Posts

Showing posts from 2011

Pembacaan "Sebelum Masuk Gubuk, Setelah Mabuk Derita"

Raka Mahendra, Yosephine Maria, dan Yayok Apfd, dari KPSI, membacakan sajak saya "Sebelum Masuk Gubuk, Setelah dimabuk Derita" di Warung Apresiasi Bulungan, tanggal 28 Desember 2011.

Gaun Tidur 1001 Malam

Gaun Tidur 1001 Malam - malam ini, sebelum cerita dimulai, Raja Syahrayar meminta Ratu Sassanid itu mendengarkan nyanyiannya Cinta seperti gaun tidur yang membiarkan separuh bahumu terlihat, Syaharazad Gaun tidur yang membuat aku bermimpi tanpa harus tertidur, dan lorong-lorong istana yang kosong, seolah gorong-gorong - penuh sampah alam nyata. Cinta, Syaharazad, adalah bagaimana ujung gaun tidur itu menyentuh pualam di dingin malam, sehingga menjejakkan cerita yang tak pernah ada dalam pikiranmu - cerita yang aku dengar bahkan sebelum kau mengetuk pintu kamar. Cinta juga lah gerak juntai gaun tidur itu, Syaharazad yang menganggunkan lambai tungkai dan lenganmu, sehingga angin terdiam beku oleh dinginnya sendiri, dan api di tungku, menelan kehangatannya kembali. Cinta, Syaharazad, semacam lipit gaun tidur itu, yang persis kalimat sebelum akhir kisah yang sengaja tak pernah kau tamatkan. Lipitan yang kau atur sebelum duduk di tepi ranjangku, hingga hukuman yang pernah kujanjikan dul

Merayakan Tahun Baru

Merayakan Tahun Baru Tahun baru, katamu, seperti hantu yang telah lama mengintip dari balik pintu. Tapi tenanglah, tambahmu, karena ada Tuhan bersamamu. Kau bermaksud menenangkanku. Hanya kulihat wajahmu justru mengingatkan pada sebuah Desember yang basah dan kesepian, yang ditinggalkan oleh mereka yang pergi beriringan membawa terompet, kembang api, dengan satu atau dua botol minuman, untuk merayakan kematian 365 hari, yang akan dimakamkan secara bersamaan di udara, malam nanti. Tapi itu bukan kematian yang menyakitkan, katamu lagi, karena besok paginya seorang penyapu akan mengeluhkan - bagaimana cara tercepat menguburkan jutaan bangkai kenangan yang terserak sepanjang jalan? 2011

Pada Mulanya Adalah Nyanyian

Image
Pada mulanya adalah nyanyian, cakrawala terbuka di kaki langit, kesiut angin laut, dan suara karang dihantam gelombang. Nyanyian itu digemakan guha-guha, direnung gunung dan bukit, tapi selirih suara satwa yang telah disembelih, dan dikorbankan di atas altar. Dia diulang-ulang dalam sembahyang, sebagai nama-nama tuhan, yang dikenalkan dan dikekalkan aneka kitab dan mantra. Dizikirkan para peziarah, yang zuhud, yang mabuk cinta. Yang lupa pada usia, dunia, dan peristiwa-peristiwa yang berkelindan pada pagi dan petang. "Baiklah, kita tidur sebagai bayi saja," katamu dalam tangis yang manja. Tangis yang timbul setelah kita tak mampu lagi bicara tentang pahlawan, pedang, atau raja. Padahal tadi, aku hendak bernyanyi memuji Dia, karena sejak awal tak ada bagiku yang lain selain nyanyian kemenangan. Nyanyian yang dikutuki para pecundang, digelorakan para serdadu dan pengasah pedang. Sebab, pada mulanya memang hanya ada nyanyian, suara-suara yang didengar dari atas tembok kota, dari

Peristiwa Di Depan Istana

Yang didahagakan para denawa dan Rahwana adalah juga yang kita cintai dari hal-hal yang nyata, Kekasihku. Dan jika dengan air dan debu, Engkau masih ragu, biarlah kunyalakan tungku. Api adalah apa yang menuntaskan, juga memuaskan. Kepadanya, segala yang indah tak sepenuhnya musnah, hanya mengabu, mengembalikan pada senyawa-senyawa sederhana. Memecah-mecahkannya ke udara. Dan akhirnya, Kekasihku, yang terlihat adalah hakikatku. Muasal dari semisal bahan aku dibentuk. Hm..Hanya mungkin tak kau lihat yang menyublim itu! 2011

Esai Fradhyt Fahrenheit "Masturbasi Kata-Kata"

Catatan: Esai berikut, ditulis dalam rangka rencana penerbitan buku puisi saya yang perdana "Gelembung." Ditulis oleh seorang Creative Director yang juga telah menerbitkan novel (trilogi) yang best seller dengan angka penjualan yang fantastis. Sengaja saya memilih beliau dikarenakan profesionalitas beliau sebagai creative director sudah tidak bisa diragukan lagi. Banyak brand jadi besar di tangannya. Dan sesuai dengan keinginan awal saya yang ingin menjadikan sajak-sajak saya bisa diberlakukan seperti sebuah brand, maka begitulah kami berjodoh dalam buku ini. Berikut adalah tulisan beliau. Silakan dinikmati. Masturbasi Kata-Kata Dalam pengantarnya Dedy Tri Riyadi menuliskan, “Sebagai penyair, saya merasa sangat perlu menjadikan puisi-puisi yang saya tulis bukan untuk konsumsi pribadi.” Saya setuju. 1000% setuju! Setidaknya kalau ingin jadi profesional di era sekarang, wajib mengerti insight dari komunikan, atau target market. Harus tahu tren dan apa yang diinginkan suatu komu

Teringat Sumadi

Sebagaimana bunga memercaya cahaya, yang memekarkan warnanya, dan kelak akan membuatnya kekal pada mata lebah madu atau kupukupu itu, begitulah aku memanjakan panjang ingatan yang merentangi waktu. Ingatan tentang kedai bibit tanaman di depan asrama kampus, seseorang dengan tubuh tinggi-kurus, dan cita-citanya yang terlanjur lampus, seperti mahkota bunga sehabis peristiwa penyerbukan itu. Dan sebagaimana bunga yang layu dan jatuh itu percaya: benih hidup yang dikandung badannya, akan berkembang jadi buah yang manis dan cantik, aku pun yakin pada sederet kalimat talqin yang dibacakan sebelum dia dimakamkan. Namun ada semacam getah buah sawo kecik yang tak akan lekas lekang membuat puas pada dahaga tentang hal-hal yang baik, tapi menyisakan sedikit rasa getir di sudut bibir. 2011

Kita Bercinta seperti Angin di Gunung Itu

Kita bercinta seperti angin di gunung itu dilembutkan suara hutan dan air terjun, dipagutkan warna satwa dan segala rumpun. Sampai kita tak bisa bedakan: itu percik atau embun. Cahaya matahari memintal bayangannya sendiri, seperti aku yang tak menyesal hilangnya diri, sedangkan kau - gemawan di ujung ufuk, memukau tubuh ladang yang menguning jeruk. Kita bercinta seperti angin yang sampai di sebuah dangau, meningkah sayup suara gending di radio yang merasuk dalam mimpi siang petani yang lelah. Sementara seekor kerbau sibuk memamah rumput di sebuah kubangan, di dekat sungai. Seperti aku yang takjub - bagaimana cinta selembut maut, tiba-tiba mengingatkan akan Tuhan. 2011

Litani Petani

Diberkatilah caping dan matahari, karena mereka buat aku mengerti begitu teduh harapan meski selalu setia panas bersinar. Mereka mengajarkan aku sesuatu yang padu padan dan yang berlawanan, tetapi bisa berada bersama di padang terbuka. Diberkatilah cangkul, lumpur sawah, dan rumput. Mereka yang memberi pengertian bahwa hidup itu senantiasa bergumul, berserah, dan tak menyerah meski pada maut. Diberkati juga embun dan sungai. Supaya kami belajar menerima yang sedikit seperti titik-titik air di atas daun, dan disadarkan bahwa tak ada padas yang tak bisa jadi batu paras, sepanjang kita terus menggerus. Diberkatilah lenguh dan embik ternak itu, juga cicit anak burung dalam sarang. Karena mereka semua menyadarkan aku bahwa kata-kata haruslah disuarakan dengan bijak, bukan keluh, jerit, dan teriak semata. Diberkati pula Pak Kades, Carik, Modin, dan Kamituwo, lewat mereka, aku belajar tertib untuk dipimpin. Seperti setiap menjelang magrib, serombongan itik atau kambing juga sapi dituntun gemb

Kekasihku Bukan Bunga Melati

Ia bakung, bunga gunung biasa. Kata-katanya kelopak berwarna, tegak mengatasi rumpun daunnya yang rimbun. Ia yang berkata "silakan" saat aku datang dengan sakit di pinggang, juga waktu kukeringkan petal-petalnya jauh setelah natal - sebab di Juni sampai September, aku kerap menanggung panas dalam. Amboi! Dia berumbi. Dari padang rumput, hutan, dan rawa-rawa, kukuh tak tercabut. Dia bertahan, selama dia bisa. Kekasihku bukan bunga melati, yang kau hidu harumnya, dan dibiarkan mengerang, "Aku mengering!" 2011

Nyanyian Di Tepi Sungai

sebelum turun embun dan dingin kabut dari bukit memeluk tangkai bunga lantana sungai seolah baru saja dimandikan dalam hijau gerumbul paku dan bayang-bayang di batu, sebentar lagi, disempurnakan dalam gempuran cahaya matahari dari samping jembatan kayu segerombolan semut mengusung tungkai bangkai belalang dari daun ke daun seperti langkahmu yang lembut ke batas wajah padas setelah hangat yang membuat wajah bunga lebih berwarna daun-daun keladi seakan tak ingin kehilangan titik-titik air dan seekor ikan seolah sontak bergerak oleh riak yang timbul itu di dekat bonjol rumpun pisang tak ada nyanyian lain selain suara kodok dipuaskan musim. 2011

Kata-Kata Kota yang Gusar

Dengan kereta malam, aku memutuskan meninggalkan jejak yang samar pada jam 3 dini hari yang secantik gadis yang belum tergoda memasang behel dan membeli blackberry. Jejak yang hanya bisa dilihat jelas dari jendela kereta - antara rel dan gubuk-gubuk tanpa bentuk. Menanggalkan juga kenangan yang memar dari sebuah kamar kontrakan berukuran 3 x 10 meter persegi di dalam gang yang tidak pernah sepi. Suara pedagang tapai dan sol sepatu, penjaja baterai jam dan remote, juga bunyi duk..duk..duk.. dari pinggang gerobak sate padang yang digebuk kipas bambu adalah degup yang begitu hidup di sepanjang jalan, di sekitarku. Berjaket jins, aku duduk di gerbong, yang besi-besinya mengingatkan seseorang yang muntah karena mabuk di ujung gang persis saat peronda hendak memukulkan tongkat pada tiang listrik. Dan kurasa, seperti mereka, aku bergulat dengan gigih: mempertahankan kesadaran, mengingat waktu tak boleh berlalu tanpa hal-hal yang dingin dan hampa. Tapi lewat dari angka satu, jarum jam di arloj

Kampung yang Sabar

Becek jalanannya jauh dari rengek ranggas pepohonan, sekumpulan burung jalak turun dan minum dari air tergenang. Bohlam lampu jalan bercaping seperti para petani, mereka yang sama-sama disadarkan dan ditidurkan oleh nyala matahari di balik gunung itu. Dan kerbau-kerbau, setiap pagi dan petang, seakan mengingatkan demonstrasi besar-besaran di Jakarta beberapa tahun silam. Menambah beberapa lubang besar di jalanan, dan juga kotoran. Sekumpulan bunga seruni tampak lebih putih dikepung timbun ceceran gabah. Seekor kumbang mendengung keras di kuping dari arah pohon rambutan. Seolah-olah baru saja turun seregu pasukan. Siap berperang. Seorang gembala tergopoh-gopoh berlari. Kaki dan celananya ternoda lumpur setengah kering. Diseretnya seekor anak kerbau yang menolak terlepas dari puting induknya. Ada kabar apa dari ladang? Seseorang bertanya. Sambil menahan tali kekang, Si Gembala menjawab,"Kabut mulai turun." Aku meneguk sisa teh rosela di cangkir, menekuk tubuh di dalam sarung, s

Menunggumu di Bawah Papan Iklan Panti Pijat

Menunggumu, menghadirkan kata: setia dengan warna-warna cerlang seperti cahaya neon yang mengerti benar - kesederhanaan sebuah jarak. Bahwa malam dan waktu menjauh dari tepian sepi. Dan seorang diri adalah pemahaman akan kemerdekaan - atas rasa saling memiliki. Jika nanti kau tiba, belum tentu aku akan menyapa lebih dulu. Sebab ada yang telah jadi sejarah - debu pecah dalam erang: Jakarta!

Komentar Tentang Calon Buku Puisi

Saya sedang beritikad untuk menelurkan sebuah buku puisi akhir tahun ini. Konsepnya sederhana: mengumpulkan sajak-sajak yang sudah pernah dimuat di media massa, dan beberapa sajak yang menurut saya, sayang sekali jika tidak mendapat perhatian luas. Secara umum, konsep dari buku puisi ini adalah bagaimana saya membuat variasi dari pengucapan saya terhadap persoalan hidup. Ada yang komikal (seperti Sajak-sajak tentang Pacar), ada yang saya angkat dengan bahasa-bahasa Alkitabiah (Tiga Versi Berbeda dari Nyanyi Ratapan) , dan ada juga puisi-puisi yang metaforik, seperti kebanyakan puisi. Buku puisi ini saya beri tema besar (yang kemudian menjadi judul) yaitu Gelembung. Kenapa "gelembung"? Karena menurut beberapa orang yang saya jumpai, yang tak jarang adalah bukan penggiat sastra, tetapi menyukai sastra, puisi-puisi saat ini sudah sangat banyak dibuat orang, tetapi sedikit sekali yang benar-benar membekas. Lewat buku ini, setidaknya saya ingin membuat semacam bekas, minimal "

Kucing Hitam

Image
Kucing itu lewat di depan rumah saat bulan tidak lebih megah daripada wajah tokoh pada sebuah baliho Dia berbulu hitam seperti malam yang sibuk menyibak gemawan dari riuh gemintang Di dekat pagar, dia mencakar-cakar sesuatu yang mirip tubuhku. Ada yang berdarah. Semacam luka menyemburkan kata-kata. Persis sumpah. Kali ini, aku seperti mewakilinya berdoa, "Berikanlah dia pada hari ini makanannya yang secukupnya, Tuan." 2011

Dongeng yang Bermukim di Matanya

1. Malam mengantuk sejak kita duduk di beranda. Udara semakin mirip poster pilkada. Kau mengangsurkan teh jahe, tapi ada semacam sisa kristal gula pada bibirmu. 2. Aku tak lagi merokok. Namun, percakapan seakan asap yang terhambur dari luka jendela yang tiba-tiba menawarkan rencana liburan - berdua saja Lantas kurasakan ada yang lepas seumpama deras desir angin pantai dengan warna daun kelapa - padahal tinta malam masih pekat, masih melekat di matanya. 3. Kita merapatkan badan dalam sebuah genggaman tangan. Berharap pada suatu pantai, di suatu pagi, kita lah mereka yang tersisa dari kapal yang karam. Tapi kita tak lagi bebas, seperti sisa panas yang tumpas dari secangkir teh jahe itu. Amboi! Kusaksikan ada sebuah dongeng tentang pulau yang menghimbau sepasang petualang untuk terdampar dan bermukim di matanya. 2011

Di Pantai Parangkusumo

Ini kali, biarlah Batu Cinta jadi saksi doa-doa kita tadi, sementara angin berlari di antara topi pandan lebar dan rambutmu yang berkibar Apa lagi yang dapat ditawarkan oleh para penjual kembang? saat wangi dupa dan kemenyan bercampur harum pantai yang tergerai di sepanjang cakrawala Dulu di Puri Cepuri, telah berjanji sepasang kekasih hingga kita menabur bunga dan air sekendi Dan di pantai, di atas kereta kuda, kita seolah pelukis - menarik garis dari timur ke barat, ketika usai upacara labuhan. 2011

Orang Gila di Seberang Jalan

Dia menatapku. Tidak. Dia menjangkauku. Kata-kata berterbangan dari matanya. Juga dari kumisnya, rambutnya, dan daki di sekujur badannya. Dia mencariku. Pasti. Meneroka setiap liang luka yang aku punya. Dan kata-kata seakan kupu-kupu mencumbu bunga. Berkeriapan di rambutku, kumisku, dan pada daki di seluruh badanku. Dia di seberang jalan. Aku di simpang bimbang. Sementara lalu lalang sepeda motor, taksi, metromini, dan mobil pribadi, di pagi ini menemu arti. 2011

Heichi Sugiyama

Dia adalah seorang penyair asal Jepang yang bulan Oktober ini menjadi penyair bulan ini dalam situs www.poetryinternational.org . Selain menjadi penyair, beliau yang lahir di tahun 1914 ini juga adalah seorang kritikus film. Berikut, beberapa karyanya yang terkenal, yang saya coba terjemahkan dengan bebas. Heichi Sugiyama Lagu selembar kertas bekas yang lusuh itulah aku mencoba kembali berbentuk ia gemerisik dan bergumam sebuah tiang rumah akulah dia pada kedalaman malam di mana sekeluarga pulas ia berderit gorong-gorong di bawah jalan beraspal itulah aku larut malam saat tak ada lagi yang bergerak ia bernyanyi Heichi Sugiyama Kunjungan kupencet tombol panggil pada gerbang yang pasti menderingkan sebuah bel menyalalah lampu di pintu masuk dan kudengar, "Siapa itu?" mendadak anjing mulai menyalak seorang kanak pun menangis ada suara, mungkin ibunya, marah Aku merasa sesuatu terjatuh ke lantai, sebuah pesawat menderu di atas kepalaku menghirup nafas dalam-dalam kukumpulkan selu

Kartu Pos Bergambar Kolam Teratai Kebun Raya Bogor

Barangkali, di antara rimbun akar yang disembunyikan wajah air itu, dua ekor katak sedang bercinta dan bercerita, "Dulu, seseorang pernah berjalan-jalan tanpa pernah menjejak tanah dan rerumputan." Daun yang lebar dan bundar, berpuluh mata terkembang berbinar: menunggu seekor ikan, kecil saja, memainkan buih mungil yang tumbuh dari percakapan mereka. Barangkali, sedikit riak di permukaan kolam mengusik selimut lumut, dan mengejutkan pasangan itu, hingga menuntaskan kisah itu dengan damai. Tanpa ada yang merasa telah lelah atau kalah. 2011

Panoramio Serayu

Kota telah hilang, jauh di belakang hamparan sawah dan rimbun rumpun bambu. Hanya sinyal telepon genggam mengingatkan betapa cepat dan dekat sebuah perpisahan. Sungai mengekalkan warna langit yang bisu, seolah baru saja pulang; luka perang seorang serdadu. Saat seperti ini, aku ingin mengingat Tuhan. Tapi biarlah Dia bermegah saja! Sebab di sepanjang Serayu, perahu penambang pasir tak hendak mengarah ke hilir. 2011

Sejenak Di Dalam Sajak

Kita serupa waktu yang sekarat, yang tengah lewat di antara bangunan bergaya art deco. Tak ada yang mencatat, apalagi memahat Hanya grafiti berwarna meriah kadang membuat kita lupa pada hal-hal yang pucat, dan yang berkarat. Meriam di tengah alun-alun kecil itu sudah lama diledakkan oleh kesepian, sama seperti yang menyergap kita di sini, di tepi kolam air mancur yang sesekali menyegarkan perasaan tentang betapa baiknya dia yang mempertemukan kita di sini, walau sejenak di dalam sajak. 2011

Di Cholula, Di Luar Kota Puebla

Salju yang memucat di kejauhan itu, seperti kecemasanku sendiri. Ketika tersadar bahwa ada saatnya sajak ini terlalu angkuh di tengah kenyataan: bahwa cinta sangat bisa dinyatakan hanya dengan genggaman tangan - tanpa kata-kata. Dan Puebla, seolah kota yang jatuh, yang dihamparkan di bawah gunung, jauh di bawah patung malaikat pelindung. Dan persislah ia seperti kata-kata dalam sajak yang selalu pasrah jika bertemu para pencari makna, para pecinta. Saat memandang ke arah Cholula, kitalah sepasang yang kepayang itu. Dari atas jembatan ini, kita saksikan betapa tangan dan jemari kita terlalu kecil untuk menggenggam keindahan yang tersaji sebagai rangkaian imaji yang hendak ditinggalkan, dan mungkin kelak dilihat kembali sebagai foto wisata, atau hanya suatu tanda belaka: bahwa ada yang bisa diperkatakan, ada juga yang akan terus dikenang - sebagai cinta. 2011

Potret Peniup Terompet Buta

Malam terbaring saat lampu jalan tegak memandanginya membuka peti usang itu. Tubuhnya yang renta seakan ditopang warna jingga dinding bangunan kolonial, dan tangannya gemetar saat bintang-bintang seolah berebutan menghitung: berapa lama waktu yang diperlukannya untuk menyeka bercak-bercak kesedihan pada pipa kekuningan itu dan berapa siap angin berkesiap mengiringi nada-nada yang dipersembahkannya tanpa kata-kata. Hanya bulan dan kota berdiam, seakan dia akan bertahan selamanya. Selama aku memandangnya dari sebuah lukisan. Dengan sebuah keyakinan: bahwa sajak tak pernah beranjak dari dalam diri. 2011

Setelah Pertemuan Kita

Ini hari pertama kali kulihat kamboja berguguran, seperti kedatanganmu dengan mata berlinang. Ini juga hari terakhir kulihat matahari, yang sinarnya seperti tanganmu yang tak henti ingin memelukku. Sungguh hal yang menggembirakan, melihat kau merasa kehilangan. Sekaligus hal yang menyedihkan karena tak bisa lagi kulihat kau tersenyum. Aku tak bisa lagi berkata; aku mencintaimu. Tapi ini adalah saat di mana kau harus berucap; aku mencintaimu. Harus. Sebab setelah pertemuan kita, tak akan ada lagi kata-kata. 2011

Kantika Maria

Saat hujan datang, akulah debu yang berseru, "Siapakah yang turun bagai embun? Dilumat-lembutkan sejatiku, dirawat dalam langut; rindu hati itu." Meski langit tak lagi sepi dan berubah sepia, juga jalan-jalan digenangi suram kenangan, akulah duli; lekat pada sepasang sepatu. Dan kau, gelora yang tampias sampai ke gerbang kota. Hingga sudah lupa aku akan panas, kini takjub pada megah langkah yang membawaku ke sebuah rumah. Saat hujan datang, aku mencatat sejumlah karat pada tiang dan pagar, agar mereka, yang sedari tadi menunggu hujan reda, jadi tahu: tadi, seorang Ibu telah bertemu dengan anaknya! 2011

Pertanyaan-Pertanyaan di Suatu Pagi

Malam memunggung arah gunung. Embun yang jatuh, siapa tanggung? Daun hanya penadah, pelepah tergantung. Di sulur-sulur itu, apa yang kau rangkum? Perlahan mata dibukakan selubung, sanggupkah bila kau tak membendung? Pedih yang serupa titik air turun, rintih siapa terdengar menggaung? Malam tadi, telah jauh tertundung, kitakah itu dicampuh tajamnya murung? Di dahan, keciap anak-anak burung, dan kita tak pernah siap bila disilap tenung? 2011

Setelah Masuk Senja

Setelah masuk senja, angin melipat tangan di balik gerumbul, api menyalakan kuatir akan gelap, dan kota menidurkan sementara anak-anak mata yang rindu di bahu jalan. Seseorang berjalan, melambaikan tangan pada metromini, lalu bertakbir pada rumah-rumah yang jauh: kiranya tegakkanlah kembali wangi ubun-ubun kanak, dan senyum istri yang tadi terserak. Setelah masuk senja, tangan angin mempererat selimut, di ujung selang tangki gas 3 kg api memeluk seceret air, agar anak-anak mata bisa bermimpi tentang kehangatan kota, dan dia yang memandang kaca jendela metromini tidak lagi ragu pada perjalanan: ini hanya sekilas bayang yang belum sempat diringkas, dan disimpan oleh pagi tadi. 2011

Ketika Semuanya Sederhana

Angin menyeru pada gunung dan lembah, menyuruh termenung dan menyembah. Pepohonan runduk dan diam. Mabuk kalam. 2011

Kepada Piring

~ dari Mazmur 12 Sungguh sesal bibir dan lidah, tinggal sisa kuah asam manis dan amis itu. Tak terasa sudah segar buah, hanya ada hambar dan yang terlukar - kekal lapar. Engkau: denting mahapenting di saat teramat genting. Aku: sengkarut di ruang makan, terlanjur takut mendengar suara-suara dari dalam perut. Di atas meja, sepasang kita: seperti sendok dan garpu di kiri dan kanan - menunggu hal-hal yang sekian lama dipercakapkan, dicukup-sekiankan - dalam makan. 2011

Kepada Ranjang

~ dari Mazmur Pasal ke-4 Aku hendak tidur. Tidur yang panjang dan tenang. Yang ujung-ujungnya diikat kuat di ranjang, dan mimpi-mimpi jadi luas terbentang, bertabur bintang; bintang yang berpendar dan malam tetap memagarinya dengan kulitnya yang hitam. Agar pejam mata tetap nyala seperti doa orang bersyukur; yang mengulur kembang dan mencukur rambut tengkuk yang meremang, serta berbaju sutra lembut; Selembut tanganmu yang tenang menggamitku ke tempat jauh dan sepi dari suara dia yang tetap terjaga. 2011

Rindu Dalam Kemasan Lagu Rock

O, Dahaga! Betapa kau: cawan kosong itu. Di punggung bukit, ladang disisihkan langkah ternak. Disingkur parang dan pangkur. Musim-musim tidur di carang gelugur. Di semak-semak, burung-burung semakin sembunyi dan bertelur. Tak ada nyanyi itu! Betapa sumur: Rindu tak berdasar ini. Kering dedaunan seiring hujan jatuh di negeri-negeri asing. Masing-masing lelah dalam ketabahan, untuk tak bisa dikatakan kalah. Pada tingkap, debu teramat yakin akan sebuah niscaya: Mulut angin tertutup rapat. Tak akan kaudengar suaranya! Lantas kita menerka wadi: sungai rahasia. Asal kau minum di sana, bertambahlah usia - untuk menanggung segala rasa percaya pada awan-awan gelap, pada sukma-sukma yang tak pernah lelap, atau sekedar menunggu kertap di jendela, pesan untuk menggali - mendalami betapa sebentar hal-hal yang telah jadikanmu gentar. 2011

Kepada Pemetik Kecapi

Matanya: nyalang nyala. Lincah unggas di tenang telaga. Jadi gairah yang dilukar, dibakar, dan diunggunkan di tengah-tengah buncah bungah. Terarah sungguh pada nyanyi para pemuji. Dari tadi, tepat sesaat jari-jarinya: kepak sayap di antara riak dan rimbun teratai itu. Ada api yang berderak, meluluhlantak, dan mengabukan seluruh pilu dan sepuluh nyeri ngilu. Sesudahnya, telinga kita: mendaras lagu, melaras nahu. Semacam taklimat dari beragam kalimat penuh hikmat. Hingga di tepi sebuah danau, hal-hal yang dulu hanya serupa racau seluruhnya terjangkau: Engkau. 2011

Semacam Syair Balada Tentang Masa Remaja

Masa remaja itu, bunga rumput itu, di antara ilalang dan kembang, angin memagut, mencium lembut. Melepaskan kelopaknya. Membebaskannya ke udara. Seperti kelepak itu, di langit itu. Kita memandang dari lembah ke luas padang, sambil bergumam,' begitu bebas, begitu lepas, begitu lekas. ' Masa remaja itu, pijar matahari di pepohonan, gelap sekilas membayang, di antara tajuk dan daun. Disinarinya: kelinci dan tupai yang berloncatan, seperti irama lagu itu, di telingamu. Di danau, di hampar yang berkilau, seorang pemancing menarik senar, seekor ikan menggelepar. Kita menahan nafas. Sebentar saja. Hanya selintas. 2011

Gelembung

Kenangan nampak seakan kanak yang bermain tiup gelembung. Kita selalu dibuat kagum: tubuh bening, pukau kilau pelangi, dan yang tinggi membubung. Kita juga dibuat maklum: ketika meletup saat ditiup, pecah dia di udara, dan di lantai tinggal selingkar tanda. Kenangan seperti anak itu, senyampang hari terang, terus menghembus. 2011

Dubia

Mendungkah yang menyurungkan hujan hingga ia jatuh ke tanah, ataukah Kita yang tak sanggup menahan kepedihan, hingga harus membagikan basah kepada semua? Langitkah yang menyalakan warna-warni pelangi ataukah Kita merasa berbahagia hingga kepergian mendung dan hujan kita rayakan dengan lambaian pita-pita di udara? Jalan basah dan berlumpur itu, diakah yang menghalangi perjalanan atau Kita yang masih ingin berkesah dan menekuri apa yang tak dapat diraih dari hari ini? Di pantai, ombak yang berdebur-debur, keluhnyakah yang Kita dengar setiap kali merasa rindu? Atau hanya deretan perahu yang tubuhnya dikosongkan dari layar dan jangkar? Mobil-mobil yang lalu lalang, pelajar dan pedagang yang diangkut dan diturunkan, apakah dari antara mereka Kita belajar tenang? Apa luasan laut yang menghanyutkan sebutir kelapa membuat Kita tetap waspada dan berjaga? Himpunan pokok nyiur, pantai yang tampak pucat itu, apakah mereka mengajarkan pada Kita untuk setia? Mungkinkah mem

Apel

Jika kelak aku terjatuh, jauh dari rengkuh dan tiba pada ribaan lara, kau akan kukenang sebagai dahan, cekatan meluruh selembar daun. Juga tepat sebelum lalat buah sempat singgah dan menitipkan puluhan telur yang renik itu, kau embun, pembasah dan pembasuh sulit sakitku. Meski pernah terlintas, di getasnya waktu, kau adalah dia yang begitu tertarik pada pelik daya tarik dan aku hanyalah apel yang tiba-tiba jatuh. 2011

Ode Pada Cahaya yang Terpesona

Di bawah pepohonan cahaya telah jatuh dari ketinggian langit, bersinar seperti hijau kisi-kisi cecabang itu, berpendar pada setiap helai daun, meluncur turun seperti jernih pasir putih. Seekor jangkrik melantun anggun lagu gesekannya meninggi di kosong udara. Dunia itu sebuah gelas penuh luber air. ~ Pablo Neruda ~

Lembu

Tanggunganku, rindu pungguk. Berbeban kayu gandar dan lengkung kuk Aku lembu penarik. Kuseret sarat terbaik untuk bulan setengah hilang. Pada malam di luar pagar, ku syairkan aneka kenangan liar Yang mencambukku tanpa irama, sepanjang jalan mendaki ke huma. O, Tandukku, Sepasang lengan kesombonganku. Yang kukuh hanya garis mimpi. Di hadapan bulan, ia menekur semak rumput, mensyukuri nikmat maut. Dan punggungku, rimbun lembut kecup Ibu, bertabah pada semua yang berubah. Tak ada yang berat dan berarti melelahkannya. Mengalahkannya. Sepanjang jalan ke huma, roda pedati bergerak-berderak seperti usia. Aku lembu penarik, di bawah bulan setengah hilang, terengah-tertatih. 2011

Sejak dari Pasar, Aku Bumbu Dasar

Di lorongmu, Pasar, aku sekeranjang rimpang lengkuas. Sedikit bercabang dan bertunas. Didasarkan, disadarkan, nanti seorang pembeli mempesiangku. Sesiangan. Lukaku getir ketumbar. Padanya terhidu anyir sabar. Tak dirawat, terus ditawar. Ditunjuk-tunjuk tangan saudagar: "Secupak sedinar? Segenggam sedirham! Alahai, langkahku hanya bubuk rempah. Cengkeh dan lada. Selekeh tak berharga. Sejimpit tak sejumput, bagi bumbu sup buntut. Tak sesiapa pun membuatku surut. Bagiku hidup ditumbuk dan disangrai. Didera mabuk dan sangsai. Sampai kelak berubah bentuk. Dari kukuh hingga lepai. Begitulah kelak segalanya selesai. Sejak disajakkan untukmu, Pasar, daging lembu dan lawar. Aku akar temu dan aneka bubuk. Di meja makan, hanya lihai lidah yang sanggup membedakan. 2011

Dan Sebuah Huma adalah Kita

Pada padang hijau dan rumput yang sepanjang tahun dimandikan embun, kau menenangkanku seperti wajah danau itu. Duhai, tak ada lagi gelora, gelisah kaki-kaki rusa, sebab di tepian sungai, kaulah pohon tarbantin terbaik. Dari lawak-lawak ternak dan pagar yang rusak, aku serpih bulu domba, sisa dimangsa serigala. Tapi kau, nyala pelita. Berbuli anggur dan minyak, sepiring penuh panggang punggung lembu. Di atas bara, aku dihidupkan. Serupa mur dan ukupan. O, Api. Di tanganmu ada yang ditarik dan dilepas. Angin di gisik, angin dikipas. Riuh suara bapak & anak, para petani berderai menggaru dan lihai membajak. Di dalam kemah, meja perjamuan meriah. Tak ada undangan, tanpa tangis sepasang kekasih. Aku tak melewa, kau bersahaja. Pepokok bunga. Bungaran di sebuah huma. Duhai, Tak sesiapa. Hanya gundah lembah dan kidung cemara. Di gunung. Di himpun bebunga bakung. 2011

Semoga Kau Bertemu Aku di Sajak Ini

Sejak kau bisa berlari, selalu berjumpa persimpangan. Jalan ke kanan mengarah pada sebuah pasar : satu pertaruhan besar, Lorongnya yang gelap seperti lebat akar kota, tak membawamu ke mana-mana selain berdesakan di trotoar: sisi penyesalan. Di sana, tubuhmu dihimpit kenangan, dijepit harapan. Jika kau limbung, Tuan, ada satu kursi kecil tersedia. Serupa neraca. Warnanya sungguh pas dengan celanamu yang bimbang. Tapi tenang saja, dia tak pernah bergoyang. Selalu seimbang. Dan jika kau mengarah ke kiri, ada taman yang sunyi, di mana seonggok sajak menyala dan seorang penyair membakar diri sepenuh mantra. Ada tikar lebar terhampar: mirip tahun yang sabar menungguimu berhenti berlari, berbelok bahkan berbalik, sampai kau menemu seseorang yang duduk menemani, atau pura-pura sibuk, tak peduli. 2011

Sajak Becak

Tiga roda dekil, dalam laju yang kelu membelah jalan kota siang itu. " Padanya adalah mereka sekeluarga, tangis minta susu dan uang belanja. Sebab itu kami dikayuh sekuat tenaga oleh seorang bapak yang nyaris mati setiap hari. " 2011

Tersesat di Negeri Boneka - 2

Image
: Barbie i Tak hendak aku melicinkan kulit pundak. Tak juga ingin mengepaskan sepasang payudara di bagian muka gaun penuh renda. Aku kayu saja. Lebih padu dengan legam rambutmu sebagai konde. Ibu sajak suka menyasak rambutmu itu. Dia tak suka mengajariku memasak. Sebab rambutmu teduh dan rimbun serupa miang tebu. Dan jemariku terlanjur lurus terhunus. Ibu sajak kuatir jari-jari ini melukaimu. Maka tampillah kau serupa puteri. Menjalani simpang ragu. Melenggang di jalur rindu. Supaya cinta tampil sempurna pada keriap mata dan tubuh kayu ini semakin lencang, tak kunjung layu. Berdiri aku di halaman rumah. Mengharap alam selalu ramah, tak pernah marah. Dan matahari, bapak yang selalu pulang pagi dan menghilang di pematang petang, guru menggaru dan membajak, juga mengurus ternak. Itulah sebabnya, kulit pundakku tampak legam dan berkerak. Persis kayu. ii Semakin hari, rambutku merah. Bukan kuning cerah seperti rambutmu. Tapi Ibu sajak suka sekali pada sisa angin gunung dan keringat petani d

Tersesat di Negeri Boneka - 1

Image
: Teddy Dari negeri jauh, kucium bau kulit melepuh. Coklat hitam warnanya seperti bulu-bulumu, yang mengingatkanku pada sebentang padang gersang, sisa-sisa perang, dan musim kemarau panjang. Tapi kau begitu lembut. Serupa kuncup maut yang halus memagut. Melupakan tatap derita dan menggantinya dengan cerita anak, cerita yang begitu pelan mengajak ke pangkuan bunda sajak. Sebentar saja, aku ingin berbaring di dadamu. Dada yang tenang dan lapang melebihi dada kekasih. Dan kubayangkan sebuah telaga jernih. Di dalamnya, kubasuh luka dan perih. Luka sewarna bulumu itu. Seperti habis dibaptis, aku lahir kembali. Menjadi anak-anak. Kurasakan, tangan bunda sajak mulai mengelus kepalaku. Dan pada sentuhan pertamanya, kulihat di matamu sesuatu menghitam cemburu. Sementara waktu dan maut tampak kusut di tubuhmu. Tubuh berwarna coklat hitam tapi terasa lembut. 2011

Antares

"Dari sekian sengat, Cinta, inilah yang akan membuatku tamat. Bengkak merah ini terlalu besar dibanding sejumlah titik di kelam tubuhku. Di malam dan di subuhku, di mana kuingat engkau." Aku hanya menyusun segugus tanda rindu. Melantun sejumlah lagu pilu. Agar tetap di langit gelap, ku dapat merupa wajahmu. Wajah yang merah dadu. Wajah yang selalu ragu. "Duhai. Betapa kita adalah angkasa raya, Cinta. Adalah luasan di luar segala yang bisa dikira. Betapa pun engkau sembunyi di balik kabut itu, ada yang selalu berlari menjemputmu. Karena kita, Cinta, sekumpulan tanda bagi para pencari." Aku nelayan. Di laut berombak maut. Berperahu kebimbangan dalam hidup. Layar dan jangkar seumpama ketakutan yang terlalu menjalar. Di langit. Di kelam sesuatu yang terasa pahit. Aku menemu madu. Setetes besar berwarna merah itu. Seperti jangat terkena sengat. Seperti ingin yang tak hendak tamat. Kau: rindu paling kesumat. 2011

Ofiukus

Mula-mula, aku tak bisa percaya bahwa cinta itu semacam cahaya. Setiap malam, di antara kelam selimut langit, kulihat beribu cahaya. Aku umpamakan kau di sana, satu planet tanpa cahaya. Ku nisbatkan diriku orbitnya, jalan gelap hampa cahaya. Pada satu bintang besar di sana, kita berharap satu cahaya. Ya, satu saja. Yang lain hanya 87 gugus nama, bukan sebenar cahaya. Ku sadari betapa cinta itu adalah satu lingkar penuh cahaya. Kau dan aku terjebak di dalamnya. Bertahun-tahun cahaya. 2011

Kematian itu Cahaya Bulan

Apa lagi yang dapat kusimpan karena saat ini aku dan keheningan saling mengungkap rahasia kematian, yang tak ubahnya bagai seberkas cahaya bulan. Setiap malam dia datang, dan esok pagi kau akan mengejar matahari. Tapi tak lagi bertanya,"Bagaimana tenang maut menjemput nyawa orang?" Lantas, apa lagi yang perlu kukenang selain lamat-lamat malam merambat dan lengang tanah lapang seperti tangan-tangan para penari di puncak sunyi. Dan lihat! Betapa mereka lebih memikat hati daripada berpikir tentang mati. 2011

Astronomologia

Setelah kau mati dan dikebumikan, aku melanglang angkasa luas. Kuturuti Ofiukus, Sang Penjaga Ular itu, sebab katanya,"Buatlah bangunan di atas cakrawala, dan dia yang kau rindu akan masuk dan bertahta." Maka lewat benda-benda yang biasa kulihat dari tingkap, dari kanta-kartika, kudirikan segugus candi, yang membuatmu semakin abadi. 2011

Jika Bumi itu Pluto

Duhai, betapa jauh dan dingin engkau. Di sini, aku patuh pada inginku menjangkau. Lalu kubayangkan, jika Bumi itu Pluto, maka kita sama-sama merana, terbuang dari galaksi yang sekian ratus tahun mengarang rangkaian cerita. Tapi kita selalu berbahagia. Seperti Dara Venetia dan Tuan Tombaugh yang setia dengan dongeng Romawi tua. Duhai, biarlah aku diberi tanda saja, tak mengapa. Di sekitar hal yang berpendar sia-sia, kau saja: tatasurya. 2011

Dulu Aku Komet

Bertahun cahaya darimu, aku dingin dan hampa yang membatu. Mengarungi cakrawalamu adalah melarung sebagian diriku pada pijar gemintang. Dan sepanjang lintasan lonjong ini, saksikanlah! Betapa langit hanya gelap dan kosong seperti saat Tuhan berkehendak, dan bintang besar itu meledak. Dan yang berpendar di tubuh ini, adalah kata yang berdebar sebagai doamu saat kau lihat ada yang serupa bintang jatuh, saat kau sungguh-sungguh bersimpuh. 2011

Perihal Pedang

Matanya teramat tajam, begitu lurus dan tulus. Memupus kenangan yang mangkus mengurung hari-hariku dalam ruang lengang murung. Tangannya. Ah! Tangan yang itu. Pembentang perih. Seperti antara kau dan aku. Di hari-hari letih. Hari menanggung pedih tunggu. Jauhkan dia, Tuan. Jarakkanlah... dari dada busung rindu, dari leher tercekik haru oleh sayatan ayat-ayat sangsi dan ragu. Biar pedih, biar sedih. Akan kurasakan putusnya waktu saat kita bertemu. 2011

Perihal Duri

Mirip paku, kau menusukku tepat di kalbu tapi kau punya mawar, punya tangkai yang sabar memegang kembang, menyungkun guguran daun. Kau mencabikku sungguh, sekukuh kuku-kuku itu, di dada dan di punggung, segala bebanMu kuhitung, kutanggung. Sebagai lencir getir, kau lempangkan liang nyeri supaya ku tuju laluan kelu, ku sibak rimbun isak. Dan aku tahu: kau teramat sengat. teramat kesumat. Lalu setiap penderitaan, hanya serpih kembang seruni tak sanggup bersanding, apalagi menanding. 2011

Perihal Perih

1. Seiris jeruk nipis di atas luka dan kudengar jerit itu! Jerit yang seperti Kau yang tertawa 2. Selalu, dalam derita kupanggil Kau padahal bertahun tak menemu. Ini sabar sudah terlampau lebar, berpuluh pujian sudah kuhantar di altar, dan sebagai pengantin, telah kusiapkan gaun yang paling yakin. Luka ini, Tuan, luka dengan darah segar. Seperti mawar, dialah mekar itu sendiri. dan sebagai duri, dia juga perih yang begitu kini Setiap kali tak terganti sebab dia adalah pergantian hari demi hari. 3. Segeram garam dibubuhkan di atas luka kembali mengalun rintih itu Seperti dalam lagu, ini hanya interlude sebuah permulaan atau pertengahan belum akan berakhir, belum saatnya Kau hadir. 2011

Perihal Mawar

Ruang murung ini kau koyak dengan harum semerbak seperti ada yang menumpahkan sebuli mur atau menyalakan sebatang dupa untuk berdoa. Padahal, kau hanya merah sederhana, tak harap menyala atau membara di dalam jambangan, di atas meja. Pun tak ada asap melangit, tak ada tatap yang sengit. Matamu dan mataku sama terpejam, sama-sama merendam yang cerah dan yang lelah dengan warna senja dalam ruang yang mengurung sunyi dalam hati. Sunyi yang merupa duri: menusukkan perih dan nyeri seperti aroma yang tak ingin pergi. Maka kau pendam aroma yang tabah, dan aku luka tusuk yang terus khusyuk bertahan - akan sebuah kerinduan. 2011

Perihal Paku

Dari balik genggam tanganmu : sebuah palu yang bahasanya kupahami sebagai dua kata - hantam & terbenam Kuingat : lengan alun yang tak lelah memukul dan tubuh pantai yang begitu tabah menanggul Kuingat pula : cakrawala sebelah barat dan langkah matahari tua yang sarat tepat sebelum senja muncul Tapi martil di tanganmu itu terlalu degil; dia dingin besi dan keinginan yang tak bisa diminta berhenti Berkali-kali aku dihantam! Berkali-kali aku terbenam! Sampai nanti aku menemu arti : ada yang akan terpasang di sini - jam dinding yang mengingatkanmu akan mati, kenangan yang tercetak dan dijebak dalam gambar-gambar, atau sebuah tanda bahwa ada yang kau yakini begitu kuat. Begitu hebat. 2011

Setia

Sungguh setia kesepian itu menjagaku dari kehilanganmu. Di cuaca semuram kaca jendela, kesepian mengetukkan jari-jari hujan. Diperdengarkan pula suara hewan-hewan hutan. Agar sempurna lanskap hijau pucat pemandangan, sehingga aku merasa ada yang kurang di sana; kau yang menangis sambil menulis sejumlah sajak cinta. Kunyalakan perapian. Tapi kesepian sudah menyiapkan cerita penghantar tidur; bulan putih disaput asap abu-abu. Ditambahkan pula bau kayu dan rumput terbakar gelisah. Maka kutemukan negeri dongengku sendiri; kau pengembara dan aku pintu gerbang kota tua. Kau mencari, aku menunggu. Tibalah aku dalam kantukku. Selimut kesepian mendekapku erat. Menyisakan dingin yang sangat kuhafal gigilnya; kekosongan sisi ranjang. Dalam diam, kesepian membangun jembatan mimpi: tempat kita berbagi hangat kenangan. 2011

Dekap

Keranda, Ananda. Ya, Keranda! Ibunda hanyalah pengantar jasadmu ke liang lahat. Ke mana mata dendam hilang sengat. Dan di dalamnya, hanyalah dirimu sendiri, ya dirimu, mendapat nikmat. Payung dan telekung hitam adalah pengantar tidur. Isyarat tentang hidup penuh syukur. Jika kau masih sempat mengucap salam, awan dan langit hanya hiasan dan kenangan akan malam-malam saat kau merenung sebuah sajak cinta paling kelam. Maka tangisan ini, Ananda, tangisan kebahagiaan. Bahasa purba yang tak bisa diterjemahkan aneka kitab dan kamus. Seperti guguran daun menghumus, seperti spora jamur yang subur di bawah serasah. Tak terlihat namun sungguh bermanfaat. Kenanglah aku, Ananda, seperti kau mengingat dengan benar matahari pagi yang bersinar. Kau, rumpun bambu muda. Bersimbah embun berbasah bahasa santun. Selayaknya rumpun berselimut embun di seberang jendela, kau kupandang sepenuh bahagia 2011

Belantara

Di sini, tak ada yang disesatkan bimbang; sesosok mambang yang muncul dari gerumbul, lalu membuhul kakimu erat. Kau tak terikat. Bebas bergegas dan berkemas menyibak semak cemas. Mengelak dari jerat dan bayang hidup yang buas. Di sini, tak ada disembunyikan. Shinta tak pernah hilang. Dia hanya jatuh cinta pada rupa rusa kencana. Hingga lupa lingkar panah Laksmana. Kau tak perlu berlari. Luka hunus pandan duri atau iris onak rotan tak bisa buatmu mati. Berjalanlah setegak panji. Biar semuanya mengerti: belantara ini hidup sejati. Adalah aku dan kau, menyeruakkan keluh paling sesak. Menyemarakkan ruang sepenuh pekak. Agar segera riuh dan penuh kanopi-kanopi sepi. Agar terjelajah seluruh lembah-lembah hati. Dan di sini, di rimba segala gelora dada, kaulah angin. Menggeletarkan ujung-ujung daun. Dan aku tunggul kayu mahoni, memendam rasa rindu itu sedalam hati. 2011

Minggu Palma

Duhai Kotaku. Tidurlah dalam teduh dedaunan palma. Padamkan seluruh cahaya. Tinggal celah pintu saja terbuka. Agar dia - yang kelak menderita - segera membuka mata maut. Dan nyalangah mata maut itu, dan menyalalah lampu-lampu kabut itu. Duhai Kota yang sudah lama luka parah. Biarkanlah dia masuk gerbangmu. Mereguk udaramu yang gersang itu. Agar dia - yang sebentar lagi mati - paham betapa busuk bau dari paru-paru dan mulutmu. Dan terbentanglah kain-kain spanduk: lestarikan hutan. lestarikan hujan. Maafkan kotaku, para pendudukmu hanya tahu hutan dan hujan membawa perubahan. Padahal dia - yang tak lama lagi tubuhnya penuh luka - membawa tubuh yang lebih tabah dari sebatang pohon, memberi suhu yang lebih ramah dari sehari penuh hujan. Ah, Kotaku. Sepandai-pandai kau membentang tembok dan menara, keruntuhan itu sungguh nyata. Tubuhku, ya pintu yang setengah terbuka itu, teramat bahagia - mempersilakan sejarah datang dan pergi dengan catatannya sendiri. Hingga di minggu seperti ini, Kota

Cium

Kau bawakan seribu kumbang dan sekebun mawar, ruap hangat yang menyengat dan harum cium merangkum ruang. Tak ada yang hilang selain aku dan kamu saja. Selebihnya padang kegembiraan. Kau hadirkan riang kanak dan riuh ternak, taman berayun-ayun dan pagar pokok zaitun. Segala terlihat hijau dan anggun. Seperti kita yang dilanun awan maya berarak, begitu semarak. Kau & Aku: sungai jernih membelah lembah. Sejauh pandang tersembunyi suara fauna. Bebunyian purba sepenuh cinta. Bagaimana bisa kau gambarkan gelora yang begitu tabah memukul-mukul sekujur badan? Berbuhul-buhul tali maya ke surga. 2011

Kecup

Ini perjalanan doa Dari bibir setengah terbuka, singgah dia ke dalam dada. Dipastikan di pias pipi ini tak ada lagi air mata Dipaskan dia agar hangat dan sungguh terasa Dikuatkan pula debar yang tersebar agar semua yang menjalar tidaklah sia-sia Dengan mata terpejam, yang hendak dilanggam masak-masak terperam Lalu, dengan sayap-sayap sepi terbanglah kata-kata yang api. Kata-kata yang selalu kembali ke dalam hati. Seperti kecup di pipi terasa pula di kedua bilah bibirmu. 2011

Pantai Juntinyuat di Awal Maret

1. Di pantaimu, yang tak terkabarkan oleh alun hanyalah tangis kerinduan dari negeri tandus. Walau tak ada rimbun bakau dan kepak elang, kanak-kanak itu tak pernah risau, Sayang. Di halaman madrasah, mereka bergembira seperti sekelompok domba yang berkeliaran di antara gazebo rumah makan ikan bakar. Mereka tak tahu kau menangis, Sayang karena hujan kerap singgah di sini. Membawa butiran-butiran pasir lekat pada tikar-tikar pandan. 2. Di pantaimu, yang tak tergambarkan oleh layar perahu adalah senyum yang ranum itu. Senyum semanis buah mangga yang sesekali dikecewakan cuaca. Hujan yang jarang datang, dan panas bertukar cemas di dalam kamar seperti tangis yang disembunyikan ayah dalam alun tarling dan sebentuk kerling biduanita berparas bocah, bersuara serak-basah. Selembar surat dari yayasan tenaga kerja yang mengirim ibu, datang membawa kabar kelabu: majikan itu lebih kejam dari sosok ibu tiri. 3. Pantai Juntinyuat di awal Maret tengah dicekam mendung, dan aku seperti anak kandung yang

Misa

Tubuhku altar tanpa lilin. Serangkai bunga sedap malam dalam bejana hijau tua. Kau memuji dan memimpin berdoa. Terkenang setetes embun di tengah ladang saat bunga-bunga itu dipetik dan diangkut dalam ember-ember hitam kusam. Sampailah kita di sini saling bersimpuh. Menghitung segala sesuatu yang luruh. Yang tertinggal jauh. Yang tak sanggup lagi kita rengkuh. Daun-daun atau dosa yang menahun atau harapan yang kita bangun. 2011

Untuk Sang Api

Yang tak sanggup kaubakar adalah tangisan. Mereka yang diam-diam merelakan setiap peristiwa seperti hujan. Jatuh dan diserap tanah. Atau paling tidak masuk selokan dan pulang ke tubuh lautan. Yang berdegup menyaksikanmu membara adalah aku. Yang tak mampu menjadi lilin : mengorbankan diri untuk kebahagiaan, atau tak juga jadi setanggi: diam-diam mengabu agar doamu lurus dan jauh. Kuharapkan saja angin. Dia yang mampu membuatmu meliuk, membuatku takluk dan mulai mengantuk. Mengirim kau & aku ke sebuah dunia tanpa bentuk. 2011

Karnivora

Berbahagialah Engkau yang lapar karena dagingku adalah benar-benar makanan. Berbahagialah Engkau yang haus karena darahku adalah benar-benar minuman. Setelah kau remukkan dagingku dan kau reguk darahku, aku dan kamu satu. 2011

Semacam Pelukan Perpisahan

Sudah saatnya kita tak perlu banyak bicara, biarkanlah lambung perahu mengoyak bayang bulan di atas danau. Kita dengarkan saja kukuk burung hantu dalam diam. Agar bunyinya masuk dada, mencengkeram dan membawa pergi kesepian. Sudah waktunya aku dan kamu lebih banyak menunggu, mana jatuh lebih dulu: sebuah bintang atau selembar daun. Sambil kita pandang daun-daun cemara yang seolah saling sapa dengan angin. Lalu kita saling menduga: pesan apakah tak tersampaikan oleh sepi yang tak mau pergi? Sampai akhirnya kita mengerti: Ini malam semacam pelukan perpisahan. Di balik segala yang kelihatan tenang, adalah hujan yang tiba-tiba datang. 2011

Tentang Lirik Lagu Indonesia - Mengapa Menjajah Telinga Rakyat Sendiri?

Dulu, seorang teman berbeda kelas saat SMA datang ke rumah saya. Niatnya cuma satu: meminjam kaset (waktu itu belum ada CD) lagu-lagu yang sering saya nyanyikan ketika latihan band. Dia terbengong-bengong mengetahui bahwa tidak satu pun saya miliki lagu-lagu tersebut. Saya menghafal liriknya via radio dan 'ngulik sendiri chordnya meskipun tidak benar-benar ahli. Yang penting 'pas' dengan suara saya. Waktu itu, yang digandrungi oleh anak-anak seumur saya adalah lagu-lagu dari Guns N Roses, White Snake, Poison, dan lain-lain yang bisa digolongkan Rock Ballads. Saya tidak bangga dengan kenyataan itu, selain soal chord yang tidak sesuai aslinya, lirik yang saya dendangkan pun sering keliru. Saat itu hal semacam itu tidak menjadi soal -- toh manggung pun hanya di depan teman-teman yang nilai bahasa Inggrisnya pun didapat dari contek kanan-kiri saat ulangan. Penilaian saya terhadap lagu bukanlah dari musiknya saja. Saya termasuk pecinta musik dari dangdut, jazz, pop, keroncong, b

Ang Pao

Rasanya, aku harus menyerah pada sekumpulan gelisah kanak-kanak pemburu amplop merah. Barangkali, ini hanya semacam rasa gerah, karena di ujung tahun biasanya hujan dan panas saling berganti mengunjungimu. Toh, tak ada petugas resmi yang bisa memastikan yang bakal aku terima hanya hadiah atau sesuatu yang bisa disebut sebagai gaji ke empatbelas Biasanya, aku tak gampang memandang pemberian sebagai satu bentuk lain dari ikatan. Tapi ini awal tahun, dan kau harus punya pegangan - begitulah caramu merayu Akhirnya, kuputuskan menjadi sekumpulan kanak-kanak yang bergegas menembus sisi kantungmu. Dan mulai menghitung aneka lambang dan pepatah: Segalanya akan terang, segalanya akan cerah, asal, kau tak pernah melupakan sejarah. 2011

Lampion

Sebelum petasan dan lilin-lilin dinyalakan, akulah arwah Sang Tualang. Kelabu dan pucat seperti akhir tahun yang basah dan berkabut. Bersama percik pertama pada sumbu lampu dan lentera, ada semacam anak tangga yang digelar begitu merah dan dapat dipercaya. Dan saat kau tertawa – setengah terkejut, aku berpegang pada cahaya. Meninggalkan jejak sesamar asap lilin dan sisa petasan. Ah, tahun berganti. Tapi anak-anak tangga ini tak pernah beranjak. Dan perjalananku, hanyalah menyoal rasa percaya tentang cahaya, tentang warna-warna, dan hal-hal yang berkelindan daripada mereka. 2011

Tang Yuen

Kau & aku : Sederhana adanya, seperti kue onde bulat sempurna. Tak pandai merawat rahasia. Dalam setiap percakapan, kau tak pernah mau menduga arah percakapan dan aku tak ingin tahu maksud dari kedatanganmu. Hanya kita sepakat: Sebelum malam usai, tak boleh ada yang bercerai. Dan di bawah terang bulan, tak boleh ada yang diabaikan. Ah, betapa bulan serupa potongan kue terakhir, sebelum lenyap di balik bibirmu itu. Dan yang kuingat, ada rasa manis tergantikan dengan cepat oleh seteguk anggur tua. 2011

Yee Sang

Dari sungai, gairahmu tak ujung usai. Serupa jala mengepung cahaya. Aku: seekor rama-rama buta. Sembunyi di balik sayap bulu merah tua. Tentu saja, air adalah hal yang harus kuhindari. Aku takut kusut. Terlebih takut hanyut. Dalam sepinggan kuah asam-manis, kau tawarkan cerita-cerita musim semi : padang rumput dan bunga peoni Tapi, inilah aku, lembar daun caisim. Serupa lipit gaun yang kaujaga Dalam dudukmu itu. 2011

Nian Gao

Semakin ke atas, kau merasa semakin dekat dengan bulan. Semakin jelas pemandangan ke arah bukit. Baik ke arah puncak maupun lembah. Dengan tubuhmu yang coklat dan berat, kau bawa aroma daging dan sayur dari meja-meja persembahan. Seperti mengusung begitu banyak doa, kau lebih banyak terdiam sepanjang jalan. Sedang aku terlalu suka memandang keningmu yang berkilat-kilat kena lampu. Adalah kita: sepiring semangkuk. Selengkap hidangan pesta semalam suntuk. Hendak membakar puncak-puncak yang diliput kabut. 2011

Cia Cai

Di hari ke tiga belas, kita kosongkan rumah, beriringan tamasya ke kebun dan taman. Rumah sudah sesak dengan gairah, sedang jalanan selalu penuh petasan. Sementara kita bukan lagi kanak-kanak atau seorang tua yang sakit tergeletak tak bisa bergerak. Maka di hari ke tiga belas, kita pergi ke kebun dan taman melihat tetumbuhan. Mengosongkan rongga tubuh dan mengisinya dengan bau-bau bunga, daun dan akar yang disentuh tangan-tangan hujan. Ada baiknya, setahun sekali, kita jadi pemuda yang berharap bertemu kekasih pujaan secara diam-diam, dengan alasan acara sembahyang terlalu lama dan terasa membosankan. 2011

Chuxi

Seberkas sinar bulan memangkas rambutmu, Sayang Kulihat sesuatu berkilauan mirip keping uang logam. Berjatuhan dari kepang yang legam. Aku hanya memotong hutang-hutangku, Sayang Tak lebih, tak kurang. Sebab ini malam harus tuntas, agar selewat sembahyang, tak ada lagi yang terbayang. 2011

Fu Dao

Kertas-kertas merah adalah ajakan untuk berbahagia, begitulah kau menyambutku di depan pintu. Aku mampir untuk mengucap selamat datang, menyimpan pedang dan baju zirah tanpa noda darah. Sejak dari halaman, sudah kudengar kau akan menggenapi sebuah janji: pesta kembang api. Sayangnya, aku tak bermalam di sini. Lewat tengah malam, bersama bunga Mei yang mulai mekar, aku teruskan perjalanan. Ini bukan bai pao, katamu menyerahkan sejumlah catatan, tetapi mudah-mudahan cukup agar kau tetap hidup paling tidak sampai Sin Cia mendatang. 2011

Kim Kit

Kau tak menginginkan perbedaan, dalam piring yang tersanding bersama bebatang hio itu, kau kumpulkan mereka yang tak pernah lebih besar dari sebutir bola pingpong. Kuning semua. Tetapi kau berdoa agar kami semua bersemarak, bersama-gerak. Membungkuk tiga kali sebelum sebuah pesta arak berbumbu percakapan tentang harapan dan segala yang belum diselesaikan. Seperti merencanakan pembunuhan, kau bercerita tentang Nien yang lapar sambil membuka pintu dan jendela lebar-lebar. Aku merasa sebagai mangsa yang siap ditelan dari segala rongga. Siap mengucurkan darah paling bersejarah. Kuambil waktuku sendiri untuk berdoa. Di depan mereka yang membulat sepakat dalam piring, diam-diam kuputuskan untuk mengakhiri ketakutan itu. Bersama wangi hio, ada kelebat warna yang tiba-tiba pupus. Ada pula terhidu aroma kulit jeruk yang hendak membuatku mabuk. 2011

Pacar di Hari Minggu

: Joko Pinurbo Di hari minggu yang biru, Pacar berjalan-jalan dengan gaun kelabu ke arah pasar yang semakin disesaki oleh sepi. "Siapa tahu, di sana bisa bertemu penjual mimpi." Kau baru saja membersihkan becakmu dari debu malam. Sebagian pindah dan betah di rambutmu, menjadi uban. "Mudah-mudahan, Pacar tak bosan memandang." Di pintu pasar, Pacar dan kaupun bertemu. "Sudah kukatakan, jangan temui aku di tempat seperti ini." Pacar sepertinya mengerti. Dengan becak kesayanganmu, Pacar melaju di hari Minggu. "Jangan kau susul aku!" Kulihat kau pun kembali tertidur, sambil berucap, "Selamat tinggal sepi. Selamat datang mimpi." 2010

Lamaran

Berbekal cincin emas 5 gram milik Ibunda, kau berangkat melamar Pacar. Menyitir penyair Chairil, kau berkata padaku, "Kalau sampai waktuku, ku mau tak seorang pun merayu." Padahal, aku hanya meminta kau memarkir becakmu dengan benar. Tidak melintang di tengah trotoar. Di depan rumah Pacar, kau berlutut dan berserah, dan lagi-lagi mencuplik selarik sajak. Kali ini milik Sapardi, "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.." Tapi Pacar malah tertawa. "Ada-ada saja," tukasnya. Di bawah pohon kamboja, Pacar mengajukan satu permintaan: pernikahannya harus dilaksanakan di depan makam Ibunda. Kau pun terguguk dalam bisu. Bagaimana bisa, Ibunda masih sehat sentosa. Di beranda, jari manis Ibunda menunggu cincin 5 gram yang dikira hilang. Ketika kau pulang dan bercerita tentang lamaranmu yang gagal, Ibunda terpingkal-pingkal. Kau pun terkejut mendengar Ibunda berucap mirip larik terakhir sajak Joko Pinurbo; "Dengan kata lain, kau tak akan pernah bisa menikahi Paca