Esai Fradhyt Fahrenheit "Masturbasi Kata-Kata"
Catatan:
Esai berikut, ditulis dalam rangka rencana penerbitan buku puisi saya yang perdana "Gelembung." Ditulis oleh seorang Creative Director yang juga telah menerbitkan novel (trilogi) yang best seller dengan angka penjualan yang fantastis.
Sengaja saya memilih beliau dikarenakan profesionalitas beliau sebagai creative director sudah tidak bisa diragukan lagi. Banyak brand jadi besar di tangannya. Dan sesuai dengan keinginan awal saya yang ingin menjadikan sajak-sajak saya bisa diberlakukan seperti sebuah brand, maka begitulah kami berjodoh dalam buku ini. Berikut adalah tulisan beliau. Silakan dinikmati.
Masturbasi Kata-Kata
Dalam pengantarnya Dedy Tri Riyadi menuliskan,“Sebagai penyair, saya merasa sangat perlu menjadikan puisi-puisi yang saya tulis bukan untuk konsumsi pribadi.”
Saya setuju. 1000% setuju!
Setidaknya kalau ingin jadi profesional di era sekarang, wajib mengerti insight dari komunikan, atau target market. Harus tahu tren dan apa yang diinginkan suatu komunitas, pasar ataupun masyarakat. Entah itu kita seorang pengusaha, selebriti/seniman di bidang apapun. Kecuali kalau tidak ingin ekspresi atau gagasannya diketahui publik, tidak mau populer, tidak ingin dikenal di komunitasnya, atau sama sekali tidak ingin punya fans/pengikut!
Kenapa saya bilang kalau penyair sudah masuk ke ranah dunia yang benar-benar diakui dan lebih profesional? Penyair/sastrawan kini telah disejajarkan dengan profesi bergengsi lainnya. Sebenarnya ini sudah dari dulu,sih. Tetapi saya mengatakan ini untuk lebih meyakinkan terutama pada sebagian orang disekitar kita bahkan orang tua atau calon mertua kita sendiri yang selalu melecehkan kalau seorang penyair di negeri ini tidak bisa kaya, hidup pas-pasan karena hanya mengharapkan honor tulisan dari media massa.
Bagi saya sekarang sudah beda. Jauh berbeda dibandingkan lima atau sepuluh tahun lalu. Apalagi mulai sekarang para penyair/penggiat sastra sudah diakui memiliki nilai jual. Economic value. Beyond dari nilai-nilai budaya kegiatan bersastra itu sendiri! Untuk itu saya ikut angkat topi bagi pemerintah sekarang yang ‘membubuhkan’ Ekonomi Kreatif dalam departemen kebudayaannya. Ekonomi Kreatif, yaitu ekonomi yang berbasiskan sumber daya manusia. Sumber-sumber pemikiran inovatif dan kreatif dimana penyair termasuk didalamnya.
Penulis atau Penyair kini memiliki Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang dihargai dan karyanya dilindungi Undang-undang. Bukan cuma diapresiasi tapi memiliki nilai jual dan jadi sebuah aset. Dengan kata lain investasi yang benar-benar riil! Tentunya lebih dari sekedar mengharapkan dari honor menulis atau royalti dari hasil oplah buku yang laku. Terlebih anak cucu para seniman profesional tersebut masih bisa menikmati royalti di medium lainnya disamping nama yang kian melegenda.
Kembali lagi dari awal judul, Masturbasi Kata-kata. Yang saya maksudkan di sini adalah, bagaimana seorang penyair mampu mengekspresikan perasaannya melalui kata-kata yang tidak mubazir, bahkan sukar dimengerti bagi pembacanya. Apalagi memiliki multitafsir yang njelimet?! Acapkali hasil karya tersebut teramat mudah dilupakan. Boro-boro berkesan, dimengerti saja tidak?!
Memang para penyair mempunyai licencia poetica yang dengan bebas ia bisa berekspresi segila-gilanya, sekreatif-kreatifnya untuk membuahkan suatu karya. Tapi kalau karya itu sukar dimengerti dan tanpa manfaat, hanya sekumpulan bait-bait indah saja, tentunya amat disayangkan. Masa sekarang ini hanya orang tertentu yang punya waktu untuk menafsirkan puisi. Sementara di era kompetitif global ini semua orang sibuk cari sesuap nasi dan hanya bisa menyisakan waktu rata-rata perhari 10 menit untuk membaca buku/koran! Buku dan kolom puisi pun semakin tersisihkan.
Seperti dalam kata pengantar yang Dedy Tri Riyadi sampaikan, “Sebagai gelembung, puisi-puisi pun mudah pecah. Hanya keindahan sesaat yang kemudian jatuh ke tanah tanpa arti”, maka sebagai bagian dari orang awam terhadap dunia perpuisian, sah-sah saja saya mengatakan kalau sebuah karya puisi bisa fatal seperti Dedy Tri Riyadi katakan di atas. Seperti orang masturbasi, hanya diri sendiri saja yang dipuasi. Hanya dia sendiri saja yang bisa bebas berimajinasi untuk mendapatkan kepuasan batin atas orgasme emosional pribadi. Ini hanya penggambaran, bukan saya menyamakan bermasturbasi dengan orang yang melakukan kegiatan berpuisi.
Jadi, sekali karya puisi-puisi itu dipublikasikan, berarti kita dikenakan ‘sangsi’ oleh masyarakat luas. Bisa jadi di komunitas tertentu puisi tersebut diapresiasi, karena sudah saling mengenal seluk beluk sastra. Tapi balik lagi, kalau kita ingin lebih profesional, ingin populer atau diakui eksistensi inspirasi gagasan tersebut, ingin mendapatkan HKI, tentu saja harus tahu apa yang bisa dicerna oleh masyarakat luas. Dalam artian bukan di dikte oleh pasar, lho!
Masalah pelik profesi penyair pun tidak sampai di situ. Ditambah lagi teknologi dunia cyber yang semakin bergerak cepat. Setiap orang dengan berbagai latar belakang profesi, pendidikan, umur, siapapun kini bisa menulis, bisa berpuisi!
Cybersastra sebuah ekologi baru yang membuat semuanya ikut melek sastra, dan ‘merasa bisa’ menulis puisi. Tanpa seleksi penerbit orang awam bisa mempublikasikan karyanya dengan cepat dan murah. Hegemoni sastra koran dan satra buku seolah-olah kini mulai dibombardir, pelan-pelan penerbitan konvensional bertumbangan, bahkan mungkin 20 tahun ke depan siap-siap masuk liang kubur.
Cybersastra sebuah rezim baru. Dominasi para sastrawan yang dulu di wisudai oleh generasi masa lalu dengan karya-karya besarnya yang dicetak melalui buku-buku dan dijadikan kitab pelajaran bagi mahasiswa jurusan sastra pun mungkin akan tinggal jadi kenangan. Lalu terkubur jikalau sastrawan senior atau keluarga penerusnya masih saja gaptek atau memusuhi internet.
Saya sekarang ini sedang menyiapkan sebuah buku puisi, untuk itu saya membuat riset kecil kepada anak sekolah dan generasi Facebooker lainnya. Hasilnya? Rata-rata mereka hanya bisa mengenal dengan baik 3-5 penyair/sastrawan asli Indonesia dan satu-dua puisi yang (susah payah atas tugas sekolah) mereka hafal. Dan itu melulu lagi-lagi karya-karya Chairil Anwar jadi "top of mind". Kemana "awareness" ratusan sastrawan dan karya ribuan puisi lainnya?!
Tapi saya tidak mengharapkan dan menanggapi sedemikian bombastis. Hanya bagian dari agitasi ketakutan saya terhadap dunia sastra yang saya cintai sejak pertama kali puisi saya dimuat di majalah Bobo saat berumur 6 tahun. Masih teringat saat berhasil menjuarai berbagai penulisan cerpen dan puisi tingkat nasional semasa SMA, menerima hadiah besar, mendapat honor puisi pertama kali dari majalah HAI. Lalu kegiatan menulis dan berteater itu pun terhenti karena pandangan dari lingkungan yang kurang nyaman terhadap masa depan menjadi seniman membuat saya mundur.
Setelah bergiat di dunia marketing periklanan sepuluh tahun dan menghasilkan ratusan iklan televisi, secara iseng saya tergoda untuk menulis, yang kemudian menarik perhatian seorang teman yang kemudian serahkan ke penerbitan buku. Lalu diterbitkan tergesa-gesa tanpa melalui editor bahasa. Namun tak diduga buku sequel bergaya metropop tersebut "bestseller!" Salah satu kesuksesannya karena didukung kekuatan jaringan cyber, terutama melalui media network pertemanan Facebook.
Namun kepopuleran buku tersebut di sisi lain menjadi dosa terbesar bagi prestasi yang pernah saya dapatkan semasa remaja. Sebuah paradoksal dua sisi yang serba salah. Sebuah pembelajaran.
Putu Wijaya menulis di blog-nya, “Sastra adalah seluruh ekpresi manusia yang diutarakan dengan bahasa. Sastra juga bukan sekedar alat bahasa. Sastra adalah ilmu bagaimana memanfaatkan bahasa menjadi kausakata untuk menterjemahkan berbagai makna kepada orang lain dengan akurat!” So, hipotesa saya secara pribadi dengan embel-embel selaku praktisi marketing periklanan: Siapapun bisa membuat syair puisi. Tapi tidak gampang menjadi penyair yang profesional dan terkenal di era global sekarang ini.
Setiap hari muncul jutaan puisi terutama di belantara cybersastra. Tapi untuk mempublikasikan karya puisi yang "so really unforgettable" haruslah dapat memberi pengalaman batin yang luas dan mengesankan di kedalaman samudra sanubari pembacanya. Waktu mereka teramat mahal hanya untuk membaca sebuah puisi, apalagi yang teramat sangat sulit ditafsirkan. Jangan bermasturbasi kata-kata yang tidak dimengerti banyak orang.
Kalau tidak, bisa jadi akan seperti ‘Gelembung’ yang Dedy Tri Riyadi sahabat saya sekantor ini syairkan, (kok, secara tidak sengaja mirip apa yang pernah saya alami, dan mungkin bisa jadi Anda semua akan ikut mengalaminya juga) “Kita selalu dibuat kagum/tubuh bening/pukau kilau pelangi/dan yang tinggi membumbung/ Kita juga dibuat maklum/ketika meletup saat ditiup/pecah dia di udara, dan dilantai/tinggal selingkar tanda”.
Fradhyt Fahrenheit
Desember 2011
Esai berikut, ditulis dalam rangka rencana penerbitan buku puisi saya yang perdana "Gelembung." Ditulis oleh seorang Creative Director yang juga telah menerbitkan novel (trilogi) yang best seller dengan angka penjualan yang fantastis.
Sengaja saya memilih beliau dikarenakan profesionalitas beliau sebagai creative director sudah tidak bisa diragukan lagi. Banyak brand jadi besar di tangannya. Dan sesuai dengan keinginan awal saya yang ingin menjadikan sajak-sajak saya bisa diberlakukan seperti sebuah brand, maka begitulah kami berjodoh dalam buku ini. Berikut adalah tulisan beliau. Silakan dinikmati.
Masturbasi Kata-Kata
Dalam pengantarnya Dedy Tri Riyadi menuliskan,“Sebagai penyair, saya merasa sangat perlu menjadikan puisi-puisi yang saya tulis bukan untuk konsumsi pribadi.”
Saya setuju. 1000% setuju!
Setidaknya kalau ingin jadi profesional di era sekarang, wajib mengerti insight dari komunikan, atau target market. Harus tahu tren dan apa yang diinginkan suatu komunitas, pasar ataupun masyarakat. Entah itu kita seorang pengusaha, selebriti/seniman di bidang apapun. Kecuali kalau tidak ingin ekspresi atau gagasannya diketahui publik, tidak mau populer, tidak ingin dikenal di komunitasnya, atau sama sekali tidak ingin punya fans/pengikut!
Kenapa saya bilang kalau penyair sudah masuk ke ranah dunia yang benar-benar diakui dan lebih profesional? Penyair/sastrawan kini telah disejajarkan dengan profesi bergengsi lainnya. Sebenarnya ini sudah dari dulu,sih. Tetapi saya mengatakan ini untuk lebih meyakinkan terutama pada sebagian orang disekitar kita bahkan orang tua atau calon mertua kita sendiri yang selalu melecehkan kalau seorang penyair di negeri ini tidak bisa kaya, hidup pas-pasan karena hanya mengharapkan honor tulisan dari media massa.
Bagi saya sekarang sudah beda. Jauh berbeda dibandingkan lima atau sepuluh tahun lalu. Apalagi mulai sekarang para penyair/penggiat sastra sudah diakui memiliki nilai jual. Economic value. Beyond dari nilai-nilai budaya kegiatan bersastra itu sendiri! Untuk itu saya ikut angkat topi bagi pemerintah sekarang yang ‘membubuhkan’ Ekonomi Kreatif dalam departemen kebudayaannya. Ekonomi Kreatif, yaitu ekonomi yang berbasiskan sumber daya manusia. Sumber-sumber pemikiran inovatif dan kreatif dimana penyair termasuk didalamnya.
Penulis atau Penyair kini memiliki Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang dihargai dan karyanya dilindungi Undang-undang. Bukan cuma diapresiasi tapi memiliki nilai jual dan jadi sebuah aset. Dengan kata lain investasi yang benar-benar riil! Tentunya lebih dari sekedar mengharapkan dari honor menulis atau royalti dari hasil oplah buku yang laku. Terlebih anak cucu para seniman profesional tersebut masih bisa menikmati royalti di medium lainnya disamping nama yang kian melegenda.
Kembali lagi dari awal judul, Masturbasi Kata-kata. Yang saya maksudkan di sini adalah, bagaimana seorang penyair mampu mengekspresikan perasaannya melalui kata-kata yang tidak mubazir, bahkan sukar dimengerti bagi pembacanya. Apalagi memiliki multitafsir yang njelimet?! Acapkali hasil karya tersebut teramat mudah dilupakan. Boro-boro berkesan, dimengerti saja tidak?!
Memang para penyair mempunyai licencia poetica yang dengan bebas ia bisa berekspresi segila-gilanya, sekreatif-kreatifnya untuk membuahkan suatu karya. Tapi kalau karya itu sukar dimengerti dan tanpa manfaat, hanya sekumpulan bait-bait indah saja, tentunya amat disayangkan. Masa sekarang ini hanya orang tertentu yang punya waktu untuk menafsirkan puisi. Sementara di era kompetitif global ini semua orang sibuk cari sesuap nasi dan hanya bisa menyisakan waktu rata-rata perhari 10 menit untuk membaca buku/koran! Buku dan kolom puisi pun semakin tersisihkan.
Seperti dalam kata pengantar yang Dedy Tri Riyadi sampaikan, “Sebagai gelembung, puisi-puisi pun mudah pecah. Hanya keindahan sesaat yang kemudian jatuh ke tanah tanpa arti”, maka sebagai bagian dari orang awam terhadap dunia perpuisian, sah-sah saja saya mengatakan kalau sebuah karya puisi bisa fatal seperti Dedy Tri Riyadi katakan di atas. Seperti orang masturbasi, hanya diri sendiri saja yang dipuasi. Hanya dia sendiri saja yang bisa bebas berimajinasi untuk mendapatkan kepuasan batin atas orgasme emosional pribadi. Ini hanya penggambaran, bukan saya menyamakan bermasturbasi dengan orang yang melakukan kegiatan berpuisi.
Jadi, sekali karya puisi-puisi itu dipublikasikan, berarti kita dikenakan ‘sangsi’ oleh masyarakat luas. Bisa jadi di komunitas tertentu puisi tersebut diapresiasi, karena sudah saling mengenal seluk beluk sastra. Tapi balik lagi, kalau kita ingin lebih profesional, ingin populer atau diakui eksistensi inspirasi gagasan tersebut, ingin mendapatkan HKI, tentu saja harus tahu apa yang bisa dicerna oleh masyarakat luas. Dalam artian bukan di dikte oleh pasar, lho!
Masalah pelik profesi penyair pun tidak sampai di situ. Ditambah lagi teknologi dunia cyber yang semakin bergerak cepat. Setiap orang dengan berbagai latar belakang profesi, pendidikan, umur, siapapun kini bisa menulis, bisa berpuisi!
Cybersastra sebuah ekologi baru yang membuat semuanya ikut melek sastra, dan ‘merasa bisa’ menulis puisi. Tanpa seleksi penerbit orang awam bisa mempublikasikan karyanya dengan cepat dan murah. Hegemoni sastra koran dan satra buku seolah-olah kini mulai dibombardir, pelan-pelan penerbitan konvensional bertumbangan, bahkan mungkin 20 tahun ke depan siap-siap masuk liang kubur.
Cybersastra sebuah rezim baru. Dominasi para sastrawan yang dulu di wisudai oleh generasi masa lalu dengan karya-karya besarnya yang dicetak melalui buku-buku dan dijadikan kitab pelajaran bagi mahasiswa jurusan sastra pun mungkin akan tinggal jadi kenangan. Lalu terkubur jikalau sastrawan senior atau keluarga penerusnya masih saja gaptek atau memusuhi internet.
Saya sekarang ini sedang menyiapkan sebuah buku puisi, untuk itu saya membuat riset kecil kepada anak sekolah dan generasi Facebooker lainnya. Hasilnya? Rata-rata mereka hanya bisa mengenal dengan baik 3-5 penyair/sastrawan asli Indonesia dan satu-dua puisi yang (susah payah atas tugas sekolah) mereka hafal. Dan itu melulu lagi-lagi karya-karya Chairil Anwar jadi "top of mind". Kemana "awareness" ratusan sastrawan dan karya ribuan puisi lainnya?!
Tapi saya tidak mengharapkan dan menanggapi sedemikian bombastis. Hanya bagian dari agitasi ketakutan saya terhadap dunia sastra yang saya cintai sejak pertama kali puisi saya dimuat di majalah Bobo saat berumur 6 tahun. Masih teringat saat berhasil menjuarai berbagai penulisan cerpen dan puisi tingkat nasional semasa SMA, menerima hadiah besar, mendapat honor puisi pertama kali dari majalah HAI. Lalu kegiatan menulis dan berteater itu pun terhenti karena pandangan dari lingkungan yang kurang nyaman terhadap masa depan menjadi seniman membuat saya mundur.
Setelah bergiat di dunia marketing periklanan sepuluh tahun dan menghasilkan ratusan iklan televisi, secara iseng saya tergoda untuk menulis, yang kemudian menarik perhatian seorang teman yang kemudian serahkan ke penerbitan buku. Lalu diterbitkan tergesa-gesa tanpa melalui editor bahasa. Namun tak diduga buku sequel bergaya metropop tersebut "bestseller!" Salah satu kesuksesannya karena didukung kekuatan jaringan cyber, terutama melalui media network pertemanan Facebook.
Namun kepopuleran buku tersebut di sisi lain menjadi dosa terbesar bagi prestasi yang pernah saya dapatkan semasa remaja. Sebuah paradoksal dua sisi yang serba salah. Sebuah pembelajaran.
Putu Wijaya menulis di blog-nya, “Sastra adalah seluruh ekpresi manusia yang diutarakan dengan bahasa. Sastra juga bukan sekedar alat bahasa. Sastra adalah ilmu bagaimana memanfaatkan bahasa menjadi kausakata untuk menterjemahkan berbagai makna kepada orang lain dengan akurat!” So, hipotesa saya secara pribadi dengan embel-embel selaku praktisi marketing periklanan: Siapapun bisa membuat syair puisi. Tapi tidak gampang menjadi penyair yang profesional dan terkenal di era global sekarang ini.
Setiap hari muncul jutaan puisi terutama di belantara cybersastra. Tapi untuk mempublikasikan karya puisi yang "so really unforgettable" haruslah dapat memberi pengalaman batin yang luas dan mengesankan di kedalaman samudra sanubari pembacanya. Waktu mereka teramat mahal hanya untuk membaca sebuah puisi, apalagi yang teramat sangat sulit ditafsirkan. Jangan bermasturbasi kata-kata yang tidak dimengerti banyak orang.
Kalau tidak, bisa jadi akan seperti ‘Gelembung’ yang Dedy Tri Riyadi sahabat saya sekantor ini syairkan, (kok, secara tidak sengaja mirip apa yang pernah saya alami, dan mungkin bisa jadi Anda semua akan ikut mengalaminya juga) “Kita selalu dibuat kagum/tubuh bening/pukau kilau pelangi/dan yang tinggi membumbung/ Kita juga dibuat maklum/ketika meletup saat ditiup/pecah dia di udara, dan dilantai/tinggal selingkar tanda”.
Fradhyt Fahrenheit
Desember 2011
Comments