalam panci. Hingga pada hari-hari seperti saat menunggu berbuka, kita bersama kuburkan malu, ragu dan seribu sabar yang tersapu. 2008
Potret Seorang Penjaga Loket Gedung Bioskop Yang dipikirkan: selembar tiket telah terlebih dulu jadi pintu ke ruang pertunjukan, mengantar tubuh-tubuh itu ke dunia yang sebelumnya tiada. Jadi dia selalu ingin memastikan: yang tadi datang, akan pulang ke dunia yang sekarang. Dunia yang mengurungnya dengan jendela berlubang dan sebuah meja panjang bersama penantian. Walau deretan poster di ruang tunggu selalu berusaha menipu.

Yang Dirundung Malam

Ini rumah peristirahatan dikepung hutan cemara dilindung cahaya bulan Hanya kesepian jadi unggun tempat aku dan sajak ini berdiang, mencari tahu siapa yang senang dirundung malam, di antara pekik burung dan derit pintu kamar nomor tujuh. Nun lamat orang berkelakar. Bum! Aku limbung di atas tikar. Di rumah peristirahatan ada yang sibuk menoreh kenangan 2008

Maria

- kepada ibunda Ini salam kami yang ke tiga setelah rintih rindu dan doa bisu bergemuruh di gua-gua tanpa nama Di rahmat rahimmu, kami terlalu mimpi dihimpunkan kembali dalam senyaman semayam yang pernah tak ada di antara gugusan nisan Setelah terasing dari sarang, kami tak ubahnya binatang dengan beribu kepedihan Hingga hanya dalam diam kami kembali jadi anak-anakmu sendiri 2008

Masih

Karena aku masih mengingat perih, rintih , dan setiap detik yang membentuk kenangan akan kau Kau pun masih dan akan selalu jadi rahasia di sayap burunghantu waktu senyap merayap di sudut kota Begitu juga ketika taman bunga dan bukit tua disulut segala suluh pada kecupan yang pertama Kau masih jadi pendar yang berdenyar sebelum setetes embun mula-mula sempat turun, tanda terdini pecahnya pagi 2008

Pesan Dari Yunus

Aku sudah mencatat alamatmu dengan darah ikan paus Berikut bau ganggang dan asin yang tak sempat dilanun kapal pada tiang-tiang badai Seperti telah kumuntahkan sebutir labu dan pasir pantai pada perjalanan yang tak sampai di Niniwe Di hari aku mendengar suara

Hari yang Ditentukan

Kukira itu kau Dengan peluru terakhir, berdiri di atas pasir Pantai Normandy yang kau rangkai sendiri Saputanganmu basah entah karena bah, airmatamu, atau laut telah mencuci darah Kauseberangkan juga perahu seperti menyampaikan pesan dari Ike menyerbu naik ke selatan Perancis O Tuan, jangan pernah katakan pada batas mana kita teguh dengan segala kenyataan Sebab ini hari yang ditentukan seekor kucing dengan nyawa yang ke sembilan

Tamsil Rumput Teki

Yang memekik di jalan-jalan sulit adalah kuntum rumput teki Bukan lantaran hujan sudah dihuni dan ribuan huma telah bernama Pekik rumput teki jangan dianggap leta karena begitu dekatnya ia dengan kaki Dengan kaki telanjang atau bersepatu, dunia senantiasa melangkah di atasnya Hanya angin menggoyang-goyangkan serbuksarinya, menaburkan ke lain lahan Yang dinanti hanyalah hujannya sendiri agar tunjanglah akar, tumbuhlah diri 2008

Menunggu

Meja dan kursi erat cengkeram pantat dan pundak. "Pasrahkanlah kepalamu, dunia masih jauh dari kiamat. Dan kami terlalu lama menunggu." Padahal aku sedang menulis sajak tentang kamar dengan bau parfum dan seekor kucing yang jinak, dan seseorang yang sedang merenung. Dari kamar ini, aku mengajak meja, kursi dan seseorang yang ada di kepalaku, istirahat di kamar itu. Menunggumu. 2008

Sebuah Petang di Pematang Puisi

Ini hari tak ada sawah, hanya selembar sajadah dan matahari yang tak lagi pongah Selembar awan seperti kecupan di antara rukuk dan sujud berbatang padi Ayah berjalan di depan menuju lambaian tangan sedang aku tersuruk-suruk dengan luka di lengan Seorang ibu di kejauhan seperti dedaunan pisang menyapa kami atau bulan yang mengintip ubun-ubun 2008

Reboan sudah mau 6 bulan

Image
Datang ya teman-teman ....

Telur Waktu

: Steven Kurniawan Kurasa ada sebuah masa yang menjelma jadi ayam betina di sangkar matamu, ia terperangkap dalam sukar lingkar remaja seperti kau yang menanti suar dan suara pada ledakan sebuah sajak yang tercipta di antara kurung gedung, juga asing negeri singa ini, antara ruang kampus, beratus seri bus, dan puluhan pesan di teleponmu. Seperti kau harapkan juga selalu ada cahaya matahari yang hangat dan diam-diam mengintip di antara ujung tidurmu yang kaujaga selalu tetap simpul dan sederhana, seperti telur itu. Karena bagimu ada hangat yang berlaku di rintih rindu, di sisa senyummu, di bibir ibu, dan kau jelmakan semuanya jadi telur waktu. Menetaslah, meneteslah seperti detak detik di dadamu 2008

Lempar Kata, Siapa Menangkapnya? Bagian 3

TSP : suvenir, printer, setrika, kotak perhiasan, kerupuk, magic jar, kalender, tikar, kapas, spidol, kamera. Siapa mau ikutan? Ini puisiku hasil kata-kata itu. Ini Bukan Bagaimana Memilih Mati Kupilih pil tidur sebagai suvenir sebab malam menggeliat bak kerupuk di penggorengan Lalu mimpi adalah kotak perhiasan yang sempurna seperti sebuah sajak tanpa kamera hanya ada kalender bekas dan spidol di tangkai bulan, kanak-kanak dalam kepalaku berebutan menggambar Jika ada yang bergumam, pastilah ia yang sejak tadi memegang setrika mencoba meluruskan hidupnya Tapi ini malam begitu berisik, seperti ada yang tengah memilih bagaimana ia akan mati Padahal di suatu sudut, telah terhampar tikar , nasi hangat ala magic jar dan lauk yang ikhlas disendok Sebagaimana catatan di atas printer, aku akan menggeser satu tuas untuk hidup selamanya atau jadi selembar angan Dan ini bukan bagaimana memilih cara mati, tapi hanyalah sapa seringan kapas pada dada dan hari berarus deras 2008

Lempar Kata, Siapa Menangkapnya? - Bagian 2

Ada 10 (sepuluh) kata lagi dilempar oleh Hasan Aspahani , yang setelah saya hitung ternyata ada 9 (sembilan) yaitu ; - kancing, - kasir, - saku, - pasir, - akar, - terung susu, - kamera, - asbak, dan - pagar. Dan inilah sajak saya yang dibuat dengan 9 (sembilan) kata itu ; Duapuluh Delapan Larik Tentang Mimpi Di luar kita, mimpi merangkai dunianya sendiri. Sebuah dunia yang tumbuh dengan akar menjalar, daun yang lebar, dan batang yang besar. Hingga kita selalu mengira dunia kita adalah selembar tunas daun yang telah lama tercabut dari pohon mimpi itu. Dan itulah sebabnya kita selalu mengigau tentang buah, yang bahkan bakal bunganya pun kita belum pernah tahu. Buah yang diceritakan secara sempurna, seperti seorang tabib pernah menjelaskan kepadaku khasiat terung susu untuk kesehatan payudaramu. Atau seperti hadirnya seorang pelayan dengan asbak di tangannya segera setelah kau meraih sebungkus rokok dari saku bajumu. Lalu katamu ada pagar rahasia, melingkari tubuh ki

Lempar Kata, Siapa Menangkapnya?

M. Aan Mansyur mengajak saya memecah "kebuntuan" bersyair dengan melemparkan 5 (lima) buah kata benda. Saya menyambut "tantangannya" dengan melempar lebih dahulu 5 (lima) kata kepadanya; - radio - kolam renang - topi - kantong plastik - lemari dan dia menyambutnya dengan melempar kembali 5 (lima) kata kepada saya; - bendera - kartu nama - baju baru - capung - surat kabar lama Seharian mengamati 10 (sepuluh) kata yang tertebar ini, saya mencoba merangkai perlahan-lahan. Akhirnya saya berhasil membuat (lagi-lagi) 2 (dua) puisi dengan tema cinta sebagai berikut ; Kau di antara Bendera dan Iklan Baju Baru Mengenangmu seperti menyimpan bendera dalam lemari , walau dikibarkan hanya sesekali, selalu ia kusiapkan untuk hari-hari seperti hari ini Hari yang biru tenang seperti kolam renang , dan hanya aku yang takut tenggelam Karena mengenangmu adalah mengingat di halaman mana pada surat kabar lama , sebuah iklan baju baru yang pernah

Puisi Nanang Suryadi

Nanang Suryadi Sepatu Itu Tak Sendirian :dtr Sepatu itu tak sendirian. Di deras hujan. Ada mimpi yang menyerta. Menyapa. Serupa tarian. Angin menerpa. Air mencurah. Di ubun kepala. Sebagai kata. Mungkin mantra. Mungkin bukan apa-apa. Tapi kutahu, sepatu itu tak sendirian. Rupanya

Apakah Itu Tangis?

Ada bebunyian yang akrab kita dengar dari pecahnya kesunyian atap sirap karena gerimis kerap singgah pada lembar-lembarnya seperti juga ada yang mengaduh begitu riuh di antara dedaunan yang jatuh dari rumpun mawar di halaman kita Apakah itu yang kaumaksud dengan tangis dalam setiap perbincangan di malam-malam jauh dari rimbunan gemintang itu? Padahal ada langkah-langkah ke arah luar pagar, diselingi tatapan tak percaya bahwa ada peristiwa-peristiwa yang mengiris kita dari dalam dada 2008

Percakapan di Ubud

Bicaralah seperti sore jatuh di atas pematang sawah di antara teriak kanak mengoyak hening malai kuning padi, agar nampak sendu bebatang pinus yang meremang pada ombak rambutmu dan riak-riak sungai mengalun begitu lembut karena di hatiku, ada yang tengah bergelut Bicaralah kau dalam lincah tangan bocah bermain layang-layang, supaya yang luput dari genggaman kita senantiasa berhembus seperti para peziarah yang tak merasa gerah walau seharian di dalam bis d an kau terabadikan sementara dalam kamera digital bagai tubuh sintal para penari itu Jika kau sedang tak ingin bicara, dengarkanlah suara-suara malam sebab ada bulan renta yang hampir tenggelam bergayut di antara percakapan kita 2008

Sekeping Uang Logam

kau genggam juga erat-erat sekeping uang logam berkarat lalu terpejam matamu merapal doa yang bisu ceruk kecil di depan katedral seperti kenangan yang tersengal mengejar langkahmu di kota ini dan akan terus menemani hingga ada yang menggelinding begitu saja, jatuh ke dasar, tampakkan satu sisinya “The Wishing Well, The Wishing Well All my fortune only you can tell…” penuh bimbang di dada, kau melangkah juga ke pikuk pekan raya, ke hiruk pukau cahaya 2008

Rumah Kesunyian

Hanya angin, lalu tirai jendela menyapa bingkai-bingkai foto tua Deru sepeda, secepat berita yang menghilang dalam perpindahan kanal radio Terdengar lamat-lamat, seperti ada yang berkesiut, semacam suara bersahutan, atau sebuah perselisihan tentang hal-hal yang batal, dan yang gagal dalam sebuah penantian 2008

Dadaku Rumah Kapal

Beribu kembang dilarung peziarah pada danau yang dikepung kekuntum padma. Begitulah kulantun segala kesah atas kepergianmu yang begitu tiba-tiba. Dan kapal demi kapal dilepaskan penuh harapan, sebagaimana dari dada sebelah kanan darah mengalir pelan. Hanya di palung, ceruk yang tak pernah diselami, disebarkan tumpang saji. Hingga di jantung, betapa teruk resah ini terus meradang, tak mau pergi. Sebab peziarah terlalu bebal, selalu meminta mukjizat tanpa bisa ikhlas untuk memberi, maka dadaku, rumah kapal ; di mana ada yang ditambat untuk dilepas kembali. 2008

Akhirnya Sepasang Sepatu selesai cetak

Image
Puji Tuhan, buku yang digagas dan dibentuk dari 3 kumpulan sajak Pakcik Achmad, Bunda Inez Dikara, dan saya sendiri selesai dicetak. Buku itu diberi judul " Sepasang Sepatu Sendiri dalam Hujan " yang disunting oleh Mas TS Pinang, diberi komentar panjang oleh Abang Hasan Aspahani, seleksi lanjutan oleh Uda Raudal Tanjung Benua dan Mas Joni Ariadinata serta dilay-out oleh Kinu "Hujan Utara" dan oleh tangan Mbak Nur Wahida Idris dan Carang Book akhirnya buku ini lahir. Beberapa patah kata di buku ini; - "Kumpulan ini bukanlah sebuah selebrasi," Akmal Nasery Basral, jurnalis-penulis. - "Mereka sedang menunjukkan pada kita bahwa hidup begitu memikat justru karena ia (terlalu) singkat," Gratiagusti Chananya Rompas, founder BungaMatahari. - "...kontemplasi yang memadukan unsur peristiwa dan kegelisahan dalam diri," Kurnia Effendi, cerpenis-penyair. - "Ketiga penyair ini sedang menegur pembaca dengan cara yang berbeda," Sigit Susanto

Nyanyi Puji

Betapa harus kusamarkan diri agar dirimulah yang menjadi dan merajai segala tempat, setiap sempat, dan semua saat, seperti sebuah iqamat sebelum salat itu sendiri. Betapa harus kunistakan dan kusangkal diriku sejadi-jadinya supaya hanya engkaulah raja di atas segala kehendak, setiap tindak, dan semua jejak, selayaknya bayangan di tembok yang tak akan pernah kautengok. Namun kuinginkan kau sepenuh sungguh, sebagai ruh, dan tak jenuh mengisi kehampaan dada. Dan ku mau kau mengada pada segala jeda Sebagaimana laut rindu gelombang, kunyanyikan segala bimbang sebelum kau menjelang. 2008

Artikel di Republika

Sastra Mutakhir, Zaman Mati bagi Puisi Oleh : Hamdy Salad Dosen Seni Univ Negeri Yogyakarta Perdebatan sastra Indonesia mutakhir banyak dipenuhi oleh kutuk dan pujian yang tertuju pada dunia fiksi. Nyaris tak terdengar gema keindahan yang mengatasnamakan puisi. Bahkan tak juga menampak adanya kosa-kosa pergerakan yang memiliki aras pada kedalaman jiwa puisi. Seakan zaman menolak kehadiran puisi.Sementara dunia fiksi novel dan cerpen begitu cepat membengkak dalam ruang literasi terkini. Poster-poster kesusastraan, rehal pustaka dan toko buku dipenuhi karya fiksi yang ditulis oleh remaja dan orang dewasa. Para sastrawan bernama atau mereka yang sekedar bertahan untuk memenuhi pasar permintaan. Berbalik dengan fenomena di atas, sosialisasi dan penyebaran puisi hanya bergerak di ruang domistik. Begitu rentan dan getas. Beragam jenis dan bentuk puisi tak pernah lagi disentuh dan dibaca sebagai sumber inspirasi budaya. Akibatnya, ratusan ribu karya tersuruk dalam ruang hampa. Seolah

Aubade

Kukira menangis adalah senyum yang terbaik bagi sebuah perpisahan, maka Tuhan mencipta gerimis pada sore di antara pagar-pagar tinggi dan bayang akasia. Engkau akan menutup selendang dan melangkah pergi, sementara aku memandang lubang dadaku agar tak lekas penuh dengan luka-luka masa lalu. Sebelum malam, biasanya kita siapkan rumah agar selalu hangat, dan selalu engkau yang menyalakan api, menyiapkan kopi, dan membuka percakapan dengan awalan “masihkah…” Maka akan kutanyakan lagi sebelum kita saling meminta diri, “Masih ingatkah bagaimana kita bertemu dulu?”

Jika Kau Lihat ke Luar Jendela

Pintu pagar terbuka sebagai penjara bagiku, yang masuk ke halaman rumahmu dan enggan berpaling dan berlari lagi. Sepeda merah tua di bawah pohon mangga tak sedang menjemput kita, sebab aku tak akan pernah mengajakmu pergi melainkan memintamu singgah selalu. Dan seikat kembang di tanganku, bukan sejenis pikat, karena kita telah sepakat bukan oleh rupa kita terikat, tetapi pada hal-hal lain yang tak bisa kita temukan pada diri masing-masing. Jika kau lihat ke luar jendela, hanya ada aku dan tatapan iba, seakan bertanya "Apakah kau baik-baik saja?" Sebab aku telah lama berdiri menanti "Apakah aku yang kau tunggu-tunggu sedari tadi?" Dekat rerumputan sepasang sepatuku tergolek pasrah, hujan kemarin malam masih erat melagukan basah pada tubuhnya. Hingga pada siang itu, mereka terlihat gembira tanpa pernah bertanya, "Kau masih lama menunggu?" 2008

Di Bawah Payung Hitam

Sepatu melangkah pelan di antara isak dan harapan. 2008

Undangan Sastra Rabuan ke-4, 30 Juli 2008

Image

Dari Tepian Sungai

Santanu, perahu terakhir telah berlalu Tepian sungai hanyalah rimbun pucuk teratai, dan sekumpulan sunyi yang merajai diri. Di perut Gangga, seorang gadis dan lambung perahu kecil bermufakat bahwa borok, nanah dan kudis adalah jerat! Sedang kau, di bawah bayang dedaunan bayan tak hendak samadi atau meminta diri dari keriuhan kitab-kitab suci. 2008

Ketuban

Dialah yang membasuh jalanku, memberi tanda kelahiran. Seperti dentang genta kerbau mengabarkan burung-burung pipit, seperti keloneng kaleng-kaleng bekas indomilk di tangan kecilmu, meruntuh-rebahkan bongkah-bongkah gundah di antara lembah, di petak-petak sawah. Dari dipan tua dan kusam berlapis tilam, turunlah dia serupa sungai yang membelah desa, merimbunkan rumpun bambu dan menyemakkan batang-batang keladi. Digerusnya keras padas pada perbukitan kecil di ujung kampung. Seperti bidan desa di atas sepeda, angin yang menerpa wajah seakan waktu yang terasa begitu riuh,begitu gaduh. Di rongga dadaku, ada yang memukul kentongan di tengah malam; meminta untuk dilahirkan. 2008

Kapan Lagi, Penyairku?

Kapan lagi hujan yang rintik, kaugubah jadi bisik yang gema di telinga? Kapan lagi bunga yang kembang kauberi jadi gelombang yang riuh dalam diri? Kapan lagi rumpun yang rimbun, kausebut jadi embun yang tetes di tengah kalut? Kapan lagi kau yang resah, tumpah jadi galau yang tak sudah, Penyairku? 2008

Andai

Andai ada yang mencintainya sedalam itu, sumur ini tak pernah kering. Pada kecipak daun yang jatuh, kau dengar tepuk kami begitu riuh. Andai ada yang mencintainya seperti kau, hujan itu tak pernah turun. Kami kanak yang terlalu rindu pada kubang air di halaman. Andai kau mencintainya begitu dalam, dia tak akan pernah diam. Menuliskan puisi di antara langit yang temaram, saat mata mulai pejam. 2008 (reply sajak Ingrid di BuMa)

Reboan 25 Juni 2008

Dengan Aneka Duka Sebelum Acara, Reboan Berlangsung Luar Biasa. (Laporan Reboan 25 Juni 2008) Rabuan 25 Juni 2008 terlaksana sudah. Tak banyak yang mengetahui bahwa dari sekian penampil yang dijadwalkan, banyak yang tidak dapat datang karena berbagai hal. Mat Bui Band yang tadinya dijadwalkan tampil (karena lagu-lagunya yang berkarakter alm. Benyamin Sueb) tiba-tiba terpaksa membatalkan kesanggupannya karena anggotanya ada yang sakit, demikian juga dengan band yang digawangi oleh Yudha dari www.kemudian.com juga bernasib sama. Seorang anggotanya pun mengalami sakit hingga terpaksa membatalkan janji untuk tampil. Dion dari Elex Yo Ben pun mengalami musibah yang menurut dia sangat ironis. Dion mengaku sebagai orang yang anti kekerasan, tetapi Sabtu malam sebelum acara berlangsung dirinya menjadi korban pengeroyokan hingga harus berurusan dengan pihak kepolisian hingga beberapa hari sesudah peristiwa itu. Pak Rachmat Ali, yang dijadwalkan membagi pengalaman kreatif sehari sebelumnya mende

Mata Materai

Aku tahu kau inginkan sebuah ikatan. Semacam perjanjian yang disepakati bersama. Padahal tanpa kutulis, tubuhmu menderas di darahku. Dan kau manfaatkan setiap langkahku sebagai sepatu di jalan-jalanmu yang berliku. Tetapi kau mau begitu, mengedepankan ikatan seperti pencatatan sumpah bahwa aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Padahal tanpa bersumpah, adalah aroma tubuhmu yang menguar dari celah bibirku. Dan kau selalu meminta aku berucap pada setiap kesepianku, pada luka-luka hidupku, dan pada tawa yang lepas setelah perjalanan yang begitu luas. Lalu di kedua mataku, kau sematkan materai. Agar apa yang kusaksikan dapat kau saksikan juga. Tapi mungkin kau lupa, ada kalanya aku tertidur. Berlatih mematikan hidup, sebelum mimpi yang panjang. Akankah kau meminta aku berjanji atas mimpi-mimpi? 2008